Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

PENDIDIKAN TAUHID MENURUT PERSPEKTIF ISLAM


BAB III
PENDIDIKAN TAUHID MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

A.    Materi Pendidikan Tauhid Bagi Anak
Menurut ulama salafiyah, pembahasan materi ketauhidan terbagi menjadi dua bagian yakni tentang tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah.[1]Dari kedua ketauhidan tersebut melahirkan ketauhidan ketiga yakni tauhid Ubudiyah.[2] Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa:
Anak harus diajarkan ketauhidan sejak dini, sejak anak mulai dapat memahami lingkungannya. Ketauhidan yang dimaksud ialah meliputi dasar-dasar ketauhidan merupakan segala sesuatu yang ditetapkan dengan jalan berita (khabar) yang diperoleh secara benar, berupa hakekat ketauhidan, masalah-masalah gaib, beriman kepada Malaikat, Kitab-kitab Samawi, Nabi dan Rasul Allah, siksa kubur, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib.[3]

Al Ghazali menjelaskan bahwa pembinaan ketauhidan diperlukan 4 hal pokok yakni: Pertama, Makrifat kepada dzat-Nya. Kedua, Makrifat kepada sifat-sifat-Nya. Ketiga, Makrifat kepada af�al-Nya. Keempat, Makrifat kepada syari�at-Nya.[4] Jika kita menggunakan pengertian yang sama antara ketauhidan, akidah, dengan keimanan, maka materi ketauhidan sama dengan materi keimanan. Konsep yang penyusun gunakan ialah konsep Yunahar Ilyas yang membagi materi ketauhidan menjadi empat, selain beliau juga membagi ruang lingkup ketauhidan kepada rukun iman, yang memiliki 6 unsur.[5]  Adapun materi pendidikan tauhid dalam keluarga terbagi menjadi empat yakni: Pertama, Ilahiyat. Kedua, Nubuwat.Ketiga,  Ruhaniyat. Keempat, Sam�iyyat.
Berikut ini adalah penjelasan keempat materi di atas :
1.     Ilahiyat
Pembahasan materi ini dibagi menjadi tiga hal yakni :
a).   Tauhid zat

Tauhid zat berarti bahwa zat Allah Swt. ialah satu, tidak ada sekutu dalam wujud-Nya, tidak ada kemajemukan, serta tidak ada tuhan lain di luar Diri-Nya.[6] Bersifat sederhana, tidak terdiri dari bagian-bagian  ataupun organ-organ, intinya Allah adalah satu dan tidak ada sekutu baginya, demikianlah pandangan para teolog dan filosof tentang tauhid zat Allah Swt.[7]
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam surat Ali Imran ayat 190 sebagai berikut:
????? ??? ?????? ????????????? ?????????? ???????????? ????????? ???????????? ??????? ?????????? ??????????) ?? ?????: ???(
Artinya:   Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(Qs. Ali-Imran:190).

Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah sebuah kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidakmungkinan. Karena kesamaran itulah, syaitan menerobos masuk ke dalam hati manusia sehingga mereka ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya menyamakan Allah (al-Khaliq) dengan makhluk, tanpa ada keraguan. Makhluk pasti ada yang menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang siapa yang menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk. Muhammad Taqi Mishbah Yadzi menjelaskan bahwa:
Tauhid zat merupakan tauhid tahap terakhir yang hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang arif.[8] Dijelaskannya bahwa pada tahap ini mereka mempercayai bahwa yang hakiki terbatas pada Allah Swt. Saja. Alam adalah manifestasi dan cerminan dari Wujud-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. Adalah Zat yang bersifat nonmateri (immaterial).[9]
Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa:

Kebenaran mutlak (absolut) tentang Zat Allah tidak memerlukan bukti, namun yang harus dipercaya adanya Zat-Nya itu mempunyai bekas-bekas, akibat-akibat, gejala-gejala yang dapat memperkuat bukti kebenaran adanya Zat-Nya itu. Sehingga adanya Tuhan adanya kebenaran mutlak yag tidak perlu dibuktikan adanya Zat Tuhan.[10]

                  Akal manusia tidak akan mampu menjangkau Zat Allah  disebabkan oleh keterbatasannya. Oleh sebab itu kita tidak boleh memikirkan Zat Allah , tetapi marilah memikirkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya.[11]

b).   Tauhid asma
Tauhid asma adalah �mentauhidkan Allah dengan Nama-nama Allah Swt.�.[12]Nama-nama Allah yang sesuai dengan  keagungan keluhuran-Nya Ia gunakan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk, selain 99 nama Allah, juga terdapat nama-nama lain yang tersebut dalam hadis Rasul Saw. Seperti al-Hannan (yang Maha Pengasih), al-Mannan(Yang memberi nikmat), al-Kafiil (Yang Maha Pelindung/Penjamin), Dzu ath-Thaul (Yang Memiliki Keutamaan), Dzu al-Ma�arij (Yang memiliki Jalan-jalan Naik), Dzu al-Fadhl (Yang Memiliki Karunia), al-Khallaq(Yang Maha Pencipta). Nama-nama Allah haruslah merujuk kepada Syara�. Dari seluruh nama-nama itu yang merupakan lambang  ketuhanan ialah �Allah�. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam surat Al-A�raf ayat 180 sebagai berikut:
???????? ?????????? ?????????? ?????????? ????? ????????? ????????? ??????????? ??? ??????????? ???????????? ??? ???????? ??????????? )???????: ???(
Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. Al-A�raf: 180).

