Tantangan Komputerisasi Perangkat Gampong
Perangkat Gampong merupakan elemen terpenting dalam roda pemerintahan Gampong. Dalam Permendagri No 83 tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat Gampong, yang kemudian diubah menjadi Permendagri No 67 tahun 2017, perangkat Gampong didefinisikan sebagai unsur staf yang membantu kepala Gampong dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat Gampong, dan unsur pendukung tugas kepala Gampong dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Ini artinya kepala Gampong, tanpa perangkat Gampong, akan kewalahan mengurusi segala macam persoalan di Gampong.
Untuk mewujudkan Nawa Cita ke-3 Presiden Jokowi, yaitu Membangun Indonesia dari Pinggiran Dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Gampong Dalam Kerangka NKRI, maka saat ini pemerintahan Gampong mengalami percepatan. Salah satunya yang menjadi ulasan di tulisan ini-- adalah komputerisasi kinerja perangkat Gampong.
Komputerisasi kinerja perangkat Gampong sudah dilakukan di beberapa daerah. Ini sangat membantu dalam mewujudkan pembangunan dari pinggiran. Komputer menjadi sarana penting bagi perangkat Gampong untuk melakukan pekerjaannya sebagai bagian dari pemerintah Gampong. Pekerjaan akan lebih efektif dan efisien dibanding mengerjakan dengan cara manual seperti mencatat dalam buku-buku tebal.
Salah satu penyebab munculnya percepatan kinerja pemerintah Gampong ini adalah karena terjadi keterlambatan pelaporan penggunaan dana Gampong berbasis komputer. Kejadian ini mengakibatkan Gampong akan terlambat pencairan dana Gampong tahap berikutnya. Menanggapi kejadian tersebut, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang minim di lini pemerintahan Gampong menjadi perhatian. Maka berbagai daerah mengadakan seleksi perangkat Gampong, diutamakan yang mampu mengoperasikan komputer, minimal mampu bekerja dengan menggunakan program Microsoft Office.
Tiga Tantangan
Ada beberapa tantangan percepatan kinerja pemerintah Gampong, khususnya terkait komputerisasi kinerja perangkat Gampong. Pertama, bagi calon aparatur Gampong yang belum mengemban pengenalan dasar terkait penggunaan teknologi komputer. Para calon ini sudah merasa gagal sebelum bertanding dalam seleksi pemilihan perangkat Gampong. Meskipun mereka sudah memiliki pengalaman praktis yang banyak bersama warga Gampong tetapi gagal dalam tes kemampuan mengoperasikan komputer.
Kedua, kualitas SDM di Gampong yang didominasi oleh para tamatan pendidikan SMA, sedangkan lulusan sarjana sedikit, bahkan tidak tinggal di Gampong. Kelangkaan lapangan kerja menjadi penyebab utama para sarjana di Gampong memilih merantau ke perkotaan. Akhirnya, dua pilihan para kepala Gampong memanggil kembali para sarjana yang pergi merantau atau mengupayakan pelatihan bagi perangkat Gampong yang ada dan mau mencalonkan diri.
Ketiga, meskipun secara nasional, elektrifikasi mencapai 95,35% pada 2017, namun di Provinsi NTT (Nusa Tengara Timur) dan Papua masih 59,85% dan 61,42%. Gampong yang tidak terjangkau listrik memilih alternatif menggunakan genset atau tenaga surya untuk mendukung kerja di kantor Gampong. Kerusakan laptop atau komputer yang diakibatkan karena tegangan aliran listrik dari genset tidak stabil menjadi penghambat kinerja perangkat Gampong.
Gampong Percontohan
Di Provinsi Jawa Barat (Jabar), Program Gampong Digital dimulai dari Gampong Puntang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, dan akan dikembangkan ke 5.300 Gampong lainnya di seluruh Jabar. Gampong Puntang menjadi Gampong percontohan nasional perubahan dari manual ke digital. Ke depannya, ini juga akan dialami oleh Gampong-Gampong baik yang ada di perbatasan seperti Gampong-Gampong di NTT dan Papua. Tujuannya adalah percepatan kinerja pemerintahan Gampong.
Transisi dari manual ke digitalisasi pastinya mempengaruhi situasi sosial-budaya, ekonomi, dan politik di Gampong. Perangkat Gampong yang tingkat pendidikannya masih SMA sederajat digantikan oleh para sarjana. Para perangkat Gampong yang saat ini sudah berumur 40 tahun ke atas akan rentan menghadapi tantangan ke arah ini. Artinya, mereka lahir pada 1970-an dan tamat SMA pada 1990-an. Sedangkan pada awal tahun 2000, sekolah-sekolah belum dilengkapi komputer untuk mata pelajaran TIK.
Selain itu juga, belajar mengoperasikan komputer bukan menjadi prioritas mereka sekarang ini. Mereka disibukkan dengan pekerjaan lain atau karena tidak ada yang melatih mereka. Mencari solusi ini adalah wajib kalau kepala Gampong berkeinginan memberikan pelatihan mengoperasikan komputer bagi mereka.
Begitu juga pemilihan perangkat Gampong yang dilakukan oleh kepala Gampong dulunya sangat subjektif sekarang beralih ke tangan tim seleksi. Kalau dulunya kemungkinan kepala Gampong memilih perangkat Gampong karena faktor kedekatan, tetapi sekarang telah ada tim seleksi yang lebih melihat profesionalitas dan bahkan penguasaan teknologi. Bila para sarjana kembali ke Gampong dan bersaing dengan para calon yang belum mahir menggunakan komputer, maka harus diantisipasi terjadinya kecemburuan sosial karena kesenjangan tingkat pendidikan.
Selain itu juga, Gampong-Gampong yang belum terjangkau listrik sebaiknya difokuskan oleh pemda untuk penyaluran aliran listrik. Sebab, banyak masalah yang diakibatkan karena tegangan listrik yang tidak normal baik dari genset maupun tenaga surya karena menanggung banyak beban. Baterai laptop rusak dan telepon genggam untuk berkomunikasi juga demikian. Tidak menyelesaikan masalah yang paling dasar ini mengakibatkan Gampong stagnan. Salah satu contohnya ketika Gampong hanya mengurus pengadaan beberapa unit laptop atau komputer yang baru setiap kali terjadi kerusakan.
Peringatan Zendrato peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) NTT