Fase-Fase Perkembangan Mental Anak
BAB IV
KEPEDULIAN ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN MENTAL ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI
A. Fase-Fase Perkembangan Mental Anak
Perkembangan secara definisi dapat diartikan
sebagai perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi
psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar
dalam passage waktu tertentu, menuju kedewasaan. Selain itu perkembangan dapat
diartikan pula sebagai suatu proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang
herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan dalam
perwujutan proses aktif menjadi secara kontinu atau berkelanjutan.
Dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, Syamsu Yusuf, mengemukakan bahwa ada pembagian periodisasi
perkembangan dari sudut pandang kognitif menurut piaget dibagi menjadi 4 bagian
yakni[1]:
1. Periode Pertama (0 – 2 tahun) disebut dengan periode
sensori matter. Dimana deskripsi perkembangan periode sensori matter ini yaitu:
Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik denga orang atau objek
(benda). Sekema-sekemanya baru berupa reflex-refleks sederhana seperti
menggenggam dan/atau menghisap.
2. Periode Kedua (2 – 6 tahun) disebut dengan periode Pra
operasional. Dimana deskripsi perkembangan pra operasional ini menyebutkan
bahwa anak mulai menggunakan simbul-simbul untuk mempresentasikan dunia
(lingkungan) secara kognitif. Simbul-simbul itu seperti kata-kata dan bilangan
yang dapat menggantikan objek, peristiwa dan kegiatan.
3. Periode Ketiga (6 – 11 tahun) disebut dengan periode
Operasional konkrit. Dimana deskripsi perkembangan yang tampak yakni anak sudah
dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka dapat menambah dan mengurangi serta mengubah. Operasi ini
memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
4. Periode keempat (11 - Dewasa) disebut dengan periode
Operasi formal. Deskripsi perkembangannya, periode ini merupakan operasi mental
tingkat tinggi. Disini anak (Remaja) sudah dapat berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa hepotesis/abstrak, tidak hanya dengan objek-objek konkrit.
Remaja sudah dapat berfikir abstrak. Memecahkan masalah-masalah melalui
pengujian secara alternative yang ada.
Sebagaimana telah diuraikan, dalam kehidupan
anak ada dua proses yang beroperasi secara kontinu, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara interdependen, saling
bergantung satu sama lainnya.
Perkembangan anak tidak berlangsung secara mekanis-otomatis. Sebab
perkembangan tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor secara simultan,
yaitu[2]:
a. Faktor hereditas atau keturunan.
b. Faktor lingkungan yang menguntungkan atau yang merugikan.
c. kematangan fungsi-fungsi organis dan fungsi-fungsi psikis
d. Aktivitas anak sebagai subjek bebas yang berkemauan,
kemampuan seleksi, bias menolak atau menyetujui, punya emosi, serta usaha
membangun diri sendiri.
Selain itu dalam konteks dan pengertian lainnya
tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak pada masa pertumbuhan dan
perkembangannya dibagi menjadi beberapa
Periodesasi yang dapat digolongkan menjadi :
a.
Periodisasi perkembangan yang berdasarkan Biologis
Periodesasi berdasarkan biologis adalah
periodesasi yang pembahasannya berdasarkan pada kondisi atau proses pertumbuhan
biologis anak, karena pertumbuhan bilogis ikut berpengaruh terhadap
perkembangan kejiwaan seorang anak.
1) Fase prenatal (sebelum lahir), mulai masa konsepsi
sampai proses kelahiran, lebih kurang 280 hari.
2) Fase infancy (orok), mulai lahir sampai usia 14
hari.
3) Fase babyhood (bayi), mulai usia 2 minggu sampai sekitar
usia 2 tahun.
4) Fase childhood (kanak-kanak), mulai usia 2 tahun
sampai usia pubertas.