Berdasarkan ayat di atas, bahwa tidak diragukan, bahwa sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk diketahui adalah tentang Allah. Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia, Rabb alam semesta, Pemelihara langit, Maha Raja yang Haq, yang disifati dengan semua sifat sempurna. Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan dan cela, maha Suci dari keserupaan serta kesamaan dalam kesempurnaanNya. Maka tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling utama.
c).   Tauhid sifat

Tauhid sifat-sifat Allah berarti kita menisbatkan sifat-sifat kepada Allah Swt. Yaitu sifat dari Zat-Nya sendiri.[13]Sifat-sifat itu bukan sesuatu yang ditambahkan atau hal-hal yang lain dari Diri-Nya. Mereka mengungkapkan bahwa Sifat-Sifat Tuhan tak lain adalah Zat Allah Swt. itu sendiri, mereka menyebutnya sebagai �Tauhid dalam sifat�. Karena Allah tidak memiliki sifat-sifat diluar Diri-Nya.[14]
Tauhid sifat merupakan tahap kedua dari pada tauhid. Pada tahap ini manusia memandang setiap sifat kesempurnaan pada asalnya adalah milik Allah Swt., sedangkan sifat kesempurnaan yang ada pada manusia serta makhluk hanyalah bayangan atau cerminan atau manifestasi dari Sifat-Sifat Tuhan. Bahwa Sifat-Sifat Allah Swt. bukanlah tambahan pada Zat-Nya.[15]

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-An�am ayat 65 sebagai berikut:
???? ???? ?????????? ????? ??? ???????? ?????????? ???????? ???? ?????????? ???? ??? ?????? ???????????? ???? ???????????? ??????? ????????? ????????? ?????? ?????? ?????? ?????? ????????? ???????? ??????????? ???????????) ???????: ??(
Artinya: Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). ( Qs. Al-An�am: 65).

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi sangat cenderung kepada tauhid yang dimiliki oleh orang-orang ahli ma�rifat, yang mampu mencapai taraf melihat, merasakan, mendengar  yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang awam, mereka malakukan riyadah ibadah untuk membersihkan hati serta jiwa mereka dan benar-benar mendekatkan diri mencari ridha Allah Swt.[16]

Yunahar, menjelaskan bahwa ada dua metode dalam tauhid Nama dan Sifat-Sifat Allah Swt. sebagai berikut: �Pertama, Itsbat, yakni mempercayai bahwa Nama dan Sifat yang dimiliki Allah merupakan menunjukkan ke-Maha Sempurnaan Allah Swt. Kedua, adalah Nafyuyakni menafikan atau menolak nama serta sifat yang menunjukkan ketidak sempurnaan Allah Swt.[17]
Selanjutnya beliau menyebutkan ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan Nama-Nama dan Sifat Allah Swt. antara lain:
Pertama, Nama-Nama Allah hanyalah yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu tidak boleh memberi nama kepada Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Kedua, Allah tidak bisa disamakan, atau mirip Zat-Nya, sifat-sifat serta perbuatan-Nya dengan makhluk. Ketiga, Percaya Nama dan Sifat Allah Swt. haruslah apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakannya. Keempat, Selain nama dan sifat-sifat Allah ada istilah �ismul-lah al-a�zham� yakni nama-nama Allah Swt. yang dirangkai di dalam do�a.[18]

Sifat wajib dan mustahil bagi Allah Swt ada dua puluh sifat yakni:
1.     Al Wujud (????) artinya ada, sedangkan yang mustahil bagi Allah adalah al �Adam yang artinya tdak ada.
2.      Al Qidam(???) artinya yang tidak ada awal bagi wujud-Nya, lawannya adalah al-Huduts artinya yang ada awalnya.
3.     Al Baqa (????) artinya kekal atau tidak ada akhir akan wujud-Nya, sedangkan mustahuil Allah bersifat al Fana artinya tidak kekal.
4.     Mukhalafatuhu lilhawadis (??????? ???????) artinya tidak akan pernah sama dengan makhluk maksudnya Allah berbeda dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Sedangkan Allah mustahil bersifat menyerupai atau sama dengan makhluk.
5.     Qiyamuhu binafsih (????? ?????) artinya berdiri sendiri, maksudnya Allah Swt. Maha kaya dan tidak memerlukan bantuan siapapun, oleh sebab itu membutuhkan kepada sesuatu makhluk adalah kemustahilan bagi Allah.
6.     Wahdaniyat (??????? ) artinya esa, maksudnya Allah itu satu, tunggal dan mustahil bagi Allah Berbilang, lebih dari satu.
7.     Qudrat (????) artinya maha Kuasa, Allah mustahil memiliki sifat lemah.
8.     Iradat  (?????) artinya maha Berkehedak, mustahil Allah bersifat terpaksa.
9.     Ilmu (???) artinya maha Berilmu, mustahil bagi Allah memiliki sifat bodoh.
10.  Hayat (????) artinya maha Hidup, Allah mustahil mati.
11.  Sam'un (???) artinya maha Mendengar, sehingga mustahil Allah bersifat tuli.
12.  Basar (???) artinya maha Melihat, Allah mustahil bersifat buta.
13.  Kalam (?? ?) artinya maha berbicara, mustahil Allah bersifat bisu.
14.  Kaunuhu qaadiran (???? ?????) artinya yang Maha Kuasa, mustahil Allah bersifat yang keadaan-Nya lemah.
15.  Kaunuhu muriidan (???? ?????) artinya yang Maha Berkehendak,  Allah mustahil keadaan-Nya terpaksa.
16.  Kaunuhu 'aliman (???? ?????) artinya yang Maha Berilmu, mustahil Allah dalam keadaan bodoh.
17.  Kaunuhu hayyan (???? ???) artinya yang Maha Hidup, Allah mustahil keadaan-Nya mati.
18.  Kaunuhu sami'an (???? ?????) artinya yang Maha Mendengar, mustahil keadaan Allah itu tuli.
19.  Kaunuhu bashiiran (???? ?????) artinya yang Maha Melihat, sehingga mustahil Allah dalam keadaan buta.
20.  Kaunuhu mutakalliman (???? ??????) artinya yang Maha berkata-kata, mustahil Allah dalam keadaan bisu.[19]

Lebih lanjut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menjelaskan:

Pembagian tauhid kepada tauhid perbuatan. Tauhid perbuatan berarti  dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya Allah tidak memerlukann bantuan siapapun. Jika perbuatan tersebut membutuhkan sarana, Dia menciptakan dan menggunakan sarana tersebut. Hal ini berbeda dengan Allah membutuhkan orang lain di luar Diri-Nya dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan-Nya.[20]
Para kaum arif memiliki konsep yang berbeda dengan para teolog dan filosof. Bagi para teolog dan filosof secara berurutan terlebih dahulu harus memulai tauhid pada Zat Allah, selanjutnya sifat-sifat, terakhir ialah tauhid perbuatan. Namun para kaum arif memulainya dengan tauhid perbuatan, lalu tahap kedua tauhid sifat dan tahap terakhir adalah tauhid Zat. Tauhid perbuatan berarti bahwa, setiap perbuatan yang ada adalah perbuatan Allah, yang lain hanyalah alat-alat dan sarana-sarana, inilah yang dilihat oleh orang-orang yang telah menyucikan jiwanya, yakni para kaum arif.[21]
2.     Nubuwat
Nubuwat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab naba bermakna yang ditinggikan, atau dari kata nabaa yang berarti berita.[22]Jadi Nabi adalah seseorang yang derajatnya ditinggikan Allah Swt. dengan memberikan berita atau wahyu kepadanya.Sedangkan Rasul dari kata arsalaberarti mengutus, namun setelah dijadikan kata Rasul artinya berubah menjadi yang diutus.[23]
Maka Rasul adalah orang yang diutus Allah Swt. untuk menyampaikan misi pesan (ar-risalah). Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah ada tidaknya kewajiban untuk menyampaikan misi atau risalahnya kepada orang lain.Jika tidak ada kewajiban untuk menyampaikan maka disebut Nabi dan jika ada kewajiban untuk menyampaikan risalah yang diterima dari Allah kepada orang lain (umat) ia disebut Rasul.[24]

Jumlah Nabi dan Rasul tidak dapat diketahui secara pasti, namun yang wajib diketahui ada 25 orang yang disebutkan di dalam Al-Quran yakni 18 orang disebutkan dalam surat Al-An�am ayat 83-86 dan 7 orang lagi disebutkan dalam ayat-ayat yang terpisah yakni: Pertama, Nabi Hud as. dalam surat Hud ayat 50. Kedua, Nabi Saleh as.  dalam surat Hud ayat 61. Ketiga, Nabi Syu�aib as. dalam surat Hud ayat 84. Keempat, Nabi Adam as. dalam surat Ali �Imran ayat 33. Kelima, Nabi Idris as. Dan Nabi Zulkifli as. dalam surat Al-Anbiya� ayat 85. Keenam, dan Nabi Muhammad saw. Dalam surat Al-Fath ayat 29.
        Jika  nama-nama Nabi dan Rasul diurutkan secara kronologis  adalah sebagai berikut: Adam as, Idris as, Nuh as, Hud as, Shaleh as, Ibrahim as, Isma�il as, Ishaq as, Ya�qub as, Yusuf as, Luth as, Ayyub as, Syu�aib as, Musa as, Harun as, Zulkifli as, Daud as, Sulaiman as, Ilyas as, Ilyasa as, Yunus as, Zakaria as, Yahya as, Isa as, Muhammad Saw.[25].

Para Nabi dan Rasul ini diutus untuk kaum dan bangsa masing-masing seperti Nabi Hud as. dikirim untuk kaum �Ad, Nabi Shaleh kepada kaum Tsamud, Nabi Syu�aib kepada kaum Madyan. Namun Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat  tidak hanya untuk kaum Arab saja di mana Nabi Muhammad Lahir dan dibesarkan. Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
???? ????? ????????? ????? ?????? ???? ???????????? ??????? ???????? ??????? ????????? ????????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ???????? )???????: ??(
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Qs. Al_Ahzab:40).

