Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Hadih Madja


BAB III

KEDUDUKAN HADIH MADJA ACEH


A.    Pengertian Hadih Madja

Hadih Maja atau Nariet Maja ialah �suatu perkataan atau pribahasa didalam kehidupan masyarakat Aceh. Hadih Maja ini mengandung unsur filosofis, yang digunakan sebagai nasehat/peringatan/penjelasan atau sindiran halus agar menjadi pedoman didalam menjalani kehidupan�[1]. Berkaitan dengan arti hadih maja tersebut, Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh menyebutkan bahwa kata hadih secara etimologi berasal dari bahasa Arab, hadits, yang berarti kejadian atau peristiwa. Apabila dikaitkan dengan Islam, hadits berarti tindakan, ucapan, dan diam Rasulullah mengenai sesuatu. �maja berarti nenek moyang (ancestor) atau orang Aceh lebih mengenalnya dengan istilah indatu�[2].
Berdasarkan pengertian hadih dan maja seperti yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa hadih maja berarti perkataan tetua, atau seperti yang disebutkan ucapan-ucapan yang berasal dari nenek moyang dan tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi ada kaitannya dengan kepercayaan rakyat yang perlu diambil ibaratnya untuk menjamin ketenteraman hidup atau untuk mencegah terjadinya bencana, seperti adat istiadat pada suatu upacara, aturan-aturan berpantang, dan ucapan-ucapan mengenai moral. Mohd. Harun menjelaskan bahwa:
Hadih maja disebut oleh Mohd. Harun sudah menjadi rujukan hukum  dan sumber nilai, jauh sebelum Islam masuk ke Aceh. Oleh karena itu, meski Islam menjadi agama yang mengakar kuat bagi orang Aceh, perkataan orang tua zaman dulu masih menjadi salah satu rujukan bagi orang Aceh bahkan kemudian terjadi akulturasi yang padu dengan Islam. Secara historis, Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh  menyebutkan bahwa hadih maja pada awalnya dinisbahkan kepada ungkapan yang dihasilkan perempuan yang  dituakan dalam masyarakat Aceh. Namun dalam perkembangan selanjutnya, bukan hanya perempuan yang dituakan yang menghasilkan ungkapan, pihak tetua lelaki pun juga menghasilkan ungkapan-ungkapan berhikmah (peureuman dat�k).[3]

Oleh karena itu, hadih maja merupakan ungkapan-ungkapan berhikmah yang dihasilkan oleh indatu, baik tetua perempuan maupun tetua lelaki. Hadih maja sampai sekarang masih digunakan oleh orang Aceh secara lisan dan tulisan. Penggunaannya secara lisan masih dapat ditemukan dalam acara resmi dan tak resmi, seperti pidato resmi pejabat negara di Aceh atau komunikasi antarindividu dan keluarga. Hadih maja bermaksud memberitahukan informasi mengenai perlunya seseorang membawa diri dalam pergaulan di mana pun dia berada; di kampung sendiri, terlebih-lebih di rantau orang.
Hadih Maja, merupakan sisi budaya Aceh yang fenomenal. Masyarakat Aceh menemukan jati dirinya dalam hadih maja dan bahkan sebagai cerminan terhadap prinsip hidup dan sudut pandang orang Aceh. Hadih maja merupakan suatu puisi lisan atau suatu karya sastra yang tujuannya untuk menggurui dan memberi peringatan. Hadih maja ini populer dimasyarakat Aceh dari lisan ke lisan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan disarikan dengan perjalanan hidup yang panjang dan dibentuk dengan kata-kata yang indah dan bersajak agar mudah diingat serta mudah diucapkan oleh anak-cucu orang Aceh nantinya. Membahas sisi budaya Aceh, tentunya tak pernah lekang dengan nilai islami. Hadih maja dalam perkembangannya telah menjadi asas dalam tatanan kehidupan orang Aceh dan menjadi sumber nilai terhadap aqidah, ibadah dan amaliah. Berbagai macam suku yang mendiami Aceh tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam hubungan sosial dan budaya, karena hadih maja memang telah diciptakan untuk membina hubungan harmonis masyarakat Aceh dalam hubungan kesukuannya. Filosofi hadih maja, telah membuat lini kehidupan masyarakat Aceh menjadi terarah dan tahu bagaimana mengarahkan jalannya hidup menjadi bijak.
Konflik yang telah lama berkecamuk di Aceh melahirkan berbagai macam paradigma tentang Aceh dan orang Aceh. Perang memang akrab dengan rakyat Aceh tapi Aceh bukanlah suku Barbar yang suka berbuat keonaran dan mencari-cari masalah. Hadih maja menggambarkan bahwa rakyat Aceh selalu mengutamakan perdamaian dari pada harus berperang demi kepentingan bangsa dan harga diri: �Sur�t lhee langkah, mangat geuturi nyang bijaksana�, artinya adalah �lebih baik merendah diri supaya mereka tahu siapa yang bijaksana�.
Prof. Ali Hasjmy (salah seorang Gubernur Aceh dan cendekiawan Aceh) mengatakan bahwa hadih maja merupakan kata atau kalimat berhikmat dan hadih maja juga merupakan nasihat atau petuah nenek moyang yang mengandung nilai-nilai moral dan pendidikan agama. Hadih maja yang telah mengakar dalam diri orang Aceh menjadi salah satu penyokong budaya diantara kebanyakan lainnya yang telah hilang. Rasanya hadih maja telah meng-acehkan kembali orang Aceh, mengembalikan semua dimensi budaya dan jati diri yang memudar.
Seperti hadih maja berikut ini:�Adat bak Poteu Meureuh�m, huk�m bak Syiah Kuala/ Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana�. Sangat nyata hadih maja ini mendeskripsikan tentang setiap urusan ada pemangkunya masing-masing. Simbol-simbol yang ditunjukkan pada hadih maja ini menunjukkan kepada setiap orang bahwa jangan salah dalam mengambil keputusan yang bersangkut paut tentang hidup. Masalah budaya dan adat istiadat ada yang mengatur, masalah hukum juga ada yang mengatur, begitu juga dengan urusan keagamaan juga ada yang mengatur. Semua masalah jangan diselesaikan sendiri tapi selesaikan dengan siapa yang mengatur tentang masalah itu.
Kesimpulannya adalah hadih maja telah menjadi filsafat hidup dan prinsip hidup orang Aceh. Dan juga menjadi pedoman serta jalan keluar dari semua masalah.   
B.    Ruang Lingkup Hadih Madja    