5) Fase adolescence (remaja), mulai usia 11 dan 13
tahun sampai usia 21 tahun, yang dibagi atas tiga masa, yaitu:
a) Fase pre adolescence, mulai usia 11 - 13 tahun
untuk wanita, dan usia-usia sekitar setahun kemudian bagi pria.
b) Fase early adolescence, mulai usia 13 - 14 tahun
sampai 16 – 17
c) Fase late adolescence, masa-masa akhir dari
perkembangan seseorang atau masa ketika seseorang menempuh perguruan tinggi.[3]
b. Periodisasi perkembangan yang berdasarkan Didaktis
Periodesasi berdasarkan didaktis adalah
periodesasi yang pembahasannya berdasarkan pada segi keperluan/materi apa
kiranya yang tepat diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, serta
memikirkan tentang kemungkinan metode yang paling efektif untuk diterapkan di
dalam mengajar atau mendidik anak pada masa tertentu tersebut.
c.
Periodisasi perkembanga yang berdasarkan Psikologis
Pada pembagian ini para ahli membahas gejala
perkembangan jiwa anak, berorientasi dari sudut pandang psikologis, mereka
tidak lagi mendasarkan pada sudut pandang biologis ataupun didaktis. Sehingga
para ahli mengembalikan masalah kejiwaan dalam kedudukan yang murni.
B. Faktor Kepedulian Orang Tua dalam Mengembangkan Mental
Anak
Orang Tua merupakan Pribadi yang menjadi panutan, contoh, atau
tauladan bagi seorang dalam kehidupannya sehari-hari. Orang tua juga pendidik
dan pembimbing pertama kali bagi anak sehingga ia dapat mengetahui apa yang ada
pada lingkungan sekitarnya. “Pengaruh Bimbingan orang tua terhadap
pembinaan kesehatan mental bagi anak sangatlah dibutuhkan. Tujuan
bimbingan orang tua terhadap kesehatan mental anak tersebut diantaranya
dapat mempunyai jiwa yang tenang, dan penanamkan sifat-sifat baik”[4].
Apabila pada setiap orang tua tidak ada
yang memberikan pembinaan mental, maka
anak tersebut selalu gelisah, terjadi kenakalan pada anak, dan sebagainya. Oleh
karena itu, pembinaan orang tua terhadap anak harus dapat diaplikasikaan
terhadap anak dari sejak dini agar
terjadi ketenangan jiwa dan juga keharmonisan.
Menurut teori tabularasa, seorang
anak dilahirkan dalam kondisi putih bersih laksana kertas. Melalui interaksi
dengan lingkungnnya seorang anak akan belajar hidup, baik interaksi melalui
mata terhadap setiap peristiwa yang
dilihatnya, melalui telinga berdasarkan suara yang didengar, juga melalui panca
indra lainnya. “Seseorang akan beraksi dan merespon, orangtualah yang akan
menentukan coretan/lukisan hidup seorang anak, khususnya terhadap perkembangan
kesehatan mental anak itu sendiri”[5].
Sehubungan dengan posisi orang tua sebagai
pembimbing, ada beberapa motivasi dasar baginya terhadap pendidikan anaknya,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya yang meliputi:[6]
1. Motivasi diri sendiri untuk cinta dan sayang pada anak,
cinta dan sayang ini akan menumbuhkan sikap rela dan menerima tanggungjawab
sebagai amanah dalam mengabdikan hidupnya untuk anak.
2. Motivasi
diri sendiri sebagai konsekuensi kedudukan orangtua terhadap keturunannya.
Konsekuensi ini meliputi tanggungjawab moral terhadap nilai religiusitas dan
kecerdasan serta kesehatan baik secara jasmaniah maupun rohaniah.
Kemudian selain dari motivasi itu, orangtua
juga harus memiliki karaktristik sehingga bimbingan tersebut dapat memberikan
pengaruh positif terhadap kesehatan mental anak yaitu diantaranya[7]:
a.
Menanamkan pandangan hidup beragama
b.
Orang tua harus memberikan tuntutan
kepada anak mengenai sikap peduli dan tanggung jawab
c.
Bertindak sebagai teladan bagi anak
dengan berpartisipasi dalam kelompok orang tua itu sendiri
Setelah orang tua sudah dibekali
motivasi dan karaktristik atau kpribadian yang ada pada dirinya maka juga harus
dibarengi dengan berbagai macam betuk bimbingan yang positif terhadap anak.