Sebagai seorang manusia pilihan Allah Swt. tentulah harus memiliki sifat-sifat yang mendukung agar terlaksananya tugas kenabian dan kerasulan. Sehingga Nabi dan Rasul pun memiliki sifat yang harus ada dalam dirinya (sifat wajib), serta sifat yang tidak mungkin dimiliki (sifat mustahil), dan sifat yang boleh dimiliki nya (sifat jaiz).
3.     Ruhaniyat.
Ruhaniyat ialah mempercayai keberadaan makhluk ghaib.[26] Ruhaniyat dapat ditempuh dengan dua cara: Pertama melalui informasi yang disampaikan Al-Quran dan Sunnah. Kedua,melalui bukti-bukti nyata yang ada di alam semesta.[27]
Makhluk secara garis besar dibagi dua yakni: Pertama,ghaib (al-ghaib)  yakni yang tidak bisa dijangkau oleh salah satu pancaindera manusia. Kedua, nyata (as-syahadah) yakni makhluk yang dapat dijangkau oleh salah satu pancaindera manusia.[28]
Pada masalah ruhaniyat ini yang menjadi materi pendidikan tauhid dalam keluarga ialah malaikat, Jin, Iblis dan syaitan, serta ruh. Agar sejak dini anak mempercayai adanya makhluk lain yang harus diyakini keberadaanya, namun hanya sebatas percaya akan adanya, tanpa perlu ada rasa takut dan khawatir, karena hanya Allah yang mampu mendatangkan kemanfaatan dan kemudaratan.
4.     Sam�iyyat
Assam�iyyat menurut bahasa berarti �sesuatu yang ghaib yang hanya bisa diketahui secara benar dengan cara ikhbari (berita yang didengar), yakni apa yang didengar dan diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur�an dan As-Sunnah�[29]. Atau dalam arti lain suatau perkara yang tertera dalam Al-Qur�an dan disebut dalam hadits Nabi Saw. sedangkan perkara itu tidak bisa diterima oleh akal manusia biasa atau sesuatu yang ghaib yang tidak bisa ditangkap oleh panca indra manusia biasa tapi harus dipercayai oleh setiap muslim akil dan baligh. Adanya perkara ini demi untuk meyakinkan kepastian adanya risalah yang dibawa Rasulallah Saw.
Untuk mendukung ketauhidan materi tentang sam�iyat juga sangat diperlukan, sehingga masalah-masalah yang berada di luar pengalaman manusia haruslah berdasarkan sumber naqli yakni berdasarkan kepada Al-Quran dan Al-Hadits. Seperti masalah hidup setelah hidup di dunia ini yakni alam barzakh,surga dan neraka, kiamat dan lain sebagainya. Namun pendidikan tauhid dalam keluarga sebagai langkah awal dalam pendidikan anak sebelum anak menempuh pendidikan formal. Maka masalah adanya kehidupan setelah mati perlu ditanamkan kedalam diri anak. Bahwasanya ada balasan untuk setiap amal perbuatan yang dilakukan setiap manusia, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari tanggung  jawab amal perbuatannya ketiaka hidup di dunia ini. Bagi yang baik ada surga yang berhiaskan kenikmatan dan limpahan karunia ridha Allah, dan ada neraka yang penuh dengan siksaan dan kemurkaan Allah untuk pada pendosa.
?????? ??????????? ????????? ????????? ?????????? ????????????? ????? ??????????? ????? ??????????? ????? ???????? ???????????) ??????: ??(
Artinya:  Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Qs. Al-Baqarah:28).
B.    Metode Pendidikan Tauhid Menurut Perspektif Islam
Metode berasal dari bahasa Greek atau Yunani �metodos� , selanjutnya kata ini terdiri dari dua suku kata yakni �meta� yang artinya melalui atau melewati dan �hodos� yang memiliki makna jalan atau cara. Sehingga metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[30]
Metode mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan Islam. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui sebuah  metode. Merupakan sebuah realita bahwa metode penyampaian yang komunikatif akan lebih disenangi meskipun materi yang disampaikan biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan materi yang menarik tetapi metode yang disampaikan dengan tidak menarik maka materi tersebut tidak dapat diterima dengan baik pula oleh peserta didik. Sehingga penggunaan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses mendidik.[31]

Metode merupakan hubungan sebab akibat dengan tujuan pendidikan, sehingga tidak dapat diabaikan. Demikian pula dalam menyampaikan pendidikan tauhid dalam keluarga harus pula menggunakan metode atau cara yang dapat dilakukan oleh para orang tua, dan dapat dengan mudah dikondisikan dalam lingkungan keluarga. Sehingga suasana dan lingkungan keluarga yang kondusif akan lebih membantu cara dan tehnik penyampaian pendidikan tauhid bagi anak-anak.
Maka yang dimaksud metode pendidikan tauhid dalam keluarga adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga. Metode-metode yang digunakan untuk pendidikan tauhid dalam keluarga antara lain :
1.     Kalimat tauhid
Metode pendidikan yang diajarkan Rasulullah saw. untuk mengumandangkan adzan dan iqamat kepada bayi yang baru lahir. Adzan dan iqamat merupakan panggilan bagi seorang muslim untuk shalat sujud beribadah mengakui keesaan Allah, bertauhid bahwa Bersaksi Tidak Ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah Swt.
Dikatakan bahwa bayi yang baru lahir pendengarannya sudah berfungsi, sehingga ia akan langsung mengadakan reaksi terhadap suara. Telinga akan segera berfungsi segera setelah ia lahir,meskipun ada perbedaan antara bayi yang satu dengan yang lain. Lebih jauh lagi Wertheimer dapat membuktikan bahwa bayi juga akan memalingkan pandangannya ke arah suara yang ia dengar, setelah 10 menit ia dilahirkan. Gerakan ini disebut sebagai reaksi orientasi. Fungsi auditif bayi akan bereaksi terhadap irama dan lama waktu berlangsungnya.[32]

Sehingga suara yang didengar oleh sang bayi adalah suara ketauhidan, telinganya yang akan bereaksi terhadap suara yang berirama, sehingga lembut dan merdunya kumandang adzan dan iqamah dapat dijadikan awal pendidikan untuknya. Inilah metode awal bagi orang tua untuk menanamkan ketauhidan kepada anaknya dengan kalimat yang sempurna kalimat Laa Ilaaha Illallah yang terdapat pada rangkaian adzan dan iqomat.
Ibnu Qoyyim mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Khatib Ahmad Santhut bahwa tidak dapat dipungkiri jika adzan dan iqomah membawa pengaruh dan kesan dalam hati.[33] Mendidik anak dengan kalimat tauhid, yang akan mengikat jiwanya dan akan berpengaruh bagi perkembangan anak di masa yang akan datang. Sehingga diharapkan kepada setiap orang tua tidak melupakan metode ini ketika anak-anak mereka lahir.
2.     Keteladanan
Dalam Bahasa Arab �keteladanan�  berasal dari kata �uswah� yang berarti pengobatan dan perbaikan.[34] al uswah dan al iswahsama dengan kata al qudwah dan al qidwah merupakan sesuatu yang keadaan jika seseoarng mengikuti orang lain, berupa kebaikannya, kejelekannya, atau kemurtadannya. Pendapat ini senada dengan pendapat Ibn Zakaria.[35]
Al-Quran sebagai sumber pendidikan Islam, juga pendidikan tauhid dalam keluarga telah memberikan statemen tentang keteladanan. Keteladanan merupakan sesuatu yang patut untuk ditiru atau dijadikan contoh teladan dalam berbuat, bersikap dan berkepribadian.[36]
Namun dari ketiga ayat yang dijadikan sumber teori awal tentang keteladanan, al-uswah selalu bergandengan dengan kata hasanah. Sehingga keteladanan yang dijadikan contoh ialah dalam hal kebaikan. Jika kita melihat sejarah, maka salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. adalah keteladanan mereka dalam memberikan pelajaran langsung kepada umatnya. Perkataan dan perbuatan selalu beriringan, bahkan Nabi Muhammad Saw. lebih dahulu melakukan suatu perintah sebelum perintah tersebut ia sampaikan kepada kaum muslimin.
Di era yang modern ini, metode keteladanan masih sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, terlebih lagi pendidikan dalam keluarga. Keteladanan akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan pendidikan dalam keluarga, begitu pula dalam hal pendidikan tauhid. Orang tua merupakan contoh tauladan utama sebagai panutan bagi anak-anaknya, memegang teguh ketauhidan dan menjaganya, serta mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dalam keluarga.
3.     Pembiasaan.
Pembiasaan adalah proses untuk membuat orang menjadi biasa.[37]Jika dikaitkan dengan metode pendidikan Islam maka metode pembiasaan merupakan cara yang dapat digunakan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama Islam.
Metode ini sangat efektif untuk anak-anak, karena daya rekam dan ingatan anak yang masih kuat sehingga pendidikan penanaman nilai moral, terutama ketauhidan ke dalam jiwanya sangat efektif  untuk dilakukan. Potensi dasar yang dimiliki anak serta adanya potensi lingkungan untuk membentuk dan mengembangkan potensi dasar tersebut melalui pembiasan-pembiasan agar potensi dasar anak menuju kepada tujuan pendidikan Islam, hal ini tentunya memerlukan proses serta waktu yang panjang.[38]

