Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus-kasus kekerasan dan penindasan yang menimpa kemanusiaan telah memotivasi banyak kalangan untuk mendakwahkan cara hidup dan pranata kehidupan yang lebih adil dan penuh kedamaian. Perbudakan manusia, penjajahan bangsa, perampasan sumber daya, kekerasan terhadap buruh dan minoritas, serta segala jenis kekerasan berbasis gender menjadi isu global yang diserukan untuk dihentikan. Sebagian sudah berhasil, seperti perbudakan manusia dan penjajahan dunia walaupun saat ini wacana tentang perbudakan moderen (modern slavery) masih dirasakan oleh sebagian kalangan manusia seperti fenomena perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak- anak. Sebagian yang lain masih harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian yang lebih layak.

Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Relasi suami-isteri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak. Minimnya kesadaran keadilan, cara pandang terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama terkait hubungan suami isteri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak kekerasan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dalam hal ini memang tidak ada pengertian yang lebih signifikan dalam kekerasan dalam rumah tangga, tetapi dalam term tersebut bahwa islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah tangga menurut pandangan islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara umum. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, ataupenelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan adalah kezaliman, secara prinsip, islam adalah agama yang mengharamkan segala tindakan menyakiti, menciderai, melukai kepada diri sendiri atau kepada orang lain.

Dalam Al-Qur?anpun surat Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman:

??????????????? ???? ?????? ?????? ????? ???????????? ???????????????????????????????????????? ?????????? ????????????????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ???????????????.) ?????. ??(

Artinya: ? Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda pagi kaum yang berpikir?.(Qs. Ar-Rum: 21).



Pada dasarnya, tafsir atas rukun Al-madi yaitu mengenai kepemimpinan Rumah tangga laki-laki (suami) atau istri, bahwa talak itu fasilitas otoritas suami, nafkah lahir batin, serta budaya rumah tangga. Ayat tersebut mengungkapkan bahwa tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga, yaitu disamping untuk mendapat keturunan yang shaleh, untuk hidup tentram, suasana yang sakinah dan dipenuhi rasa kasih sayang[1].

Kekerasan sama halnya dengan kriminalitas, kriminalitas dalam hukum islam sama halnya dengan tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syari?at islam dan termasuk dalam kategori kejahatan islam adalah perbuatan yang tercela. Islam tidak membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap istrinya baik secara lahir maupun secara batin. Dalam Al-Qur?an surat An-Nisa Ayat 19:

Artinya: ? wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka, sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan?.(Qs. An-Nisa: 19).

Dalam surat Ar-rum pun dijelaskan yang pada intinnya menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai.

B. Hal-hal yang berkenaan dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Islam



1. Qodzaf, yakni melempar ttuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syari?at islam. Sanksi hukumannya yaitu si dera sebanyak 80 kali.

2. Membunuh,

3. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi.

4. Kekerasan terhadap anggota tubuh, saksi hukumannya adalah membayar diat

5. Penghinan[2],

Sedangkan jenis tindakan kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri adalah sebagai berikut:

a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, seperti menampar, memukul, menjambak, mendorong, menginjak, melempar dengan barang, menusuk dengan benda tajam (pisau, pecahan kaca)

b. Kekerasan psikis, yaitu kekerasan yang dilakukan yang akan mempengaruhi keadaan psikis seseorang. Seperti ucapan-ucapan yang menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan dan ancaman, ucapan merendahkan dan lain sebagainya.

c. Kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan, pemaksaan hubungan seks, bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan sebelum atau sesudah melakukan hubungan seks

d. Kekerasan ekonomi, yaitu tidak memberikan kehidupan, nafkah, perawatan atau pemeliharaan bagi yang berada di naungan keluarga, memanipulasi harta korban, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, memaksa korban bekerja di tempat pelacuran,

C. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Banyak factor yang dapat mendorong seseorang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, diantara penyebab-penyebabnya adalah:

1. Sikap nusyuz istri atau suami yaitu sikap membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan berumah tangga, seperti istri tidak mau melayani suaminya padahal tidak ada uzur haid atau sakit

2. Kurangnya pemahaman dan pengamatan ajaran Islam tentang rumah tangga, karakteristik yang temperamental sebagai pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syari?at termasuk melakukan KDRT.

