Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ZAKIAH DARAJAT


BAB II

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ZAKIAH DARAJAT


A.    Latar Belakang Internal

1.     Latar Belakang Keluarga
Zakiah Daradjat lahir pada tanggal 6 November 1929, di kampung Kota Merapak, Kecamatan Ampek Angkek, Kotamadya Bukit Tinggi, Sumatra Barat.[1] Ayahnya bernama H. Daradjat Husain yang memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama, Rafi�ah, ia mempunyai enam anak, dan Zakiah Daradjat adalah anak pertama dari keenam bersaudara. Sedangkan dari istrinya yang kedua, yaitu Hj. Rasunah, ia dikaruniai lima anak. Dengan demikian, dari dua istri H. Daradjat memiliki sebelas orang anak (sepuluh putra dan satu putri). Sungguhpun memiliki dua orang istri, ia kelihatannya cukup berhasil mengelola keluarganya. Hal ini terlihat dari kerukunan yang tampak dari putra-putrinya itu. Zakiah memperoleh perhatian yang besar dari ibu tirinya, sebesar kasih sayang ia terima dari ibu kandungnya.[2]
2.     Latar Belakang Pendidikan

Sejak kecil belaiu dikenal rajin dalam beribadah dan tekun belajar. Di tengah berbagai keasyikan masa kecilnya, Zakiah masih sempat mengisi aktivitasnya dengan keterampilan menyulam sebagaimana remaja kampong umumnya saat itu.
Di dalam kekerabatan hidup keluarganya, suasana agama dalam keluarga mendapat perhatian yang cukup serius. Zakiah kecil bahkan mengecap pendidikan agama dasar langsung dari kedua orang tuanya. Beberapa anak sebaya Zakiah ketika itu ikut pula mengaji di rumahnya kepada kedua orang tuanya. Selain itu, dalam menuntut ilmu pengetahuan Zakiah sempat pula mengaji kepada guru-guru, ustadz-ustadz lain, yang memiliki pemahaman keagamaan lebih daripada kedua orang tuanya.[3]
Pada saat Zakiah duduk di kelas 3 Sekolah Dasar (standaarschool), sore harinya ia mengikuti sekolah diniyah (Sekolah Khusus Agama). Ini dilakukan karena tidak hanya pengetahuan umum yang ingin ia dapat, tetapi ia juga ingin mengerti tentang maslah keislaman. Keadaan demikian terus berlanjut hingga Zakiah memasuki sekolah menengah demikian terus berlanjut hingga Zakiah memasuki sekolah menengah (SMP). Jadi, terlibat bahwa di samping sekolah formal. Ia juga selalu mengiringi pelajarannya dengan pendidikan agama yang juga bersifat formal pada sore harinya. Tahun 1951, setelah menamatkan pendidikan SMA di Bukit Tinggi, Zakiah mulai merantau jauh meninggalakan kampong halaman. Zakiah memutuskan tinggal di kota Gudeg, Yokjakarta untuk melanjutkan studi di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam, sekarang IAIAN Sunan Kalijaga) Fakultas Tarbiyah.[4]
Zakiah sempat pula mengenyam kuliah di Fakultas Hukum UII (Universitas Islam Indonesia) sebagai bagian dari upaya memahami dan menguasai pengetahuan umum. Namun kuliahnya di UII akhirnya harus ditinggalkan, akibat kesibukan dan dorongan dari dosen agar ia lebih berkonsentrasi di PTAIN. Menjelang tingkat empat di PTAIN Yogyakarta, Zakiah mendapat kesempatan melanjutkan studi kebutuhan Kairo dari Departemen Agama setelah terjadi kesepakatan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Mesir. Setelah berkonsultasi dengan keluarga, Zakiah memutuskan melanjutkan studi kebutuhan luar negeri bersama tiga temannya, Ibrahim Husein, dan Irsyat Sahrul, walaupun waktu itu ia belum mendapat gelar sarjana dari PTAIN.[5]
Setelah sampai di Kairo, Zakiah bersama temannya tidak langsung masuk program magister, akan tetapi harus menyelesaikan program Diploma Khusus (Khasshah, yaitu semacam persiapan dan sekaligus menyelesaiakn jenjang sarjana) selama dua tahun. Pada mas aberikutnya Zakiah langsung melanjutkan kebutuhan jenjang megistr di Universitas �Ain Syams dengan memilih bidang konsentrasi kesehatan mental.
Tidak seperti tiga belas teman seangkatannya dari Indonesia yang memutuskan pulang setelah menyelesaikan program megister, Zakiah justru berusaha melanjutkan studi program doctoral dengan konsentrasi bidang psikoterapi dan spesialisasi kejiwaan hingga selesai pada tahun 1964.[6]
�Kalau saya pulang seperti teman laionnya, nanti tidak bisa balik lagi, maka rugilah saya,� kenang Zakiah. Beliau berada di Kairo kurang lebih selama 8 tahun. Kedua orang tua Zakiah sempat berkunjung ke Kairo, bahkan sempat tinggal di sana selama satu tahun.[7]
Setelah menyelesaikan program doktor di bidang psikologi, Zakiah pulang kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmunya. Beliau sempat banyak ditawari untuk mengajar, mulai dari IAIN Yokyakarta, IAIN Padang dan juga IAIN Palembang. Akhirnya Zakiah ditempatkan di Departeman Agama Pusat, sehingga dengan demikian beliau dapat mengajar ke berbagai IAIN yang memperebutkan, bahkan IAIN lainpin ikut mendapat giliran.
3.     Karya Yang di Hasilkan
          
