Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

konsep kewalian dalam tarekat Naqsyabandiyah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang lengkap dan utuh memberikan tempat sekaligus pada jenis penghayatan esksotik yang bersifat lahiriah, dan jenis penghayatan keagamaan esoterik yang bersifat batiniah. Dalam perkembangan pemikiran Islam, jenis penghayatan keagamaan yang bersifat batiniah berkembang menjadi ilmu tersendiri yang dinamakan dengan ilmu tasawuf. Tasawuf merupakan suatu ajaran tentang kerohanian yang bertujuan untuk mencari bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Dalam kajian ilmu tasawuf juga menjelaskan tentang kewalian. Kata wali sendiri yaitu kedekatan seorang hamba kepada Allah (kekasih Allah). Tasawuf sesungguhnya dimulai dengan perilaku para sahabat yang mencontohkan pola kehidupan Nabi Muhammad. Dalam kehidupan sehari-harinya, sering kali Nabi Muhammad mempraktekkan pola hidup asketis[1]yang kemudian menjadi contoh bagi kaum sufi.[2]
Masalah wali sudah berkembang sejak awal perkembangan dunia tasawuf. Abu�Abdillah al-Salimi, seorang penguasa di abad ke-10, memberikan definisi wali sebagai berikut: Mereka yang dapat dikenali karena bicara mereka yang elok-elok, tingkah laku yang sopan-sopan dan merendahkan diri, murah hati, memperlihatkan sedikit saja pertentangan, dan menerima permintaan maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, dan halus budi terhadap segala ciptaan yang baik maupun yang jelek. Demikianlah sufi idaman tersebut sebagai wali Allah.[3]
Pembahasan tentang wali Allah sejak periode awal Islam walaupun dalam ayat al-Quran maupun hadis Rasulullah telah banyak disinggung memang tidak terlalu mengemuka dan bukan pula menjadi persoalan penting, namun semenjak periode pertengahan dalam penggalan sejarah Islam sudah terasa sangat penting untuk dibahasa dan dikaji lebih jauh tentang hakikat dan berbagai persoalan yang terkait di dalam pembahasan wali Allah.
Perwalian Allah kepada hamba-Nya adalah petunjuk agar mereka  mentaati, mencintai dan menolong agama-Nya. Sedangkan perwalian hamba kepada Allah mengharuskannya untuk beriman kepada-Nya, mendekatkan pada-Nya dengan ketaatan dan meninggalkan sesuatu yang dibenci-Nya. Ada perbedaan antara perwalian (kecintaan) Allah kepada hamba dengan perwalian (kecintaan) hamba kepada Tuhannya, yaitu bahwa Allah mencintai hambanya bukan karena mereka membutuhkannya, tetapi Dia mencintainya dan memuliakannya.[4]
Wali Allah hanya bermakna muqarrabun, yaitu orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.dan mereka tinggalkan semua hal-hal yang haram dan makruh. Jika orang ini telah mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah mencintainya dengan sempurna dan memberikannya kenikmatan yang sempurna.[5]Wali Allah dalam relasi dengan Allah tidak lain kecuali keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Oleh karena itu, seorang wali Allah menyukai dan membenci apa saja yang disukai dan dibenci oleh Allah.[6]
Para wali Allah adalah pewaris para nabi. Seorang wali adalah orang yang dikaruniai cahaya asma Allah. Wali Allah adalah seorang yang dibimbing oleh hidayah-Nya dan diberi kasih sayang-Nya. Allah mencintainya dan dilebihkan dari orang lain. Hati seorang wali berdenyut dengan cinta Allah, lisannya tidak lepas dari zikir. Untuk mencapai seseorang itu wali Allah seseorang diperlukan tarekat, yaitu suatu cara untuk membina jiwa agar selalu bertaqwa, zuhud, wara[7]dan ingat kepada Allah. Dengan itu, ruhaninya menjadi suci dan meningkat ke derajat para shalihin.[8]
Pembahasan tentang wali Allah sangat mengemuka dalam studi tasawuf Islam. Tasawuf muncul pertama sekali pada abad ke 2 H, dalam bentuk kehidupan zuhud. Tasawuf terus berkembang dan meluas dan mulai terkena pengaruh luar. Di antara pengaruh luar adalah filsafat, baik filsafat Yunani, maupun Persia. Terdapat pula pengaruh agama-agama lain yang ada sebelum Islam. Sesudah abad ke 2 H muncullah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub[9]kepada Allah salah  satunya adalah tarekat. Tasawuf sebenarnya tidak pernah mengajarkan untuk menjauhi urusan kehidupan dunia. Hanya saja praktek tasawuf yang berlebihan dapat mengurangi perhatian terhadap kepentingan kehidupan duniawi. Misalnya banyak sufi yang berpuasa di siang hari dan beribadah serta berzikir pada malam hari, sehingga mereka kurang memiliki kesempatan untuk memperhatikan kehidupan dunia.[10]
Tasawuf pada perkembangan berikutnya berkembang pula menjadi tarekat. Istilah tarekat tidak hanya ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang Syekh dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang Syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Tarekat sebagai sebuah gerakan yang dimotivasi oleh tujuan pencapaian tingkat spiritual yang tinggi, dengan kata lain adalah suatu metode atau jalan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan.
