Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Hukum Agraria


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Sepanjang hidup manusia bahkan hingga berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, manusia tidak bisa dipisahkan dengan tanah. Oleh karenanya, sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Nasional yang bersifat Komunalistik Religius, Bangsa Indonesia meyakini bahwa seluruh tanah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus kebersamaan. Hukum Tanah Nasional kita diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA mengenal hak atas tanah yang primer dan hak atas tanah yang sekunder. Ragam hak atas tanah primer telah dikenal dan akrab dengan tugas kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi di samping hak atas tanah yang primer, yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, UUPA juga menetapkan hak atas tanah yang sekunder yang didasarkan pada perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas tanah sekunder tersebut di antaranya adalah Hak Guna Bangunan (atas tanah Hak Milik) dan Hak Pakai (atas tanah Hak Milik).

Pembebanan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ini dalam praktek masih jarang ditemui. Akan tetapi di beberapa daerah, seperti di Bali dan Lombok, hal tersebut. Hak milik dapat diartikan sebagai hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan sebagai hak yang terkuat diantara hak-hak yang ada dalam pasal 570 KUHPerdata, hak milik diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan.[1]

Dalam undang-undang pokok agraria, pengertian hak milik seperti yang dirumuskan dalam pasal 20 UUPA.[2] Hak milik adalah hak yang ?terkuat dan terpenuhi ? yang dipunyai orang atas tanah. Kata-kata ?terkuat dan terpenuhi? itu bermaksud untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain yaitu untuk menunjukkan diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya paling ) kuat dan terpenuhi.

Hak Pakai Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.Objek hak pakai : tanah untuk pertanian dan bukan pertanian, tanah Negara, tanah hak pengelolaan.Subjek Hak pakai adalah warga Negara Indonesia, warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia, perwakilan asing serta badan-badan pemerintah. Janka waktu hak pakai maksimum 25 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20 tahun lagi.[3]























































BAB II

PEMBAHASAN



A. Pengertian Hukum Agraria

Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (bahasa Yunani), berarti tanah pertanian, Agger (bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.

Dalam Black?s Law Dictionary disebutkan bahwa arti Agrarian is relating to land, or to a division or distribution of land as an agrarian laws.Menurut Andi Hamzah, agraria adalah maslah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya. Sedangkan menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.[4]

Menurut Prof. E. Utreacht, S.H., beliau mengatakan bahwa: Hukum Agraria (hukum tanah) adalah menjadi bagian hukum administrasi negara, yang mengkaji hubungan-hubungan hukum, terutama yang akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal Agraria. Bagi negara kita, Republik Indonesia, yang masih bercorak negara Agraria, penting sekali hal-hal yang bersifat agraris diurus secara baik. Dengan demikian hukum Agraria menurut Prof. E. Utreacht merupakan bagian hukum administrasi.[5]





1. Pengertian Hukum Agraria dalam Arti Luas

Sesuai dengan Pasal 2 (1), UUPA, maka sasaran hukum Agraria, meliputi: Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Karenanya pengertian hukum Agraria dalam arti luas, merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan atas Sumber-Sumber Alam Indonesia yang meliputi:[6]

1. Hukum Pertanahan. Yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak Pengaturan atas Tanah Dasar Hukum: UU No.5/1960.

2. Hukum Pengairan. Yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak atas air. Dasar hukum: UU No:11/1974

3. Hukum Pertambangan. Yaitu bidang hukum yang mengatur hak penguasaan atas bahan galian. Dasar Hukum: UU No.15/1967.

4. Hukum Kehutanan. Yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan. Dasar Hukum: UU No.5/1967.

5. Hukum Perikanan. Yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.

2. Pengertia Hukum Agraria dalam Arti Sempit

Hukum Agraria dalam arti sempit hanyalah mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan tanah disini sesuai dengan Pasal 4 (1) adalah Permukaan tanah, yang dalam pengguanaannya menurut Pasal 4 (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar dipelukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria, dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.[7]

Sedangkan yang dimaksud dengan hak penguasaan adalah hak-hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk berbuat semata dengan tanah yang dikuasai. Perlu diangkat di sini bahwa lazimnya di Indonesia hukum Agraria dipakai untuk sebutan hukum positif yang mengatur hak penguasaan atas tanah yang dalam buku ini disebut hukum pertanahan atau sering disebut hukum tanah sesuai dengan Pasal 1 (2) UUPA adalah sebagai karunia Tuhan, dan karenya sesuai dengan Pasal 2 UUPA, tanah tersebut dikuasai oleh Negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.[8]

B. Sumber Hukum Agraria

1. Suber Hukum Tertulis

1) Undang-Undang Dasar 1945, Khusunya dalam Pasal 33 (3) ditentukan: ?Bumi, air dan kekayaan alam alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.?. dari Pasal 33 (3) UUD 1945 memuat dua hal: Politik Agraria, Kaidah Hukum Agraria

2) Undang-Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria ini dimuat dalam UU No.5/1960 tertanggal 24 September 1960, diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-104, dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.