Sebagai sebuah masyarakat yang berbudaya, masyarakat Aceh mengenal berbagai macam tradisi sastra, baik tradisi sastra lisan maupun tradisi sastra tulis. Sebagaimana halnya dalam masyarakat lain di Nusantara, tradisi sastra lisan diduga lebih dahulu berkembang daripada tradisi sastra tulis. Di Aceh, secara khusus, tradisi tulis ini baru berkembang sejak datangnya Islam. Hal ini dibuktikan melalui pemakaian aksara Arab-Aceh (aksara jawoe) dan aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam berbagai naskah klasik Aceh yang terselamatkan dan tersimpan di berbagai museum dan tempat penyimpanan naskah di dalam dan luar negeri. Persentuhan dengan tradisi Arab, Persia, dan Melayu diduga tidak hanya pada aspek kepercayaan, tetapi juga pada aspek lain dalam bidang budaya, termasuk tradisi sastra. Karena itu, genre sastra yang berkembang di Aceh hingga saat ini tidak jauh berbeda dengan tradisi sastra yang berkembang dalam masyarakat tersebut, khususnya masyarakat Melayu. Malah, banyak sekali karya sastra yang berkembang saat ini merupakan saduran dan memiliki hubungan interteks dengan tradisi sastra dalam dunia Melayu dan Islam. Itu sebabnya, barangkali, kehidupan masyarakat Melayu secara umum selama ini sering diidentikkan dengan kehidupan yang islami. Teuku Imran Abdulllah menjelaskan bahwa:
Secara umum sastra Aceh diciptakan dalam bentuk puisi (puisi sanjak, atau narit meupakh�k). Hal ini, misalnya dapat dilihat dalam hikayat, neurajah (mantra), h�iem (teka teki), narit/hadih maja (ungkapan/peribahasa), pant�n (pantun), lik� (zikir), nalam (nazam), nasib (kisah), d� da idi (nyanyian buaian), dan ca-� (syair). Tradisi sastra dalam bentuk prosa hanya dikenal dalam cerita rakyat, haba jameun. Uraian berikut ini akan difokuskan pada hadih maja  sebagai sebuah tradisi sastra lisan yang masih berkembang di Aceh.[4]