Kebiasaan seseorang, jika dilihat dari ilmu psikologi ternyata berkaitan erat dengan orang yang ia jadikan figur dan panutan. Metode pembiasaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Nashih Ulwan sebagai berikut:
Landasan awal dalam metode pembiasaan adalah �fitrah� atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang diistilahkan oleh beliau dengan �keadaan suci dan bertauhid murni�. Sehingga dengan pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali kepada tauhid yang murni tersebut.[39]

Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan:

Bahwa bayi mempunyai hati yang bersih dan suci, ia merupakan amanat bagi para orang tuanya. Oleh sebab itu hati yang bersih dan suci tersebut harus selalu dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, sehingga ia akan tumbuh dengan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, Sehingga diharapkan kelak akan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.[40]

Ada beberapa syarat yang harus dilakukan untuk menerapkan metode pembiasan ini antara lain :
Pertama, Proses pembiasan dimulai sejak anak masih bayi, karena kemampuannya untuk mengingat dan merekam sangat baik. Sehingga pengaruh lingkungan keluarga secara langsung akan membentuk kepribadiannya. Baik ataupun buruk kebiasannya akan muncul sesuai dengan kebiasan yang berlangsung di dalam lingkungannya. Kedua, Metode ini harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus, teratur dan terencana. Oleh sebab itu faktor pengawasan sangat menentukan. Ketiga, Meningkatkan pengawasan, serta melakukan teguran ketika anak melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan. Keempat, Pembiasan akan terus berproses, sehingga pada akhirnya anak melakukan semua kebiasaan tanpa adanya dorongan orang tuanya baik ucapan maupun pengawasan. Namun akan melakukannya karena dorongan dan keinginan dari dalam dirinya sendiri.[41]

Ahmad Amin menulis dalam kitabnya �Kitabul Akhlak� beliau mengatakan bahwa metode pembiasaan ini sangat penting karena seluruh aktivitas manusia terbentuk karena latihan dan pembiasaan. Lebih jauh lagi menurut beliau ada dua hal yang menyangkut kebiasaan baik dan buruk yakni: Pertama, Faktor interen dengan adanya minat, yakni dorongan yang berasal dari dalam diri manusia yang cenderung untuk melakukan aktivitas tertentu. Kedua, Faktor eksteren yakni adanya usaha agar anak cenderung melakukan kebiasaan-kebiasaan melalui latihan-latihan.[42]
Begitu pula dalam pendidikan tauhid dalam keluarga dapat dilakukan dengan pembiasaan atau latihan-latihan agar nilai-nilai ketauhidan tertanam dalam diri anak. Meskipun tidak dapat dipungkiri pendidikan tauhid sangat membutuhkan dan berkaitan erat dengan materi-materi pendidikan lain seperti akhlak, fiqih, dan sebagainya. Namun bagaimana seluruh materi pelajaran tersebut dapat mendukung kepada pendidikan tauhid sebab tauhidlah sebagai dasar dari seluruh materi tersebut.
Ketauhidan anak akan tumbuh melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang diterimanya. Biasanya konsepsi-konsepsi yang nyata, tentang Tuhan, malaikat, jin, surga, neraka, bentuk dan gambarannya berdasarkan informasi yang pernah ia dengar dan dilihatnya.[43]
4.     Nasehat.
Mau�izah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang yang menerimanya[44]. Ma�izah adalah nasehat yang disajikan dengan cara yang dapat menyentuh kalbu. Inilah yang lazim disebut nasihat baik (mau�izah hasanah).
Seluruh metode pendidikan tauhid dalam keluarga yang penyusun jelaskan, semuanya saling berkaitan dan saling mendukung. Sehingga dalam mendidik ketauhidan anak tidak hanya menggunakan satu metode saja, namun harus menggunakan metode-metode yang lain, seperti metode kalimat tauhid; metode keteladanan; metode pembiasaan, dan sekarang metode nasehat. Metode-metode inipun, seperti yang sudah penyusun sampaikan membutuhkan materi-materi lain di luar materi ketauhidan.
Salah satu potensi yang ada di dalam jiwa manusia adalah potensi untuk dapat dipengaruhi dengan suara yang didengar atau sengaja diperdengarkan. Potensi ini tidak sama dalam diri seseorang, serta tidak tetap. Sehingga untuk dapat terpengaruh secara, suara yang didengar atau diperdengarkan haruslah diulang terus. Permanen atau tidak pengaruh yang dihasilkan tergantung kepada intensitas dan banyaknya pengulangan suara yang dilakukan.  Nasehat yang dapat melekat dalam diri anak jika diulang secara terus menerus. Namun nasehat saja tidaklah cukup ia harus didukung oleh keteladanan yang baik dari orang yang memberi nasehat. Jika orang tua mampu menjadi teladan maka nasehat yang ia sampaikan akan sangat berpengaruh terhadap jiwa anak.[45]

