Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kebebasan Berkarya


BAB II

HAKIKAT DEMOKRASI

A.    Kebebasan Berkarya

   Kebebasan secara umum berarti ketiada paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi oleh ilmu (khususnya sains).[1]Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh �kaum tertindas� . Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi masyarakat tertutup (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Islam memandang kebebasan berekspresi sebagai hal yang wajar, tetapi sesuai dengan koridor yang telah ditentukan. Dengan kata lain, harus ada batasan. Di masa Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu, berdasarkan fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif.
Allah mendorong manusia untuk berkarya seni dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya guna menghasilkan karya yang bernilai tinggi. Karya seni bernilai tinggi tidak saja indah dinikmati oleh indra manusia melainkan juga menndorong manusia untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk sehingga dekat dengan Sang Khalik. Karena itu, kebebasan berkreasi seni mesti memenuhi kriteria tertentu dan yang utama adalah unsur yang menjadikan karya seni itu memberi manfaat, bukan sebaliknya mendatangkan madharat (kerugian). Pendek kata, Islam menghendaki kreasi seni yang membangun, mencerahkan batin (konstruktif) dari aspek moral spiritual, bukan merusak (destruktif) dari sisi mental kehidupan manusia.
Sejarah mencatat aneka ragam karya seni Islam yang mampu mencerahkan peradabannya yang unik dan khas dan mencapai masa kejayaannya pada abad pertengahan yakni abad VII hingga XII. Seni kaligrafi yang menghiasi rumah dan/ atau kitab suci al-Quran, sastra (syair), arsitektur khas Islam yang kini masih dapat terlihat di Arab, Persia dan Eropa (seperti di Arab Saudi, Irak, Iran (Persia), Mesir, Spanyol, dan Turki), ornamen dan ukiran yang banyak menghiasi masjid, keraton, pintu gedung, gagang pedang dari emas, dan lain-lain.
Sedemikian agung alam ciptaan Allah, tidak tertandingi oleh lukisan mahakarya seorang Maestro sekali pun sekaliber Pichasso, Van Gogh, Raden Saleh, Basuki Abdullah, bahkan Affandi. Bukankah Allah berfirman: �(Dia) yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan sebaik-baiknya� (Q.S. as-Sajdah: 7), dan �Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan (Dia) menyukai keindahan.� (H.R. Muslim). Melalui Alquran Allah juga memotivasi kita untuk mengamati berbagai peristiwa dan keindahan alam yang spesifik pada alam ini. Berbagai ayat yang �merangsang� perhatian kita untuk menjelajahi alam itu, agaknya Allah membangkitkan perasaan keindahan manusia untuk dapat merasakan keindahan ciptaan-Nya. Sayang sekali, kebanyakan manusia hanya mengagumi keindahan alam, tetapi tidak mau memperhatikan dan merenungkan rahasia di balik keindahan ciptaan Ilahi tersebut.             
B.    Kebebasan Mengembangkan Potensi   