3) peraturan-peraturan:

4) Peraturan Pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria.

5) Peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktek.

6) Peraturan Lama, tetapi dengan syarat tertentu bedasarkan peraturan/ Pasal Peralihan, masih berlaku..

Pasal Peralihan dimaksud adalah Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58.[9]

2. Sumber Hukum Tidak Tertulis

a. Kebiasaan baru yang timbul setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, misalnya: Yurispredentie, Praktek Agraria

b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah dibersihkan. [10]

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa:

1) hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

2) berdasarkan atas persatuan bangsa.

3) berdasarkan atas sosialisme indonesia

4) peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU dan dengan Perundangan lainnya

5) segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

C. Ruang Lingkup Hukum Agraria

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No.2043, disahkan Tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian agraria hanay memberikan ruang lingkup agraria sebagai mana yang tercantum dalam konsideran, Pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya (BARAKA).[11]

Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumberdaya agraria atau sumber daya alam menurut ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam.[12]

Ruang lingkup agraria/ sumber daya agraria/ sumber daya alam dapat djelaskan sebagai berikut:[13]

1. Bumi

Pengertian Bumi menurut Pasal 1 (4) UUPA adalah permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 (1) UUPA adalah Tanah.

2. Air

Pengertian air menurut Pasal 1 (5) adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut eilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No.11 Tahun 1974 tentang pengairan, disebutkna bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut.

3. Ruang Angkasa

Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-usur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dnegan itu.

4. Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya

Kekayaan alam yang terkandung di dlama bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih, dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapat-endapan alam (UU No. 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan). Kekayaan a;am yang terkandung dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU No.9/1985 tentang perikanan).

Ruang lingkup meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dan dimulai dari sisi laut garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimana Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pda bumi, di mana Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Pengertian ruang udara (airspace) tidak sama dengan pengertian ruang angkasa (outerspace). Ruang angkasa beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit lainnya adalah bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.

C. Perkembangan, Sistem Dan Kondisi Hukum Agraria Di Indonesia Sebelum Lahirnya UUPA

1. Sejarah Pengaturan Hak atas Tanah di Indonesia

Sejarah pengaturan hak atas tanah di indonesia akan dimulai dari tonggak sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi pikiran Reffles dengan teori domeinnya. Namun untuk lebih lengkapnya akan diuraikan secara rinci dibawah ini.[14]

1) Tahun 1811

Pada zaman ini, pengusaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat untuk menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintahan jajahan Belanda. Setelah pemerintahan belanda menguasai pertanahan di Indonesia selanjutnya digantikan oleh pemerintahan jajahan Inggris, administrasi pertanahan mulai ditata. Salah seorang penggagas perbaikan administrasi pertanahan adalah Reffles. Tujuan Reffles menata sistem administrasi pertanahan yaitu ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan Inggris di India. Di India, pemerintah kolonial Inggris menarik pajak bumi melalui sistem pengelolaan agraria yang sebenarnya merupakan warisan dari sistem pemerintahan kekaisaran Mughal (1526-1707).

Setelah Inggris benar-benar menguasai Indonesia, maka dengan berbekal pengalaman di India tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara penuh pengalaman di India tersebut,sehingga pada tahun 1811 Raffles membentuk panitia penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria. Berdasarkan hasil penyelidikan, Raffles menarik kesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan pegangan ini, dibuatlah sistem penarikan pajak bumi ( yang dikenal dengan istilah Belanda Landrente) sistem ini mewajibkan setiap petani membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori Raffles ternyata mempengaruhi politik agraria selama sebagian besar abad ke-19.

2) Tahun 1830

Tonggak sejarah perkembbangan hukum agraria, khusunya pengaturan hak atas tanah pada zaman ini, ditandai dengan kembalinya Indonesia kepada tangan jajahan Belanda yang kurang lebih 19 tahun berada di tangan Inggris. Pada tahun 1830 pemerintah Belanda di Indonesia dipimpin oleh Gubernur Jendral Van Den Bosh yang mempopulerkan sebuah konsep penguasaan tanah cultuurstelsel atau yang lazim disebut sistem Tanah Paksa. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari diadakannya sistim tanam paksa ini adalah untuk menolong negeri Belanda yang keuangannya dalamkeadaan buruk.