Nasehat merupakan aspek dari teori-teori yang disampaikan orang tua kepada anak. Metode ini memiliki peran sebagai sarana untuk menjelaskan tentang semua hakekat.[46]Termasuk dalam menyampaikan dan menjelaskan materi-materi pendidikan tauhid adalam keluarga. Sehingga orang tua dituntut memiliki kemampuan bahasa yang baik agar anak dapat menangkap dan memahami semua penjelasan yang disampaikannya.
Nasehat ini harus dimulai juga sejak anak masih kecil, selain sebagai sarana pendidikan tauhid juga sebagai dorongan dan motivasi anak untuk belajar berbicara. Kemampuan bahasa anak akan diiringi oleh kemampuan otaknya juga. Maksudnya ketika ia mendengarkan sebuah nasehat ia akan merekam setiap kosa kata yang ia dengar dalam memorinya, serta akalnya juga mencoba memahami setiap kosa kata sampai kalimat yang ia dengar. Oleh karena itu bahasa yang digunakan orang tua haruslah sederhana dan jelas.
5.     Pengawasan.
Pengawasan dalam pendidikan sosial kemasyarakatan. Pendidikan sosial merupakan suatu yang esensial sebagai manifestasi kehadiran Islam rahmamatan lillalamin. Salat sebagai ibadah mahdhah ditutup dengan membaca salam, ini berarti signifikasinya fungsi sosial dengan kehidupan muslim. Nashih Ulwan menjelaskan bahwa:
Dalam membentuk akidah anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan anak selalu terpantau. Secara universal prisip-prinsip Islam mengajarkan kepada orang tua untuk selalu mengawasi dan mengontrol anak-anaknya. Hal ini dilandaskan pada nash Al Quran dalam surat At-Tahrim ayat 6. Fungsi seorang pendidik harus mampu melindungi diri, keluarga dan anak-anaknya dari ancaman api neraka. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pendidik melakukan tiga hal yakni memerintahkan, mencegah dan mengawasi.[47]

Bukan anak-anaknya saja yang ia awasi tetapi juga dirinya agar tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan dirinya terancam api neraka. Bagaimana ia melindungi keluarganya dari api neraka jika ia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Maksud dari pengawasan ialah orang tua memberikan teguran jika anaknya melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkannya kepada pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa orang tua siap memberikan bantuan jika anak memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami dan melatih dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya. Muhammad Zein menjelaskan bahwa:
Metode pengawasandipakai orang tua untuk anak tanpa ada batasan usia. Metode-metode yang telah dijelaskan di atas harus ber- ????, yakni bertahap sesuai dengan usia anak, dan materi yang akan disampaikan. Faktor lain yang yang penting ialah bahwa semua metode tersebut saling terkait dan saling membantu, dan pendidikan tauhid juga sebagai sebuah proses. Oleh sebab itu hasil dari pendidikan tauhid dalam keluarga tidak dapat dilihat langsung hasilnya. Namun berkembang secara terus menerus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan tauhid dalam keluarga harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus. Para orang tua tidak boleh putus asa dan menyerah, apalagi sampai menghentikan pendidikan ini. Jika berhenti maka prosespun akan berhenti. Orang tua harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan tauhid anak. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk anak-anaknya.[48]    

Berdasarkan pendapat di atas bahwa orang tua hendaklah mendidik dan membimbing anak dengan selalu memperhatikan dan mengawasi perkembangan dalam berbagai asfek agar anak menjadi manusia yang hakiki dan membangun pondasi Islam yang kokoh. Dalam hal ini orang tua haruslah memperhatikan dan mengawasi shalat anak, agar mereka senantiasa tekun melaksanakan ibadah khususnya shalat dan ibadah-ibadah umum yang lainnya.                         
C.    Fungsi Pendidikan Tauhid Bagi Anak   
Pokok pertama dasar pendidikan bagi anak usia dini dalam persfektif al-Qur`an yang termaktub dalam surah Luqman adalah prinsip menanamkan ajaran tauhid atau ajaran tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Sebab pengenalan ajaran tauhid adalah pondasi dasar di dalam pendidikan sebelum anak dikenalkan dengan ajaran agama lainnya dan ajaran perilaku baik atau akhlak. Pokok pertama pendidikan bagi anak termaktub dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
?????? ????? ????????? ????????? ?????? ???????? ??? ??????? ??? ???????? ????????? ????? ????????? ???????? ???????) ?????: ??(
Artinya: Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Qs. Luqman: 13).

Memiliki tauhid atau iman yang mantap merupakan sesuatu yang amat penting dalam kehidupan seorang muslim. Dengan iman yang mantap, seseorang akan memiliki akhlak yang mulia. Di samping itu dengan iman yang mantap, seorang mukmin akan memiliki rasa malu sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang bernilai maksiat. Dengan iman yang mantap, seorang mukmin juga suka memakmurkan masjid, baik membantu pembangunannya secara fisik, memelihara kebersihan masjid itu, melaksanakan berbagai aktivitas yang bermanfaat dan tentu saja suka shalat berjamaah di masjid.
Dengan iman yang mantap, seseorang dengan senang hati akan menjalankan ketentuan-ketentuan Allah Swt dalam kehidupan ini, yang diperintah akan selalu dikerjakannya dan yang dilarang akan ditinggalkannya. Oleh karena itu, dalam awal pembinaan para sahabatnya, Rasulullah Saw. lebih memprioritaskan pembinaan iman dan sebagaimana yang dilakukan Luqman terhadap anaknya, maka setiap orang tua pada zaman sekarang juga harus menanamkan keimanan yang mantap kepada anak-anaknya, dengan iman yang mantap itu dijamin sang anak akan berlaku baik, dimanapun dia berada, kemanapun dia pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya.[49]

