Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tujuan Pendidikan Mental Menurut Zakiah Darajat


BAB III

PENDIDIKAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF ZAKIAH DARAJAT


A.    Tujuan Pendidikan Mental Menurut Zakiah Darajat  

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah[1]. Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental.
Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna. Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan[2]. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Adapun tujuan pendidikan mental menurut Zakiah Darajat adalah sebagai berikut:
1)     Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi inibanyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
2)     Untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3)     Agar terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat raguragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
4)     Untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa[3].
5)     Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskankeimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat[4].

Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.
Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu, disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan, baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat. Maka sebagai upayanya Zakiah Daradjat mengutip firman Allah SWT dalam surat Ar-rad ayat 28 sebagai berikut:
????????? ???????? ????????????? ?????????? ???????? ?????? ????? ???????? ?????? ??????????? ??????????) ?????: ??(

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram  dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(Qs. Ar-rad: 28)


Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa dzikir itu bisa membentuk hatimanusia untuk mencapai ketentraman. Dzikir berasal dari kata dzakara artinya mengingat, memperhatikan, mengena, sambil mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk berkomat-kamit. Al-Qur'an memberi petunjuk bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingat yang ditampilkan dengan komat-kamitnya lidah sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif[5].
Al-Qur'an menjelaskan dzikir berarti membangkitkan daya ingatan: �dengan mengingat Allah (dzikrullah), hati orang-orang beriman menjadi tenang�. Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang (al- Ra�ad:28). Dzikir berarti pula ingat akan hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam surat An-nahlu ayat 90 sebagai berikut:
????? ?????? ???????? ??????????? ????????????? ????????? ??? ?????????? ????????? ???? ??????????? ???????????? ??????????? ?????????? ??????????? ????????????) ?????: ??(
Artinya:   Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dzikir (dapat mengambil pelajaran). (an-Nahl : 90)

Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas �insan paripurna�, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra�du ayat 11sebagai berikut:
???? ???????????? ???? ?????? ???????? ?????? ???????? ????????????? ???? ?????? ?????? ????? ?????? ??? ????????? ??? ???????? ?????? ???????????? ??? ?????????????? ??????? ??????? ?????? ???????? ?????? ????? ??????? ???? ????? ????? ???? ??????? ??? ?????) ?????: ??(
Artinya:   Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Qs. A-rad: 11)


Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur�an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
Islam sebagai suatu agama yang bertujuan untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sudah barang tentu dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan mental[6]. Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan jiwa dan akhlak. Di dalam Al-Qur�an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
?????? ????? ?????? ????? ????????????? ???? ?????? ??????? ???????? ????? ??????????? ??????? ?????????? ???????? ?????????????? ??????????????? ?????????? ????????????? ????? ???????? ??? ?????? ????? ?????? ????????) ?? ?????: ???(
Artinya:   Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali-Imran: 164)

Dengan kejelasan ayat Al-Qur�an diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad SAW diangkat jadi rasul Allah SWT, karena asas, cirri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini al-Qur�an berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu�jizat (pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya sebagai mana yang ditegaskan dalam ayat berikut:
????????? ???????? ??????? ????????? ????? ????????? ????????????? ?????????????? ???????????? ???? ?????????? ????????????? ???? ??????????????) ?? ?????: ???(
Artinya:   Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma�ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali Imran: 104)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang mengajak kepada kebaikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kapada yang mungkar. Keimanan,katqwaan,amal saleh,berbuat yang makruf, dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar faktor yang penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Fath ayat 4 sebagai berikut:
???? ??????? ??????? ???????????? ??? ??????? ?????????????? ????????????? ????????? ????? ???????????? ????????? ??????? ????????????? ??????????? ??????? ??????? ???????? ????????) ?????: ?(
Artinya:   Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Fath: 4)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mensifati diriNya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman. Dalam surat Al-Isra ayat 9 Allah SWT juga menjelaskan sebagai berikut:
????? ?????? ?????????? ??????? ???????? ???? ???????? ??????????? ?????????????? ????????? ??????????? ????????????? ????? ?????? ??????? ????????) ???????: ?(
Artinya:   Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu�min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Qs. Al-Isra: 9)