 Dalam rangka mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang (salik)penempuh jalan sufi harus mengenal dirinya sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis yang cukup populer Rasulullah bersabda �man�arafa nafsahu faqad�arafa Rabbahu�yang artinya; barang siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya. Kemudian salah satu sisi manusiawi yang menjadi perhatian yang memperoleh perhatian cukup besar dalam rohani pada dunianya para penganut tarekat (sufi) adalah pengenalan akan nafsu-nafsu menurut mereka yang melekat dalam diri seorang manusia.[11]
Asal kata tarekat dalam bahasa Arab yaitu thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani. Tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang penganut tasawuf untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Seorang penganut tarekat semestinya adalah seorang yang mendalami aspek spiritualitas Islam.[12]
Tarekat berupaya untuk mengendalikan nafsu tercela (madzmumah)dan melatih nafsu terpuji (mahmudah ) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk bisa mendekatkan diri kepada Tuhan seorang pengikut tarekat (salik) harus menempuh perjalanan yang cukup panjang.[13]Tarekat berarti jalan, cara, kedudukan, kenyakinan dan agama.[14]Tarekat juga berarti membersihkan diri dari sifat mengagumi diri sendiri dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya membanggakan diri dengan berbagai prestasinya dan menyombongkan semua yang ada pada dirinya kepada orang lain.[15]
Tarekat berkembang cukup pesat sejak abad ke 7 H, saat sekarangini terdapat puluhan bahkan ratusan jenis tarekat di dunia Islam, salah satunya adalah tarekat naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang luas penyebarannya, sebuah tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di Indonesia dan jamaahnya cukup banyak di wilayah Nusantara. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasawuf yang mengandung unsur- unsur pemahaman rohani yang spesifik.
Tarekat naqsyabandiyah ini juga merupakan tarekat yang paling berpengaruh di Aceh, pengaruhnya yang paling besar terutama di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan-kegiatan seorang Syekh dan politisi yang kharismatik, salah satunya ulama kharismatikadalah Muda Waly (Haji Muhammad Waly), beliau adalah pendiri dayah besar Darussalam di Labuhan Haji Aceh Selatan dan merupakan tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) seluruh Aceh.[16]Ajaran tarekatnya berkembang dalam masyarakat Aceh berkat pengaruh murid-muridanya. Salah satu ajarannya adalah tentang kewalian. Banyak masyarakat Aceh meyakini bahwa ada banyak ulama di Aceh yang telah memiliki maqam[17]ma�rifat[18]sehingga bisa disebut dengan Waliyullah. Pemahaman ini mempengaruhi cara pandangan masyarakat tentang ulama dan orang shalih dilingkungan mereka. Dengan demikian, konsep kewalian yang sangat abstrak menjadi konkrit dalam kehidupan masyarakat ketika mereka mempersepsikan orang tertentu yang masih hidup atau pernah bertemu dengannya sebagai waliyullah. Padahal dalam kehidupan yang serba modern, hal-hal yang abstrak demikian hampir tidak  mendapatkan pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kenyataannya, banyak pengikut Naqsyabandiyah memiliki perspektif yang berbeda. Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji pandangan tarekat Naqsybandiyah tentang kewalian dan relevansinya dengan kehidupan modern.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas peneliti mengkaji mengenai kewalian (al-Walayah)dalam tasawuf perspektif kewalian dalam tarekat Naqsyabandiyah). Untuk itu dalam penelitian ini penulis akan menjawab dua pertanyaan yang menjadi menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.     Bagaimana konsep kewalian dalam tarekat Naqsyabandiyah ?
