Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kewalian dalam Islam


BAB II
KEWALIAN DAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH


A. Kewalian dalam Islam
Wali adalah salah satu dari sekian banyak konsep di dalam Islam. Mereka adalah orang-orang yang dekat kepada Allah dan merupakan orang yang dikasihi oleh-Nya. Oleh karena itu seorang wali memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Namun demikian, sejak zaman dahulu hingga saat ini, banyak oknum yang menipu masyarakat awam dengan berpura-pura menjadi wali, dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pragmatis tertentu. Dalam hal ini, al-Qur�an dengan sangat jelas menyatakan bahwa yang disebut dengan wali Allah adalah orang-orang yang selalu beriman, dan bertakwa kepada Allah Swt. Allah berfirman tentang para wali Allah dalam al-Qur�an surat yunus ayat 62-64 yang berbunyi:
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran   terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.Pada dasarnya kewalian adalah tugas yang bersifat ilahiyah (wazifah ilahiyah). Mereka adalah orang-orang yang mencerminkan kepribadian kenabian dalam segala hal yang didelegasikan Allah kepada mereka.[1]Para wali Allah selalu bertekad supaya amal ibadah mereka jangan sampai ada kekurangannya baik dalam gambaran fisikibadah, apalagi dalam gambaran niat dan ikhlas bagi ibadah yang dikerjakannya.[2]

Ayat ini menjelaskan pengetahuan Allah Swt yang menyeluruh, setelah sebelumnya menjelaskan bahwa ada manusia durhaka dan ada juga yang taat, di jelaskan pula bahwa Allah Swt menganugerahkan aneka karunia kepada manusia di dunia kini seakan-akan ada yang bertanya bagaimana kesudahan mereka yang taat dan durhaka di akhirat kelak. ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan yakni keresahan hati atas mereka menyangkut sesuatu di masa datang dan tidak pula mereka dari saat ke saat bersedih hati menyangkut sesuatu yang terjadi pada masa lampau.[3]
Para wali Allah Swt. adalah orang-orang yang telah beriman yakni yang percaya secara bersinambung tanpa di selingi oleh keraguaan dan mereka sejak dahulu hingga kini, selalu bertaqwa yakni yang berbuah keimanan mereka dengan amal-amal saleh sehingga mereka terhindar dari ancaman siksa Allah Swt.[4]Kedekatan Allah kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang menyeluruh tentang mereka dapat juga di samping itu dalam arti cinta, pembelaan dan bantuan-Nya dan memberikan perlindungan dan rahmatnya adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepada-Nya.
Tahap pertama yang harus menghiasi jiwanya adalah iradah atau kehendak yakni munculnya hastrat dan keinginannya yang kuat untuk berpegang teguh pada jalan yang membimbing kepada kebenaran, iradah adalah gejolak api cinta, bila api ini di sulut dalam kalbu manusia akan menanggapinya seruan kebenaran. Kedekatan kepada Allah baru tercapai apabila kalbu telah dipenuhi oleh cahaya makrifah Ilahi, sehingga ketika itu apabila seorang wali Allah melihat maka seseorang tersebut melihat bukti-bukti kebenaran, dan apabila bergerak, maka geraknya adalah untuk memperjuangkan agama-Nya dan apabila seseorang itu bersungguh-sungguh maka kesungguhannya dalam ketaatan kepada Allah ketika itulah menjadi dekat dengan Allah, dan seseorang itu menjadi wali Allah.[5]
Seorang wali harus memegang teguh kepada perintah Allah, dan menjauhkan segala hal yang tidak disukai Allah,  wali merupakan orang pengikut Nabi, jadi jelas bahwa wali harus menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela. Dalam Islam kewalian berpegang teguh kepada syariat, dan menyibukkan dirinya untuk menghadap Allah dengan beragam amal hingga mengantarkannya menjadi seorang wali yang sejati. Kewalian hanya ditunjukkan oleh konsistensi pencurahan seluruh energi untuk mengikuti Nabi. Jadi, barang siapa yang mencurahkan dirinya untuk mengikuti sunnah maka kita bisa menyebutkannya sebagai wali Allah.[6]
Dalam menempuh jalan rohani, manusia harus mencurahkan seluruh kemampuan dirinya.[7]Setiap wali itu merupakan orang-orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sehingga menjadi seorang sufi, seorang wali harus bisa melawan hawa nafsu, karena hawa nafsu itu merupakan kecenderungan jiwa yang salah.[8]
1.     Pengertian Kewalian
Kewalian merupakan orang-orang yang keimanan dan ketakwaannya mencapai jenjang yang baik.[9]Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, Istilah tasawuf maknanya bisa dekat, dan bisajuga kekasih, bisa berarti bimbingan atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali adalah orang yang dekat dengan Allah Swt. Karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah Swt. Karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasihnya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Konsep kewalian bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Pemahaman tentang wali apabila digabungkan mengarahkan pada satu pengertian bahwa wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarrub(mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman dan bertaqwa disebut dengan wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah Nabi, dan yang paling utama diantara Nabi adalah para Rasul, yang paling utama dari para Rasul adalah �Ulul Azmi� dan yang terlebih utama Dari �Ulul Azmi� adalah Nabi Muhammad. Maka para wali Allah tersebut memiliki tingkatan yang berbeda dalam mendekatkan dirinya kepada Allah.