Dan dalam surat Al-Isra ayat 82 Allah SWT. Juga berfirman sebagai berikut:
??????????? ???? ?????????? ??? ???? ?????? ?????????? ???????????????? ????? ??????? ????????????? ?????? ????????) ???????: ??(

Artinya:  Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Qs. Al-Isra: 82)

            Juga firman Allah yang terdapat dalam surat Yunus ayat 57 sebagai berikut:
??? ???????? ???????? ???? ????????? ??????????? ???? ?????????? ???????? ?????? ??? ?????????? ??????? ?????????? ????????????????) ????: ??(
Artinya:   Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit- penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Qs. Yunus: 57)

Berdasarkan kejelasan keterangan ayat-ayat Al-Qur�an diatas, maka dapat dikatakan bahwa semua misi dan tujuan dari ajaran Al-Qur�an (Islam) yang berintikan kepada akidah, ibadah, syariat, akhlak dan muamalata adalah bertujuan dan berperan bagi pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berbahagia. Islam memiliki konsep tersendiri dan khas tentang kesehatan mental. Pandangan islam tentang kesehatan jiwa berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran falsafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Dari uraian di atas dapat lebih difokuskan, bahwa tujuan mental  Hygiene atau kesehatan mental adalah tercapainya kebahagiaan secara individu maupun kebahagiaan masyarakat pada umumnya.
B.    Materi Pendidikan Mental Menurut Zakiah Darajat

Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama. Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab[7]. Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-Din yang berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata agama terdiri dari tidak, �gama�; pergi yang berarti tetap ditempat atau diwarisi turun menurun .
Dari definisi tersebut, menurut Zakiyah darajat sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin bahwa psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut[8].
Berkaitan dengan ruang lingkup dari psikologi agama, maka ruang kajiannya adalah mencakup kesadaran agama yang berarti bagian/ segi agama yang hadir dalam pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama, dan pengalaman agama berarti unsur perasaan dalam kesadaran beragama yakni perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah) dengan kata lain bahwa psikologi agama mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindakan agama orang itu dalam hidupnya.[9]
Dalam hal ini psikologi agama telah dimanfaatkan dalam berbagai ruang kehidupan, misalnya dalam bidang pendidikan, perusahaan, pengobatan, penyuluhan narapidana di LP dan pada bidang- bidang lainnya.
C.    Ruang Lingkup Pendidikan Mental Menurut Zakiah Darajat

Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh masyarakat luas[10]. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.
Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan[11]. Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup[12].
Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup (a) sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan baik, (b) pertumbuhan dan perkembangan serta perwujudan diri yang baik, (c) keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan, (d) otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas, (e) persepsi mengenai realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial, dan (f) kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan[13].
Sementara Goble, mengutip dari Assagioli, mendifinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sepintas lalu kedua pengertian di atas terkesan sudah komprehensip dan utuh, namun setelah diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan, terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam[14]. Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni. Psikologi sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional. Psikologi, sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional, dan biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik, obyektif, dan kuantitatif[15].
Oleh karena itu, dua rumusan pengertian kesehatan mental di atas tidak bisa lepas dari bingkai paradigma sains kontemporer. Kesehatan mental diukur dengan sejauh mana persepsi seseorang terhadap realitas empirik semata.18 Kesehatan mental dianggap identik dengan seberapa mampu seseorang dalam mempersepsi terhadap lingkungan realitas empirik dengan baik. Realitas empirik yang dimaksud mencakup lingkungan yang terbatas pada diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta-empirik yang meliputi : makhluk spiritual, alam ruh, Allah, dan sebagainya tidak dibicarakan[16].
Upaya penyempurnaan pengertian kesehatan mental tersebut terus dilakukan oleh para pakar. Arah penyempurnaannya diarahkan pada �ketercakupan seluruh potensi manusia yang multi-dimensi�. Sebagai pionernya, diantaranya adalah Zakiah Daradjat, yang mencoba merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia. Menurutnya, kesehatan mental adalah bentuk personifikasi iman dan takwa seseorang.19 Ini dipahami, bahwa semua kriteria kesehatan mental yang dirumuskan harus mengacu pada nilai-nilai iman dan takwa.
Bila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian, realisasi diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri, maka parameternya harus merujuk pada iman dan takwa, akidah dan syariat. Dilibatkannya unsur iman dan takwa dalam teori kesehatan mental itu bertopang pada suatu kenyataan, bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, kepribadiannya menarik, sosialitasnya sangat baik, akan tetapi sebenarnya jiwanya gersang dan stress, lantaran dia tidak beragama, atau setidaknya kurang taat dalam beragama. Inilah bentuk kesehatan mental semu. Secara nyata, orang tersebut dapat disebut sehat mental. Perilaku dan perbuatannya dinilai sangat baik oleh lingkungan. Dia sukses berhubungan dengan diri dan orang lain. Namun dilihat dari pengertian Zakiah Daradjat, orang tersebut tidak sehat mental, lantaran dia gagal dalam berhubungan dengan Tuhannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa hakekat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integralitas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Istilah optimal dan wajar mengisyaratkan, bahwa disadari betapa sulitnya menemukan sosok manusia yang mencapai tingkat kesehatan mental yang sempurna, bisa juga dikatakan, manusia berusaha mencapai kesehatan mental menuju kesempurnaan, bahkan yang lazim ditemukan, orang-orang yang mencapai tingkat kesehatan mental yang wajar.
Untuk mengetahui �seberapa tingkat kesehatan mental seseorang?�, Zakiah Daradjat memberikan 4 (empat) indikator, yaitu: (1) Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental (Neurose) dan penyakit (Psikose). (2) Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Tuhannya. (3) Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problema dan keadaan hidup sehari-hari. (4) Ketika dalam diri seseorang terwujud keserasian, dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.
Dengan diberikannya empat indikator kesehatan mental ini, orang menjadi lebih mudah menilai dan atau mengukur �seberapa tingkat kesehatan mental seseorang�. Dengan asumsi, semakin terpenuhinya keempat indikator tersebut, maka semakin tinggi tingkat kesehatan mental seseorang. Demikian pula sebaliknya, semakin kurang terpenuhinya salah satu atau beberapa indikator itu, maka sedemikian itulah persentase tingkat kesehatan mentalnya. Karena itulah, Zakiah Daradjat menyebut �bahasan kesehatan mental dengan empat indikator� ini dengan istilah �kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan seseorang�.
Di samping itu terdapat 2 (dua) istilah, yakni, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan, dan kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan, atau bentuk psikoterapi. Sejak awal kelahirannya, kesehatan mental muncul kajian lanjut dari psikologi. Bukti yang tak terbantahkan adalah hampir semua buku- buku psikologi membahas mental hygiene, sehingga tidak keliru bila disimpulkan, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim psikologi. Selanjutnya, seiring dengan pesatnya perkembangan sains modern, sosok ilmu baru, kesehatan mental, ini dengan cepat memisahkan diri dari induknya. Perkembangan kajian kesehatan mentalpun demikian pesatnya, bahkan ketenarannya hampir mengiringi ketenaran induknya.