2.     Bagaimana tahap-tahap menuju wali dalam tarekat Naqsyabandiyah ?



C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.     Mendeskripsikan konsep kewalian dalam tarekat Naqsyabandiyah.
2.     Menguraikan tahap-tahap menuju wali yang di kembangkandalam tarekat Naqsyabandiyah.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kewalian dalam tasawuf perspektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah yang sudah banyak ditulis, baik di media-media masa maupun di buku-buku. Untuk mendukung penelitian ini penulis melakukan kajian pustaka, dalam beberapa kajian yang penulis lakukan. Adapaun beberapa karya yang terkait dengan permasalahan Kewalian (al-Walayah)dalam Tasawuf perpektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah yang penulis dapatkan adalah :
Buku karangan Syekh� Abdul Qadir Isa yang berjudul Hakikat Tasawuf, menjelaskan tentang kewalian (al-Walayah), menurutnya, setiap kewalian itu mempunyai karamah yang di berikan oleh Allah Swt. Keberadaan karomah para wali telah ditetapkan di dalam al-Qur�an, sunnah Rasulullah Saw.[19]Kemudian dalam buku karangan Sayed Ahmad Semait yang berjudul Kewalian dan Kaitannya dengan Karamah, menjelaskan tentang kewalian dan kaum mukminin yang salih yang kerap menakjubkan pikiran dan ada kalanya hal-hal serupa itu berlaku[20]
Selanjutnya dalam buku karangan Osman bin Abu Bakar yang berjudul  Tasawuf dan Tarekat, menjelaskan tentang tarekat naqsyabandiyah, di mana tarekat naqsyabandiyah merupakan sebuah tarekat yang terkenal di nusantara, dan pengikutnya sangat banyak. Kemudian di dalam buku ini juga menjelaskan pengertian dari pada Tarekat. Tarekat merupakan suatu perjalanan yang tertentu dan menjadi terisspirasi kepada orang-orang yang salih yang menuju kepada Allah Swt. (ahli tasawuf).
Berdasarkan hasil dari telaah perpustakaan maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa, kajian tentang tentang al-walayah dalam tasawuf (perspektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah) sudah banyak yang mengkaji secara umum.  Maka dari itu peneliti ingin mengkajikan al-walayah dalam tasawuf perspektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah yang lebih spesifik.
E. Kerangka Teori
1.     Tasawuf
Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu berarti mempunyai bulu yang banyak.  Kemudian kata itu terjadi perubahan kepada mazid (tambahan) dua huruf Ta dan Tasydid waw, sehingga menjadi yang mengandung arti menjadi. Maka arti tasawuf adalah menjadi sufi, karena pada masa-masa awalnya para sufi senang memakai pakaiansederhana yang terbuat dari bulu domba. Maksudnya bahwa orang-orang sufi pada awalnya senang berpakaian yang terbuat dari bulu domba (pakaian kasar) sebagai saingan dari memakai pakaianhalus bagai sutra dan sebagainya.[21]
Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdry, tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukannya suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).[22]
2.     Tarekat
Tarekat adalah suatu sistem dan cara-cara beramal atas irsyad (bimbingan) seseorang mursyid (guru) terhadap murid-muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjelaskan sunnah Rasulullah Saw. secara optimal dan sungguh-sungguh.[23]
Harun Nasution berpendapat bahwa, tarekat merupakan sebuah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan dibawah bimbingan guru atau mursyid. Di dalam tarekat, juga terdapat maqam-maqam yang harus ditempuh, supaya sampai kepada Allah. Tarekat naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia dan Turki. Tarekat naqsyabandiyah merupakan sebuah tarekat yang banyak pengikutnya dibandingkan dengan tarekat-tarekat lain.