3. Adanya faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan lain sebagainya. Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan karena factor ekonomi, bisa digambarkan karena minimnya penghassilan suami, terkadang istrinya pun banyak menuntut untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Dari situlah berawal pertengkaran antara suami istri yang berakibatkan kekerasan dalam rumah tangga karena kedua belah pihak tidak dapat mengontrol emosi.[3]

1) Nikah dini

Banyaknya kasus KDRT pada pernikahan dini memang layak menjadi perhatian. Namun berbagai kasus tersebut tentu saja tidak bias langsung membuktikan bahwa pernikahan dini menjadi penyebab KDRT, karena dalamkasus lain pun KDRT terjadi bukan pada pasangan nikah dini. Pada dasarnya islam membolehkan laki-laki menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau atau usia 15 tahun, dalam hal ini tidak ada ikhtilaf di kalangan para Ulama.

Dengan demikian Islam memandang, bahwa peremuan boleh menikah usia dini dengan konsekuensi tersebut, setiap pasangan nikah seharusnya memahami dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibutuhkan ketika mengarungi bahtera rumah tangga. Suami yang tidak memahami tatacara mendidik isteri tatkala istri membangkang, maka suami bias saja bertindak kasar, missal memukul disembarang tempat, suami bertindak kasar, bahkan menciderai atau bias saja membunuh istrinya. Demikian pula istrinya yang tidak memiliki kesiapan untuk menjadi isteri yang baik, malas mendampingi dan melayani suaminya, masih mengumbar ketertarikan pada lawan jenis yang lainnya, atau kurangnya kemampuan untuk mengelola emosi yang sebenarnya bisa disiapkan sejak dini sebelum menikah.[4]



2) Gugat cerai akibat suami tidak member nafkah

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak mnjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat maka bisa menjadi pudar, bahkan bisa saja hilang dengan kebencian. Secara hafiah nafkah berarti pengeluaran atau sesuatu yang di keluarkan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran ini diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik. Para ulama fiqh menyimpulkan bahwa nafkah untuk istri meliputi makanan, lauk pauk, alat-alat (sarana) untuk membersihkan anggota tubuh, perabot rumah, tempat tinggal, dan pembantu(jika diperlukan). Segala keperluan dasar tersebut merupakan kewajiban suami yang wajib diberikan kepada istri sebagai haknya menurut cara-cara yang sesuai dengaan tradisinya.[5]

3) Gugat cerai akibat poligami

Dalam sebuah rumah tangga sulitnya digambarkan tidak terjadinya sebuah percecokan. Pemicu utama ketidakharmonisan dan penderitaan menurut seorang istri, selain pihak suami pernah menganut aliran sesat yang tidak sesuai dengan ajaran islam, yang kedua adalah karena suami menikah lagi dengan wanita lain tanpa seizing istri pertama. Dalam islam memang telah di jelaskan dalam ayat Al-Qur?an

Artinya: ? dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bila mana kamu mengawinya) maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa: 3).



Dalam pemahaman di atas, apabila seorang laki-laki yang tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah menikah dengan satu orang wanita saja karena itu akan membuat wanita menjadi teraniaya dan merasa tidak ada tanggung jawab. Dalam hal poligami adalah salah satu dari sebagian banyak wanita menggugat cerai suaminya karena merasa telah di hianati dan menurut para wanita ini adalah kekerasan yang merujuk psikisnya.

Apabila seorang laki-laki nikah dengan dua sampai empat orang perempuan, disebut poligami, memiliki cirri-ciri tersendiri, yaitu:

a) Yang dapat menikah lebih dari satu hanyalah laki-laki

b) Jumlahnya dibatasi

c) Setiap poligami harus memenuhi syarat. Husein Bahreisj menegaskan bahwa, poligami adalah sebagai jalan keluar bagi wanita-wanita yang ditinggal ati oleh suaminya di medan perang atau mungkin dari sebab-sebab lain sehingga wanita tidak terjerumus dalam lubang perzinahan[6].

