-->
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hakikat Mahar Dalam Islam


BAB II

HAKIKAT MAHAR DALAM ISLAM



A.    Pengertian Mahar          

Dalam bahasa Arab mahar adalah bentuk mufrad sedang bentuk jamaknya adalah mahurun yang secara etimologi berarti maskawin[1]. Jika ditinjau dari segi etimologi kata as-shadaq yang memiliki arti mahar/maskawin bagi isteri.[2]Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Shadaq adalah pemberian khusus laki-laki kepada seorang wanita (calon isteri) pada waktu akad nikah. Secara umum, kata lain yang biasa digunakan untuk mahar dalam Alquran adalah kata ajryang berarti penghargaan atau hadiah yang di berikan kepada pengantin wanita[3]. Sesungguhnya kata ajr itu merupakan sesuatu yang tidak dapat hilang.
Secara etimologi mahar juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya[4]. Menurut Sayyid Sabiq, mahar adalah pemberian wajib dari suami pada isteri sebagai jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. H.S.A al-Hamdani dalam buku Risalah Nikah mengatakan: mahar ialah pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya[5].
Kemudian mengenai definisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan  mahar adalah �pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam�[6].
Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab di antanya mazhab Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak isteri karena akad perkawinan atau terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada isterinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami (senggama) Ulama mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan isteri halal untuk digauli. Ulama mazdhab Syafi�i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim. Termasuk juga kewajiban untuk melakukan senggama[7] Sedangkan Quraish Shihab mengatakan bahwa mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada isteri dan anak-anaknya[8].
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah VII beliau menjelaskan bahwa �di zaman Jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar[9]. Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyah, jauh sebelum datang Islam datang. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan kepada calon isteri, melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak isteri, karena konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon isteri sebagai pemilik barang.
Berdasarkan pendapat di atas, maka menurut penulis, mahar dapat dipahami sebagai pemberian suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Mahar merupakan refleksi cerminan kasih sayang dan kesediaan suami  hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap isterinya.
B.     Syarat-Syarat dan Macam-Macam Mahar
     
Mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai  berikut:
a.       Berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar. 
b.      Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar,  babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c.       Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
d.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya[10].

Adapun macam-macam mahar adalah sebagai berikut:
a.       Mahar Musamma
Mahar musammaadalah yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan  besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah[11],  Mahar musamma diartikan pula sebagai �maskawin (pemberian) yang disebutkan ketika akad nikah / sesudah akad nikah, dengan syarat antara suami isteri saling merelakan, atau suami menyetujui untuk menjelaskan pemberiannya ketika akad, atau suami menyebutkannya dihadapan isteri setelah akad�[12].
Mahar musamma adalah �mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Jika di dalam akad nikah tidak disebutkan berapa besar jumlah yang diberikan kepada isteri maka perkawinannya tetap sah. Kemudian hal yang diwajibkan atas suami adalah batasan mahar mitsil[13]. Berdasarkan bentuk atau cara pembayarannya, mahar musammadibagi menjadi dua. Pertama mahar yang segera diberikan kepada isteri. Kedua, mahar yang pemberiannya ditangguhkan, jadi tidak seketika dibayarkan sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Mahar musamma diabagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1)      Mahar musamma mu�ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnah.
2)      Mahar musamma ghairu mu�ajjal, yakni: mahar yang pemberiannya ditanggauhkan.
Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma apabila telah terjadi dukhul. Apabila salah seorang dari suami atau isteri meninggal dunina sebagaimana disepakati oleh para ulama; apabila telah terjadi khalwat(bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar[14].
b.      Mahar Mitsil
Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa mahar mitsil yaitu �mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan�[15]. Mahar mitsil juga bisa berarti ketetuan jumlah mahar yang ditetapkan besarannya oleh pihak wanita berdasarkan adat yang berlaku di lingkungannya atau keluarganya.
Menurut Al-Hamdani Mahar mitsil adalah �mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya perempuan saudara pengantin perempuan, bibinya dan sebagainya�[16].
Apabila tidak ada maka mitsil itu beralih dengan acuan perempuan lain yang sederajat dengan dia. Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan (mahar mitsil) hendaknya juga mempertimbangkan kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.
Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 236 sebagai berikut:

???? ??????? ?????????? ??? ??????????? ?????????? ??????? ????????????? ???? ?????????? ??????? ????????? ??????????????? ????? ?????????? ???????? ??????? ??????????? ???????? ???????? ?????????????? ?????? ????? ??????????????)???????: ??? (
Artinya: �tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.� (Qs. Al-Baqarah: 236)[17].