Menurut Ibnu Arabi, kata wali jamaknya awliaya� yang mempunyai makna kedekatan atau sentuhan, yang pada gilirannya membawa kepada dua makna yang lebih dalam yaitu; pertama, berarti menjadi seorang teman. Kedua, mengarahkan, mengatur dan mewakili. Karena itu,wali adalah teman seseorang yang dekat.[10]
2.     Ciri-ciri Kewalian
Beragam pandangan telah mewarnai tentang kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti seseorang tersebut  telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersandal cepit berarti seseorang itu adalah  wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang kewalian.
Sedangkan ciri dari pada wali Allah itu bukan seperti yang dijelaskan di atas. Ciri-ciri kewalian yaitu yang pertama, beriman artinya keimanan yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan, keimanan tersebut tidak hanya sekadar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada takwa. Maka orang yang tidak mengucapkannya atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan termaksud dalam wali Allah seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah atau menganggap bahwa hukum selain Islam atau berpendapat semua agama adalah benar, atau berkenyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat.
Kedua yaitu takwa, yang merupakan seseorang bergantung diri kepada Allah, dan meninggalkan semua masalah yang meragukan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang (haram), dan merupakan suatu kepatuhan terhadap Allah.[11] Yang artinya seseorang melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah melakukan hal-hal yang diwajibkan agama. Di tambahkan lagi dengan amalan-amalan sunnah. Oleh sebab itu, jika orang yang mengaku sebagai wali, tetapi seseorang itumeninggalkan Perintah Allah, maka seseorang termasuk pada jenis wali setan, atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah Rasulullah dan para sahabatnya contohkan.
Ketiga, ikhlas dalam beribadah, tidak menciptakan tawassul(perantara) dalam beribadah dan berdoa kepada Allah, ikhlas pula menjalankan agama Allah. Banyak sekali motivasi yang mendorong seseorang untuk beraktifikasi, berkarya secara maksimal, bahkan seseorang sanggup untuk menanggung rasa payah dan juga rela berkorban. Di antara motivasi tersebut adalah hasil yang segera bisa menikmati setelah bekerja atau sebuah cita-cita yang terpendam dalam jiwa. Namun bisa saja harapan maupun angan yang telah di banyangkan tidak berhasil diraih oleh seseorang setelah itu seseorang bekerja keras dan berkarya sebagus mungkin. Instink manusia secara umum merupakan perilaku yang biasa dilakukan setiap orang secara naluriah. Di antara contoh instink manusia yang paling mudah dijumpai pada setiap orang yang ada dihadapanmu adalah rasa cinta kepada diri sendiri,  ingin mencari keselamatan, ingin mendapatkan harta, cenderung untuk sombong,  atau ingin bisa populer di kalangan komunitasnya.[12]
Islam sangat perhatian pada aktivitas manusia yang sangat erat hubungan dengan niat yang tidak jarang dicampuri dengan unsur emosi maupun ambisi. Nilai sebuah amal perbuatan menurut islam sangat tergantung pada faktor penggeraknya. Sering kita menjumpai seseorang memberikan sumbangan dalam jumlah yang banyak. Namun pemberian sebanyak itu disumbangkan hanya untuk menarik simpati massa, dan itu merupakan suatu pemberian yang tidak ikhlas.[13]Keikhlasan terkandung dalam semua perbuatan yang terpuji seseorang dimulai dengan penerimaan dan diakhiri dengan kesukaan Allah. Oleh karena itu, orang yang tindakan-tindakannya diterima oleh Allah dan yang kepadanya Allah merasa senang adalah orang yang tulus meskipun perbuatan yang dilakukannya hanya sedikit.[14]Ketika seseorang melakukan suatu tindakan pasti hal itu digerakkan oleh berbagai faktor, mungkin kebutuhan terhadap sesuatu seperti makanan, minuman, dan lain-lainnya yang dianggap dapat memberikan manfaat dan kenyamanan hidupnya.[15] yakni Islam serta sesuai dengan yang tertuang dalam al-Qur�an.