Adapun bentuk-betuk bimbingan
orang tua yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan anak adalah diantarnaya[8]:
a.
Orang tua harus bisa menjadi tokoh
yang diidolakan oleh anak-anak mereka,
b.
Orang tua harus bisa mengembangkan
dan melaksanakan kasih sayang afirmatif kepada anak-anak mereka,
c.
Orang tua dalam mengajarkan
anak-anaknya harus disertai dengan teladan,
d.
Orang tua harus melibatkan diri
dalam proses belajar anak,
e.
Orang tua harus mengajarkan
pentingnya kejujuran kepada anak-anak mereka,
f.
Orang tua harus mengajarkan ank-anak
mereka cara mengendalikan emosi,
g.
Orang tua harus bertindak dengan
cepat untuk mengatasi jika anak-anak mereka sulit bergabung atau berinteraksi
dengan teman-teman sebaya,
h.
Orang tua harus melakukan suatu
perbutan yang bisa membuat anak bersikap.
Orang tua mempunyai posisi sebagai pemimpin
keluarga atau rumah tangga. Orang tua sebagai pembentuk pribadi utama dalam
kehidupan anak. “kepribadian orang tua, sikap dan tata cara hidup mereka
merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung yang dengan sendirinya
akan masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”[9].
Orang tua sebagai individu sekaligus anggota keluarga sangat berperan dalam
pembentukan pribadi anak, karena orang tua adalah panutan dan cermin yang
pertama kali mereka lihat dan mereka tiru sebelum mereka berpaling kepada
lingkungan sekitarnya.
Pada hakikatnya keluarga (orang tua) merupakan
temnpat pertama dan yang utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan
pembentukan kepribadian yang kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah.
Begitu pula halnya pendidikan agama harus dilakukan oleh orang tua sewaktu
kanak-kanak dengan membiasakannya pada akhlak dan tingkah laku yang diajarkan
agama. Keluarga merupakan basis segala segi yang berhubungan dengan pendidikan,
baik pendidikan rohani, sosial, fisik dan mental.
Di dalam upaya mengembangkan dan menuntun
pertumbuhan anak Orang tua mempunyai peran yang teramat penting. Di atas pundak
mereka berdua terletak tugas berat yang harus dijalankan sebagai satu tangung
jawab penting. Pendidikan agama yang mengajarkan orang harus hidup shaleh,
jujur dan bertanggung jawab harus dimulai dari lingkungan keluarga dalam hal
ini orang tua, orang tua memegang peranan yang tiada duanya.
Perkembangan agama dengan sendirinya sangat
bergantung pada penghayatan orang tua terhadap norma-norma kesusilaan dan agama
orang tua tersebut. Dalam artian anak bukan akan mengalami perkembangan
kesusilaan dan dan agama seperti yang diharapkan, dianjurkan atau diperintahkan
oleh orang tuanya, melainkan anak akan mengalami perkembangan itu menurut
bagimana orang tua berbuat tentang norma-norma kesusilaan dan agama. Anak tidak
akan bersungguh-sungguh melakukan sesuatu peraturan, kalau orang tua
melakukannya. Hal ini terjadi karena pada diri anak terdapat kesangsian akan
kebenaran dan keharusan untuk mematuhi peraturan tersebut.
Suatu pendidikan agama yang baik bisa membantu
untuk memberi batas-batas tertentu. Sesungguhnya mendidik bertujuan membimbing
manusia kearah kedewasaan supaya anak didik dapat memperoleh kesombangan antara
perasaan dan akal budinya serta dapat diwujudkan secara seimbang pula dalam
perbuatan konkret. Begitu pula pendidikan agama, bisa membawa anak kedalam alam
kedewasaan Iman yang seimbang antara rohani dan jasmani.
Apabila mereka sudah seimbang dalam dua aspek
ini, maka penghayatan agamanya pun berjalan harmonis antara doktrin agama
dengan penghayatan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Memang, sekarang ini
terdapat kecenderungan, bahwa pendidikan agama dalam keluarga kurang mendapat
perhatian. Orang tua kurang berperan dalam mengarahkan anaknya terhadap
pendidikan agama ini.