Hadih maja dibentuk dari akar kata hadih �hadis� dalam hal ini merujuk pada perkataan, pernyataan, ungkapan verbal; dan maja �moyang wanita� merujuk pada nenek moyang, orang tua-tua. Dengan demikian, hadih maja dapat dimaknakan sebagai �perkataan, pernyataan, ungkapan-ungkapan verbal yang berasal dari nenek moyang�. Dalam tradisi sastra Melayu secara umum disebut �pepatah, ungkapan, dan peribahasa�.
Sebagai sebuah tradisi lisan, peribahasa atau ungkapan tradisional ini sering sekali merupakan �kalimat-kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang� Peribahasa atau ungkapan tradisional merupakan �kebijaksanaan orang banyak, kecerdesan seseorang�. Itu sebabnya, barangkali, dalam kehidupan sehari-hari tidak semua anggota masyarakat pemilik peribahasa atau ungkapan tradisional dapat menguasai, dalam makna menghafal dan menggunakannya secara tepat seluruh peribahasa yang ada dalam masyarakat tersebut. Padahal, menurut Dananjaya:
Sebagaimana halnya dengan folklor lisan lainnya, peribahasa atau ungkapan tradisional dapat digunakan untuk berbagai fungsi sosial, seperti sistem proyeksi, alat pengesahan pranata atau lembaga kebudayaan, media pendidikan bagi anak-anak atau generasi muda, alat untuk memaksa atau mengawasi kepatuhan anggota masyarakat terhadap norma tertentu, alat untuk mengkritik seseorang yang melanggar norma-norma tertentu (the impersonalization of authority, menurut Alan Dundes), serta alat untuk menaikkan gengsi seseorang dalam sebuah masyarakat karena menguasai hal tersebut secara aktif.[5]

Hadih maja sudah menjadi �petuah� bagi masyarakat Aceh sepanjang zaman. Ini dibuktikan oleh Mohd Harun, pengajar sastra, adat, dan budaya di Universitas Syiah Kuala, dalam bukunya, Memahami Orang Aceh. Beranjak dari sebuah disertasi, buku ini menjadi dokumentasi yang secara kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitiannya dititikberatkan pada hadih maja, yang memang umumnya dijadikan filosofi oleh masyarakat Aceh.                     
C.    Manfaat Hadih Madja    

Hadis Maja mengandung berbagai petuah, nasihat, dan ajaran dari Hadih Madja, yaitu para leluhur yang memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan, serta arif dan bijaksana. Walaupun diungkapkan dalam kalimat yang pendek, Hadis Maja itu disarikan dari pengalaman yang panjang dan disajikan dalam bahasa yang indah dan bersajak agar mudah diingat dan senang diucapkan. Jadi, Hadis Maja itu bukan semacam permainan kata yang diciptakan oleh orang sembarangan.
Aceh sebagai masyarakat yang berbudaya memiliki cara-cara tersendiri dalam mengungkapkan ide-ide yang berkembang dalam masyarakatnya. Ide-ide itu diungkapkan dengan cara yang halus sehingga jika suatu ungkapan, baik berupa nasihat maupun teguran ditujukan kepada seseorang, biasanya orang yang dituju tidak merasa tersinggung. Dalam kesusastraan Aceh, ungkapan-ungkapan demikian dinamakan hadih maja. Dalam pandangan Moehammad Hoesin:
Kandungan hadih maja, antara lain berkenaan dengan nilai budaya masyarakat Aceh dalam berpikir, bernalar, bertindak, dan berkomunikasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Di antara ungkapan hadih maja adalah ungkapan, �Lagee keuleude gulam kitab (Seperti keledai memikul kitab).� Suatu perumpamaan kepada orang yang mempunyai ilmu, mengetahui, dan membawa kebenaran, tetapi tidak mengambil manfaat dari ilmu dan kebenaran yang diketahuinya.[6]