Pertanyaan yang muncul kemudian terkait dengan pengenalan ajaran tauhid kepada si kecil di rumah adalah bagaimana cara mengenalkan Allah Swt. dalam kehidupan anak?  Terkait dengan pilihan jawaban maka sebenarnya banyak cara atau metode yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam rangka mengenalkan Allah kepada anak-anak. Beberapa diantaranya diuraikan sebagai berikut: Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan) di antara orang tua dan anaknya. Untuk menciptakan hubungan yang harmonis tersebut langkahnya bisa dengan cara menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, biasakan bertutur kata lembut kepada anak-anak sebab anak-anak adalah peniru yang hebat perilaku dan tutur kata yang biasa diucapkan kepada anak-anaknya, biasakan bertingkah laku positif.
Mengenai metode atau cara menyampaikannya kepada anak-anak, maka nabi memberikan panduan agar ketika orang tua hendak menyampaikan ajaran yang terkait dengan pendidikan akan ketauhidan, maka kenalkan dengan cara yang paling mudah ditangkap oleh kemampuan mereka, artinya nabi memberikan panduan agar ketika kita mengajar anak-anak, cara paling efektif dan efisien adalah dengan cara ikut juga berperilaku seperti mereka.
Kita memahami bahwa zaman dahulu para orang tua masih punya waktu dan kesempatan untuk misalnya mendongeng, mengajak anak-anak maupun cucu-cucunya menonton wayang maupun arja. Kini dengan makin mengglobalnya dunia, jarak anak dengan orang tua seakan begitu jauh. Orang tua sibuk dengan dunianya sendiri dan anak juga sibuk dengan dunianya sendiri.
Untuk menjembatani kesibukan orang tua dalam mendidik putra-putrinya tersebut, maka pendidikan budi pekerti bisa disampaikan kepada anak lewat lagu yang dia sukai, cerita kartun, sinetron maupun buku bergambar. Tugas orang tua adalah menyeleksi materi-materi yang ada di dekat anak yang bisa dipakai sebagai media pendidikan budi pekerti. Sebutlah misalnya anak-anak suka menonton film kartun, maka harus ada seleksi terhadap film-film kartun anak-anak yang benar-benar bisa mendidik, tidak justru film yang mengajar anak-anak untuk bertindak kurang ajar terhadap orang lain dan menganggapnya sebagai lelucon.
Demikian juga bagi anak-anak yang suka membaca, sebisanya diupayakan bacaan yang mengajarkan anak-anak tentang pendidikan budi pekerti yang bersifat universal. Misalnya perasaan sayang pada sesama dan semua makhluk, mau berkorban untuk orang lain, juga tahu diri. Sebenarnya materi-materi seperti ini banyak dijumpai dalam dongeng dan cerita rakyat, asal pandai memilih dan mampu mengadaptasi ceritanya agar sesuai dengan konteks sekarang. Yang lebih penting adalah mengkemasnya agar menarik bagi anak-anak.                                         
D.    Konsep Pendidikan Tauhid Bagi Anak Menurut Perspektif Islam      
Pendidikan tauhid sebagai pendidikan dasar bagi anak karena ketuhanan ini paling fundamental dalam proses perkembangan sikap dan pengetahuan. Tidak salah para ulama dalam kitabnya mengan jurkan kepada anak yang baru belajar mengaji itu sebagai dasarnya kitab Tijan Ad Daruri. Kita lihat nabi Ibrahim yang pertama dia cari itu adalah Tuhan. Karena pendidikan Tauhid ini membimbing manusia kepada beragama dan terikat kepada aturan dogmatis agama yang mengakibatkan manusia itu menjadi beretika baik. Serta Al-Quran yang pertama turun adalah perintah baca dan berTuhan.      
Kaidah pendidikan yang pertama adalah peletakan pondasi dasar, yaitu penanaman keesaan Allah, kelurusan aqidah, beserta keagungan dan kesempurnaan-Nya. Kalimat tauhid adalah focus utama pendidikannya. Tidak ada pendidikan tanpa iman. Tak ada pula akhlak, interaksi social, dan etika tanpa iman. Apabila iman lurus, maka lurus pulalah aspek kehidupannya. Mengapa? Sebab iman selalu diikuti oleh perasaan introspeksi diri dan takut terhadap Allah. Kaidah kedua dalam pendidikan menurut Luqman adalah pilar-pilar pendidikan. Ia memerintahkan anaknya untuk shalat, memikul tanggung jawab amar ma�ruf nahi munkar, serta menanamkan sifat sabar. Shalat adalah cahaya yang menerangi kehidupan seorang muslim. Ini adalah kewajiban harian seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan selama masih berakal baik. Kaidah ketiga adalah etika social. Metode pendidikan Luqman menumbuhkan buah adab yang luhur serta keutamaan-keutamaan adiluhung. Luqman menggambarkan hal itu untuk putranya dengan larangan melakukan kemungkaran dan tak tahu terima kasih, serta perintah untuk tidak terlalu cepat  dan tidak pula terlalu lambat dalam berjalan, dan merendahkan suara. Seorang muslim perlu diingatkan untuk tidak boleh menghina dan angkuh. Sebab, semua manusia berasal dari nutfah yang hina dan akan berakhir menjadi bangkai busuk. Dan ketika hidup pun, ia kesakitan jika tertusuk duri dan berkeringat jika kepanasan.[50]