Anak-anak dibiarkan sendiri mencari dan
menghayati agamanya. Anak dibiarkan dan berkembang menjadi dewasa tanpa
dibekali pendidikan agama. Pengetahuan sekuler, pengetahuan keterampilan
ditekankan benar untuk dikuasai oleh anak-anak. Hal ini didasarkan anggapan
bahwa pendidikan semacam ini sangat penting sebagai bekal hidupnya kelak.
Pendidikan agama kurang praktis, bahkan sama sekali dianggap tidak perlu.
C.
Upaya yang
diLakukan Orang Tua dalam Membina Perkembangan Mental Anak menurut Perspektif
Psikologi
Usaha-usaha untuk mencegah gangguan kesehatan
mental yaitu melalui peran serta keluarga dengan selalu membimbing remaja.
Namun peran orangtua dalam membimbing remaja banyak yang salah dan tidak sesuai
maka harus di lakukan banyak penyuluhan di masyarakat oleh pemerintah. Program
kesehatan mental remaja ini dapat dilakukan melalui institusi-institusi formal
remaja, seperti sekolah, dan dapat pula melalui intervensi-intervensi lain
seperti program-program kemasyarakatan, atau program-program yang dibuat khusus
untuk kelompok remaja.
Dalam keseharian remaja juga harus berlatih
untuk melakukan dialog dengan diri sendiri dalam menghadapi setiap masalah,
bersikap positif dan optimistis, serta mampu mengembangkan harapan yang
realistis. Remaja juga harus mampu menafsirkan isyarat-isyarat sosial. Artinya,
mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku remaja dan melihat dampak perilaku
remaja, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dimana remaja berada.
Remaja juga harus dapat memilih langkah-langkah yang tepat dalam setiap
penyelesaian masalah yang remaja hadapi dengan mempertimbangkan resiko yang
akan terjadi. Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahan dari pendidikan
merupakan salah satu jalan yang paling strategis, karena bagi sebagaian besar
remaja bersekolah dengan para pendidikan, khususnya gurulah yang paling banyak
mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang
cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat
dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan
siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu
mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam
pekerjaan sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih
mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka
untuk bersaing dengan diri sendiri. Apabila ada ledakan kemarahan sebaiknya
kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang
bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas
baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat meminta bantuan kepada
petugas bimbingan penyuluhan.
Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya
memperhatikan pandangan orang lain dalam meningkatkan pandangan sendiri. Kita
hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisisus, berpendirian keras, dan
kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani
tidak sependapat dengannya. Pemberian tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa
tanggung jawab, belajar menimbang, memilih dan mengambil keputusan yang tepat
akan sangat menunjang bagi pembinaan kepribadiannya. Cara yang paling strategis
untuk ini adalah apabila para pendidik terutama para orang tua dan guru dapat
menampilkan pribadi-pribadinya yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai
pribadi idola para remaja.
Kesulitan dan persoalan yang muncul pada fase
remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu sendiri melainkan juga pada
orangtua, guru dan masyarakat. Dimana dapat kita lihat seringkali terjadi
pertentangan antara remaja dengan orangtua, remaja dengan guru bahkan dikalangan
remaja itu sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
keberadaan remaja yang ada di antara dua persimpangan fase perkembanganlah
(fase interim) yang membuat fase remaja penuh dengan kesukaran dan persoalan.
Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau
peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain seringkali mengalami gejolak
dan goncangan yang terkadang dapat berakibat buruk bahkan fatal (menyebabkan
kematian).
Namun,
pada dasarnya semua kesukaran dan persoalan yang muncul pada fase perkembangan
remaja ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan, jika orangtua, guru dan
masyarakat mampu memahami perkembangan jiwa, perkembangan kesehatan mental
remaja dan mampu meningkatkan kepercayaan diri remaja. Persoalan paling
signifikan yang sering dihadapi remaja sehari-hari sehingga menyulitkannya
untuk beradaptasi dengan lingkungannya adalah hubungan remaja dengan orang yang
lebih dewasa, terutama sang ayah, dan perjuangannya secara bertahap untuk bisa
membebaskan diri dari dominasi mereka pada level orang-orang dewasa. Seringkali
orangtua mencampuri urusan-urusan pribadi anaknya yang sudah remaja dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, “Dimana kamu semalam”,
“Dengan siapa kamu pergi”, “Apa yang kamu tonton” dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya ditujukan oleh orangtua adalah
karena kepedulian orangtua terhadap keberadaan dan keselamatan anak remajanya.