Dari tangan lembut Prof. Dr. Zakiah Daradjat telah banyak karya-karya tulisan brilian yang jumlahnya bisa mencapai ratusan, mulai dari persoalan agama, psikoterapi, problem kejiwaan hingga pendidikan. Maklumlah, Zakiah memang sosok penulis produktif dan buku-bukunya dipandang best seller, ditulis dengan bahasa sederhana yang mudah dicerna masyarakat awam serta diminati pula secara ramai oleh berbagai pihak. Buku-buku tersebut antara lain:
1.     Ilmu Jiwa Agama, diterbitkan oleh Bukan Bintang, Jakarta, tahun 1970
2.     Problema Remaja di Indonesia, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1974.
3.     Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1975.
4.     Pembinaan Remaja, diterbitkan oleh Kalam mulia, Jakata,tahun 1982.
5.     Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, cetakan keempat buku ini diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1985
6.     Ilmu Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1985.
7.     Kesehatan Mental, cetakan keenam belas buku ini diterbitkan oleh CV Hji Masagung, Jakarta, 1990.
8.     Metodelogi Pengajaran Agama Islam, diterbitkan oleh Kalam Mulia, Jakarta, tahub 1993.
9.     Shalat Menjadakan Hidup Bermakna, diterbitkan oleh penerbit Ruhama, Jakarta, tahun 1999.
10.  Remaja Harapan dan Tantangan, diterbitkan oleh penerbit Ruhama, Jakarta, tahun 2001.
Masih banyak karya-karya lainnya baik berupa karangan sendiri maupun gabungan bersama para penulis terkemuka lainnyadi tanah air. Ini belum termasuk karya-karya dalam bentuk buku-buku terjemahannya.[8]
Berdasarkan keterangan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa buku-buku yang di karang oleh Zakiah Daradjat didominasi oleh buku-buku tentang pembinaan mental remaja. Hal ini membuktikan bahwa beliau merupakan salah seorang yang paling gencar menyoroti masalah kejiwaan dan hal ini sesuai dengan spesialisasi yang ia geluti