Hadih maja tersebut merupakan ungkapan pendahulu kita pada waktu yang sudah lama, tetapi makna yang dikandung dalam hadih maja tersebut masih relevan kiranya untuk dibicarakan pada saat ini. Hal yang demikian disebabkan perilaku masyarakat Aceh yang dapat diamati tidak jauh dari perumpamaan keuleude gulam kitab. Masyarakat Aceh adalah penganut ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik melalui belajar, beramal, dan menasihati orang lain. Oleh karena itu, secara umum dapat dipahami bahwa masyarakat Aceh pada umumnya adalah orang yang belajar agama, sehingga mereka adalah orangyang mengetahui kebenaran. Namun, ilmu yang mereka pelajari ternyata bukan untuk diamalkan, tetapi hanya sekadar bahan studi, dialog, ceramah,seminar, perbandingan, dan perdebatan.
Dalam khasanah budaya Aceh, dari zaman dahulu sampai sekarang, hidup subur berbagai pribahasa, yang dikenal dengan ungkapan Hadih Maja atau sering juga disebut Nariet Maja. Yang merupakan rangkaian kalimat-kalimat singkat, tetapi mengandung arti yang padat, dengan tamsilan-tamsilan yang mendalam. Malah ada diantaranya yang terlalu pelik untuk dimengerti, karena mengandung unsur filosofis.
Ungkapan-ungkapan bernada filosofis tersebut, telah menjadi simbol dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hampir setiap lini budaya Aceh, menggunakan Hadih Maja sebagai bahasanya. Sebut saja seperti tutur kata dalam upacara adapt, terutama menyangkut adat perkawinan. Pada acara adat yang sangat seremonial ini, selalu diselingi dengan ucapan-ucapan Hadih Maja yang kaya akan variasi dan bermakna filosofis. Karena itu pula, kalimat-kalimat dalam Hadih Maja tidak bisa diartikan menurut tata bahasanya yang tersurat, tetapi ditafsirkan dengan penafsiran yang tersirat di dalamnya dan objek yang ditujukan Hadih Maja tersebut. Hadih Maja kerap juga dipakai sebagai bahasa plesetan, yang beisikan kritikan terhadap orang-orang yang mengangkangi nila-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan. Hadih Maja sebagai bahasa kritikan, tidak mengenal golongan dan status sosial orang yang dikritisi.
Ketika seseorang telah berbuat salah, atau telah melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat banyak, maka kritikus Aceh sejak zaman dahulu akan menggunakan Hadih Maja untuk mengkritisinya. Karena Hadih Maja merupakan media yang sangat efektif untuk menyampaikan berbagai kritikan tersebut. Dengan Hadih Maja orang yang dikritisi akan lebih tersentuh, selain itu kritikus pun tidak perlu banyak bicara, karena bahasa Hadih Maja akan selalu mengena. Maka bisa dikatakan Hadih Maja merupakan ruhnya budaya Aceh. Kadang kala, ulama pun sebagai golongan yang sangat disegani dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh, juga sering menjadi objek kritikan melalui Hadih Maja, misalnya bak peng duroeh janggoet, bak broet aleh doa. Ungkapan tersebut menggambarkan ulama yang terpengaruh dengan nafsu dan gemerlap dunia, sehingga sang ulama tidak lagi memiliki kharismanya.
Orang-orang yang sering berada di dua sisi yang berlawanan untuk menggeruk keuntungan pribadi pun sering ditamsilkan sebagai bubei dua jab seureukab dua muka, keunoe toe keudeh rab, man dua pat meuteumei laba. Bila seseorang telah dicap sebagai bubei dua jab, maka setinggi apapun pangkatnya dalam kehidupan bermasyarakat, oleh masyarakat banyak, ia tidak akan dihargai lagi. Inilah salah-satu kekuatan Hadih Maja. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, Hadih Maja juga telah menjadi penuntun tata cara kehidupan bermasyarakat, pengawas dan pengkritik yang sangat ampuh. Umpamanya, Hadih Maja yang mengingatkan agar seseorang tidak asal bicara; Rumoeh baru han geutumpang, nariet nyang reumbang han geudakwa, artinya, rumah yang baru tidak ditopang, bicara yang benar tidak akan dibantah.
Kemudian Leupah langkah jeut tariwang, nariet koh reupang rugoe lagoina, artinya, lewat langkah bisa kita balik kembali, tapi bicara bantah membantah itu sangat rugi. Su nyang ka tamariet, tapeuguda han meutumei le, maksudnya, suara yang sudah lepas dari mulut itu, meskipun dikejar pakai guda tidak akan kembali lagi. Nariet sikrak sikatoe, dua lhei krak jeut bloe nanggroe, maksudnya, bicara sepatah dua kata tapi penuh makna. Selain itu, dalam romantisme percintaan muda-mudi, Hadih Maja juga kerab dipakai sebagai media penyampaian pesan-pesan cinta. Umpamanya, meunyoe na chen keu rakan sahbat, reudok keu tungkat kilat keu sua, kalau rindu kepada sahabat, petir kujadikan tongkat, kilat sebagai obor.
Lalu, Meumet on kayei lon tupei cicem, teuseunyom teukhem lon tupeu bahsa, maksudnya, bergerak daun saya tahu burungnya, senyum dan tawa pun saya tahu maksudnya. Gaki lam taloe jaroe ka lam weng, paki han lon tem katroeh bak jeumba, maksudnya, kalau sudah jodoh pasti akan diterima. Dalam bidang pertanian, untuk lebih mudah menyebut masa tanam, juga diungkapkan dalam Hadih Maja. Seperti, keunoeng siblah tabu jareung, keunoeng sikureung rata-rata, keunoeng tujoeh jeut chiet mantoeng, keunoeng limoeng ulat seuba. Maksudnya, waktu turun ke sawah berdasarkan cuaca bulan-bulan tertentu.
Selanjutnya ada lagi ungkapan-ungkapan lain seperti, Kubeu pok Keunambam, leumoe pok taloe, artinya, kerbau menanduk tambang, sapi menanduk tali, artinya seseorang yang bersikap ingkar terhadap sesuatu yang mesti diterimanya dengan wajar. Ban laku geupeh geundarng meunan tanari, seperti bunyi gendrang, begitu pula gerak tarinya, maksudnya, seseorang harus menyesuaikan dirinya dengan suasana disekitarnya.
Dan masih banyak lagi Hadih Maja yang lebih radikal dalam kritikan, lebih lucu dalam humornya. Dari beberapa contoh diatas, jelas bahwa peran Hadih Maja dalam kehidupan masyarakat Aceh sangat kental. Namun sangat disayangkan, sampai kini, dokumentasi terhadap hadih maja sangat jarang, bahkan boleh dibilang langka. Untuk itulah perlu adanya sebuah dokumentasi dalam bentuk buku untuk menyelamatkan khasanah budaya Aceh ini. Contoh Hadih Maja:                                             
D.    Macam-macam Karya Sastra Aceh
                             