Namun ditelinga dan dipersepsi anak pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti
introgasi seorang polisi terhadap seorang criminal yang berhasil ditangkap.
Menurut pandangan para ahli psikologi “keluarga
atau orangtua yang baik adalah orangtua yang mampu memperkenalkan kebutuhan
remaja berikut tantangan-tantangannya untuk bisa bebas kemudian membantu dan
mensupportnya secara maksimal dan memberikan kesempatan serta sarana-sarana
yang mengarah kepada kebebasan”[10].
Selain itu remaja juga diberi dorongan untuk memikul tanggung jawab, mengambil
keputusan, dan merencanakan masa depannya. Namun, proses pemahaman ini tidak
terjadi secara cepat, perlu kesabaran dan ketulusan orangtua di dalam
membimbing dan mengarahkan anak remajanya.
Selanjutnya para pakar psikologi menyarankan
strategi yang paling bagus dan cocok dengan remaja adalah strategi menghormati
kecenderungannya untuk bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian orangtua
kepada mereka. “Strategi ini selain dapat menciptakan iklim kepercayaan antara
orangtua dan anak, dapat juga mengajarkan adaptasi atau penyesuaian diri yang
sehat pada remaja. Hal ini sangat membantu perkembangan, kematangan, dan
keseimbangan jiwa remaja”[11].
D.
Kendala-Kendala
yang dihadapi Orang Tua dalam Meningkatkan Perkembangan Mental Anak Menurut
Perspektif Psikologis
Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khusus bagi
orangtua. Sebab, proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka
pada masa mendatang. Jika
perkembangan anak luput dari perhatian orangtua (tanpa arahan dan pendampingan
orangtua), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan yang hadir dan
menghampiri mereka. Dan kelak, orangtua juga yang akan mengalami penyesalan
yang mendalam.
Dampak negatif dari perkembangan anak yang kurang
perhatian dari orang tuanya adalah anak menjadi nakal dan susah diatur. Dan
dampak lain yang ditimbulkan adalah perusakan moral yang dialami anak yang
kemungkinan diakibatkan dari salah bergaul dan berteman. Dan akhirnya,
anak-anak inilah yang membawa dampak buruk bagi teman-temannya. Salah satu perusakan atau penurunan moral yang dialami
anak-anak pada saat ini adalah dengan melihat video yang seharusnya belum
pantas ditonton pada usianya. Perilaku negatif ini juga disebabkan dari
perkembangan teknologi khususnya internet. Yang akibatnya, akan menurunkan
prestasi belajar anak disekolah.
Kreativitas merupakan faktor penentu keberbakatan di
samping tingkat kecerdasan di atas rata-rata. ‘Namun, Amabile mengatakan bahwa
lingkungan yang menghambat dapat merusak motivasi anak, betapa kuat pun, dan
dengan demikian mematikan kreativitas’. Masalahnya ialah bahwa dalam upaya
membantu anak merealisasikan potensinya, sering kita menggunakan cara paksaan
agar mereka belajar. Penggunaan paksaan atau kekerasan tidak saja berarti bahwa
kita mengancam dengan hukuman atau memaksakan aturan-aturan, tetapi juga bila
kita memberikan hadiah atau pujian secara berlebih. Amabile mengemukakan empat
cara yang mematikan kreativitas, yaitu[12]:
1. Evaluasi
Rogers menekankan salah satu syarat untuk memupuk
kreativitas konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau
paling tidak menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi.
Bahkan menduga akan dievaluasi pun dapat mengurangi kreativitas anak. Selain
itu kritik atau penilaian sepositif apapun meskipun berupa pujian dapat membuat
anak kurang kreatif, jika pujian itu memusatkan perhatian pada harapan akan
dinilai.