4.     Karir Yang di Capai

Zakiah Daradjat merupakan seorang aktivis yang menggeluti kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Di samping itu, dia juga aktif sebagai akademisi, pengarang dan psikiater. Sebagai seorang akademisi Zakiah Daradjat telah banyak melahirkan calon-calon intelektual Islam khususnya dalam bidang psikologi. Demikian juga sebagai seorang penulis, dia juga telah banyak melahirkan khazanah ilmu pengetahuan. Di sisi lain sebagai psikiater juga telah banyhk mengobati jiwa remaja yang sedang mencari dirinya, sehingga pengalaman beliau sangat diakui dalam bidang tersebut. Untuk lebih jelas tentang kiprahnya dalam masing-masing bidang tersebut, akan diuraikan secara terperinci sebagai berikut:
1.     Dosen
Sebagai seorang intelektual Islam, Prof. dr. Zakiah sudah barang tentu mempunyai kesibukan yang luar biasa, karena di samping bertugas sebagai staf Departemen Agama RI, dia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi di Jakarta.
Prof. Dr. Zakiah merupakan salah seorang Doctor yaang membidangi masalah kejiwaan yang menyalurkan ilmunya di berbagai perguruan tinggi seperti di IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta, di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung dan di IAIN Sunan Kalijaga Yokyakarta. Bahkan pada lemabga pendidikan tersebut, dia dikukuh sebagai guru besar pada program pasca Sarjana dalan bidang �Ilmu Jiwa Agama�.
Sebagai seorang guru besar Zakiah tidak saja mengajar di perguruan tinggi agama saja, tetapi juga diundang untuk mengajar di Universitas Islam Indonesia Yokyakarta, Universitas Indonesia dan di berbagai lembaga pendidikan tinggi lainnya.[9]
Kiprah Prof. Dr. Zakiah Daradjat begitu luas, mulai dari pegawai hingga sempat menjadi Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, Guru Besar IAIN Jakarta dan Dekan Fakultas pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yokyakarta. Dia pernah pula menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan juga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), serta dipercayakan sebagai salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).[10]
2.     Psikiater
Saat menempuh studi magister, Zakiah mendapat kesempatan untuk berlatih klinik jiwa Universitas �Ain Syams. Sebagaimana yang dialami Zakiah, para mahasiswa yang tertarik bidang tertentu, boleh mengikuit progam dan sarana praktek yang tersedia.
Dalam salah satu catatannya, Zakiah menulis pengalamannya:
Kita sering menghadapi orang yang bermaslah atau menderita dan dengan berbagai latihan yagn penulis ikuti, penulis menyukai pekerjaan ini. Padahal penulis belum memutuskan untuk melanjutkan program doctoral bidang kejiwaaan. Minat penulis semakin kuat setelah mendapat tawaran untuk membantu melayani praaktek konsultasi kejiwaan di klinik kampus. Rasanya penulis merasa suka dengan bidang ini.[11]

Masih menurut pengakuannya:
Awalnya hanya ikut-ikutan bagaimana menghadapi persoalan kejiwaan. Namun setelah terlibat, penulis diminta membantu menangani pasien, mengumpulkan peralatan tes, bahkan penulis disuruh praktek langsung mengangani pasien yang direkomendasikan oleh dokter sekaligus dosen penulis yaitu Dr. Mustafa Fahmi. Saat pertama kali praktek, penulis sempat gugup menghadapi pasien orang asli Mesir dengana bahasa �amiyah-nya (bahasa pasaran sehari-hari). Lalau penulis datang ke Dosen penulis, tapi justru sang Dosen berkata, �Percuma saja kamu punya nilai bagus, sekarang praktekkan apa yang kamu pelajari dan tulis.� Setelah penulis tidak berani lapor lagi.[12]