Keempat, tidak menjadikan musuh Allah dan musuh Islam, yakni orang kafir, sebagai teman setia, penolong dan pelindung, apapun agama mereka, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang diluar dan tidak pula mencintai mereka. Dengan kata lain, tidak berkolaborasi atau berkoalisi dengan orang kafir dalam menjalankan dan menegakkan agama Allah, khususnya jika landasan kolaborasi itu bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam, baik secara akidah maupun syari�ah.
Kelima, memberikan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman dan tidak memberikan loyalitas itu kepada orang kafir dan menjadikan mereka sebagai penolong, apapun agama mereka. Allah menjelaskan  dalam surat al-Maidah ayat 55-57 yang berbunyi:
$uKR) N3??9ur !$# &!q?u?ur t%!$#ur (#qZtB#u t%!$# tbqJ?)? no4qn=9$# tbq?s?ur no4qx.?9$# Ndur tbq.u? `tBur AuqtGt? !$# &s!q?u?ur t%!$#ur (#qZtB#u b*s z>?m !$# Od tbq7=t9$# $pk??r't? t%!$# (#qZtB#u ?w (#r??Gs? t%!$# (#r?s?B$# O3uZ?? #Yr?d $Y6s9ur z`iB ?%!$# (#q?r& |=tG39$# `B O3=6s% u?$39$#ur u!$u?9rr& 4(#q)?$#ur !$# b) LY. tZBs?B
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman, yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.�
  Ayat di atas dijelaskan siapa yang seharusnya dijadikan wali bagi orang-orang beriman, penjelasan ini dikukuhkan dengan kata sesungguhnya wali kamu tidak lain hanyalah Allah, karena hanya dia yang dapat menolong dan membela, selain-Nya tidak akan mampu jika bukan atas izinnya. Setelah menyebutkan wali yang pokok, ayat ini menyebutkan sesudah beliau adalah orang-orang yang beriman yang terbukti ketulusan iman mereka, yaitu mereka yang mendirikan shalat pada waktunya secara benar dan bersinambung dan menunaikan zakat dengan tulus lagi sempurna seraya mereka bersujud kepada Allah.[16]
Mereka melaksanakan tuntunan-tuntunan Allah atau menunaikan zakat dan sedekah sedang mereka dalam keadaan butuh dan mereka itulah yang harus dijadikan aulanya oleh orang-orang yang beriman sebagai wali Allah. Wali yang ditunjukan adalah Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman, ini menunjukkan bahwa yang pokok sebagai sumber dari segala perwalian hanya satu, yaitu Allah Swt. Selainnya tidak ada selanjutnya disebutkan Rasul dan orang-orang beriman, tetapi bukan sebagai sumber dan pokok, karena mereka juga pada hakikatnya menjadikan Allah Swt sebagai wali.[17]
3.     Syarat menjadi waliyullah
Kata wali mempunyai dua makna, yang pertama, berasal dari bentuk fa�iil(subyek) dalam pengertian maf�ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah  Swt. sebagaimana telah difirmankan Allah Swt. dalam surat al-Araf ayat 196 yang berbunyi:
b) }?d9ur !$# ?%!$# tA?tR |=tG39$# (uqdur ?<uqtGt? ts=9$#
Artinya: Sesungguhnya Pelindungku ialahlah yang Telah menurunkan al Kitab (al-Qur�an) dan dia melindungi orang-orang yang saleh.

Arti yang kedua berasal dari bentuk fa�iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari fa�iil. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadah kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah Swt. atas dirinya sepenuhnya, di samping perlindungan Allah Swt. padanya, disaat senang maupun susah.
Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan akan Allah bela, akan diampunkan dosanya, amal ibadahnya akan diterima, akan memberi bantuan dari-Nya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, dan seseorang itu tidak boleh menuduh orang itu kafir.akan tetapi seseorang yangtermasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu seseorang bertaqwa.
Setelah  menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di akhirat, barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah, pintu rezeki akan terbuka tidak tahu dari mana datang dan sumbernya, mudahkan kerja-kerjanya. Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh.
Diantara syarat-syarat menjadi wali itu yaitu:
1.     Mendapatkan petunjuk dari Allah
Modal utamanya merupakan kearah ketaqwaan, yaitu Allah memberikan hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dan seseorang itu  senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun seseorang itu tidak tahu apa itu Islam.[18]
2.     Yakin
Yakin merupakan suatu keadaan dimana hati tidak lagi terombang-ambing dan tidak pula berubah-ubah. Manakala iman sudah sampai pada taraf yakin, maka tidak akan pernah goyah, atau berubah-ubah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa yakin adalah iman, tetapi iman belum tentu yakin. Sebab iman sendiri dapat bertambah dan berkurang sesuai dengan amal shaleh yang dikerjakannya.[19]
Apa saja ilmu yang  diketahui dan difahami perlu seseorang itu yakini terutamanya dalam persoalan aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu seseorang  belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam.
3.     Istiqamah Beramal
Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah, dan harus meninggalkan maksiat. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak, kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak.  Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus.
4.     Ada Pemimpin yang Memimpin (Guru Mursyid)
Dapat memimpin baik dibidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah. Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan mursyidun maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua�lim juga tidak sama dengan ustad dan guru. Sebab mua�lim itu hanya memberikan ilmu, mereka hanya memandang luarnya saja, tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberikannya kepadanya ilmu-ilmu yang luar biasa, yaitu ilmu lahir dan batin, bukan saja dia dapat memimpin akal tetapi juga hati (roh). Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Oleh sebab itu sebagaimana alimnya seseorang itu dia mesti mempunyai seorang pemimpin.
5.     Berdoa Kepada Allah
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Dengan kita berdoa dan berusaha, hiduppun menjadi tentram, dan aman. Dan Allah senantiasa selalu bersama dengan orang-orang yang selalu berdoa kepadanya, dan orang tersebut selalu merendahkan dirinya dihadapan Allah. Dan selalu berada didalam jalan yang baik dan benar. Dan mendapatkan ridha dari Allah Swt.
B.    Tarekat Naqsyabandiyah
Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berkembang pesat di Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Tarekat naqsyabandiyah merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya, berbeda dengan tarekat lain tarekat naqsyabandiyah tidak hanya menyeru kepada lapisan social tertentu saja. Para pengikutnyaa berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pendesaan, di kota-kota kecil serta juga di kota-kota besar dan dari semua kelompok profesi.[20]
1.     Pengertian Tarekat
Asal kata tarekat dalam bahasa Arab adalah thariqah yang berarti jalan keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[21]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqahmenarik perhatian kaum sufi dan mereka menjadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Harun Nasution berpendapat bahwa, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dala tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti sebagai organisasi (tarekat). Tiap thariqah mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri[22]
Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan paduan yang khas dari dokrin, metode, dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu kepada organisasi yang manyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah thariqah terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, di Indonesia kata tarekat mengacu kepada keduanya.[23]
2.     Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Ilmu tasawuf yang didalamnya membicarakan bahwa istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang Syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang Syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam,seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[24] Di dalam tarekat yang sudah melembaga, tarekat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, zakat, puasa, jihad, haji dan lain-lain, ditambah pengalaman serta seorang Syekh. Akan tetapi semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang Syekh melalui bai�at.[25]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru atau Syekh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahannya mendekatkan diri kepada Allah.
3.     Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha�al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. al-Bukhari Nasyabandi berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Al- Bukharimendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah al-bukharilahir segera dibawa oleh Ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Al- Bukhari  belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun.