Karya Sastra Aceh telah memiliki perkembangan yang begitu pesat meski di negeri ini masih terseok-seok. Sastra Aceh berkembang mulai ke 9 dari berbagai macam jenis karya sastra. Namun baru dikenal dunia pada abad ke 14 setelah proses penyalinan semua naskah sastra yang awalnya hanya ditampilkan secara lisan dan berkembang secara lisan juga. Masa yang telah dilalui begitu panjang namun hanya sedikit sejarah yang mencatat perkembang Macam-Macam Karya Sastra Aceh. Sejarah hanya pernah mencatat manuskrip sejarah Raja-Raja Pasai yang menjelaskan tentang deskripsi Kerajaan Samudera Pasai secara keseluruhan serta Kerajaan Aceh Darussalam. Kini semua manuskrip yang berisikan tentang fiqh, sejarah, ilmu keperawatan, hukum dan adat budaya ini terancam hilang selamanya karena tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah Aceh sendiri.
Pada dasarnya bentuk kesusastraan Aceh dapat dibagi dalam dua jenis utama, yaitu sastra tutur (lisan) dan sastra tulisan. Sastra lisan ialah sastra bersifat prosa (haba jameun) yangdiceritakan masyarakat tentang berbagai peristiwa, baik mengenai peperangan, kisah asmara dan cerita-cerita nasehat lainnya. Model sastra ini pernah menyatu dengan hidup masyarakat Aceh, terutama bagi masyarakat di pedesaan. Disetiap desa di Aceh dulu selalu ada satu-dua orang yang pandai menceritakan kisah-kisah atau cerita haba jameun.
Tapi sekarang ini cerita-cerita semacam itu hampir tidak ditemukan lagi di desa-desa dalam masyarakat Aceh. Kemudian sastra tulisan, jenis sastra ini yang paling banyak kita jumpai ialah dalam bentuk hikayat, malah hikayat ini telah membawa sastra Aceh pada puncak kebesarannya.Menurut Prof. Dr..Husein Djajadiningrat seorang sejarawan yang banyak meneliti tentangsejarah dan kesusastraan Aceh, ia menggolongkan hikayat ini dalam dua pengertian, yaitu hikayat cerita sejarah dan hikayat bentuk kesesastraan melayu Aceh. Apa yang dijelaskanHusein Djajadiningrat ini memang kita jumpai dalam kenyataan sekarang ini.
Kalau dilihat dari isinya, hikayat Aceh dapat dibagi dalam beberapa bagian, antaranya hikayat agama, hikayat sejarah, hikayat jihat dan hikayat roman (percintaan). Semua hikayat iniada yang ditulis dalam bentuk prosa bahasa melayu pasai dan juga ada dalam bentuk puisidengan menggunakan huruf arab Melayu Arab (tulisan jawoe). Semua bentuk hikayat ini telahikut memperkaya khasanah kesusastraan Aceh masa lalu, sehingga tidak sedikit bangsa luar yang menaruh perhatian terhadap kesusastraan Aceh, bahkan banyak diantara mereka yang menjadikan kesusastraan tradisional Aceh sebagai studi penelitian disertasinya. Muhammad Zainuddin menjelaskan bahwa:
Seorang putra Aceh yang pernah mengadakan penelitian tentang kesusastraan daerah diNusantara, yakni Aboebakar Atjeh, diakhir penelitiannya bersama Tgk.Tjeh. Moh. Noerdin yang ketika itu dua sastrawan ini sempat mentranslitkan 600 judul hikayat Aceh dari tulisan huruf arabmelayu jawi ke dalam huruf latin bahasa Aceh yang kemudian 600 judul hikayat tersebut menjadimilik Prof. Dr. Husein Djajadiningrat. Setelah Husein wafat, sejumlah hikayat tersebut dibelikembali oleh Mr. Moh Yamin dan disimpan dalam perpustakaan pribadinya. Aboebakar Atjehyang sangat menghargai kesusastraan daerahnya ketika itu berkali-kali mengusulkan padaPemerintah Aceh agar 600 judul hikayat Aceh yang sudah disalin dalam huruf latin itu dapatdibeli kembali oleh Pemeritah Aceh untuk diterbitkan. Tapi usulan ttersebut saat itu tidak pernah mendapat tanggapan Pemerintah Aceh, sampai sekarang kita sendiri tidak tahu lagi bagaimana nasib dari 600 buah hikayat itu.Pada tahun 1994 saya pernah mencoba menelusuri 600 judul hikayat Aceh yang hilangitu di beberapa perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi seni dan budaya di Jakarta, baik diPerpustakaan Nasional maupun di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yasin, tapi hasilnya nyaristidak diketahui lagi di mana 600 judul hikayat Aceh itu tersimpan. Apakah masih ada yang menyelamatkan atau sudah habis menjadi abu, hingga sekarang tidak ada yang mengetahuinya. Hikayat Malem Dagang ini termasuk hikayat terpenting untuk dipahami, karena didalamnya mengandung cerita-cerita sejarah, terutama sejarah masa Sultah Iskandar Muda sebagai fase sejarah puncak kejayaan kerajaan Aceh.. Karena itu Dr. Cowan bekas seorang kontelir Belanda di Aceh menjadikan hikayat Malem Dagang ini sebagai bahan studi disertasinya. Begitu juga hikayat Pocut Muhammad, hikayat ini di dalamnya menceritakan sejarah raja-raja Aceh, dan hikayat Prang Kompeni  yang dikarang secara lisan, karena pengarang hikayat ini yang namanya Do Karim tidak bisa membaca dan menulis, bait-bait hikayat itu ia hafal di luar kepala yang syair-syairnya dapat membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.[7]