Di klinik ini, Zakiah semakin banyak mendalami masalah kejiwaan, hingga berjalan 5 tahun. Dia juga menggunakan beberapa kasus yang menarik untuk diambil dan dijadikan kasus penelitian dalam menyelesaikan disertasi doktoralnya. Praktek di klinik Universitas ini, banyak membantunya dalam perjalanan berikutnya hingga Zakiah dapat membuka praktek setelah kembalinya ke tanah air. Setelah pulang ke tanah air, di samping aktivitas sebagai pegawai negeri Departemen Agama Pusat, Zakiah mendapat kesempatan membuka praktek psikoterapi di klinik khusus karyawan departemen yang ingin berkonsultasi, hingga memaksa Zakiah membuka praktek di rumah di luar jam kantor.
Ada kesan menarik saat mulai praktek. Seorang pasien sempat bingung dan ragu, �Saya mengapa disuruh ke dokter jiwa, padahal sayatidak gila�. Prof. Dr. Zakiah menjawab, �Siapa bilang yang kesini orang gila Pebnulis juga tidak mau kalau pasien penulis gila. Kita ngobrol dululah.� Mereka mengira dokter jiwa itu selalu menghadapi orang gila, karena begitu banyak problem kejiwaan selalau dikait-kaitkan dengan kegilaan.[13] Masalah yang sering dihadapi adalah berkisar masalah pribadi, seperti putus asa, kebingungan, depresi, stressdan masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga butuh tempat berbagai rasa dan pengarahan. Misalnya, anak cerdas tetapi beberapa kali tidak ujian atau pekerjaan tidak sesuai dengan minatnya.
Umumnya masalah itu ada kaitannya dengan hubungan orangatua anak, atau hubungan bersaudara dan juga bertetangga. Pada masyarakat kota, masalah yang dihadapi lebih kompleks, yaitu berupa pekerjaan, ekonomi dan pergaulan, sedangkan masyarakat desa tidak terlalu kompleks, yaitu seputar kekerasan adaptasi atau kebiasaan yang berlaku di suatu daerah.[14]
Dengan memahami pemaparan uraian ini, maka dapat dipahami bahwa permasalahan menjadi objek penyelesaian Zakiah Daradjat sangat rumit, karena rata-rata masalah perlu diselesaikan secara arif dan berkaitan langsung dengan kehidupan manusia itu sendiri, sehingga mengharuskan Zakiah Daradjat untuk berhati-hati dalam menghadapi pasiennya.
3.     Dakwah
Setelah menggeluti praktek psikoterapi dan beberapa kali mengisi acara keagamaan serta mengajar keliling di berbagai daerah, banyak permintan kepada Prof. Dr. Zakiah Daradjat untuk memberikan cerammah agma atau dakwah. Padahal Zakiah mengaku tidak terlalu mehir berceramah layaknya mubalighah yang bergelora penuh semangat.
Gaya ceramah Prof. Dr. Zakiah Daradjat memang berbeda dengan mubalighah pada umumnya yang berapi-api atau bergelora, memukau dan membuat khalayak pendengar bertepuk tangan. Sebenarnya Prof. Dr. Zakiah Daradjat pun ingin seperti yang lain, tapi tidak mampu melakukan hal yang sama. Namun, dengan gaya yang lembut dan datar, dengan pendekatan terapi psikologi justru memberikan nuansa lain dan mampu menyentuh hati dan batin para audiens yang mengikutinya.[15]
Dilihat dari garis keturunan ayah, banyak saudara pihak ayah yang aktif memberikan ceramah, diskusi serta berorganisasi. Begitu juga dari garis keturunan ibu, ada seorang bibi yang biasa memberikan ceramah di berbagai tempat. Prof. Dr. Zakiah Daradjat sering ikut bersama bibinya hingga dia suka mendengar  ceramah.