3.     Kewalian
Kewalian berasal dari kata wala� yang berarti kedekatan. Kedekatan para sufi kepada Allah Swt. dengan menjauhkan semua larangannya. Orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah, harus mempunyai hati yang bersih, maknanya bersih dari segala hal. Para sufi dengan mendekatkan dirinya kepada Allah, tidak lupa untuk selalu berzikir dengan makna penuh cinta kepada Allah.
F. Metode Penelitian
Metode ini merupakan hal yang sangat pokok dalam setiap penulisan karya ilmiah, karena dengan metode tersebut penelitian akan terarah dalam  mencapai tujuan yang diharapkan demi mencapai hasil yang maksimal. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif-deskriptif yaitu sebuah metode yang mengambarkan sesuatu yang seadanya atau sebenarnya ada pada masa sekarang ini.
Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research) yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dengan mengadakan penelaahan dan membaca sejumlah buku-buku, yang berkaitan secarakhusus yang membahas tentang al-walayah dalam tasawuf (perspektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah), dilakukan dengan bertahap-tahap.
1.     Sumber Data
Sumber data terbagi kepada dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah berupa buku-buku yang berkenaan dengan judul penelitian yaitu sesuai dengan judul yang diangkat. Sedangkan sumber sekunder adalah bahan yang diambil dari buku-buku ilmiah, dan majalah-majalah, serta buku-buku lainnya yang membahas tentang materi pembahasan dalam skripsi yang akan penulis susun.
2.     Teknik Pengumpulan Data
a.    Kajian Pustaka
Data penulisan skripsi ini berasal dari referensi tertulis. Peneliti mengumpulkan referensi-referensi yang relevan dengan tema penulisan dari berbagai sumber.  Dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang ingin penulis bahas.
b.   Klasifikasi Data
Data yang telah diperoleh diklasifikasi ke dalam tema-tema pembahasan. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan naratif. Dimana metode deskriptif itu menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya, sedangkan metode naratif yaitu sebagai cara dalam menelusuri dan menguak cerita dari hasil penelitian menjadi sesuatu yang bersifat ilmiyah.
3. Analisis Data
Dalam menganalisa data, menggunakan analisa isi (content analysis) dimaksudkan yaitu melakukan analisa terhadap makna dan isi yang terkandung dalam pembahasan al-walayahdalam tasawuf (pespektif kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah).
G. Sistematika Pembahasan
Hasil penulisan skripsi ini dibagi kedalam lima bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Dalam bab pertama memaparkan masalah penelitian secara umum, yaitu berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan, dan daftar pustaka. Bab dua akan memaparkan tentang kewalian dan tarekat naqsyabandiyah dan mencakup tentang kewalian dalam Islam, ciri-ciri kewalian, dan juga menjelaskan tentang tarekat naqsyabandiyah, sejarah tarekat naqsyabandiyah, perkembangan tarekat naqsyabandiyah di Aceh secara umum.
Bab tiga akan menjelaskan tentang kewalian dalam tarekat naqsyabandiyah, dan memaparkan tentang pengertianwali, tahap-tahap menuju wali, tanda-tanda wali, dan juga menjelaskan tentang bagaimana fungsi wali dalam kehidupan umat Islam, yang akan dijelaskan secara khusus. Sedangkan bab empat mendeskripsikan dan menjelaskan tentang relevansi kewalian dalam masyarakat modern. Disini penulis akan mejelaskan mengenai bagaimana pandangan masyarakat tentang kewalian, dan kewalian dalam motivasi beragama. Kemudian bab lima menjadi bab penutup, yang memaparkan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya, disertai dengan saran yang menjadi masukan dan menjadi penutup sekalian skripsi ini.