Serta masih banyak lagi hikayat lainnya yang bernilai sejarah dan kepahlawanan Seperti hikayat Prang Sabi karangan Tgk. Haji Muhammad Pante Kulu. Hikayat Prang Sabi termasuk karya sastra terbesar yang pernah dihasilkan dalam sejarah kesusastaraan dunia. Belum pernah ada karya sastra sehebat hikayat Prang Sabi yang berhasil membangkitkan semangat jihat manusia seperti yang dihasilkan Tgk. Chik Pante Kulu. Alam Aceh seluruhnya puisi, hal itu pernah dikemukakan oleh wartawan Mesir Al-Hilal, karena orang Aceh dalam berbagai peristiwa penting berbicara dalam bahasa puisi berbentuk hikayat, sehingga dapat disebut bahwa sastra Aceh adalah karya sastra ciptaan pengarang ataupenyair yang berhubungan langsung dengan situasi dan kondisi masyarakat sehari-hari.
Melalui hikayat Epik kita dapat mengetahui aspek-aspek kehidupan manusia, yaitu berbagai permasalahan yang timbul antara manusia dengan Penciptanya (vertikal), antara manusia dengan lingkungan dan alam semesta (horizontal). Dari uraian-uraian di atas jelaslah, bahwa ajaran Islam telah menjadi darah daging bagi rakyat Aceh dan mempengaruhi segala segi kehidupan dan penghidupannya, dengan kata lain, kesusasteraan Melayu Aceh pada hakikatnya adalah kesusasteraan Islam, atau setidak-tidaknya kesusasteraan yang berjiwa dan bersemangat Islam. Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama.[8]