Setelah beberapa kali memberikan ceramah agama, semakin banyak saja permintaan ceramah, bahkan dalam satu tahun bisa mencapai 90 kali ceramah di berbagai daerah. Bisa bayangkan berapa kali dalam satu bula, padahal ia masih harus sempat menjalankan aktivitas kantor. Prof. Dr. Zaliah Daradjat juga sempat diminta mengisi ceramah di beberapa radio dan televise.[16]
Dalam ceramahnya, Prof. Dr, zakiah Daradjat sering mengungkap contoh kasus-kasus yang diperoleh selama menjalankan praktek psikoterapi. Pada saat menceritakan suatu masalah terbayang satu masalah yang sedang ditangani dan dengan memoles (modifikasi) sedikit, kasus itu menjadi bahan ceramah. Para audiens justru merasa senang dengan gaya ceramah ini dan bisa menyelami contoh yang bisa jadi sama dengan yang dialami mereka.[17]
Pernah suatu kali, ada ibu-ibu yang selalu hadir dalam setiap ceramah Prof.Dr. Zakiah, hingga membuat dia penasaran. Saat ditanya alasan kedatangannya padahal inti ceramah yang disampaikannya terkadang sama saja, mereka menjawab, �Saya merasa sembuh dari penyakit setia[ kali mendengar ceramah ibu, seolah masalah saya terungkap dan menemukan penyelesaiannya�.[18]Itulah unkapan ibu-ibu yang selalu hadir dalam ceramahnya.
Dalam menjalani hidup ini, Prof. Dr. Zakiah Daradjat memiliki prinsip yang selalu tertanam dalam benaknya, bahwa beliau ingin menolong orang yang susah batinnya supaya bisa tenang kembali melalui ceramah, atau psikoterapi. Dia akan senang dengan pekerjaan ini dan akan merasa susah bila melihat orang yang batinnya selalu gundah gulana. Sebisa mungkin dia dapat mengurangi kesusahan batinnya.[19]
Melihat kondisi bangsa saat ini yang sedang mengalami kritis multidimensional, bangsa yang mengalami trauma missal, mudah tersinggung, anarkisme, main hakim sendiri dan tawuran, Prof. Dr. Zakiah Daradjat sempat memberikan komentar, �Semua orang pada dasarnya ingin diperhatikan dan hal ini menjadi inti persoalan. Belum lagi banyaknya persoalan yang tidak terselesaikan dan juga kekecewaan-kekecewaan yang tidak terobati�.[20]
Menurut beliau:
Memang keadaan yang tidak menyenangkan dan menggoncangg itu membuat orang berubah. Kalu masih kekurangan, mungkin kita bisaa sabar, tetapi merasa tidak diperhatikan dan diperlakukan sebagai manusia. Mungkin ini yang kurang mendapat perhatian serius dari bangsa ini. Sebenarnya bangsa ini memiliki potensi dasar tidak sombong, lemah lembut, baik budi dan tidak mudah tersinggung.
Penulis mamiliki harapan bahwa apa yang dulu penulis bangga-banggakan sewaktu pwnulis barada di luar, bahkan diakui pula oleh kalangan dunia luar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan, baik budi, lemah lembut dan hal positif lainnya, dapat kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat yang trauma sebagaimana yang dialami saaat ini. Negari yang luas� terdiri berbagai suku, tetapi memiliki sikap luhur yang menjadi tradisi yang sudah turun temurun. Masing-masing perbedaan itu menjadi sebuah sinergi dan energi positif untuk kemajuan bangsa.[21]