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan isteri sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada isterinya itu. Dalam hal ini maka isteri berhak menerima mahar mitsil. Selain itu ayat di atas tidak dimaksudkan dalam suatu pernikahan. Suami diperbolehkan untuk tidak menyebut kesediaan suami memberi mahar pada isteri saat ijab qabul. Bila seseorang menikah tanpa menetapkann jumlah mahar terlebih dahulu bahkan mensyaratkan tanpa adanya mahar tanpa sekali, maka ada orang yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah. Dalam surat An-Nisa ayat 4 Allah Swt berfirman sebagai berikut:
?? ????? ????????? ????????????? ???????? ?????? ?????? ?????? ???? ??????? ?????? ??????? ????????? ??????? ???????) ??????,: ?(
Artinya: �berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Qs. An-Nisa: 4).

Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mistil dipandang lebih adil dan bijaksana karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar yang biasa diterima oleh pihak isteri. Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fukaha bebeda pendapat. Sebagian fukaha melarang menunda pembayaran mahar, sementar sebagian ulama membolehkan. Imam malik menegaskan bahwa: �boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli isterinya hendaknya ia membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus waktunya dan tidak terlalu lama. oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak�[18].
Dianjurkan untuk menunda pembayaran dengan batas waktu yang jelas dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau isterinya. Akan tetapi Ibnu Rusyd berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar tidak terbatas sebagaimana dalam jual-beli karena penundaan pembayaran mahar bersifat ibadah. Yang terpenting, suami tetap wajib membayar[19].     
C.    Dasar Hukum dan Pendapat Ulama Terhadap Mahar         

1.      Dasar Hukum Terhadap Mahar
Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan cintanya kepada calon isterinya[20]. Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada isteri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap isteri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi�iyah[21].
Berbeda dengan mahar, kata-kata yang disebut pertama (al-saduq, nihlah, faridah, ajr) secara eksplisit diungkap di dalam Alquran seperti yang terdapat didalam surat an-Nisa� ayat 4 Allah Swt. Berfirman:
?? ????? ????????? ????????????? ???????? ?????? ?????? ?????? ???? ??????? ?????? ??????? ????????? ??????? ???????) ??????,: ?(
Artinya:  berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa: 4)[22].

Maksud dari ayat di atas sebagaimana yang dijelaskan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah adalah (Berikanlah kepada wanita-wanita itu maskawin mereka) jamak dari shadaqah (sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati (Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati) nafsan merupakan tamyiz yang asalnya menjadi fa'il; artinya hati mereka senang untuk menyerahkan sebagian dari maskawin itu kepadamu lalu mereka berikan (maka makanlah dengan enak) atau sedap (lagi baik) akibatnya sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan terhadap orang yang tidak menyukainya.[23]
Ayat ini berpesan kepada semua orang, khususnya para suami dan wali yang sering mengambil mahar perempuan yang berada dalam perwaliannya. Berikanlah maskawin-maskawin, yakni mahar, kepada wanita-wanita yang kamu nikahi, baik mereka yatim maupun bukan, sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Lalu jika mereka, yakni wanita-wanita yang kamu kawini itu dengan senang hati, tanpa paksaan atau penipuan, menyerahkan untuk kamu sebagian darinya atau seluruh maskawin itu, maka makanlah, yakni ambil dan gunakanlah sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa mudharat lagi baik akibatnya. Maskawin dinamai oleh ayat ini shauduqa bentuk jamak dari shaduqah, yang terambil dari akar yang berarti �kebenaran�. Ini karena maskawin itu didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti kebenaran dan janji. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup isterinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambing dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali suaminya.
Menamai maskawin dengan nama tersebut di atas diperkuat oleh lanjutan ayat yakni nihlat. Kata ini berarti �pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan�. Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami yang diberikannya tanpa mengaharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntutan agama atau pandangan hidupnya.
Kerelaan isteri menyerahkan kembali maskawin itu harus benar-benar muncul dari lubuk hatinya. Karena ayat di atas, setelah menyatakan thibna yang maknanya mereka senang hati, ditambah lagi dengan kata nafsan/jiwa, untuk menunujukkan betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam, tanpa tekanan, penipuan, dan paksaan dari siapapun. Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar maskawin buat isteri dan bahwa maskawin itu adalah hak isteri secara penuh. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari�at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas[24].
Dari dasar hukum mahar tersebut jelaslah bahwa hukum memberi mahar itu adalah wajib. Artinya arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada isterinya. Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri. Tidak ditemukan dalam literature ulama yang menempatkan sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan. Artinya perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zahiriyyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan[25].
2.      Pendapat Ulama Terhadap Mahar
Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai perempuan yaitu memberi hak untuk memegang usahanya. Di zaman Jahiliah hak perempuan dan dihilangkan dan disia-siakan, lalu Islam datang mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya diberi hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberi mahar kepadanya bukan kepada ayahnya dan kepada orang yang paling dekat kepadanya.
Mahar adalah bagian esensial pernikahan dalam Islam. Tanpa mahar sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar. Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah. Merupakan hak mutlak seorang perempuan untuk menentukan besarnya mahar. Apabila mahar sudah ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak disebutkan bentuknya di waktu akad nikah, maka bagi mempelai pria kepada calon mempelai perempuan, baik berupa uang, barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Para Imam mazhab (selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar. Apabila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar, dan jika kemudian kemudian si isteri ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu pemberian sukarela dari suami berdasarkan bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya[26].

