Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perspektif Teoritis Tentang Reformasi Sistem Pendidikan Islam


BAB II
PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

A.    Pengertian Reformasi    
Menurut kamus bahasa Indonesia pengertian reformasi adalah perubahan secaradrastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara[1]. Di Indonesia, kata Reformasi  umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah orde baru. Sebagian menganggap bahwa reformasi sudah tercapai manakala penyelenggara negara yang sudah 32 tahun berhenti, sehingga bagi mereka mundurnya Presiden Soeharto pada hari kamis, 21 mei 1998 merupakan puncak kemenangan. Ada yang memandang reformasi sebagai upaya pembersihan penyakit KKN dan kawan-kawan, sehingga identik dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Reformasi juga diartikan perubahan terhadap semua sistem kepemerintahan secara totolitas.[2]
Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentukasal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salahatau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan[3]. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidangtertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baikdalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik[4]. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogramini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi pendidikan. Sementara itu reformasi sistemikberkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyangkut struktur kekuasaan yang ada                         
B.    Pendidikan Islam di Indonesia   
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan barat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ketujuh belas.
Di awal abad kedua puluh muncullah ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Yang melatar belakangi hal ini ialah; Pertama, daya dorong dari ajaran Islam itu sendiri yang mendorong umat Islam untuk memotivasi umatnya guna melakukan pembaruan (tajdid), dan juga kondisi umat Islam Indonesia yang jauh tertinggal dalam bidang pendidikan. Kedua, daya dorong yang muncul dari para pembaru pemikir Islam yang diinspirasi dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho, dan lain sebagainya.
Tilaar menjelaskan bahwa:
Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah meleui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesantren, adayah, surau atau masjid dengan titik focus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik Periode kedua, periode ini telah dimasuki ole hide-ide pembaruan pemikiran Islam pada awal abad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah, dan juga telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam program kurikulum, serta telah mengadopsi sistem pendidikan modern, seperti metode, manajerial, klasikal, dan lai sebagainya. Periode ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003[5].

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989) yang kemudian dilengkapi dengan beberapa Peraturan Pemerintah, dan diperkuat pula dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru maka jelaslah bahwa pendidikan di Indonesia telah diatur oleh satu peraturan yang telah disepakati.
Pendidikan Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan lembaga telah mendapat kedudukan dalam system pendidikan nasional. Bab-bab dan pasal-pasal serta ayat-ayat yang tercantum dalam PP 28, 29 Tahun 1990, serta PP 72, 73 Tahun 1991, PP 38, 39 Tahun 1992 dan PP 60 Tahun 1999, dan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 12, 17, 18, 20, 26, 27, 28, dan Pasal 30 telah menggambarkan betapa pendidikan Islam telah duduk dalam sistem pendidikan nasional yang dengan demikian kedudukannya adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari system Pendidikan Nasional.
Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti tahapan perkembangan sebagai berikut:
Pertama, Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa Nabi Muhammad Saw. Selama lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai tanda kerasulannya sampai wafat. Kedua, periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw. sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli. Ketiga, Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah Bani Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya. Keempat,Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke dunia Barat. Kelima, Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan modern dari dunia Barat ke dunia Islam[6].

Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya.
Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi; Pertama, Periode masuknya Islam ke Indonesia. Kedua, Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi. Ketiga, Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik). Keempat, Periode penjajahan Belanda (1619 � 1942). Kelima,Periode penjajahan Jepang (1942 � 1945). Keenam, Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 � 1965). Ketujuh, Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)[7].
Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam yang sempat di telaah oleh Abdullah Aly dalam bukunya �Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia�, menunjukkan bahwa kajian pemikiran dan teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu:
Pertama, Mendekatinya secara sangat doktrinal, normatif, idealistik yang kadang-kadang justru mengaburkan kajian atau konteksnya dengan Pemikiran Islam itu sendiri. Kedua, Mengadopsi filsafat, pemikiran, dan teori-teori kependidikan Barat, tanpa kritisisme yang memadai bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah. Ketiga,Memberi lagi timasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan ayat Al-Qur�an dan Hadits tertentu, sehingga menjadi titik tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam. Keempat, Pemikiran kependidikan Islam atau relevan dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir-pemikir dan filosof muslim sedikit sekali diungkapkan dan dibahas.[8]