[1]Asketis merupakan nama lain dari zuhud, jadi, zuhud merupakan sikap hati, karena zuhud merupakan menghilangkan sifat kecintaan terhadap dunia dari dalam hati, sebagaimana seorang zahid tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak pula menyibukkan hatinya dengan hal-hal duniawi yang membuatnya lupa dari tujuan diciptakannya manusia oleh Allah. Zuhud tidak berarti seorang mukmin melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mengosongkan tangannya dari harta, meninggalkan usaha yang halal dan menjadi beban bagi orang lain.
[2]Sehat Ihsan Shadiqin, Dialog Tasawuf dan Psikologi (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), 31-32.
[3]Dahri dan Haripandi, Wali dan Keramat dalam Islam (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), 127-128.
[4]Musfir al-Qahtani, Buku Putih  (Jakarta: Darul Falah, 2005), 173.
[5]Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Terj. Amir al-Jazzar (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 3.
[6]Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu TaimiyahTerj. Muhammad Muchaon (Jakarta:  Darul Wafa, 2000), 411.
[7]Wara� merupakan suatu sikap mencukupkan diri dengan sesuatu yang halal dan menjauhkan diri dari sesuatu yang haram, sehingga hati menjadi lembut dan cenderung untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
[8]Muhammad Abdul, Jalan Ruhani Para Wali: Dalam Mencapai Makrifat dan Kebersihan Hati (Jakarta:  al-Mawardi Prima, 2003), iv.      
[9]Taqarrub merupakan setiap aktivitas yang dilakukan seorang hamba kepada Allah.
[10]Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Jakarta: Kencana, 2003), 5.
[11]Ja�far Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat dan NU (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 48-49.
[12]Sehat Ihsan Shadiqin, Kosmosufisme: Islam antara Imajinasi Metafisik dan Realitas Kehidupan Sosial (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2013), 144.
[13]Ibid.,51.
[14]Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 56.
[15]Rivay Sireger, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme(Jakarta: Raja Grafindo,2002), 263.
[16]Martin Van Bruinissen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesi.., 144.
[17]Maqam  merupakan tahap stasiun atau tanjakan yang harus ditempuh oleh seorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Maqam juga merupakan hasil dari kesungguhan dan perjuangan yang terus menurus.
[18]Ma�rifat  menurut Syekh �Abdul Qadir al-Jailani merupakan pokok dari segala kebaikan. Seorang wali Allah hanya dapat dicapai apabila seseorang hanya menyandarkan sesuatu kepada Allah, bahwa Allah-lah sumber segalanya, AllahMaha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Mahaawal, Mahaakhir, Mahakekal, dan Maha pelaksana atas semua perkara yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, hendaknya manusia hanya menaati segala perintah Allah dan meridhai segala qadha dan qadar yang telah ditetapkan dalan ketetapan terdahulu-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya. Syari�at  sebagai jalan utama, untuk mencapai ma�rifat Allah, maka seseorang hendaknya menyucikan jiwanya dengan penuh kesadaran dalam rangka menunaikan tauhid pengesaan yang mutlak. Dengan mengetahui jalan syari�at, maka seseorang hendaklah senantiasa berpegang padannya, mengamalkannya dan tidak sekali-kali menyimpang darinya. Jika tidak, maka lebih lanjut menurut Syekh �Abdul Qadir  al-Jailani seseorang akan kehilangan agamanya, disebabkan karena empat faktor, yaitu: Tidak mengamalkan apa yang dia ketahui, mengamalkan apa yang tidak diketahui, tidak mencari tahu apa yang tidak diketahui dan menolak seseorang yang hendak mengajari sesuatu yang tidak diketahui. Lihat: Syekh�Abdul Qadir al-Jailani, Petunjuk Jalan Menuju Ma�rifatullah (Bandung: Pustaka Setia,2003), 11.
[19]Syekh�Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2005).
[20]Syed Ahmad Semait, Untaian Kisah para Wali Allah,(Sigapura: Pustaka Nasional, 1993), 16.
[21]Damanhuri, Akhlak Tasawuf  (Banda Aceh: Pena, 2005), 1-2.
[22] Ibid.,3
[23] Ibid.., 56.