Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

BIOGRAFI NURCHOLIS MADJID



BAB II

BIOGRAFI NURCHOLIS MADJID


A.    Latar Belakang Keluarga          
                                   
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur (Sapaan akrab Nurcholish Madjid) lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939[1], bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H. Nurcholish Madjid adalah putra dari seorang petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur ayah yang alim. Dia merupakan Kyai alim alumni pesantren Tebuireng dan termasuk dalam keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal memiliki hubungan khusus dengan K.H Hasyim Asy�ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Nurcholish Madjid semenjak dirinya masih berusia 6 tahun[2]. 
B.    Latar Belakang Pendidikan

Nurcholish Madjid memperoleh pendidikan pertama dari ayahnya ketika berumur 6 tahun. Kemudian, pendidikan dasarnya ditempuh di dua sekolah yaitu madrasah al-Wathaniyah dan di SR Mojoanyar, Jombang. Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul �Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu�alimien al Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955. hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi[3].
Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab[4]. Sehubungan dengan kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur): Suatu hari ia pulang ke rumah, Ayahnya, Abdul Madjid dikenal memiliki koleksi kitab yang banyak dan tidak ada yang bisa membaca selain ayahnya sendiri. Ketika pulang ke rumahnya, ditunjukkan beberapa kitab berbahasa Arab dari Mesir dan ayahnya tidak bisa membaca. Sementara Cak Nur mampu membaca kitab-kitab ayahnya itu dengan baik[5].        

         
C.    Karya yang Dihasilkan   
                                   
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif. Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina[6]. Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya, dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1.     Khazanah Intelektual Islam.[7]Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan Muhammad Abduh.
2.     Islam Kemodernan dan Keindonesiaan[8]. Dalam buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman dan keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang berkembang di saat itu.
3.     Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan[9]. Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini, Cak Nur berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil, inklusif dan kosmopolit.
4.     Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid �Muda�. tahun 1994.
5.     Pintu-Pintu Menuju Tuhan tahun 1994. Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Cak Nur di harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan lebih sederhana dan �ringan� (populer) dari gagasan Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.
6.     Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah tahun 1995. Dalam buku ini pemikiran Cak Nur lebih terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan.
7.     Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia tahun 1995. Buku ini sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Cak Nur menyajikannya dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.
8.     Masyarakat Religius tahun 1997. Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan, antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan kekuatan adi-alami.
9.     Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia tahun 1997. Dalam buku ini Cak Nur mengetengahkan tentang peran dan fungsi Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi dan konsep oposisi loyal.
10.  Kaki Langit Peradaban Islam tahun 1997, mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal Al-Shafi�i dalam bidang hukum, al-Gazali dalam bidang tasawuf, ibn Rusyd dalam filsafat dan Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan sosiologi.
11.  Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan tahun 1997, yang membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya dalam peradaban Islam di Indonesia.
12.  Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer tahun 1997. Buku yang merupakan transkrip wawancara yang pernah dilakukan oleh Cak Nur memiliki mainstream bagaimana nilainilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik politik kontemporer.
13.  Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid �Tekad� tahun 1999. Dalam buku ini Cak Nur berusaha menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Nur di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen dalam harian Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
14.  Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, tahun 1999. Buku ini merupakan perjalanan panjang politik NurcholishMadjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Cak Nur sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilainilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya sehingga tidak bertahan lama.
15.  Indonesia Kita. Dalam buku yang merupakan karya tulis terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang yang menantang tahun 2003. Dalam buku ini dimuatpokok pemikiran Cak Nur ketika mencalonkan diri sebagai Presiden RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia.
Di samping itu, terdapat beberapa ceramahnya yang juga dibukukan, seperti Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Pesan-Pesan Takwa Nurcholis Madjid: Kumpulan Khutbah Jum�at di Paramadina; 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadhan. Pada sisi lain, ia juga banyak menulis artikel yang tersebar di beberapa buku suntingan orang lain,[10]baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, yang tersebar di beberapa jurnal nasional[11]maupun jurnal internasional.[12]
Karya-karya dalam Bahasa Inggris
1.     The Issue of Modernization Among Muslimin in Indonesia: From a participant�s Paint of View, dalam Gloria Davies (ed.)
2.     What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)
3.     Islam in the Contemporary World, (Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980).                
D.    Karir yang Dicapai