Dengan demikian, pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah �nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar melatih seorang anak agar sewaktu besar mendapatkan harta, kekayaan dan kedudukan, namun lebih daripada itu adalah bagaimana supaya si anak tersebut setelah dewasa dapat menjadi hamba yang baik dan dapat juga bermanfaat bagi seisi dunia. Dengan demikain pada akhirnya anak tersebut akan selamat di dunia dan di akhirat.
Sebenarnya, pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya menjaga anak keturunan agar memiliki kualitas iman prima, amal sempurna dan akhlak paripurna.   Karena itu, tanpa banyak diketahui, di dalam islam, langkah awal pendidikan untuk mendapatkan kualitas keturunan yang demikian sudah ditanamkan sejak anak bahkan belum terlahir. Apa buktinya? Manhaj islam menggariskan bahwa sebaik-baik kriteria dalam memilih pasangan hidup adalah factor agama, bukan karena paras muka dan kekayaannya.  Sebab, diyakini, calon orang tua yang memiliki keyakinan beragama yang baik tentu akan melahirkan anak-anak yang juga baik.
Di dalam ajaran Islam, orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Keduanya berkewajiban mendidik anak-anaknya untuk mempertemukan potensi dasar dengan pendidikan. Kewajiban ini juga ditegaskan dalam firman-Nya:
???????? ???????? ???????????? ??????????? ????????? ??? ?????????? ??????? ??????? ?????????? ?????????????? ???????????) ??: ???(
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa�. (Qs. Thaahaa:132).

Dalam Islam, pentingnya pendidikan tidak semata-mata mementingkan individu, melainkan erat kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Konsep belajar/pendidikan dalam Islam berkaitan erat dengan lingkungan dan kepentingan umat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan senantiasa dikorelasikan dengan kebutuhan lingkungan, dan lingkungan dijadikan sebagai sumber belajar. Seorang peserta didik yang diberi kesempatan untuk belajar yang berwawasan lingkungan akan menumbuhkembangkan potensi manusia sebagai pemimpin.
Konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain, yang secara umum ditunjukkan dalam doa Rasulullah: �Ya Allah, ajarilah aku apa yang membawa manfaat bagiku, serta karuniakanlah padaku ilmu yang bermanfaat�. Dari doa tersebut terungkap bahwa kualitas ilmu yang didambakan dalam Islam adalah kemanfaatan dari ilmu itu. Hal ini terlihat dari hadits Rasulullah: �Iman itu bagaikan badan yang masih polos, pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.
Pendidikan Tauhid merupakan landasan utama seorang muslim, identitasnya ditentukan oleh ketauhidannya yang benar, dia adalah sebuah pondasi bangunan, kuat tidaknya bangunan ditentukan oleh �pondasinya�, ia adalah akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya;kuat rapuhnya akar sang pohon. Sehingga �Tauhid� menjadikan seorang muslim hanya tunduk, patuh pasrah kepada Allah. Pengakuan  tersebut harus dicerminkan dengan keyakinan teguh dalam hati sampai akhir hayat, juga diucapkan secara lisaniyah, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.                



[1]Abdullah bin Abdul Muhsin, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah Wal Jama�ah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1995), hal. 98.

[2]Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 22.

[3] Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam: Tujuan, Materi, dan Metode, (Yogyakarta: Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga), hal. 37.

[4]Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 237.
[5]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hal. 6.

[6]Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Terjemahan  M. Habib Wijaksana, Filsafat Tauhid Mengenal  Tuhan Melalui Nalar dan Firman, (Bandung: Arasyi, 2003), hal. 99.

[7] Ibid., hal. 99.
               [8] Ibid,hal. 110.

[9] Ibid,hal. 111.

[10]Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 13.

[11] Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta Harakah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 27.
[12]Yazdi,  Filsafat...., hal. 99-100.
               [13] Ibid., hal. 101.

[14] Ibid., hal. 101.

[15] Ibid, hal. 107-108.

               [16] Ibid, hal. 108.
              
               [17]Ilyas, Kuliah....., hal. 51-55.

[18] Ibid., hal. 52-55.
[19]Syeikh Muhammad Nawawi, Syarh Fath Al Majid, (Beirut: Dar Ihya al Kitab al Arabiyah, t. k., t.t), hal. 5-6.

[20] Ibid,hal. 110-111.

[21]Zuhdi, Studi..., hal. 13.

               [22]Ilyas, Kuliah....., hal. 129.

[23] Ibid., hal. 129.

[24] Ibid., hal. 129.

               [25]Ibid. hal. 131-133.
[26]Ilyas, Kuliah....., hal. 77.

[27] Ibid., hal. 78.
              
               [28] Ibid., hal. 78.
               [29]Zuhdi, Studi..., hal. 14.
[30] Ibid. hal. 40.

[31]Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 39.
[32] J. Monks (et.al), Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hal. 87.

[33]Khatib Ahmad Santhut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral, dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, Terjemahan  Ibnu Murdah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1998), hal. 103.
              
               [34] Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam, Cet IV, (Jakarta: Hidayah, 1968), hal. 16.

[35] Ibid., hal. 117.

[36]Arif, Pengantar ..., hal. 117-118.
               [37] Ibid., hal. 110.

[38] Ibid., hal. 111.

[39] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam: Kaidah Kaidah Dasar, Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 1992), hal. 45.

[40] Ibid, hal. 60-61.
              
               [41] Arif, Pengantar ..., hal. 114-115.

[42] Abu Tauhied, Ms., Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga,1990), hal. 95-96.

[43]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 43.
              
[44] Ulwan, Pendidikan....., hal. 46.
[45]Umar Hasyim, Anak Saleh: Cara Mendidik Anak dalam Islam 2, (Surabaya: Bina Ilmu 1983), hal. 83.

[46]Ulwan, Pendidikan...., hal. 66.
[47]Ulwan, Pendidikan...., hal. 66.
[48]Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Sumbangsih Offset Papringan, 1991), hal. 68.
[49]Muhammad Husain, Agar Jiwa Anak Tetap Bersih, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001), hal. 34.
[50]Erwati Aziz, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hal. 34.