Muhammad Amin al-Kurdi menolak mentah-mentah pendapat Abdurrahman al-Jaziri tentang fungsi mahar. �Menurutnya kewajiban membayar mahar bagi suami kepada isterinya melainkan sebagai suatu penghormatan dan pemberian dari Allah agar tercipta cinta dan kasih sayang. Suami harus membayar yang sesuai dengan tingkatan (status) isterinya (mahar mitsil)�[27].
Dalam pandangan Islam, mahar merupakan hak absolut perempuan dan semata-mata hanya pemberian atau hadiah dari seorang pria. Pandangan ini tersurat dengan tegas dalam Alquran surah al-Nisa' ayat 4. Mustofa al-Maroghi menambahkan bahwa mahar juga berfungsi sebagai alat bukti atas kesungguhan atau kuatnya hubungan dan ikatan yang akan dijalani oleh kedua belah pihak. Mahar sama sekali tidak dimaksudkan sebagai upah atas pekerjaan memelihara dan membesarkan anak-anak yang lahir akibat pernikahan tersebut, atau lebih-lebih sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksual yang diberikan isteri kepada suami. Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya Fiqh Lima Mazhab menjelaskan bahwa:
Imam Maliki juga menentukan kewajiban membayar mahar apabila seorang suami melakukan khalwat dengan isterinya dalam waktu yang cukup lama (setahun) sekalipun dia belum mencampuri isterinya. Menurut Imam Syafi�i tindakan suami isteri ditempat sepi tidak berpengaruh apa-apa terhadap mahar maupun kewajiban-kewajiban lainnya kecuali memang benar-benar melakukan hubungan seksual dalam arti yang sebenarnya[28].

Mahar juga bukan untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon isterinya, sehingga dengan sukaela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya, sebagai tanda cinta dan sebagai pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isterinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap isterinya. Oleh karena itu, mahar adalah pemberian dari calon suami kepada calon isteri. �Kewajiban membayar mahar dibebaskan kepada suami karena suami lebih kuat dan lebih banyak yang bekerja daripada isterinya�[29].
Dengan demikian mahar itu murni adalah hak isteri, jadi mahar yang mejadi hak isteri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup memikul kewajibankewajiban suami dalam hidup berumah tangga. Jadi jangan diartikan bahwa pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah bagi isteri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
D.    Mekanisme Pembayaran Mahar
                                         
Syariat Islam menganjurkan agar mahar merupakan sesuatu yang bersifat materi yang bernilai. Karena itu bagi orang yang belum berkemampuan memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan pernikahan sampai ia memiliki materi yang cukup untuk mahar dan kebutuhan lainnya. Akan tetapi apabila kondisi memungkinkan atau kondisi mengharuskan ia segera menikah, padahal ia belum memiliki materi yang cukup, maka juga diperbolehkan menikah dengan mahar yang sederhana.
Al-Qur�an tidak menentukan jenis mahar harus berupa sebuah benda atau jasa tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap isterinya. Jawwad Mugniyah menjelaskan bahwa jenis mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya asalkan mahar tersebut adalah barang yang halal dan dinilai berharga[30].

Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh mahar yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian seseorang di antara suami isteri terjadi dukhul, namun suami telah wajib memebayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad.
Tentang kapan mahar wajib dibayar keseluruhannya Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi�iyah, dan Hanabilah sepakat tentang dua syarat, yaitu: hubungan kelamin dan matinya salah seorang di antara keduanya setelah berlangsunya akad. Kesepakatan mereka didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah  ayat 237 sebagai berikut:
????? ????????????????? ??? ?????? ??? ????????????? ?????? ?????????? ??????? ????????? ???????? ??? ?????????? ?????? ??? ????????? ???? ???????? ??????? ???????? ???????? ?????????? ????? ????????? ???????? ??????????? ????? ????????? ????????? ?????????? ????? ?????? ????? ??????????? ???????) ??????:???(
Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.(Qs. al-Baqarah: 237).

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa:
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai isteri yang dicerai sebelum didukhul dan belum ditentukan maharnya, maka tidak ada kewajiban membayarkan mahar  kepada isterinya. Sedangkan pada ayat selanjutnya ini menjelaskan tentang suami yang menceraikan isterinya sebelum didukhul akan tetapi sudah menentukan maharnya. Yaitu kalau perceraian dijatuhkan sebelum terjadi hubungan seks tetapi telah disepakati kadar mahar sebelum perceraian, maka wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah yang ditetapkan itu. Ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum terlaksana yakni hubungan seks. Kemudian lanjutan ayat ini menganjurkan pembebasan atau penambahan itu dengan menegaskan bahwa pemaafan kamu wahai isteri dan/atau wali, serta pembayaran melebihi setengah dari kewajiban kamu, wahai suami, lebih dekat kepada takwa. Perceraian merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi dan apabila tetap terjadi diharapkan dengan keadaan baik-baik tanpa ada kebencian diantara keduanya.Ditegaskan dalam ayat, dan janganlah kamu melupakan jasa (hubungan baik) maksudnya hubungan yang baik terjadi saat adanya perkawinan.Hal ini dicerminkan dari adanya saling memberi dan memaafkan.Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan baik sebelum maupun sesudah adanya perceraian[31].

