BAB III
HIKMAH LARANGAN MENGAWINI WANITA MUSYRIKAH MENURUT PENDIDIKAN ISLAM
A. Hukum Perkawinan Menurut al-Qur�an dan Hadist
Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur�an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.
Adapun hukum perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
a). Wajib kawin Seorang wajib hukumnya kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material, mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.
b). Perkawinan yang Sunnat Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum berdasarkan ayat-ayat al-Qur�an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. yang menganjurkan perkawinan. Hal ini terdapat dalam surat An-Nahl ayat 72 Allah berfirman:
???????? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ???????? ????? ????? ???????????? ??????? ?????????? ??????????? ????? ????????????? ???????????????? ??????????? ???????????? ?????? ???? ???????????)????? :??(
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ? (QS. An-Nahl: 72).
Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan adalah �sunnat�. Ulama mazhab syafi�i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah �mubah�. Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.
c). Perkawinan yang haram. Bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi haram. Nabi saw mengajarkan : �Jangan melakukan suatu perbuatan yang berakibat menyusahkan diri sendiri & orang lain.�
d). Perkawinan Makruh Perkawinan hukumnya makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental dan agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya. Imam Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat kerja dalam bidang ilmiah maka hukumnya lebih makruh.
e). Perkawinan yang mubah Bagi orang yang mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran berbuat zina maka hukumnya mubah. Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina keluarga serta keselamatan hidup beragama. Catatan: Salah satu tujuan diciptakannya Hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya diciptakan Hukum Perkawinan.[1]
B. Hikmah Perkawinan Dalam Islam diTinjau Menurut Pendidikan Islam
Islam sebagai agama yang lengkap yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Rasul terakhir, mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak dan rumah tangga adalah pemegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk kepentingan rumah tangga, Islam telah menentukan beberapa peraturan yang sangat lengkap dan rapi, sampai kepada soal-soal yang sekecil-kecilnya. Seluruh tanggungjawab di dalam rumah tangga dan ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diterangkan dan dijelaskan dari sejak masa lamaran hingga meniggal. Kesemuanya telah diatur serapi-rapinya oleh Islam.
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dan agama dimasa depan. yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya dalam surat Ar-rum ayat 21:
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ??????????....... )?????: ??(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciftakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang � (Qs .Ar- Ruum :21).
2) Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Secara pendidikan, anak yang lahir karena perkawinan yang sah akan damai dan tenteram bersama keluarganya dan memperoleh keturunan yang jelas serta perlidungan dari orang tuanya.
3) Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4) Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5) Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6) Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7) Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.[2]
Hikmah yang telah kita bahas diatas yang menyangkut dengan pernikahan yang erat kaitannya dengan pendidikan memiliki tujuan yang mulia. Para ulama menjelaskan bahwa diantara tujuannya adalah:
1) Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Di tulisan terdahulu (bagian kedua) penulis sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2) Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari�atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam bersabda :
???? ?????? ????? ???? ?????????? ?????? ????? ???????? ?????? ?????: ????? ????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????? ??????????? ?????????? ???? ?????????? ???????? ?????????? ???????????????? ????????? ??????? ?????????? ?????????? ?????????? ?????? ???? ?????????? ?????????? ??????????? ????????? ???? ???????.) ???? ???????(
Artinya: Abdullah bin Mas�ud R.A. menceritakan bahwa Nabi SAW berkata: Wahai para pemuda !Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya. (HR. Bukhari ).[3]
3) Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur�an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 229 berikut :
?????????? ?????????? ??????????? ??????????? ???? ????????? ??????????? ????? ??????? ?????? ??? ??????????? ?????? ??????????????? ??????? ?????? ??? ???????? ?????? ???????? ??????? ?????? ?????? ???????? ?????? ???????? ??????? ?????? ????? ??????? ??????????? ?????? ????????? ???? ?????? ??????? ?????? ????? ???????????? ????? ????????? ??????? ?????? ????????????? ???? ?????????????) ??????: ???(
Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma�ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim. (?Qs. Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari�at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
????? ?????????? ????? ??????? ???? ??? ?????? ??????? ??????? ??????? ???????? ????? ?????????? ????? ??????? ??????????? ??? ???????????? ??? ?????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ??????? ?????? ???????????? ???????? ???????????) ??????: ???(
Artinya: Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui(Qs. Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari�at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari�at Islam adalah wajib. Di samping itu, untuk mewujudkan kebahagiaan, suami istri harus selalu berusaha menjalin kebersamaan, menyamakan visi dan misi, serta cita-cita untuk mewujudkan pernikahan yang matang. Mampu menjadi partner dalam mencapai tujuan bersama, dan saling membangkitkan perhatian atas tugas-tugas pasangan. Insya Allah, hal itu akan semakin memperbesar rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan.