Kemudian al-Bukharibelajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah al-Bukhari pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkiraniselama sekitar satu tahun. Al- Bukhari pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748/1347 M, al- Bukhari pergi ke Ziwartun. Disana al-Bukhari mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuan tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[26]
Sebagaimana tersebut dibawah ini:
�Tatkala Syekh Muhammad al-Samasi meninggal dunia, aku dibawa nenekku ke Samarkand, disitu aku dipertemukannya dengan seorang alim lagi sholeh, meminta restu semoga aku didoakannya. Keberkatannya Alhamdulillah sudah kuperoleh. Kemudian aku dibawanya ke Bukhara dan mengawinkanku dengan seorang wanita. Namun aku tetap bermukim di Qashrul�Arifah. Aku mendapat khabar bahwa Syekh Muhammad Baba al-Samasi telah memesankan kepada Sayyid Kulal supaya mengajari dan mendidikku dengan baik. Sayyid Kulal berjanji akan memenuhi amanah itu dengan menegaskan jika pesan itu tidak dilaksanakan maka ia bukanlah seorang laki-laki. Dan ternyata janjinya itu dipenuhi.[27]

Pendidikan Baha�al Din Naqsyabandi dari kedua guru utamanya yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuat al bukhari mendapatkan mandate yang cukup sebagai pewaris tradisi Khawajagan. Khawajagan mempopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Walaupun al- bukhari mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan bangsawan, namun  al-bukhari membatasi dirinya dalam pergaulannya dengan mereka. Sekalipun demikian ia tetap sangat dihormati oleh para penguasa. Di kampong halamanya memiliki sepetak tanah, yang dikelola dengan bantuan orang, tetapi tidak pernah terlibat sendiri dalam pengelolaanya. Al-bukhari hidup sederhana dan jika ditanya mengapa ia tidak memiliki seorang hamba laki-laki atau perempuan, ia menjawab, rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian.
Selain itu ia pun sangat memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya dan tidak suka jika mereka memiliki niat yang jelek atau hubungan yang buruk dengan orang lain. Sekali waktu ia meminta pertanyaan maaf dari seseorang atas nama muridnya karena menggosokkan wajahdinding rumahnya. Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya Baha al-Din mengatakan bahwa ia berpengang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwav sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme (tauhid), tetapi sangat sulit mencapi makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pengetahuan dan pengalaman spiritual.[28]
a.      Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah
Di dalam mempelajari sebuah tarekat, para pengikut tarekat mengaku bahwa dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari pada Nabi sendiri, para pengikut sebuah Tarekat memandang penting urutan-urutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar Tarekat secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasa disebut sebagai silsilah. Setiap guru dalam sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, menunjukkan kecabang tarekat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru lainnya. Silsilah tarekat naqsyabandiyah bersambung dari Rasulullah kepada Sayyidina Salman al-Farisi r.a dan seterusnya sampai kepada ahli silsilah terakhir.
Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau Syekh dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan dalam rantai master terus kembali kepada Nabi Saw, adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi-untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang untuk generasi murid penerus.
Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, beliau berasal dari Arbile, sebuah kerajaan di Irak, dalam kitabnya Tanwirul Qulub, menyatakan silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang dianutnya, sampai kepada Rasulullah Saw  tersebut secara silsilah adalah sebagai tersebut :
Muhammad
Abu Bakar al-Shiddiq
Salman al-Farisi
Qasim Ibn Muhammad Bakar al-Shiddiq
Ja�far al-Shadiq (w. 148/765)
Abu Yazid Thaifur al-Bisthami (w. 260/874)
Abul-Hasan al-Kharaqani (w. 425/1034)
Abu�Ali al-Farmadzi (w. 477/1084)
Abu Ya�qub Yusuf al-Hamadani (w. 535/1140)
�Abd al-Khaliq al-Ghujdawani (w. 617/1220)
A�rif al-Riwgari (w. 657/1259)
Mahmud Anjir Faghnawi (w. 643/1245 atau 670/1272)
�Azizan�Ali al-Ramitani (w. 705/1306 atau 721/1321)
Muhammad Baba al-Sammasi (w. 740/1340 atau 755/1354)
Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371)
Muhammad Baha�al-Din Naqsyabandi (717-791/1318-1389)[29]

Silsilah adalah nisbah (hubungan) guru-guru tarekat sambung menyambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh para pengikut tarekat. Silsilah atau sanad juga merupakan hubungan keturunan ilmu tarekat dari satu guru ke guru tarekat yang lain seperti contohnya, sanad zikir thoriqah yang pertama kali diajarkan adalah Allahu�Allahu, yang pertama kali diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib sesuai diterima dari Rasulullah Saw. kemudian Hasan al-Basri mengajarkannya kepada Habib al-Ajami, kemudian Habib al-Ajami mengajarkan kepada Dawud, dan Dawud mengajarkan kepada Ma�ruf, inilah yang dikatakan dengan silsilah. Silsilah dalam sebuah tarekat adalah geneologi otorita spiritual. Silsilah menjelaskan jalur penerimaan tarekat oleh seseorang dengan demikian, silsilah berfungsi sebagai identitas keotentikan sekaligus sebagai sumber otoritas seseorang dalam tarekat.[30]
a.      Fungsi silsilah dalam tarekat naqsyabandiyah
fungsi silsilah dalam sebuah tarekat yaitu untuk mengetahui silsilah guru-gurunya, supaya tidak terlepas dari ajaran yang sudah diterapkan dalam sebuah tarekat. Karena fungsi utama dari sebuah silsilah itu yaitu untuk menjaga validitas dan otentisitas ajaran tarekat agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama yaitu Rasulullah Saw.