4) Gugatan Cerai akibat tidak diberi Nafkah

Adanya kelalaian untuk memberikan nafkah sehingga pihak yang wajib dinafkahinnya menjadi terlantar, merupakan permasalahan yang sering terjadi di kalangan masyarakat islam. Kenyataan seperti di atas sering terjadi terutama dalam masyarakat yang kurang pengetahuannya tentang bagaimana cara memperoleh suatu hak.

Dalam hukum islam, seseorang bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya yang telah mengakibatkan mudarat atas diri atau harta orang lain.

a. Kewajiban nafkah untuk istri

Dalam kajian hukum islam yang kami baca dalam buku Problematika hukum keluarga islam kontemporer, mengatakan bahwa akad nikah yang sah menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-istri. Diantaranya adalah seorang istri berhak untuk mendapatkan nafkah dari suami yang menikahinnya. Sebaliknya, suami berkewajiban untuk menafkahi istrinya. Hak suami pada seorang istri aagar istri memelihara diri dari godaan orang lain dan tidak menerima tamu laki-laki yang bukan mahramnya dibelakang suami. Sedangkan hak istri adalah mendapatkan jaminan pakaian dan makanan. Oleh karena itu, yang menjadi sebab kewajiban nafkah adalah suami berhak membatasi gerak-gerik istri dan istri wajib meberikan loyalitasnya kepada suami, maka hak nafkah menjadi gugur apabila istri tidak lagi memberikan loyalitassnya kepada suami.[7]

Kewajiban utama seorang suami adalah mencari nafkah, untuk menunjang perekonomian keluarga. Sementara yang mengatur dan membelanjakannya untuk keperluan seluruh anggota keluarga adalah seorang istri. Ketika istrinya bekerja di luar, sementara suami yang tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga, maka yang terjadi adalah malapetaka dan fitnah. Lain halnya bila suami istri sama-sama mencari nafkah. Istri diperbolehkan untuk ikut mencari nafkah selama masih dalam batas kewajaran dan tidak melanggar fitrahnya sebagai perempuan.[8]

Istri yang shalihah akan selalu bersyukur berapapun nafkah yang diberikan suami untuk kita. Seorang istri harus sadar bahwa nafkah itu adalah hasil jerih payah suaminya. Dia tidak akan menuntut nafkah di luar kemampuan suaminya, karena sekecil apapun penghasilan suami, akan lebih baik untuk ia nikmati. Seorang istri yang baik pasti akan memanfaatkan nafkah dari suaminya dengan sebaik-baiknya dan membelanjakannya pun sesuai kebutuhan dan tetap bersyukur serta selalu mendo?akan suaminya.

Pencerminan di atas sangat mendukung seorang suami dalam mencari nafkah dengan ikhlas dan bahagia karena istrinya selalu bersyukur dan mendoakan setiap langkah dan setiap sujud malam seorang istri. Hal ini merupakan tindakan yang dapat membatasi seseorang untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Karena jika suami terus dituntut oleh seorang suami, maka suami akan kesal dan tidak nyaman hidup dengan istrinya.

Suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya disebabkan karena:

1) Suami tidak memberikan nafkah karena sedang dalam kesulitan

2) Suami enggan memberikan nafkah padahal ia mampu memberikan nafkahnya.


D. Solusi Mengatasi Kekerasan Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum Islam

Pada surat An-Nisa ayat 34 menjelaskan bahwa tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga tentang kewajiban seorang istri untuk mentaati suami. Jika terjadi nusyuz dari pihak istri terhadap suami, maka islam memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan seorang suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah tersebut diantaranya:

1) Hendaklah suami sebagai pemimpin mampu melihat dan menghargai sisi baik yang dimiliki pasangannya, dan tentunya dengan menghindari sikap yang baik.

2) Berikan nasihat dan perinngatan kepada pasangan yang nusyuz dengan penuh kasih sayang dengan memberikan kesadaran terhadap istrinya.

3) Tunaikan kewajiban suami istri dengan sebaik-baiknya. Untuk para suami, bahwa sering terjadi kekerasan dalam bentuk tekanan ekonomi, dalam tanda kutip seorang istri sulit terpenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena jumlah penghasilan suami tidak mencukupi.

