Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Pendidikan menurut Oemar Muhammad Al-Syaibani


BAB TIGA
PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS PENGEMBANGAN
MENTAL ANAK


A. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik yang artinya ”Memelihara, memberi latihan, dan pimpinan, kemudian kata didik itu mendapat awalan pe- akhiran- an sehingga menjadi pendidikan yang artinya perbuatan mendidik.”17
            Oemar Muhammad Al-Syaibani dalam buku ”Filsafat Pendidikan” mengemukakan bahwa ”Pendidikan adalah usaha-usaha untuk membina pribadi muslim yang terdapat pada pengembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial.”18
Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”19
            Menurut  Soegarda Poerbakawatja pendidikan ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untku mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda.20 Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani”
            Dari pengertian di atas maka yang penulis maksudkan dengan pendidikan adalah suatu usaha membimbing dan membina pribadi muslim baik jasmani ataupun rohani menuju terbentuknya akhlak yang mulia.
B. Pendidikan Agama

            Pendidikan agama erat kaitannya dengan pembinaan akhlak, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama, sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik. Para filosof pendidikan Islam sepakat bahwa pembinaan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa :
            “Maksud dari pendidikan dan pengajaran bukan hanya memberikan segala             ilmu yang belum ketahui oleh anak, akan tetapi maksudnya ialah untuk             memberikan pendidikan akhlak dan mendidik jiwa mereka dengan cara             menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), memberikan kebiasaan-kebiasaan             agar mereka berlaku sopan, dan mempersiapkan mereka untuk dapat          menjalani kehidupan yang suci dengan keikhlasan dan kejujuran.”21

            Memberikan pembinaan akhlak dan berusaha untuk menumbuhkan keinginan untuk melakukan kebajikan dalam hidup seseorang memang diperlukan dalam pendidikan agama, sebab untuk mencapai nilai-nilai kebajikan itu sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pendidikan akhlak yang kedudukannya sangat mulia bagi umat Islam. Akhlak merupakan cerminan kepribadian, juga merupakan benteng yang dapat menahan masuknya faham-faham atau ajaran-ajaran yang tidak baik dalam kehidupan modern. Terbinanya akhlak merupakan suatu jalan untuk melakukan kebajikan, sehingga menyadari akan kewajibannya.
            Setiap individu mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda tentang suatu hal. Semua kembali kepada bagaimana cara dan dari sudut mana ia menilai. Seseorang dapat menilai dan memberikan pendapat dan pandangan pada hal-hal yang ia ketahui. Begitu pula dengan pendidikan agama, akan tetapi mereka memiliki perbedaan pendapat tentang pendidikan agama, hal itu dapat terlihat dari bagaimana cara tingkah laku dan mendidik keluarga. Sebagian mereka khususnya para orang tua berpendapat bahwa pendidikan agama penting bagi keluarganya. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa pendidikan agama tidak penting bagi keluarganya.”22
            Orang tua yang berpendapat bahwa pendidikan agama penting bagi keluarganya, ia akan bersikap positif terhadap agama. Sikap positif ini akan terlihat dari tingkahlaku sehari-hari, apakah ia mengamalkan ajaran-ajaran agama dan bagaimana ia mendidik keluarganya. Begitu pula sebaliknya orang tua yang berpendapat bahwa pendidikan agama tidak penting bagi keluarganya ia akan bersikap negatif terhadap agama dan cenderung bertingkah laku, berfikir dan cara mendidik keluarganya tidak sesuai dengan syariat agama. Orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak haruslah berusaha keras untuk membimbing dan menjadikan perangai atau sikap yang baik sebagai watak anak-anak mereka.
Menurut pendapat para ahli jiwa mengatakan bahwa yang mengendalikan kelakuan tindakan seseorang adalah kepribadiannya.
            Banyak metode yang dilakukan oleh orang tua dalam melaksanakan pembinaan agama anak. Pertama-pertama harus dimulai dari orang tua sebagai pendidik ia harus berusaha untuk memberikan contoh yang baik kepada anak, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Membiasakan anak untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan syariat agama. Melatih mereka untuk melaksanakan puasa Ramadhan secara bertahap, kemudian orang tua dapat mengajarkan bagaimana bertingkah laku dan berbicara dengan orang yang lebih tua.
            Memperhatikan pergaulan anak, karena lingkungan juga dapat mempengaruhi perkembangan akhlak anak. Banyak juga orang tua yang mengalami kesulitan dalam menjalankan pembinaan akhlak anak. Mereka sudah berusaha keras untuk bertingkahlaku dan memberikan contoh yang benar, sesuai dengan norma-norma agama, menyekolahkan ke sekolah-sekolah agama.”23
            Namun mereka berakhlak tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, bahkan apabila mereka memberikan peringatan atas kesalahan anak-anaknya, si anak akan mengabaikan peringatan tersebut. Namun sebagian orang tua ada yang melalaikan kepentingan pembinaan akhlak ataupun budi pekerti anak-anak mereka, dan menganggap sepele hal tersebut.

            Dalam konsep Islam, Iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisasikan dalam bentuk amal shaleh, sehingga nenghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut taqwa. Amal saleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar. Kualitas amal saleh akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi rohani/iman) seseorang dihadapan Allah SWT.
            Di dalam GBPP PAI di Sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
            Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu berikut ini:
1.     Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
2.     Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Agama Islam.
3.     Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang melaukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap para peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
4.     Kegiatan (pembelajaran) pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial.24
            Usaha pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah diharapkan agar mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga pendidikan agama Islam diharapkan jangan sampai: Menumbuhkan semangat fanatisme; , Menumbuhkan sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; dan Memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional (Menteri Agama RI, 1996). Walhasil pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-‘ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
            Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik, dalam arti masyarakat yang serba plural, baik dalam agama, ras, etnis, budaya dan sebagainya, pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas tersebut. Sungguhpun masyarakat berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melaui keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia.
            Urgensi Pendidikan Agama Islam tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk “meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :
1.     Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
2.     Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual)
3.     Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan Ajaran Islam.
4.     Dimensi pengamalanya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakan, mengamalkan, dam menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Tugas Guru Pendidikan Agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar dan/atau melatih siswa agar dapat:
1.     Meningkatkan keimanan dan ketaqwaanya kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2.     Menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkanya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri daan dapat pula bermanfaat bagi orang lain.
3.     Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahanya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4.     Menangkal dan mencegah pengaruh negative dari kepercayaan, paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan siswa.
5.     Menyesuaikan diri dengan lingkunganya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam.
6.     Menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
7.     Mampu memahami, mengilmui pengetahuan agama Islam secara menyeluruh sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.



17 Hobby, Kamus Populer, Cet.XV, (Jakarta: Central,  2000 ), hal 28
18 Oemar Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ,terj. Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang,  2003 ), hal.44.
19 HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2000) hal. 12
               20 Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 2001) hal. 257
            21 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, , (Jakarta Logos Wacana Ilmu, 2008).hal.60

               22 Ismail SM dan Abdul Mukti (ed.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2000).hal 23

               23 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2001).hal.67

            24 Musa Asy’rie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran,(Yogyakarta, LESFI, 2002).hal.33