Silsilah tarekat berisi rangkain nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain.biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang di serahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk dan peringatan serta sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat sekaligus merima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain.
Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan peran �wasilah� yaitu medeasi (perantara), melalui seorang pemimping spiritual atau mursyid sebagai sesuatu yang sangat di perlukan demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pemimbing spiritual dan para pendahulu sang pemimbing, termasuk yang paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat di andalkan yang dapat menjadi wasilah yang dapat mengantarkan kepada Tuhan.[31]
4.     Perkembangan dan Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia
Dalam perkembangan dan penyebarannya di Nusantara, tarekat naqsyabandiyah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain; gerakan pembaharuan, dan politik. Penaklukan Makkah oleh �Abd al-�Azizi bin Sa�ud pada tahun 1924, berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat naqsyabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintahkan oleh kaum Wahabi yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat di Makkah bagi para jamaah haji khususnya dari Indonesia yang dari setiap generasi banyak dari mereka yang masuk tarekat.
Syekh Yusuf Makassari (1626-1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al-Najah, ia menerima ijazah dari syekh Muhammad �Abd al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat kettika berada di Madinah di bawah bimbingan syekh Ibrahim al-Karani. Syekh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerjaan di daerah itu.[32]
Tarekat naqsyabandiyah yang menyebar di Nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jamaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran dan perkembangan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara telah hadir sejak dua setengah abad yang lalu. Pada masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik secara geografis maupun dalam jumlah pengikutnya.
5.       Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di seluruh Aceh, pengaruhnya paling besar terutama ada di Aceh Barat dan Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan seorang syekh dan politisi yang kharismatik, Muda Wali (Haji Muhammad Wali al-Khalidy) lebih dikenal dengan sebutan Muda Wali, ialah orang pertama kali yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh. masyarakat Aceh lebih mengenal tarekat ini dengan sebutan tarekat naqsyabandiyah khalidiyah karena dinisbatkan kepada nama belakang Muda Wali.
Haji Muhammad Waly al-Khalidy dilahirkan di desa Blangporoh, kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917.[33] Muda Wali berasal dari pesisir Barat Aceh, yang sebagian penduduknya telah mengalami proses pembaharuan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tetapi belum diterima sebagai orang Aceh sejati tapi lebih dianggap sebagai tamu atau pendatang dan sebagai keturunan Minangkabau oleh tetangga mereka di Utara. Namun, mereka pun dibedakan dari perantau Minang yang belum berapa lama tinggal disana.
 Dia belajar di Minangkabau kepada gurunya Jamil Jahu pendiri PERTI dan menikahi putri gurunya Rabi�ah dan belajar pula di Kampar kepada syekh Abdul Ghani dari Batu Basurat. Beliau mengajarkan tata laksana Tarekat naqsyabandiyah  serta mengangkat Muda Wali sebagai khalifah utama. Setelah Muda Wali sudah merasa cukup matang belajar di Padang ia kembali ke kampung halaman Aceh tepatnya di Aceh Selatan pada awal 1940. Kemudian ia mendirikan sebuah dayah yang bernama Darussalam di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka ia menjadi penggerak PERTI di Aceh, terutama berkat upaya istrinya Rabi�ah seorang perempuan yang sangat cerdas dan terbuka serta mempunyai naruli politik yang tajam bersama-sama dengan sekutunya Nyak Diwan Tgk.