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Zakiah Daradajat merupakan seorang dai yang berhasildalam memberikan renungan rohani audiensnya. Hal ini terlihat dari metode yang digunakan dalam ceramahnya yang secara langsung memberikan contoh-contoh kasus yang dengan masyarakat.
Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat bahwa dakwah dalam arti luas mencakup semua kegiatan atau aktivitas yang bertujuan untuk membawa peningkatan kepada orng yang menjadi sasatan dakwah. Seorang dokter misalnya, dapat menjadi pelaku dakwah terhadap pasiennya, demikian pula para juru rawatnya. Pelaku dakwah Islam dalam lingkup kehadiran dokter-dokter jiwa akan sangat banyak menolong orang dalam mencapai ketenangan batin, ketenangan hidup dan kebahgiaan atau kesehatan mental pada umumnya.[22]
Dengan demikian, kegiatan dakwah yang dilakukan Zakiah, baik yang mencakup dalam kapasitas beliau sebagai dosen, psikeater kesemuanya mempunyai susunan masing-masing dan semuanya itu bertujuan untuk menolong seseorang dalam mencapai kebahagiaan.  
B.    Latar Belakang Eksternal
     
1.     Kondisi Sosial Politik

Pada tahun 1967-1972 Zakiah Daradjat dipercaya oleh Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama Republik Indonesia untuk menduduki jabatan sebagai kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur Departemen Agama. Tugas ini berlangsung hingga jabatan Menteri Agama dipegang oleh Mukti Ali. Pada masa kepemimpinan Mukti Ali Zakiah Daradjat dipromosikan untuk menduduki jabatan sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam (Dinpertais) Departemen Agama. Dengan demikian, ia telah menjadi seorang ilmuwan dan sekaligus sebagai birokrat pendidikan. Jabatan sebagai Dinpertais ini telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Zakiah Daradjat melalui pengembangan dan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Hal ini sejalan pula dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang berusaha melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satu gagasan yang monumental dan hingga kini masih terasa pengaruhnya adalah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu menteri Agama Republik Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri. Lahirnya SKB Tiga Menteri ini tidak bisa dilepaskan dari peran yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat.[23]


2.     Kondisi Sosial Intelektual          

Upaya lainnya yang Zakiah Daradjat lakukan adalah peningkatan mutu pengelolaan atau administrasi dan akademik madrasah-madrasah yang ada di Indonesia, sehingga muncul apa yang disebut sebagai Madrasah Model (madrasah yang memiliki standar mutu yang tinggi dalam bidang sumber daya manusia, kurikulum, manajemen, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, dan lain sebagainya dengan tugas dan kewajiban selain memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat juga harus membina madrasah-madrasah yang berada disekitarnya).
Selanjutnya Zakiah Daradjat juga berupaya menyelesaikan kasus Ujian Guru Agama (UGA) yang cukup menggegerkan pada saat itu. UGA adalah sebuah program percepatan (crass program) dalam rangka pengadaan guru agama yang dibutuhkan oleh madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pembaharuan dan penertiban Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) seperti halnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga menjadi perhatian Zakiah Daradjat. Pada zamannya berhasil disusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) IAIN untuk jangka waktu selama 25 tahun yang berfungsi sebagai landasan bagi pengembangan IAIN dalam jangka panjang. Pengalaman Zakiah Daradjat sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama serta berbagai konsep dan teorinya dalam bidang pendidikan telah mendorongnya untuk mengaplikasikannya melalui lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelolanya. Lembaga pendidikan yang ia selenggarakan mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Lembaga pendidikan yang berada di desa Pisangan kecamatan Ciputat, Tangerang, Banten, bernaung di bawah Yayasan yang bernama Ruhama, yang berarti pengasih.[24]
3.     Tokoh Yang Mempengaruhinya

Adapun tokoh yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut:
1)     Syaikh Abdullah Ahmad
2)     Rahmad El-Yunusiah
3)     Syaikh Ibrahim Musa Parabek
4)     Prof. Dr. H. Muhammad Yunus
5)     Muhammad natsir
6)     K.H. Ahmad Dahlan
7)     K.H. Hasyim Asy�ari
8)     Ki Hajar Dewantara
9)     K. H. Abdullah Syafi�i
10)K. H. Abdullah Bin Nuh
11)K.H. Imam Zarkasyi
12)K.H. Saifuddin Zuhri
13)Prof. Dr. Harun Nasution
14)Prof. Dr. Matuhu, M.Ed
15)Prof. Dr. Malik Fajar, M.Sc
16)Prof. Dr. Nurkhalis majid
17)Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M. A
18)As. Panji Gumilang
19)Prof. Dr. Azzumardi Azra, M. A[25]