Sekalipun demikian, corak khas objek kajian ilmu kesehatan mental tetap mengikuti apa yang dikaji induknya, psikologi. Sebagai disiplin ilmu, kesehatan mental bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia seoptimal mungkin dan memanfaatkannya sebaik mungkin agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, sebagaimana dikatakan Langgulung, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tugas �mengembangkan semua potensi manusia agar mampu mewujudkan sifat-sifat khasnya agar berbeda dengan makhluk lain di muka bumi ini�. Bila pendapat Langgulung itu dilihat secara mendalam, maka tampak betapa mulia tugas yang diemban ilmu kesehatan mental. Sebab perwujudan sifat-sifat khas kemanusiaan tersebut bisa mengarah pada terciptanya �sosok manusia bermoral mulia�. Moral mulia di sini mencakup moral terhadap diri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Kesehatan mental mengkaji �masalah teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan�. Pada tahap berikutnya, dua teknik terapi kejiwaan itu dipahami memiliki sasaran berbeda, sekalipun tujuannya tidak jauh berbeda. Teknik-teknik konseling diarahkan untuk orang bermasalah dalam tingkat ringan. Biasanya masalah yang menimpanya masih dalam tarap �gangguan kejiwaan�, yang sering diistilahkan dengan �psychoneurose[17].
Sedangkan terapi kejiwaan diperuntukkan bagi orang yang terkena masalah psikis yang masuk tarap akut, yang sering disebut dengan istilah �psychosis�. Bila dikembalikan pada bahasan sebelumnya, semakin jelas bahwa dilibatkannya nilai-nilai Islam dalam perumusan pengertian kesehatan mental bisa diposisikan sebagai �koreksi dan penyempurna� terhadap teori- teori kesehatan mental yang dirumuskan para psikolog kontemporer[18].
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi kepercayan beragama. sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika, kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya[19]. Kesetabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadapsikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya.Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya[20].
Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang dewasa dalam beragama. kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Oleh kerana itu semua orang berkepentingan dengan Psikologi Agama dan dapat memanfaatkannya sesuai dengan kepentingannya masing-masing[21].
Bidang pendidikan anak misalnya, apabila si ibubapa ingin mendidik anaknya agar kelak menjadi seorang yang taat beragama, berakhlaq terpuji, berguna bagi masyarakat dan negaranya, dia dapat menggunakan pengetahuannya terhadap Psikologi Agama, disamping mengetahui sekedarnya tentang perkembangan jiwa anak pada umur tertentu dan perkembangan ciri remaja. Untuk itu dia dapat membaca buku tentang psikologi anak dan psikologi remaja.
Bila para dakwah ingin mengajak umat hidup sesuai dengan ketentuan agama, taat melaksanakan agama dalam kehidupan mereka, maka dia dapat menggunakan Psikologi Agama dengan lebih dahulu mengatahui latar belakang kehidupan mereka, lalu menunjukkan betapa pentingnya ajaran agama dalam kehidupan manusia.
Misalnya, manfaat iman bagi ketenteraman batin, manfaat solat, puasa, zakat dan haji bagi penyembuhan jiwa yang gelisah (fungsi kuratif) dan bagaimana pula manfaatnya bagi pencegahan gangguan jiwa (fungsi preventif) dan selanjutnya pentingnya iman dan ibadah tersebut bagi pembinaan dan pengembangan kesihatan jiwa (fungsi konstruktif). Psikologi Agama memberi gambaran tentang perkembangan jiwa agama pada seseorang, menunjukkan pula bagaimana pembahasan keyakinan (konversi) agama terjadi pada seseorang. Dan Psikologi Agama juga menjelaskan betapa seseorang mencari agama dan benar-benar mencintainya dalam bentuk mistik[22].




[1]1Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur�an,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 13.

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur�an: Tafsir Maudhu�i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, 2003), hal. 181.
[3]Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 11-13.

[4] Ibid., hal. 13.
[5]Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), hal. 103.
[6] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan, (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 1999), hal. 24.
[7] Zakiah Darajat,,  Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 77.
[8] Ibid., hal. 15.

[9] Ibid., hal. 17.

[10]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 45.

[11] Daradjat, Ilmu...., hal. 47.

[12]Ibid., hal. 55.
[13] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya Dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 67.

[14] Ibid., hal. 68

[15] Ibid.,

[16] Ibid., hal. 77.
[17] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), hal. 33.

[18] Ibid., hal. 34.

[19] Ibid., hal. 35.
[20] Daradjat, Kesehatan..., hal. 77.

[21] Ibid., hal. 78
[22] Daradjat, Kesehatan...., hal. 80.