Para ulama Aceh yang menjadi panutan masyarakat, menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Untuk sekedar contoh penulis turunkan disini satu petikan puisi dalam bentuk terjemahan yaitu Ratib dalam ikatan Sanjak.Para ibu di rumah sering memetik lagu ratib tersebut sebagai lagu nina bobo. Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh ibu ini melekat ke dalam ingatan si anak, dan menjadikan ia akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh. Kini adakah syair-syair demikian yang mampu membentuk sikap dan pola pikir jernih dan kritis. Syair-syair yang kerap disebut sebagai sastra kontekstual yang berbicara atas nama zamannyadan kondisi masyarakat sambil tak lupa membawa misi religius dan turut membentuk kepribadian generasi baru, bukan syair-syair melankolis yang mengeksplotisir kecengengan dan romantisme individual. Satu-satunya harapan diletakkan pada ibu (ummi, nyak, mak) yang dalam kehidupan sehari-hari menjadi 'guur atau madrasah" pertama seorang anak. Ibu cenderung mempunyai cukup waktu unutk mengajarkan dan memperkenalkan hal-hal pertama dan mendasar bagi anak dalam proses konstruksi social dengan memilih teks dan bahas ayang sesuia bagi anak.
Peran seorang ibu menjadi sangat penting karena dalam era teknologi komunikasi, anak-anak banyak belajar drai tayangan televises dari pada realitas sosial yang sesungguhnya. Bahasa ibu menjadi penyeimbangan atau merupakan bentuk kontrol social terhadap isi/content media massa (old media dan new media). Ibu dapat berperan sebagai filter informasi, gate keeper yangmelakukan seleksi terhadap tontonan, jenis bacaan, music dan lagu, dll sehingga stimulus yangdiperoleh anak diharapkan dapat membantu melahirkan respon yang lebih sesuai dengan pikirandan prilaku Islami. Ibu dapat menkonstruksi bentuk pikiran dan prilaku anak-anak mereka dengan mengajarkan bahasa ibu� yang memenuhi dan sesuai dengan tuntunan Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatkan bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih, orangtualah yang kemudian yang akan membuat anak-anak menjadi nasrani atau majusi.[9]

Dengan kata lain ibu dapat berperan sangat fundamental dalam mengkonstruksi pikiran dan prilaku anak-anak mereka dengan secara matang dan kontinyu merencanakan pilihan pendidikan termasuk didalamnya beragam jenis tontonan, bacaan dan bentuk permainan sepertiapa yang sesuai untuk anak-anak mereka. Ibu adalah kekuatan yang maha dahsyat yang dimilikiseorang anak untuk menjaga mereka dengan kasih sayang dari bergaam bentuk tontonan dan sajian media yang jauh dari nilai-nilai islam. Ibu mampu menjadi filter bagi ank-anak mereka dengan melakukan seleksi tontonan dan sajian media apa yang boleh ditonton dan tidak oleh anak-anak. Seandainyapun ibu-ibu bekerja pada siang hari, dapat menfilter anak-anak dengan memilih jenis tontonan yang diperbolehkan dan dipercayakan kepada pengasuh hal tersebut secara jelas dengan tidak lupa mengontrol pelaksanaannya. Ibu adalah tameng bagi anak-anakuntuk secara rasional menonton apa yang pantas dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Hal tersebut penting dilakukan sejak dini, karena informasi, pengerahuan dan prilaku yang mereka tonton akan menjadi landasan utama dalam proses konstruksi ide, pikiran, pengetahuan dan prilaku anak-anak selanjutnya. Pengaruh tersebut bukan hanya saat ini, namun juga akan mempengaruhi selama mereka hidup. Jadi generasi seperti apa yang kita ingin konstruksi, sangat ditentukan oleh langkah ibu sejak anak-anak usi dini.
Dalam budaya Aceh, sudah menjadi tradisi para ibu menina-bobokan anak-anak merekadengan mendengungkan zikir, shalawat dan ayat-ayat pendek Alqur�an. Atau paling tidak mereka menidurkan anak-anak dengan lagu-lagu khusus yang berisi petuah menjadi anak yangbaik, berbakti pada orang tua, punya daya juang (jihad) tinggi di jalan Allah dan dalam hidup anak-anak mereka kelak.[10]

Muhammad Sa�id Mursy dalam bukunya seni mendidik anak menjelaskan bahwa:
 Pada dasarnya memang tidak ada larangan untuk menyanyikan lagu-lagu umum seperti nina bobo, pelangi-pelangi, balonku dan juga beragam nyanyian terbaru saaat ini, akan tetapi alangkah sangat mulia jika kita membentuk ide, pikiran dan prilaku anak-anak kita dengan memperkenalkan lafadl-lafadl Islam sehingga member implikasi pada sikap dan karakter anak-anak kita di masa mendatang. Stimulus tersebut sekaligus sebagai benteng dalam menghadapi sesaknya penetrasi� film kartun, bacaan, sinetron dll yang sehari-hari sangat mudah kita jumpai di mana saja terhadap anak-anak[11].