Pernikahan adalah sebuah sarana untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih besar, serta lebih banyak dari sebelumnya, yang didasari cinta sepasang insan, dengan latar belakang berbeda. Jadi tak sekedar bermodal cinta perkawinan dibangun. Tanpa usaha dan perhatian yang sungguh-sungguh, tak menjamin langgengnya pernikahan. Sebab cinta itu sendiri butuh siraman dan bantuan untuk tetap tumbuh sehat dan kuat. Dan pada akhirnya cinta yang kokoh, kearifan sikap serta kebersamaan pasangan dalam perkawinan akan menjadikan kebahagiaan abadi. Terlebih lagi jika cinta itu dibangun karena Allah. Kian sempurnalah kebahagiaan pernikahan. Maha Suci Allah, yang menjadikan pernikahan sebagai syariat. Maha Besar Allah yang menjadikan hikmah atasnya. (ummu ahmad fadhl).
C. Hikmah Larangan Mengawini Wanita Musyrikah diTinjau Menurut Pendidikan Islam
Pernikahan merupakan bagian dari pelaksanaan haququl-�ibaad (memenuhi hak-hak sesama hamba) atau hablun-minan- naas (menegakkan hubungan dengan sesama manusia). Oleh karena itu dalam agama Islam kedudukan pernikahan sangat penting dan sangat strategis, sebab pernikahan merupakan titik sentral pertemuan garis vertikal dan garis horizontal yang bersilang. Dari titik sentral pernikahan itulah segala bentuk dan tingkatan perhubungan serta kewajiban orang-orang yang beriman berkembang ke semua jurusan, baik yang ada hubungannya dengan Haququllaah (Hablun-Minallaah) yakni memenuhi hak-hak Allah Ta�ala atau mengadakan perhubungan dengan Allah Ta�ala maupun Haququl-�Ibaad (Hamblun-Minannaas) yakni memenuhi hak-hak sesama hamba Allah Ta�ala atau mengadakan hubungan dengan sesama hamba Allah Ta�ala.
- Garis vertikal sebelah atas dari garis horizontal menggambarkan hubungan dan kewajiban pasangan suami-istri terhadap kedua orang tua, termasuk di dalamnya kewajiban terhadap kedua mertua.
- Garis vertikal sebelah bawah dari garis horizontal menggambarkan hubungan dan kewajiban pasangan suami-istri terhadap anak keturunan mereka.
- Garis horizontal sebelah kanan dan sebelah kiri dari garis vertikal menggambarkan hubungan dan kewajiban pasangan suami-istri terhadap saudara-saudara serta karib kerabat dari kedua pasangan suami-istri, meluas meliputi tetangga yang dekat maupun tetangga yang jauh.
Titik-sentral pernikahan tersebut merupakan tatanan sosial (masyarakat) paling kecil yang terdiri dari pasangan suami-istri. Dari Titik-sentral pernikahan tersebut dapat berkembang (meluas) menjadi suatu tatanan sosial (masyarakat) yang sangat besar, itulah sebabnya kedudukan pernikahan dalam ajaran agama Islam (al-Quran) sangat penting dan sangat strategis dalam upaya mewujudkan kesatuan dan persatuan umat manusia serta dalam upaya mewujudkan persaudaraan umat manusia.