Indonesia yang masyarakat penduduknya beragama Islam ternyata belum mampu menumbuhkan budaya teknologi dan deversifkasi sumber budaya manusia. Hal ini dapat terjadi di samping masalah strategi pendidikan yang belum sepenuhnya mengarah pada penugasaan teknologi tinggi. Kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia masih banyak bergantung pada beberapa aspek, seperti sumber daya alam. Penyebaran pendudukan dan kesejahteraan yang belum merata. Oleh sebab itu, pendidikan Islam Indonesia pada masa kini memerlukan suaru orientasi baru sebagai upaya terhadap perubahan kearah pengembangan teknologi atau merombak pola pikir pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara struktur intelektual masa akan datang masih sama seperti yang ada pada saat sekarang yaitu: Pertama, Pendidikan model Pondok Pesantren. Kedua, Pendidikan Madrasah. Ketiga, Pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Keempat,pendidikan umum yang mengajarkan mata pelajaran/kuliah agama Islam.
Dua yang pertama tidak menuntut penjelasan. Sementara yang terakhir dapat menumbuhkan pemahaman yang tumpang tindih. Jenis ketiga dapat dijelaskan dengan contoh: seperti AMP Al-Irsyad, SMA Muhammadiyah dan Universitas Islam Indonesia, sementara jenis yang keempat dapat dijelaskan dengan contoh: seperti SMP PGRI, SMU Negeri dan UGM. Pada tingkat tinggi, depag telah menyelenggarakan program pembibitan dosen bagi para lulusan IAIN. Program MA dan Ph. D di Universitas terkemuka di negara-negara Barat. Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka direkrut sebagai dosen di Program Pascaserjana, alasan pengiriman pada lulusan IAIN adalah sederhana yaitu untuk mengintegrasikan Intelektualisme Islam dengan Intelektualisme nasional. Bila para ekonomi, sosial, sarjanawan dan lain-lainnya dapat di didik di barat, mengapa Intelektual Islam tidak bisa dilaksanakan dan tidak terlalu bergantung dengan cendekiawan Muslim di Timur tengah saja.[9]                           
C.    Pembinaan Pendidikan Islam di Indonesia        
Salah satu tuntunan reformasi adalah adanya otonomi daerah, berkenaan dengan itu berlakunya dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Arus dari tuntunan otonomisasi ini adalah demokratisasi. Suara dari segala penjuru dunia sangat gencar saat sekarang ini untuk menegakkan demokratisasi dan hak Asasi manusia (HAM).
Uraian tentang dasar pemikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diungkapkan beberapa hal yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenanggan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang keadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Salah satu bagian dari penyelenggara negara yang diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menurut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak ari sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu mematikan inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi. Selama ini pendidikan Islam terutama kelembagaan Madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan Departema Agama. Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang yang tidak diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang diotonomikan.
Banyak pemikiran yang timbul di sekitar persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya Pemerintah Pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas Pendidikan, agar pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga, adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap berada di tangan Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.
�Pemikiran tentang pengelolaan lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jarak sebelum lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional�[10]. Pada tahun 192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat Keputusan tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab dalam melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1 Keputusan presiden ini diatur sebagai berikut:
Pertama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan bertanggung jawab atas pembinaan dan pendidikan umum dan kejuruan. Kedua, Menteri Tenaga Kerja bertugas bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri., ketiga, Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.[11]
Setelah mempelajari arus pemikiran dan aspirasi yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi penyusun konsep undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian malahirkan UU No. 2 tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di bawah naungan Departemen Agama.
Dari berbagai uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa diskusi tentang perkembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para perkembangan dan pemikirnya, semakin memperkaya Khazanah pemikran tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[12]                  
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan Islam