Kita harus mau memulai secepatnya agar proses pencerabutan pikiran anak dari hal-hal yang bernuansa Islam tidak mudah tejadi, jika kita tidak mau melihat anak-anak kita lebih hafald lagu-lagu group band dan penyanyi pop, dangdut sekarang, tokoh-tokoh kartun/film asing yangmenjadi idola dibanding para Rasul, sahabat Rasulullah dan karenanya mereka, anak-anak kita lebih mengenal tokoh-tokoh tersebut dibandingkan para Rasul. Jika hal itu terjadi dan terus terjadi tidak dapat kita bayangkan bagaimana generasi islam akan tumbuh kelak. Salah satu ajaran yang digunakan dalam konstruksi anak-anak Aceh adalah hikayat. Hikayat adalah bentukkarya sastra prosa yang sampaikan secara tutur keada masyarakat. Dalam masyarakat Aceh,hikayat banyak digunakan oleh seorang ibu dalam menimang anak-anak mereka sehari-hari. Penggunaaan hikayat buka hanya oleh seorang ibu yang sedang menimang anak-anak mereka, melainkan juga dalam proses sosia, budaya dan politik. Hikayat mulai dierkenal kepada anak-anak Aceh melalaui perayaan hari-hari besar Islam, pengajian, dan dalam karya-karya senilainnya. Hikayat juga dipergunakan dalam proses poliitk, yang mana hikayat epic perjuangan digunakan untuk membangkitkan semangat juang anak-anak Aceh dalam perang Aceh sampai perjuangan pasca DOM dalam era reformasi. Dalam membangun jaringan social poliitk, banyak pihak menggunakan 'hikayat perang sabi' sebagai instrument budaya dan agama untuk mengkonstruksi kekuatan para aktivis saat itu. Pada setiap pertemuan atau acara kaderisasi organisasi pemuda di Aceh.
Hikayat Aceh memuat berbagai aspek kehidupan, mulai dari kisah-kisah pribadi hingga berbagai jenis epik. Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orangbesar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat. Melihat kandungan isinya, secara umum hikayat-hikayat Aceh dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yakni jenis epik dan jenis non-epik. Epik merupakan narasi panjang tentang cerita kepahlawanan. Epik dapat berbentuk syair-syair panjang yang biasanya memuat kisah-kisah perjuangan seseorang pahlawan dan pejuang yang heroik. Epik merupakan jenis puisi yang paling ambisius (the most ambitious kind of poem�). �Epik adalah karya sastra besar yang senantiasa menampilkan event-event sejarah dan legendaris yang bersifat universal dan nasional�[12]. Epik dapat berbentuk Dalam karya sastra bahasa Aceh, epik dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni, epik sejarah, epik perang, epik keagamaan, dan epik roman dan legenda. Akan tetapi pengelompokan ini tidak bisa dilakukan atas dasar satu garis pemisah yang terang, dan disana-sini musti terdapat duplikasi dan overlapping. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam suatu hikayat ditemukan beberapa unsur kandungan. Misalnya, dalam epik perang terdapat kandungan dan muatan sejarah, demikian juga unsur-unsur keagamaan terdapat dalam epik sejarah.



               [1]Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumen dan Informasi Aceh, 1999), hal. 34.

               [2] Mohd. Harun, Memahami Orang Aceh, (Jakarta: Citapustaka Media Perintis, 2009), hal. 19.
               [3]Mohd. Harun, Memahami ..., hal. 29.
               [4]Teuku Imran Abdulllah, Hikayat Meukuta Alam, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal. 26.
               [5]James Dananjaya, Folklore Indonesia: ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1997), hal. 32.
               [6]Moehammad Hoesin,  Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 28.
               [7]Muhammad Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal. 45.
               [8]Amirul Hadi, Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta:Yayasan  Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 23.
               [9]Tini Rusmini Gorda, Peran Ibu Dalam Pendidikan Keluarga, (Denpasar: Universitas Pendidikan,  2006), hal. 65. 
               [10]Ramli Harun, dkk., Seulawah Antologi Sastra Aceh,  (Jakarta: Yayasan Nusantara Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah  Khusus Istimewa Aceh, 1995), hal. 61.

               [11]Muhammad Sa�id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan,2001), hal.144.
               [12]Hasyim, dkk, Himponan Hadih Madja, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, 1969), hal. 27.