Dalam rangka memperkuat persaudaraan rohani yang merupakan persaudaraan yang hakiki tersebut, Allah Ta�ala dalam masalah pernikahan telah menekankan pentingnya pasangan suami-istri memiliki kesamaan iman, firman-Nya dalam surat Al-baqarah ayat 221:
????? ?????????? ?????????????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ?????? ???? ??????????? ?????? ?????????????? ????? ?????????? ?????????????? ?????? ??????????? ?????????? ????????? ?????? ???? ????????? ?????? ???????????? ??????????? ????????? ????? ???????? ???????? ???????? ????? ?????????? ??????????????? ?????????? ??????????? ???????? ????????? ??????????? ??????????????) ??????: ???(
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sehingga mereka beriman, dan niscaya hamba-hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan-perempuan musyrik meskipun ia menakjubkan kamu. Dan janganlah kamu menikahkan perempuan beriman dengan laki-laki musyrik sehingga mereka beriman, dan niscaya hamba-hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menakjubkan kamu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya, dan Dia menjelaskan Tanda-tanda- Nya kepada manusia supaya mereka dapat meraih nasihat (Qs. Al Baqarah: 221).
Kata �ajiba atau �ajabandalam ungkapan ?????? ?????????????? (sekali pun mempersona kamu) artinya: ajaib, mengherankan atau menakjubkan (mengagumkan) atau mempesona. Hal tersebut dapat tertuju kepada kecantikan (ketampanan) wajah dan penampilan lahiriah (jasmani) atau kepada kekayaan maupun kedudukan duniawi termasuk gelar-gelar kesarjanaan contohnya penampilan jasmaniah Qarun yang telah mempersona Bani Israil di Mesir.
Apabila dalam masalah pernikahan, orang-orang yang mengaku beriman lebih mengutamakan pilihan mereka sendiri bertentangan dengan ketentuan Allah Ta�ala dalam firman-Nya tersebut, maka Allah Ta�ala akan berlepas tangan terhadap berbagai problema yang timbul dalam rumahtangga mereka, sebab Allah Ta�ala telah menyatakan mereka sebagai orang-orang yang sesat dengan kesesatan yang nyata, sebab mereka itu dalam masalah pernikahan telah berbuat durhaka kepada Allah Ta�ala dan kepada Rasul-Nya.
Itulah sebabnya Allah Ta�ala dalam ayat sebelumnya, telah melarang orang-orang yang beriman untuk menikah dengan orang-orang musyrik walaupun mereka itu sangat menakjubkan (sangat mempesona) dalam penampilan jasmaniahnya baik status sosialnya mau pun ketampanan atau kecantikannya sebab �Mereka mengajak kepada api sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.� Larangan menikah dengan orang-orang musyrik tersebut sangat erat kaitannya dengan larangan Allah Ta�ala lainnya yang bersifat umum, yakni Dia telah melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pelindung/sahabat) dengan mengesampingkan orang-orang beriman. Selain dari pada itu kemusyrikan merupakan hal yang yang dapat menjerumuskan manusia dalam lembah kehinaan yang dapat mengganggu hidupnya dalam proses pendidikan kearah yang lebih baik didunia ini.
D. Hikmah Larangan Mengawini Wanita Musyrikah Dalam Tinjauan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain. Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 surat Al-Baqarah dibawah ini:
????? ?????????? ?????????????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ?????? ???? ??????????? ?????? ?????????????? ????? ?????????? ?????????????? ?????? ??????????? ?????????? ????????? ?????? ???? ????????? ?????? ???????????? ??????????? ????????? ????? ???????? ???????? ???????? ????? ?????????? ??????????????? ?????????? ??????????? ???????? ????????? ??????????? ??????????????) ??????: ???(
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sehingga mereka beriman, dan niscaya hamba-hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan-perempuan musyrik meskipun ia menakjubkan kamu. Dan janganlah kamu menikahkan perempuan beriman dengan laki-laki musyrik sehingga mereka beriman, dan niscaya hamba-hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menakjubkan kamu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya, dan Dia menjelaskan Tanda-tanda- Nya kepada manusia supaya mereka dapat meraih nasihat (Qs. Al Baqarah: 221).
Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap musyrik Kitabiyah.Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Selanjutnya Syarifie dalam bukunya Membina Cinta Menuju Perkawinan mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
a). Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
b). Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan.
c). Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika. Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan kitabiyah.Karena itu kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini, misalnya di Indonesia. Kesimpulan Dalam kaitan hukum pernikahan antara kaum Muslimin dan Muslimat dengan orang-orang yang bukan Islam, orang-orang bukan Islam dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu golongan kaum musyrikin dan golongan Ahlul Kitab.Kaum Muslimat diharamkan secara mutlak kawin dengan pria nonMuslim, baik dari golongan musyrikin maupun dari golongan ahlul kitab.Demikian pula kaum muslimin haram secara mutlak kawin dengan wanita musyrik. Menurut pandangan Masjfuk hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi (Kitabiyah) ialah karena pada hakekatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion), maka jika wanita kitabiyah kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri wanita itu masuk Islam, karena merasakan dan menyaksikan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam yang baik. Menurut pengamatan Masjfuk Zuhdi, bahwa perkawinan antar orang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Penulis sendiri menyarankan supaya ajaran Islam harus tetap dijadikan dasar untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pertimbangan yang lain jangan mengalahkan pertimbangan agama. Hendaknya berpendirian kuat bahwa nikah dengan non Islam adalah haram, termasuk antara pria Islam dengan wanita Kristen di Indonesia.[4]
E. Pengaruh Negatif Perkawinan dengan Wanita Musyrikah Dalam Tinjauan Pendidikan Islam
Rumah tangga merupakan azas kebudayaan dan pembentuk gaya pemikiran seorang anak. Pengetahuan, pemikiran, pandangan, dan filsafat hidupnya, sikap yang di ambil dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, kebiasaan bahasa, dialek, dan tata nilai yang di terima anak, berasal dari rumah tangga. Rumah tangga merupakan sarana terpenting guna mewariskan kebudayaan sosial dan membentuk para individu agar memiliki cara berfikir dan cara pandang khas dalam kehidupan. Semangat dan kondisi kebudayaan mereka berasal dari kebudayaan yang ada di dalam rumah tangganya. Betapa banyak optimisme dan pesimisme akan kehidupan ini, keahlian akan penemuan dan inovasi, muncul dari rumah tangga. Pelajaran politik pertama, di pelajari seorang anak dari rumah tangganya. cara pandang dan prilaku orang tua dalam masalah kebebasan, kepartaian, pengelompokan, undang-undang dan peraturan, ketentraman dan mobilisasi social, hubungan nasional dan internasional, serta pemerintahan dan evolusi sosial. Sangat berpengaruh pada proses pembentukan pola berfikir dan sikap seorang anak.
Betapa banyak sikap positif dan negatif seseorang terhadap suatu hal yang merupakan akibat dari dictum atau doktrin yang di tanamkan dalam rumah tangga. Anak-anak, bahkan pemuda, dalam berbagi perkara merupakan juru bicara dari bentuk pemikiran orang tua mereka. Mereka hanya memegang kuat-kuat apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Apabila melihat orang tuanya cenderung pada kelompok pemerintahan dan politik tertentu, seorang anak niscaya akan menjadi seperti itu.
Penerimaan ataupun penolakan dalam pandangan positif atau negatif seorang anak terhadap jenis aktifitas dan pekerjaan tertentu, sebagian besar berasl dari berbagai sikap dan doktrin orang tauanya dalam lingkunagn keluarga. Seorang ayah yang selalu mengungkapkan perasaan letih atas pekerjaan sehari-harinya atau seorang ibu yang merasa benci terhadap jenis pekerjaan suaminya, dengan sendirinya akan membentuk benih permusuhan dan kebencian di hati sang anak terhadap jenis penerjaan tersebut.