Lafaz ????????????? yang arti katanya menyentuh dipahami oleh ulama ini dengan hubungan kelamin. Di luar dua hal tersebut terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kewajban mahar itu dimulai dari khalwah, meskipun belum berlaku hubungan kelamin. Khalwah itu oleh ulama Hanafiyah statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami isteri dalam banyak hal. Sedangkan Ibnu Abi Laila mewajibkan mahar semenjak berkumpulnya suami isteri tanpa persyaratan apa-apa.[32] Mahar menjadi wajib dibayar ketika sudah terjadi persetubuhan suami isteri. Maka si suami wajib membayar mahar yang telah disepakati atau disebutkan dalam akad seratus persen. Kalau belum terjadi kesepakatan maka wajib membayar mahar mitsl.
Mahar atau biasa kita sebut sebagai mas kawin merupakan salah satu syarat dari syarat sah nikah. Kita akan mendengar mahar atau mas kawin ini disebutkan pada saat pengucapan ijab dan qabul. Oleh karena itulah, mahar atau mas kawin wajib ada dalam pernikahan. Mahar sendiri bukan hanya sekedar pemberian dari suami ke isteri namun ada makna yang lebih mendalam dari sebuah mahar yang diberikan pada saat pernikahan.
Nabi Muhammad SAW sendiri kerap menanyakan kepada para sahabat beliau tentang mahar apa yang akan diberikan kepada calon pengantin perempuan. Hal tersebut menjadi pengingat bahwa mahar memiliki peran penting dalam pernikahan. Mahar merupakan salah satu pertanda bahwa seorang wanita harus dimuliakan dengan pemberian mahar, bahkan untuk tafsir yang lebih jelas adalah mahar merupakan sebagai tanda dari sebuah cinta suci. Untuk itulah bagi Anda yang sedang mempersiapkan pernikahan sebaiknya memberikan mahar dengan rasa cinta kasih serta tulus ikhlas agar mahar tersebut memiliki nilai ibadah yang tinggi.
Didalam Islam sendiri mahar nikah merupakan sebuah media dari tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dan meneruskan keturunan. Mahar atau mas kawin hanya merupakan sebuah tanda cinta dari calon suami yang akan menjadi hak sepenuhnya dari isteri. Akan tetapi, mahar atau mas kawin bukanlah tujuan utama dari pernikahan, terkadang kita akan menjadi pusing sendiri memikirkan mahar apa yang akan diberikan pada calon isteri, berapa besarnya mahar yang akan diberikan sehingga ada rasa terbebani ketika memberikan mahar. Padahal sebaiknya mahar diberikan dengan rasa yang tulus dan ikhlas.
Mahar adalah sesuatu yang sebaiknya diadakan dan dijelaskan bentuk dan harganya pada waktu akad. Pada lazimnya mahar memang dibayarkan atau diserahkan bersamaan pada peristiwa akad, namun Islam tidak menentukan wajib demikian. Dalam artian walaupun tidak disebutkan pada waktu akad tetapi tetap saja menjadi kewajiban seorang suami untuk menunaikannya selama masa perkawinan sampai putus perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 24 yang berbunyi :
???????????????? ???? ????????? ?????? ??? ???????? ????????????? ??????? ?????? ?????????? ????????? ????? ???? ?????? ???????? ??? ??????????? ?????????????? ???????????? ?????? ???????????? ????? ?????????????? ???? ????????? ??????????? ???????????? ????????? ????? ??????? ?????????? ?????? ???????????? ???? ??? ?????? ???????????? ????? ?????? ????? ???????? ????????) ??????: ??(
Artinya:  dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. an-Nisa : 24)[33].
Sehubungan dengan tidak adanya ketentuan wajib tentang kapan mahar harus dibayarkan sebagaimana tersebut di atas maka suatu pemberian yang diserahkan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah peristiwa akad nikah tidak disebut mahar tetapi nafaqah. Kemudian bila pemberian dilakukan dengan sukarela diluar akad nikah juga tidak disebut mahar, namun hanya pemberian biasa baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah.



                [1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 431.
                [2]Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif  Madzhab Syafi�i, terj. Mohammad Kholison, (Surabaya: Imtiyaz, 2013), hal. 235.
                [3] Abdul Rahman I., Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 67.
                [4] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hal. 105.
                [5] Sayyid Sabiq, Alih Bahasa M. Tholib, Fikih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Ma�arif 1999), hal. 53.
                [6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 46.
                [7] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 1042.
                [8]Quraish Shihab, Wawasan Al Qur�an: Tafsir maudhu�i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 204.
                [9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VII, (Bandung: PT Alma�arif,1981), hal. 53.
                [10]Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Isteri dan Perceraian, (Purwokerto : Qaulan Karima), hal. 16-18.
                [11] M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 185.
                [12]Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)., hal. 265-266.
                [13]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, (UU no 1 th. 1997 Tentang Perkawinan), hal. 59.
   [14] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 86.
                [15] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Pers, 2008), hal. 92-93.
                [16]Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam Terjemahan Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 118.
                [17]Al-Qur�an, Al-Qur�an dan Terjemahan, Yayasan Penyelenggara  Penterjemah/ Penafsiran Al-Qur�an, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1978), hal. 144.
                [18] Ibnu Rusyd, Bidah Al-Mujtahid, (Semarang: Al-Husana, 1985), hal. 394.
                                [19] Ibid,. hal. 394.
                [20]Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan & Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008), hal. 12.
                [21] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 124.
                [22]Al-Qur�an, Al-Qur�an..., hal.144.
                [23] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 743-744.
                [24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol.2, (Jakarta: Lentara Hati, tt), hal. 329-330.
                [25] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan ..., hal. 87.
                [26] M. Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal. 368.
                [27]Al-Utsaimin, M. Saleh dan Abd. Aziz, Pernikahan Islami Dasar Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 17.
                [28]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. 24, (Jakarta: Lentera, 2009), hal. 372.
                [29] Ibid.,hal. 368.
                [30] Ibid.,hal. 365.
                [31] M. Quraish Shihab, Tafsir..., hal. 482.
                [32] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 88.
                [33]Al-Qur�an, Al-Qur�an..., hal.145.

Post a Comment for "Hakikat Mahar Dalam Islam"