2. Hadiah
Kebanyakan orang percaya bahwa memberi hadiah akan
memperbaiki atau meningkatkan perilaku tersebut. Ternyata tidak demikian.
Pemberian hadiah dapat merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.
3. Persaingan (Kompetisi)
Kompetisi lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau
hadiah secara tersendiri, karena kompetisi meliputi keduanya. Biasanya
persaingan terjadi apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai
terhadap pekerjaan siswa lain da bahwa yang terbaik akan menerima hadiah. Hal
ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan
kreativitas.
4. Lingkungan yang Membatasi
Albert Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak
dapat ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman
mengikuti sekolah yang sangat menekankan pada disiplin dan hafalan semata-mata.
Ia selalu diberitahu apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan
pada ujian harus dapat mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat
menyakitkan dan menghilangkan minatnya terhadap ilmu, meskipun hanya utnuk
sementara. Padahal, sewaktu baru berumur lima tahun ia amat tertarik untuk
belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas kepadanya. Contoh ini menunjukkan
bahwa jika berpikir dan belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat
membatasi, minat dan motivasi intrinsik dapat dirusak. Adapun yang dihadapi
orang tua dalam meningkatkan perkembangan mental anak menurut perspektif psikologis
adalah sebagai berikut:
1. Kendala dari Sosialisasi
Apa yang harus dilakukan pendidik? Cara-cara baku yang
begitu lama diandalkan dalam mendidik dan mengajar anak melalui evaluasi,
hadiah, kompetisi dan membatasi pilihan, dalam kenyataan dapat merusak
kreativitas. Jika hal itu ditiadakan, bagaimana kita dapat berhasil dalam
menyosialisasikan anak menjadi orang yang dalam tingkah lakunya sopan,
bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya ialah bahwa seorang pendidik harus bertindak
secara seimbang. Anak memerlukan pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam
lingkungan yang stabil dan andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka
merasa seakan-akan apapun yang mereka lakukan adalah karena diharuskan.
‘Amabile mengemukakan bahwa “pendidik perlu mentukan batas-batas terhadap
perilaku anak didiknya tetapi sedemikian bahwa mereka dapat mempertahankan
motivasi intrinsik mereka”[13].
Namun yang membuat perbedaan bukanlah semata-mata apakah
anak diberi pembatasan atau tidak, tetapi bagaimana pembatasan ini diberikan.
Jika anak merasa diawasi, maka motivasi dan kreativitas akan terhambat. Tetapi
jika pembatasan diberikan sedemikian, anak merasa mereka sendiri ingin
berperilaku sebagaimana diharapkan, maka tidak perlu ada dampak penghambat
terhadap motivasi dan kreativitas. Dampak penghambat kreativitas berupa
pemberian penilaian dan hadiah agaknya bergantung dari bagaimana hal itu
diberikan.
2. Kendala dari Rumah
Tidak jarang karena keinginan orangtua membantu anak
berprestasi sebaik mungkin, meraka mendorong anak dalam bidang-bidang yang
tidak diminati anak. Akibatnya ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik
menurut ukuran standar, mencapai nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi
mereka tidak menyukai kegiatan tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu
yang betul-betul kreatif.
Menurut Utami Munandar “lingkungan keluarga dapat pula
menghambat kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat
“pembunuh kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau
lingkungan yang terbatas”[14].
3. Kendala dari Sekolah
a) Sikap Guru
Dalam suatu studi, tingkat motivasi intrinsik siswa
renda, jika guru terlalu banyak mengontrol, dan lebih tinggi jika guru
memberikan lebih banyak otonomi. Beberapa studi menunjukkan Pygmalion Effect,
yaitu bahwa tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang
lain mengharapkan ia berperilaku. Guru-guru sekolah dasar diberitahu bahwa
anak-anak tertentu di dalam kelas akan menunjukkan “kemajuan yang luar biasa”
dalam kinerja intelektual selama tahun pelajaran. Dalam kenyataan, nama
siswa-siswa tersebut dipilih secara acak oleh peneliti. Yang mengejutkan ialah
bahwa pada akhir tahun siswa-siswi tersebut betul-betul memperlihatkan kemajuan
intelektual. Kemudian, peneliti menemukan bahwa kemajuan juga terjadi jika guru
mengharapkan siswa meningkat dalam kreativitas.