Usman Paoh, Cut Zakaria, Tgk. Bahrunsyah, mereka melakukan kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Aceh dan belakangan di Aceh Besar. Salah satu tujuan utamanya adalah menangkap pengaruh Muhammadiyah yang sudah tumbuh. Dalam perjuangan ini, Muda Wali telah mendapatkan semua pertolongan dari semua muslihat yang tercantum dalam kitab Kiai. Perkawinan-perkawinannya semuanya betul-betul strategis. Istri keduanya ialah keponakan dari sahabatnya, Usman Paoh yang ketiga adalah Rabi�ah.
Salah satu kecaman di Aceh Selatan dimana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng. Di sini tinggal Nur Hayt, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka, Muda Wali mengawinkan istri keempat disini, demi memperoleh pijakan. Strategi itu berjalan lancar dan Muda wali ingin mengulanginya di Tenong, kubu pertahanan Muhammadiyah yang lain. Supaya tetap sah, dan muda wali harus menceraikan seorang istrinya yang terdahulu, maka muda  wali meninggalkan Rabi�ah sebagai gantinya dan muda wali pun mengambil seorang gadis dari Tenong.
Upaya Muda Wali menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas politiknya.muda wali  mengangkat beberapa politisi PERTI yang lebih muda, seperti Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan dan Tgk. Jailani sebagai Khalifahnya. Khalifah yang lainya termasuk putra mursyid-nya sendiri, Aydarus Ghani di Kampar, dan dua orang lagi Qamaruddin dan Abdul Hamid, dan Tgk. Usman fauzi di Lung Ie dekat Banda Aceh. Namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungya, Muhibbuddin Wali, yang diberi ijazah khalifah oleh gurunya sendiri Syaikh Ghani di Kampar.
Langkah-langkah yang digunakan oleh para Mursyid dalam menyebarluaskan Naqsyabandiyah ialah dengan halaqah diberbagai tempat balai pengajian diseluruh Aceh sesuai dengan tempat tinggal Mursyid itu sendiri. Pada tahap awal masyarakat diajarkan ilmu tauhid dan fiqih secara mendalam, kemudian baru dikenalkan dengan ilmu tasawuf dan ketika masyarakat sudah haus untuk mendekatkan diri kepada Allah, saat itulah Naqsyabandiyah diselipkan sebagai sarana mereka menuju jalan makrifatullah
Tantangan terbesar dalam menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, diperdapat oleh Tgk. Usman Fauzi di kawasan Aceh Besar dan sekitarnya yaitu mendapat kecaman dari kalangan terpelajar di Kopelma Darusalam, mereka merasa asing dengan hadirnya Tarekat Naqsyabandiyah yang  mengenalkan metode zikir dan sangat mengutamakan Rabitah Mursyid hal ini menyebabkan naqsyabandiyah dianggap salah satu aliran sesat dan Dayah Lueng Ie di ancam akan di bakar oleh masyarakat. Oleh karena ituhasil musyawarah Usman Fauzi dengan Muhibuddin Wali mereka meminta bantuan dari Partai PPP. Namun karena ketidakmampuan partai PPP menolak memberikan perlindungan terhadap dayah tersebut, usaha Usman untuk menyelamatkan Naqsyabandi tidak berhenti disitu ia meminta bantuan kepada partai Golkar dan dikabulkan, dengan syarat Usman memberikan dukungan penuh terhadap Golkar.