Van Den Bosh dalam menjalankan sistem tanam paksa ini, tetap mengacu kepada teori yang dilakukan oleh Raffles sebelumnya, yaitu tanah adalah milik pemerintah, para kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan selanjutnya kepala desa meminjamkan kepada petani. Atasdasarini, isi pokok cultuurstelsel adalah bahwa pemilik tanah tidak usah lagi membayar 2/5 dari hasil, tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu yang dikehendaki oleh pemerintah seperti kopi dan lain-lain, kemudian harus diserahkan kepada pemerintah (untuk exspor ke Eropa). Hasil politik tanam paksa ini ternyata demikian melimpahnya bagi pemerintah Belanda sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal swasta.

3) Tahun 1848

Dalam tahun 1830 diatas telah dijelaskan mengenai monopolinya pemerintahan jajahan Belanda atas tanah dan hasil dariperkebunannya sehingga menimbulkan kecemburuan dari kaum pemilik modal dari aliran liberal yang ada diparlemen. Wakil-wakil dalam parlemen menuntut agar bisa turut campur dalam tanah jajahan yang sampai saat itu hanya dipegang oleh raja dan menteri tanah jajahan. Terjadilah pergolakan antara mereka dengan golongan konservatif pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan dalam memperjuangkan tuntutan tersebut, kaum liberal memetik kemenangan pertama dengan disetujui perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Belanda. Yaitu dengan adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintah di tanah jajahan harus diatur dengan Undang-Undang.

Undang-Undang yang dimaksud dalam perubahan Undang-Undang Belanda tersebut selesai pada tahun 1854, yaitu dengan dikeluarkanya regerings reglement(RR) 1845. Salah satu ayat dari pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gurbernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan dengan ardonansi. Tujuan utama gerakan kaum liberal dibidang agraria itu adala (1) agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom), untuk memungkinkan perjualan dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawah hak komunal ataupun kekuasaan adat tidak dapat dijual atau disewakan keluar, dan (2) agar dengan asas domein itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah ( yaitu erpacht).

4) Tahun 1870\

Jatuhnya Mentri Jajahan Frans Van de Putte, karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Adapun seluk beluk agraria di Indonesia belum diketahui benar-benar.

5) Kelima 1960

Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-undangan dibidang agraria yang dibuat oleh pemerintah jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak 1948 dengan dibentuknya agraria panitia agraria. Setelah 15 tahun merdeka melalui proses yang panjang barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.















































BAB III



PENUTUP

A. Kesimpulan



1. Hukum Agraria memiliki arti yang sempit dan luas, Hukum Agraria dalam arti luas adalah suatu kelompok pelbagai hukum yang mengatur Hak-Hak penguasaan atas Sumber-Sumber Alam Indonesia yang meliputi: Hukum Pertanahan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Pengaturan atas tanah. Dasar Hukumnya UU No. 5 Tahun 1960. Hukum Pengairan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak atas air. Dasar hukumnya UU No. 11 Tahun 1974. Hukum Pertambangan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak penguasaan atas bahan galian. Dasar hukumnya UU No. 15 Tahun 1967. Hukum Kehutanan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan atas Hutan dan Hasil Hutan. Hukum Perikanan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasan atas ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.

2. Hukum Agraria dalam arti sempit yaitu Hukum Agraria yang hanyalah mencakup Hukum Pertanahan yaitu Bidang Hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan atas tanah.

3. Sejarah mengenai penguasaan atas tanah di Indonesia dimulai pada tahun 1811 yang mana pada waktu itu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran Reffles dengan teori domeinnya. Dan perkembangannya pun berlanjut sampai tahun 1960, yaitu setelah 15 tahun merdeka barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dan proses terbentuknya UU No. 5 Thaun 1960 ini pun melalui proses yang panjang yaitu dimulai dari panitia Yogya 1948 sampai pada rancangan Soedjarwo tahun 1960.

B. Kritik & Saran



Demikianlah makalah ini kami buat semaksimal pengetahuan kami dan informasi yang kami dapat. Kami menyadari masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini agar lebih bermanfaat dan sebagai bahan pembelajaran kedepannya. Amin ya rabbal ?alamin.























DAFTAR PUSTAKA

Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembahasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.



UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria.



Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 1990.



Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta Kencana, 2005).



Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003.



Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.






[1] Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembahasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 39.


[2] UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria.


[3] Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 1990), hal. 19.


[4] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta Kencana, 2005), hal.1.


[5] Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), hal. 1.


[6] Ibid., hal. 4.


[7] Ibid., hal. 4.


[8] Ibid., hal. 5.


[9] Ibid., hal. 7.


[10] Ibid., hal. 9.


[11] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal.2.


[12] Ibid., hal. 2.


[13] Ibid., hal. 2.


[14] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 47.