C.    Metode (Corak) Berfikir Zakiah Darajat Tentang Pendidikan Mental

Dalam pandangan psikologi Islam, kriteria kepuasan, kesehatan mental atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Dengan demikian nampaknya kriteria kebahagiaan dalam pandangan Islam kalau dibandingkan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow yang membagi kebutuhan manusia pada dua hirarki, yaitu kebutuhan-kebutuhaii dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan flsik, rasa aman, cinta, harga din, dan metakebutuhan- meta-kebutuhan (meia needs} seperti yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, dan sebagainya, tentu belumlah lengkap.
Kepuasan dan kebahagiaan yang esensial menarut Islam, terutama yang dikembangkan dalam psikosufisrikadalah kepuasan dan kebahagiaan yang disebabkan adanya keridhaan Allah swt. Ridha Allah menjad sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan diperolah seseorang kecuali ia beraktivitas dengan baik, jujur, benar dan mentaati segala aturan, tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kepuasan ini bersifat teosentris yang jangkauannya lebih subsantif, transendental dan mencakup semua lapisan.
Konsep Zakiah tentang kesehatan mental secara sepintas memang banyak kesamaan dengan apa yang dikemukakan oleh Dadang Hawari dan yang telah dirumuskan oleh WHO. Namun apabila diamati lebih jauh, temyata terdapat perbedaan dan spesifikasi tersendiri. Dadang Hawari dalam mel'hat dan memberikan terapi bagi orang yang mempunyai gangguan kejiwaan lebih menit'kberatkan pada pendekatan dan diagnosa psikiatri, aninya klien diobati secara medis, keraudian diberi siraman rohani dengan pendekatan agama. Sedangkan Zakiah dalam memberikan bimbingan kesehatan mental tersebut melalui pendekatan psikologi agama sekaligus pengamalan ajaran agama secara baik dan benar, seperti meluruskan akidah, menjalankan ibadah dan memperbaiki akhlak. Berbeda dengan WHO yang mengartikan agama tersebut hanya pada aspek spiritual belaka dan tidak jarang meninggalkan dimensi ritualnya.
Kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat adalah tenwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan. Sehingga tercipta kemampuan menyesuaikan diri antara seseorang dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungannya. Bertandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan mencapai hidup yang bermakna dan berbahagia di dunia dan di akhirat. Pandangannya ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan diupayakan penerapannya dalam kehidupan.





[1]http// urangminang wordpress. com/ 2008/ 04/ 16/ zakiah daradjat.

[2]Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), 233.
[3] Majalah Hidayah, Profil Zakiah Daradjat, Edisi 15 April 2002, hal. 45.

[4] Arief Subhan, Agama sebagai Terapi: Lebih Dekat dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat, dalam Jurnal Ulumul Qur�an, No. 1, Vol. V, (Jakarta: LSAF, 1994), hal. 16.

[5] Ibid., hal. 17.

[6] Zakiah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 215.

[7] Majalah Hidayah, Profil ..., hal. 47.
[8] Majalah Hidayah, Profil Zakiah Daradjat, Edisi 15 April 2002,hal. 29.
[9] Subhan, Agama..., hal. 18.

[10] Ibid., hal. 19.

[11] Daradjat, Problema..., hal. 112.

[12] Ibid., hal. 145.

[13] Majalah Hidayah, Profil..., hal. 95.

[14]Zakiah Daradjat, Shalat menjadikan Hidup Menjadi Bermakna, (Jakarta: Ruhama, 1999), hal. 65.
[15] Subhan, Agama...., hal.20.

[16] Ibid.,hal. 21.

[17] Daradjat, Problema...., hal. 215.

[18] Ibid., hal. 216.

[19] Ibid. hal. 217.

[20] Ibid. hal. 218.

[21] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet. XVI, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990), hal. 170-171.

[22] Ibid., hal. 51.
[23] H. Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 147.
[24] http// urangminang wordpress. com/ 2008/ 04/ 16/ zakiah daradjat.

[25] Nata, Tokoh..., hal.XI