1.     Faktor Agama
Di dalam proses pembudayaan manusia, keberadaan pendidikan mutlak diperlukan. Bukan saja karena ia merupakan produk sejarah dan masyarakat, melainkan juga karena peranannya yang asasi dalam pembentukan hari depan. Di atas peranannya ini terletak tugas dan tanggung jawab kultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebuah kegiatan pendidikan ditentukan oleh visi, misi dan sifat yang melatar belakanginya. Dalam berbagai referensi kita masih belum menjumpai rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam tersebut secara eksplisit. Yang ada pada umumnya adalah rumusan tentang tujuan, kurikulum, metode belajar mengajar, kriteria guru dan berbagai aspek pendidikan lainya. Rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam yang demikian penting itu belum sempat terpikirkan, walaupun berbagai isyarat di dalam al-Qur�an, al-Hadits dan berbagai sumber ajaran Islam lainnya, rumusan tentang visi, missi dan sifat pendidikan Islam tersebut dapat dirumuskan.
Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi keRasulan Nabi Adam AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad Saw., yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah Swt. serta membawa rahmat bagi seluruh alam[13]. Berkaitan dengan visi rahmatan lil alamin sebagaimana firman Allah Swt. Sebagai berikut:
????? ????????????? ?????? ???????? ???????????????) ????????: ???(
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs. Al-Anbiyaa': 107),
Visi pendidikan Islam yang bertumpu pada mewujudkan rahmat bagi seluruh alam itu, memperlihatkan bahwa pendidikan Islam memiliki sebuah tanggung jawab yang amat berat, kompleks, multidimensi dan berjangka panjang. Visi pendidikan Islam terkait erat dengan upaya mewujudkan sebuah tata kehidupan yang harmoni, aman, damai, sejahtera lahir dan batin[14]. Sedangkan misi ajaran Islam yang memuliakan manusia yang demikian itu, menjadi misi pendidikan Islam. Terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani dan akal pikiran, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak yang mulia, keterampilan hidup (skill life) yang memungkinkan ia dapat memanfaatkan berbagai peluang yang diberikan oleh Allah termasuk pula mengelola kekayaan alam yang ada di daratan, di lautan, bahkan di ruang angkasa adalah merupakan misi pendidikan Islam.
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab pendidikan dengan segala jenisnya tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan juga berdimensi ukhrawi dalam satu kesatuan yang integral.  Sehingga pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab membantu setiap pribadi muslim untuk merealisasikan misi hidupnya, seperti yang digariskan Allah Swt. berikut ini:
a).   Hamba Allah yang hanya mengabdi kepada-Nya :
????? ???????? ???????? ?????????? ?????? ?????????????) ????????: ??(
Artinya:   Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzariat : 56).
b).   Membebaskan diri dari siksa api neraka :
??? ???????? ????????? ??????? ???? ??????????? ????????????? ?????? ?????????? ???????? ?????????????? ????????? ??????????? ??????? ??????? ??? ????????? ??????? ??? ?????????? ????????????? ??? ???????????) ???????: ?(
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Qs. At-Tahriim: 6)
c).   Memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup dunia dan akhirat :
????????? ?????? ?????? ??????? ???????? ?????????? ????? ????? ????????? ???? ?????????? ????????? ????? ???????? ??????? ???????? ????? ?????? ?????????? ??? ????????? ????? ??????? ??? ??????? ??????????????) ?????: ??(
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash :77)
d).   Membentuk pribadi yang memiliki dasar keimanan yang kuat serta wawasan keilmuan yang luas
????????? ???? ??????????????? ???? ???????????? ??????????? ???????????? ???????????? ????????????? ????? ?????????? ??????????????? ???? ?????? ??? ??????????? ???? ????? ???????? ????? ????? ??????? ??????? ???? ??????? ?????? ?????? ???? ??????? ?????? ??????? ???? ????? ??????? ????? ??????????? ????????) ?????: ??(
Artinya: Orang-orang badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: �Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami�; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: �Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfa�at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Fath : 11).
Di atas misi kemanusiaan itulah pendidikan Islam berpijak untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi terbentuknya pribadi-pribadi muslim dan untuk selanjutnya membentuk tatanan masyarakat Islami yang dinamis. Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah    ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Kedua, Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern.[15]
Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah dalam evolusi kehidupan manusia.
Pemahaman sebagaimana di atas menuntut kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan baru untuk menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan. Dengan cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi muslim yang kelenturan berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam menghadapi perubahan cara hidup. Bertolak dari kenyataan tersebut , dalam konteks perubahan sosial ini pendidikan Islam mempunyai misi ganda, yaitu:
Pertama, Mempersiapkan manusia muslim untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan   akan terjadi, mengendalikan dan memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut, menciptakan kerangka berpikir yang komprehensif dan dinamis bagi terselenggaranya proses perubahan yang berada diatas nilai-nilai Islam. Kedua, Memberikan solusi terhadap ekses-ekses negatif kehidupan modern yang berupa depersonalisasi, frustasi dan keterasingan umat dari dunia modern[16].
Tentunya, kedua misi tersebut di atas mengisyaratkan tugas berat yang dihadapi pendidikan Islam dewasa ini. Dan diperlukan suatu kerangka pandang yang komprehensif dan relevan dalam mengantisipasi setiap perubahan sosial sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misi pendidikan Islam itu juga mengisyaratkan perlunya mengaitkan pendidikan Islam dengan masa depan. Pendidikan Islam yang tidak berorientasi ke masa depan akan ketinggalan zaman dan tidak adaptif.
2.     Faktor Ideologi Negara
Antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.  Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi: Pertama, dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia. Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan.
Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya[17].
M. Arifin menjelaskan bahwa:
Sejak dari awal Indonesia merdeka, pemerintah telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa Pancasila menjadi dasar negara[18].
Namun  apabila dilihat kembali  perjalanan sejarah para pemimpin nomor satu di negeri ini dalam menafsirkan ideologi Pancasila dan mengimplementasikannya terhadap pendidikan Islam, dapat di bagi menjadi tiga orde (masa):
a).   Orde Lama
Pancasila sebagai ideologi negara dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan golongan, termasuk umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa semua agama itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali berhasil �menjinakkan� dan mementahkan perjuangan politik Islam yang kemudian berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh kongkretnya adalah menghapus  tujuh kata dalam �Piagam Jakarta� dalam UUD 45 �Dengan Kepercayaan Terhadap Allah Yang Maha Kuasa�.
b).   Orde Baru
Pada awal-awal pemerintahannya Presiden Soeharto mengadakan konsolidasi yang diiringi dengan kebijakan yang represif terhadap islam. Karena Soeharto melihat Islam sebagai ancaman. Maka antara Pemerintah dan islam selalu ada hubungan antagonis yaitu hubungan yang saling curiga dan saling tidak percaya. Pada pertengahan pemerintahannya Presiden Suharto mencetuskan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal untuk partai politik dan keagamaan. Hubungan antara pemerintah dan umat Islampun makin menegang. Peristiwa � Tanjung Priok tanggal 12 September 1984, yang memakan ratusan korban adalah salah satu contohnya.
c).   Orde Reformasi
Dengan bergulirnya masa reformasi yang ditandai dengan demokratisasi sebagai salah satunya, membawa angin segar bagi pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi managerial dan proses Pendidikan Islam. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya Pendidikan Keagamaan Islam dan Keagamaan diselenggarakan[19].
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan: Pendidikan Keagamaan meliputi Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup Pendidikan Keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola yaitu Mentri Agama.
Hanya saja realitas yang ada sampai saat ini masih terkesan, secara kelembagaan Pendidikan Islam menempati posisi kedua setelah Pendidikan Nasional. Sebuah lembaga yang menawarkan Pendidikan Islam kurang banyak diminati jika dibanding dengan lembaga lain yang dianggap lebih menjanjikan. Dan sampai saat inipun, posisi Pendidikan Islam belum beranjak dari sekedar sebuah subsistem dari sistem Pendidikan Nasional.
3.     Faktor Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat informasi (informatical society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup. Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu mendaya gunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi[20].
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer orang memasuki lingkungan informasi dunia.
Peran media elektronik yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar. Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya strategis, antara lain:
Pertama, Tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif. Kedua,Guru di masa mendatang adalah guru yang selain memiliki informasi, berakhlak baik dan mampu menyampaikannya secara metodologis, juga harus mampu mendayagunakan berbagai sumber informasi yang tersebar di masyarakat ke dalam kegiatan belajar. Dengan demikian pembelajaran harus lebih memusat pada siswa yang pada gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar. Ketiga, Bahan pelajaran umum dan agama perlu diintegrasikan dan diberikan kepada siswa sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh, yaitu pribadi disamping berilmu pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini penting karena kehidupan masa mendatang banyak dihadapkan pada tantangan yang bersifat moral. Untuk itu, perlu dikembangkan pengamalan akhlak di sekolah-sekolah[21].
4.     Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara.
�Kehadiran IPTEK di negara-negara maju, sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah kemajuan itu mula-mula dicapai�[22]. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain sebagainya. Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat pesat tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya) dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Disamping dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.
Kenyataan untuk merebut teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang pembangunan nasional diarahkan dengan orientasi pada teknologi industri, dalam hal ini tak terkecuali dalam bidang pendidikan manusia.