Semasa menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum HMI cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi ketua umum pengurus pusat HMI dua periode tahun 1966-1971. Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations tahun 1969-1971[13].
Setelah menamatkan pendidikanya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid memperoleh kesempatan melanjutkan studinya ke Chicago yang didanai oleh Fond Foundation pada tahun 1974 ketika Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia. Di Chicago Nurcholish Madjid memperoleh gelar doctor antara tahun 1978-1984, dan lulus dengan nilai Camlaude dengan judul disertasinya �Ibnu taimiyah dalam kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam�[14]. Selain bidang Filsafat, yang diminatinya adalah: Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, serta Politik negara-negara berkembang[15].
Nurcholis Madjid kembali ke tanah air pasca menyelesaikan studinya di Amerika Serikat, Nurcholis Madjid kemudian mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972, Nurcholis Madjid juga menjadi Guru Besar tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. Nurcholis Madjid menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985, dan menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya sejak 1998-2005[16]. dan Nurcholis Madjid meninggal dunia pada tanggal 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara[17].                                                          
E.    Kondisi Sosial Politik      

Merujuk pada sebuah catatan pengantar yang ditulis Prof. M. Dawam Raharjo dalam bagian keempat: Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,[18]ada  beberapa istilah yang signifikan dan cukup berpengaruh di dalam diskursus wacana keilmuan Islam neo-Modernisme Indonesia. Dimana Nurcholish Madjid berada di posisi yang harus diadili karena dialah yang melempar  persoalan terhadap publik mengenai istilah-istilah tersebut. Di tengah perdebatan tata kelola pemerintahan pasca kemerdekaan yang masih belum selesai, Nurcholish Madjid dan rekan-rekan sesama pembaru pemikiran Islam harus berhadap-hadapan langsung untuk mempertanggungjawabkan ide-ide gagasannya terhadap masyarakat dan keilmuannya sendiri. Menurut saya, ada dua hal yang sangat menarik untuk membaca satu sosok pembaru pemikiran Islam di Indonesia ini. Yakni dengan melihat metodenya dalam mengambil simpati kepada khalayak serta konsistensi pemikiran yang kuat.
Sepulangnya dari Amerika, Nurcholish tampil tidak lagi sebagai aktor intelektual, tetapi lebih sebagai filosof moral, sehingga penyampaiannya bersifat lunak dan elegan. Contoh yang paling menonjol dari pemikiran politik Islam substantifnya Nurcholish sepulang dari Amerika adalah pada Piagam Madinah. Dalam suatu tulisan, misalnya, ia menyebutkan:
Bunyi naskah Konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam Konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar[19].
                                   
F.     Kondisi Sosial Intelektual

Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke-KMIannya[20]yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya.
Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 sampai 1969 dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/ Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971[21].
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki beberapa posisi sentral. Di antara beberapa karir sentral yang dicapainya adalah; menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) tahun 1974-1977. Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1986 Nurcholish Madjid mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina Mulya, Jakarta[22]. Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang anggota MPR RI[23].
Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid menggantikan pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang disampaikannya dalam acara besar tersebut berjudul �Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat[24]�.
                                               
G.   Tokoh yang Mempengaruhinya

Adapun tokoh-tokoh yang mempengaruhi Nurcholis Madjid adalah sebagai berikut:
1.     K. H. Imam Zarkasyi
2.     Prof.  Dr. Mahmud Yunus
3.     K. H. Hasyim Asy�ari
4.     Sayyed Muhammad Naquib Al-Attas
5.      Zainuddin Labay El-Yunus
6.     K.H. A. Wahid Hasyim
7.     K.H. Ahmad Dahlan                              
H.    Metode (Corak) Berfikir Nurcholis Madjid     
     