Menurut Chaplin, harapan guru secara sadar atau tidak
sadar dikomunikasikan kepada siswa, dan konsep diri serta harapan diri siswa
dibentuk oleh umpan balik dari guru. “Pygmalion Effect ini juga disebut
self-fulfilling prophesy, yaitu penemuan bahwa tanpa disadari orang berperilaku
sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku”[15].
b) Belajar dengan Hafalan Mekanis
Pada dasawarsa 1960-an pendukung gerakan “kelas terbuka”
(open classroom) menekankan bahwa metodependidikan tradisional, termasuk
menghafal secara mekanis menghambat kreativitas”[16].
Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu banyak pengetahuan merusak
kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan “back to basics” menyatakan
bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan
pengetahuan dasar.
Agaknya kedua pandangan tersebut mempunyai segi benarnya.
Tidak mungkin bahwa seseorang mempunyai terlalu banyak pengetahuan untuk dapat
menjadi kreatif. Peningkatan dalam bidang pengetahuan tertentu akan
meningkatkan kesempatan untuk menemukan kombinasi gagasan baru. Namun, mungkin
saja bahwa kreativitas menjadi lumpuh jika pengetahuan dihimpun dengan cara
yang keliru.
Salah satu cara yang salah untuk menghimpun pengetahuan
adalah dengan belajar secara mekanis, mengahafal fakta tanpa pemahaman
bagaimana hubungan antara fakta tersebut. Pengetahuan seperti itu dapat berguna
untuk memperoleh nilai tinggi pada tes pilihan ganda, tetapi akan kurang
berguna untuk menghasilkan karya kreatif.
c) Kegagalan
Semua siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam
pendidikan meraka, tetapi frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu
ditafsirkan mempunyai dampak nyata terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga
tidak perlu dihindari, karena kita dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan.
Bedanya ialah dalam cara guru membantu siswa memahami dan menafsirkan
kegagalan.
d) Tekanan akan Konformitas
Bukan guru saja yang dapat mematikan krativitas di
sekolah. Anak-anak dapat saling menghambat kreativitas mereka dengan menekankan
konformitas. Dampak dari tekanan teman sebaya nyata jika kita melihat gaya
berpakaian ana, dan hiburan atau kegiatan waktu luang yang disukai. Pada umur
sekitar sembilan tahun tekanan akan konformitas oleh teman sebaya dapat
menghambat kreativitas anak. Penemuan bahwa kreativitas cenderung menurun pada
tingkat kelas empat agaknya berkaitan langsung dengan teman sebaya. Padahal
justru potensi kreatif itu dalam perwujudannya mencerminkan keunkan seseorang.
Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi dirinya”.
e) “Sistem” Sekolah
Lebih sering orang-orang yang sangat kreatif mempunyai
kesulitan di sekolah karena menurut guru “mereka terlalu kreatif’. Bagi anak
yang memiliki minat-minat khusus dan tingkat kreativitas yang tinggi, sekolah
bisa sangat membosankan. Salah satu ciri anak berbakat kreatif ialah merasa
bosan dengan tugas-tugas rutin.
Dalam tulisannya, Boredom memberikan saran-saran
bagaimana mengatasi rasa bosan anak berbakat di sekolah. Dari penelitiannya ia
memperoleh hasil, bahwa kebosanan dapat timbul karena cara-cara belajar yang
tidak tepat. Cara terbaik untuk menghindari menurunnya minat dan timbulnya
kebosanan ialah dengan meningkatkan motivasi intrinsik. Bagi siswa berbakat
pembelajaran harus menantang, dengan memberikan kepada mereka bahan pelajaran
yang lebih majemuk dan merangsang. Mempertimbangkan minat khusus anak dan gaya
belajarnya merupakan cara yang efektif untuk melibatkan siswa secara aktif
dalam belajar. Pendekatan yang fleksibel dalam mengajar penting untuk
meningkatkan kompetensi anak.
[5] B.
Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 108.
[6] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal.11-12:
[10]
Haditono, Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1998), hal. 39.