4) Berkomunikasi secara baik, setelah menikah suami istri kecenderungan memberikan perintah, dalam hal ini kekerasan bisa di lakukan dengan kata-kata, misalnya mengumbar kata cerai, mencela pasangan, mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan atau mengluarkan kata yang bernada ancaman, bisa juga dengan menjauhi pasangannya, dingin terhadap pasangannya, acuh, cuek, akhirnya hidupnya dengan sendiri-sendiri saja padahal istri dan suami ibarat lading yang saling menutupi kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Akibat buruk dari KDRT adalah: suami bisa dituntut ke pengadilan karena perlakuannya terhadap istri merupakan tidakan melanggar KUHP. Kedua, rumah tangga menjadi berantakan, ketiga, mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri dan juga anak. Keempat, melanggar syari?at agama. Karena agama mengajarkan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bukan keluarga yang di hiasi dengan pukulan atau penganiayaan. Keempat, untu para suami, berlaku lemah lembutlah kepada istri sebagaimana yang telah di contohkan Rasulullah SAW.[9]

Nasihat perkawinan dalam rumah tangga untuk mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat memperhatikan hal-hal di bawah ini:

a. seorang suami dilarang melihat perempuan-perempuan lain dan begitu pula sebaliknya kecuali pada muhrimnya

b. seorang istri dilarang membicarakan keburukan suaminya kepada orang lain begitupun sebaliknya

c. seorang suami harus menyayangi istrinya

d. seorang istri yang baik adalah yang menarik, taat, dan menjaga kehormatan dan harta suaminya



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam Islam tidak menganjurkan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan atau perbuatan tidak tercela. Apalagi ini menyangkut tentang kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga.

2. Kekerasan dalam rumah tangga ini bukan hanya menyerang bentuk fisik saja, tetapi kekerasan dalam rumah tangga ini ada yang secara fisik, psikis, akibat dari pernikahan dini, pemerkosaan, karena melakukan poligami atau poliandri, karena tidak diberikan nafkah oleh seorang suaminya.

3. Rumah tangga adalah tujuannya sangat baik dan mulia, yaitu untuk membentuk kehidupan yang tenang, rukun, dan bahagia. Untuk itu tidak baik rasanya jika dalam rumah tangga ada kekerasan. Dan kekerasan pula dapat menimbulkan terauma bagi penderita atau korbannya yang mengakibatkan ada rasa takut dalam menjalani kehidupan berumah tangga kembali.

B. Saran

1. Penulis menyadari bahwa makalah ini amatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi efektifnya makalah selanjutnya.

2. Kami ucapkan terimakasih banyak kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Saya berharap bahwa makalah ini dapat menjadi tolak ukur untuk makalah selanjutnya.

PUSTAKA

Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka cipta, 2001.

Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam, Jakarta:kencana, 2004

Muhammad, Hussein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKis, 2001.

Al-Mahfani, M. Khalilurrahman, Wanita Idaman Surga, Jakarta: Wahyumedia, 2012.

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/10/30/nikah-dini-penyebab-kdrt/

Lihat artikel ari Diah Widya Ningrum, S.Pd.I, ketika adat dan tradisi kekerasan telah melembaga dalam masyarakat.

http:// sumber.kemenag.go.id/file/artikelwidyaiswara/fkyz1384838957.pdf 
[1] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 96.
[2] http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/26/letak-ham-korban-kdrt-dalam-islam-555071.html
[3] http:// sumber.kemenag.go.id/file/artikelwidyaiswara/fkyz1384838957.pdf.[4] http://hizbut-tahrir.or.id/2011/10/30/nikah-dini-penyebab-kdrt/
[5] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta:LKIS, 2001), hal. 111.
[6] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 334.
[7] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 152.
[8] M. Khalilurrahman Al-Mahfani, Wanita Idaman Surga, (Jakarta: Wahyumedia, 2012), hal. 108.
[9] artikel ari Diah Widya Ningrum, S.Pd.I, ketika adat dan tradisi kekerasan telah melembaga dalam masyarakat.