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan nilai-nilai universal seperti keadilan, persatuan, persaudaraan, perdamaian dan nilai-nilai universal lainnya. Menurut kalangan Islam liberal ayat-ayat universal dan partikular, dan nilai-nilai universalitas Islam terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran yang bersifat universal. Nilai-nilai ini harus ditegakkan oleh setiap Muslim, sehingga apabila ada perbedaan antara ayat universal dengan ayat partikular maka yang harus dimenangkan adalah ayat-ayat yang universal. Hal ini untuk menegakkan tujuan Islam yang sebenarnya, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia. Kemaslahatan (al- rnashlahah)�[5]Sebagai maqashid al-syari'ah merupakan dasar pembentukan hukum Islam harus diprioritaskan sebagai sarana untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam. Bahkan kalangan JIL membolehkan amandemen teks teks agama nash bila bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat. Mereka mengeluarkan beberapa kaidah yang biasa disebut dengan ushul fiqih liberal yang diciptakan oleh Abdul Moqisth Ghazali: a) Al-Ibrah bi al-maqashid,a bi al-alfazh (yang menjadi patokan hukum adalah maksud tujuan syariat, bukan ungkapannya. b) Jawaz naskh nushush bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat); c) Tanqih nushush bi 'aql al-mujtama' (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik)�[6]
Berpijak pada pandangan universalisme Islam di atas maka tidak ada alasan yang melarang pernikahan antar umat beragama, bila di dalamnya akan mendatangkan mashlahat. Nilai mashalahat ini dapat dilihat dari perspektif akal manusia pada umumnya. Jika menurut pandangan akal manusia secara mayoritas itu baik, karena di dalamnya mengandung maslahat, maka hal itu merupakan maslahat.
Padahal kalau hanya berdasarkan nilai kemasiahatan, di dalam maslahat ada standar yang diperhitungkan syara' bagi maslahat dan mafsadat yang menjadi dasar tasyri' umum, sehingga dapat meneakup individu dart masyarakat secara bersamaan, clan menimbang antara kebutuhan yang segera dais yang tidak segera. Karena itu, tidak dianggap sebagai maslahat kecuali sesuatu yang dipandang, oleh syara' sebagai suatu maslahat. Hal ini untuk mencegah dari kekacauan standar pribadi, sehingga yang menjadi standar adalah syara'.�[7]Kriteria-kriteria untuk menentukan mashlahat menurut syara' adalah: Pertama, memprioritaskan tujuantujuan syarai. Kedua, tidak bertentangan dengan AI-Quran. Ketiga, tidak bertentangan dengan al-Sunnah. Keempat, tidak bertentangan dengan prisip qiyas dan Kelima, memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik. Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahli al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah bahwa ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini.[8]Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah dalamsurat al-Baqarah ayat 221:
????? ?????????? ?????????????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ?????? ???? ??????????? ?????? ?????????????? ????? ?????????? ?????????????? ?????? ??????????? ?????????? ????????? ?????? ???? ????????? ?????? ???????????? ??????????? ????????? ????? ???????? ???????? ???????? ????? ?????????? ??????????????? ?????????? ??????????? ???????? ????????? ??????????? ??????????????) ??????: ???(
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( Qs. al-Baqarah ayat 221)
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitabatau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan Nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyahini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyahadalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshanat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Dari keterangan diatas dapatlah kita lihat bahwa pernikahan dengan wanita musyrik merupakan sesuatu yang diharamkan. Perkawinan dengan wanita musyrik dapat membawa dampak negative terhadap keluarga dalam tinjauan pendidikan seperti dalam mendidik anak-anak tidak adanya kesaman persepsi sehingga dapat mengganggu perkembangan anak dan terjadi kegamangan dalam dalam persoalan akidah Islamiah anak didik. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran ukuran Islam.[9]
Selain dari pada itu dalam proses pendidikan harus adanya sumber yang sama dalam pembinaan. Bahasa yang Senada dengan itu, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur�an dan Hadits.[10]
[2]Yusuf, Husein Muhammad, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Cet. IX, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 36.
[3] Ibid, hal: 285.
[6] Syech Abdurrahman bin Nashir Ash-Sha�adi, Taisiirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiir Kalam Al-Mannan, Cet. I, (Beirut: Jam�iyyah Ihya at-Turats Al-Islami, 2001), hal. 280.
[7]Musthafa Ahmad AI-Zarqa, al-istishlah wa al-Mashalih al-Mursalah, (Damaskus: Dar al- Qalam, 1988), hal, 39-40.
0 Comments
Post a Comment