Sebagai seorang cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia, Nurcholish Madjid banyak memberikan formulasi pemikirannya terhadap dunia Islam yang bersifat pembaruan. Dengan berkiblat kepada pemikiran Ibnu Taimiyah dan Fazlur Rahman sebagai tokoh yang mempengaruhi pola pemikiran Nurcholish Madjid bahwasannya Konsep pembaruan ini terdapat tiga hal dasar yang menjadi tolak ukur proses pembaruan Islam ke depan. Di antaranya konsep Modernisasi, Sekularisasi dan Inklusivisme. Ketiga hal tersebut menjadi pola pikir keIslaman yang membawa pada jalur pembaruan Islam di Indonesia.
Konsep pembaruan itu sendiri sangat erat kaitannya dengan pemikiran dan afirmasi terhadap pergerakan dari konsep yang telah direncanakan tersebut. Pembaruan yang menitikberatkan pada suatu hal afirmatif dan realistis terhadap kehidupan yang mampu menjawab tantangan yang ada disekitar bukan makna konsensus perkiraan, namun lebih pada koefisien memperbarui. Berikut mengenai konsep-konsep pemikiran Nurcholish Madjid dalam pembaruan Islam: Modernisasi, Sekulerisasi bukan sekulerisme, Teologi Ekslusivisme dan Inklusivisme, Islam Yes, Partai Islam No.



               [1]Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 224.
               [2]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 74.
               [3]Greg Barton, Gagasan Islam�.., hal. 75.
               [4]Santri yang masuk di pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan Bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua, seorang santri mulai diperbolehkan untuk belajar nahwu danSarraf. Demikian juga di kelas tiga, empat, lima dan enam.
               [5] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang press, 2002), hal. 51.
               [6] Nama Paramadina menurut Cak Nur, berasal dari Parama (paramount) artinya Unggul atau ekselen, sedangkan dina maksudnya adalah din al-Islam, sehingga makna filosofi nama yayasan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang unggul dan keunggulannya harus bias dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai pembawa rahmat. Makna lain dari paramadina adalah para yang berarti pusat dan madina menunjuk kepada model peradaban modern dan Islami yang telah dirintis oleh Rasulullah Muhammad di kota Madinah, yang asalnya bernama Yathrib. Peralihan nama tersebut secara sosiologis filosofis memiliki konsep yang sangat visioner dan modern sehingga sangat memukau dan menjadi model bagi Cak Nur. Periksa Nafis, Kesaksian Intelektual, hal. 224.
               [7]Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 65.
               [8]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 29.
               [9]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 17.
               [10]Seperti dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, di mana Cak Nur memberikan kontribusi 17 buah entry, �Pesantren dan Tasawuf � dalam buku suntingan M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 34.
               [11]Misalnya �Tasawuf sebagai Inti Keberagamaan� dalam Pesantren No. 3/Vol. II/1985, dan lain-lain.
               [12]Seperti �The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: From a Participant�s Point of View�, Gloria Davies, ed., What is Modern Indonesian Culture? (Athens, Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979); �Islam in Indonesia: Challenges and Opportunies�, Cyriac K. Pullapilly, ed., Islam in The Contemporary World (Notre Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980), hal. 65.
               [13]Http://Adesmedia.Blogspot.Com/2013/03/Tokoh-Pembaharuan-Islam-Nurcholis-Majid. Html (diakses Pada Tanggal 31 November 2016  Pukul 11.45 WIB)
               [14]Junaidi Idrus. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid (Membangun Visi Dan Misi Baru Islam Indonesia), (Yogyakarta: Logung Pustaka. 2004). hal. 30.
               [15]Abdul Qodir, Jejak Langkah Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 105-107.
               [16]Http://Adesmedia.Blogspot.Com/2013/03/Tokoh-Pembaharuan-Islam-Nurcholis-Majid. Html (diakses Pada Tanggal 31 November 2016  Pukul 13.00 WIB)
               [17]Http://Www.Tokohindonesia.Com/Ensiklopedi/N/Nurcholis-Madjid/Biografi/05.Html (diakses Pada Tanggal 31 November 2013 Pukul 12.20 WIB)
               [18]Nurcholish Madjid,  Modernisme dan Pembaruan Pemikiran Islam, Cet. Ke-1 (Bandung: Mizan, 2008), hal. 39.
               [19]Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 57.
               [20]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal�,hal. 65.
               [21]Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26.
               [22]Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholish Madjid,  (Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001), hal. 63.
               [23]Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 211.
               [24]Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 18-19.