Sejak wafat Muda Wali 1961, putranya Muhibbuddin, secara formal menjadi yang paling dihormati diantara para khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, Usman Fauzi menjadi Mursyid terkemuka di Aceh demi kepentingan praktis. Sudah barang tentu ia juga merupakan tokoh PERTI terkemuka di Aceh (dan anggota DPRD). Tgk. Usman juga bergabung dengan PPTI-nya Haji Jalaluddin Pada tahun 1971 (ketika organisasi ini telah menjadi naungan partai Golkar), dan menjadi ketua untuk wilayah Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, TgkUsman menjadi seorang pendukung PPP yang kemudian beralih ke Golkar dan siap menghadapi pemilu 1982.[34]
Muhibuddin bersama dengan Usman Fauzi berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak orangtua menarik pulang anak-anak mereka dari dayahnya dan mengirim ketempat yang lain seperti Lam Ateuk dan Samalanga. Tetapi murid-murid pengikut setia Naqsyabandiayah tetap tinggal bersama Usman. Kedua tokoh besar ini memberikan dukungan penuh kepada Golkar bukannya kepada PPP sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Di dayah Usman Fauzi melaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, keduanya antara shalat isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah yang datang bersuluk selama 20 hari jauh lebih banyak, semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan didominasi oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka datang dari golongan petani-petani kecil dan segaian kecil dari kalangan elit
Di pesisir utara Aceh, suluk sesungguhnya tidak pernah menjadi populer, seperti layaknya di pesisir Barat, khususnya di bagian paling selatan (Aceh Selatan dan Tenggara). Suluk merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa di pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, biasanya begitu selesai panen ke dayah di Labuhan Haji atau dayah yang lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya untuk sehari atau beberapa hari saja.[35]
Salah satu yang menjadikan Tarekat Naqsyabandi tetap berjalan di Aceh ialah usaha keras dari Muda Wali sendiri. Salah satu usahanya tergambar dalam salah satu wasiatnya sebelum ia dipanggil oleh Allah Swt. Wasiat itu ialah seseorang yang mempelajari Islam tidak semata-mata mempelajari syari�at, fiqih, dan tauhid. Tetapi harus dibentengi oleh ilmu tasawuf. Nilai-nilai ilmu tasawuf tersebut ialah mengamalkan tarekat mu�tabarah, seperti Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan bagi murid-muridnya supaya memasuki tarekat dan berkhalwat, sesuai tuntunan beliau bedasarkan ilmu akhlak dan tasawuf.




[1]Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih Terj. Yazid Muttaqin (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004), 35-36.
[2]Muhibbuddin Waly, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf (Sigapura: Pustaka Nasional,2004), 428.
[3]Quraish Shihab, Terj. Wahid Hisbullah, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2002), 168
[4]Ibid...,168.
[5]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2002), 113
[6]Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, Terj. Kamran Irsyady (Jakarta: Perpastakaan Nasional, 2011), 210.
[7]William Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi : Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin RumiTerj. Ahmad Nidjam, (Yogyakarta: Qalam Press, 2001), 223.
[8]Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kotemporer  (Jakarta: Republika, 2003), 59.
[9]Ibnu Taimiyah, Mukzizat dan Karamah, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), 32.
[10]Dahri, Harapandi, Wali dan Keramat dalam Islam�, 131.
[11]Imam Ja�far Ash-Shadiq, 99 Wasiat Lentera Ilahi...,64-65
[12]Syekh Muhammad al-Ghazali, Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Akhlak Seorang Muslim (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2004).125
[13]Ibid...,126
[14]Imam Ja�far Ash-Shadiq, Terj. Rahmani Astuti, 99 Wasiat Lentera Ilahi (Bandung: Mizan Media Utama, 1989).61
[15]Ahmad khalil, Narasi Cinta dan Keindahan: Menggali Kearifan Nabi dan Interaksi Insani (Malang: Malang Press, 2009), 144.
[16]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Perpustakaan Umum Islam,2002), 133.
[17]Ibid., 134.
[18] Ahmad Amin, Etika  Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 254.

[19] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia,2008),21.
[20]Moh.Adlin, MA, dkk, Sufi Perkotataan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2007), 3.
[21]M. Solihin dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf  (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 203.
[22]Ibid.,  204.
[23]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia�, 61.
[24]Ibid., 206.
[25]Ibid.
[26]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006), 90.
[27]Ibid., 90.
[28]Ibid., 91.
[29]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Perpustakaan Nasional,1992),50.
[30]Hidayat Sireger, Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Abdul Wahab Rokan: Sejarah,Ajaran, Amalan dan Dinamika Perubahan (Miqot: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2011), 59-60.
[31]Ibid., 10-11.
[32]Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia�, 95-96.
[33] Muhibbuddin Wali, Ayah Kami: Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy ( teugku syekh Haji Muda Waly (malasyia: Selangor Darul Ehsan,1993), 56.
[34] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami: Maulana Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy�,120.
[35] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami: Maulana Syekh Haji Muhammad al-Khalidy�,90