[1]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 14.

[2] KH. Said Adiel Siradj, Islam kebangsaan, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 126.
[3] Soeganda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1999), hal. 12.

[4]Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai  Pustaka, 2002), hal. 263.
[5] H.A.R Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. (Jakarta: Gramedia Widiasarana,1995), hal. 33.
[6]Bakar, U.A. dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang Sisdiknas, (Yogyakarta: Safiria Insani Pres,2005), hal. 39.
[7] Ibid., hal. 30.

[8]Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam dI Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hal. 165.
[9] Ibid., hal. 166.
               [10]Zaenuddin, Reformasi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 33.

[11] Hasan Lamggulung, Pendidikan dan Peradapan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1995), hal. 34.
[12]Muhaimin, Wacana Perkembangan Pendidikan Islam, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 100.
[13] Hasbullah, Kapita selekta pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 34.

[14]Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), hal. 17.
[15] Rachmat, Jalaluddin dalam artikelnya �Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga�, dalam Ulumul  Qur�an, vol. 2, 1989.

[16]Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1992), hal. 23.
[17] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 56.

[18] Ibid., hal. 57.
[19]Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 23.
[20]Abuddin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I (Jakarta: UIN JAKARTA PRESS, 2006), hal. 24.
[21]Altaf Gauhar, Tantangan Islam dalam Hasbullah, Kapita selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 23-24.
               [22]Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai, 1993), hal. 33.