Pendidikan Islam menempatkan posisi manusia secara proposional inilah hakekat demokrasi pendidikan Islam. Berhubungan nilai-nilai demokrasi merupakan prinsip dasar ajaran Islam, maka demokratisasi dalam pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan untuk ditegakkan. Apalagi dilihat dari sisi historis perkembangan Islam pada masa kejayaan, praktek pendidikan sudah sangat akrab dengan suasana yang demokrasi. Ajaran Islam sangat memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai fitrah yang ada pada dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Dalam istilah tasawuf peserta didik disebut dengan �murid� atau �thalib�. Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi.[2]
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[3]
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi atau fitrah yang memiliki makna kesucian.[4]Potensi istimewa ini dimaksudkan agar mengemban dua tugas utama, yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan juga untuk beribadah kepada Allah Swt. Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan  diembannya dapat terwujud. Pendidikan islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkrebadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keriddhaan Allah Swt. Pendidikan Islam harus menggunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Alquran yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.
Dengan demikian, hakikat cita-cita Pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang. Fitrah adalah potensi diri manusia untuk lebih baik. Itulah sebabnya potensi untuk menjadi lebih baik pada diri kita senantiasa dodorong dan dibangkitkan. Banyak sekali orang selalu optimis, sehingga berbagai masalah dan rintangan mampu dihadapi dengan gembira yang akhirnya mampu membuat orang-orang disekitarnya termotivasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Fitrah erat kaitannya dengan citra manusia yang merupakan gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas asli manusiawi. Kualitas tersebut merupakan sunnah Allah yang ada pada manusia sejak ia dilahirkan.
Pendidikan Islam adalah usaha untuk mengembangkan seseorang agar terbentuik perkembangan yang maksimal dan positif.[5]Dan Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan seorang dewasa kepada anak didiknya untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik dan memiliki kepribadian muslim yang mengimplemantasikan syari�at Islam dalam kehidupan sehari, serta hidup bahagia didunia dan akhirat.
Dari beberapa defenisi tersebut, Pendidikan Islam, yakni pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan didalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian.
Dilihat dari penjelasan diatas, maka diperlukan pendidikan islam yang harus didasarkan pada konsep dasar manusia yang berhubungan dengan kualitas-kulitas atau potensi manusia, potensi yang memerlukan proses pembinaan yang mengacu ke arah yang realisasi dan pengembangan individu yang berwawasan kepada Islam. Dalam hal ini dengan berpandu kepada Al-quran dan Hadist sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan menciptakan insane Kamil bahagia di dunia dan akhirat. Ada pun tujuan yang tertinggi dapat dirumuskan dalam istilah �insane kamil� (manusia paripurna).[[6] ]Dalam tujuan pendidikan islam tujuan tertinggi atau terakhir ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia, dan peranannya sebagai mahkluk ciptaan Allah.
Dengan demikian indikator dari insan kamil tersebut adalah: menjadi hamba Allah, mengantarkan subjek didik menjadi khalifah Allah fi al-Ardh,yang mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup, dan untuk memperoleh kesejahteraan kebahagiaan hidup didunia sampai akhira, baik individu maupun masyarakat.
Allah SWT menciptakan manusia didunia kecuali bertugas pokok untuk menyembah Khalik-Nya, juga bertugas untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar mereka dapat hidup sejahtera dan makmur lahir batin. Manusia diciptakan Allah selain menjadi Hamba-Nya, juga menjadi penguasa (khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan �khalifah�, manusia telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) yang dapat dikembangkan. Begitu kompleks fitrah manusia, sehingga manusia pantas menerima amanah Tuhan untuk menjadi khalifah dan hamba-Nya. Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik dan ditumbuhkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas pokok kehidupannya didunia. baik diantara makhluk Allah yang lain.
Penentuan struktur kepribadian merupakan upaya tersulit dalam perumusan teori kepribadian.[6] Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah atau unsur psiologis. Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah tersebut, pendidikan merupakan sarana (alat) yang menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan tersebut dapat dicapai. Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik menjadi baik menurut kehendak-Nya, mengingat Allah sendiri telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kecenderungan dua arah, yaitu arah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan ke arah ketakwaan (menaati peraturan/perintah).
Kepribadian merupakan produk interaksi antara aspek-aspek kepribadian dengan faktor-faktor pembentuknya.[7] Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yang kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yang dapat dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu dan mempengaruhi) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan. Salah satu  aspek potensial dari apa yang disebut  �fitrah� adalah kemampuan berfikir manusia dimana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya. Para pendidik muslim sejak dahulu menganggap bahwa kemampuan berpikir inilah yang menjadi kriterium (pembeda) yang esensial antara manusia dan mahkluk-makhluk lainnya. Disamping itu, kemampuan ini memiliki kapabilitas untuk berkembang seoptimal mungkin yang banyak bergantung pada daya guna proses kependidikan.

         
C.    Kebebasan Berpendapat
                                                     
Pendidik dituntut untuk menghargai pendapat peserta didik, peserta didik dituntut pula untuk menghargai pendapat pendidik dan sesama peserta didik, Karena menghargai pendapat merupakan salah satu kebutuhan dalam melaksanakan pendidikan. Para pendidik dalam hal ini adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengemukakan isi hatinya dengan cara yang wajar, bermoral dan terpuji serta diridhai oleh Allah Swt sesuai dengan tahap-tahap perkembangan jiwanya. Pendidik bukan menekankan kebebasan pendapat pada peserta didik yang mengakibatkan jiwanya terbelenggu seperti adanya rasa cemas, gelisah dan kecewa selama berlangsungnya proses belajar mengajar.
Hak kebebasan ditetapkan sebagai asas dari langit seiring turunnya Islam, untuk meninggikan manusia di muka bumi ini dan mengokohkan sisi kemanusiaan. Tak ada satu hari pun dari bentuk kelahiran kecuali selalu berinteraksi dengan kumpulan masyarakat, atau memberikan nilai pergerakan yang dituntut oleh mereka yang merasa terhalangi kebebasannya, sebagaimana realitas yang banyak terjadi pada manusia di zaman sekarang.
Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu yang bisa dipandang dari beberapa urusan, baik yang umum maupun khusus. Pendapat dan apa yang didengar dari pihak lain, merupakan hak setiap individu dalam menghormati pemikiran serta perasaan, selagi tidak berkaitan dengan permusuhan kepada hak orang lain.[8]
Sedangkan kebebasan berpendapat dalam makna yang seperti ini merupakan hak jaminan dan ketetapan bagi setiap Muslim. Syariat Islam menetapkan hak-hak dirinya. Apa yang ditetapkan syariat Islam atas hak setiap individu, tidak ada seorang pun yang menguasai keputusan atau memaksa dan mengingkarinya. Bahkan, kebebasan berpendapat wajib atas setiap Muslim dan tidak bisa terlepas dari dirinya. Allah telah mewajibkan nasihat dan perintah pada yang baik dan mencegah kemungkaran. Tidaklah mungkin menegakkan kewajiban syariat ini selagi seorang Muslim tidak bisa bebas memenuhi haknya dalam mengemukakan pendapat dan kebebasannya dalam hak tersebut. Kemerdekaan dan kebebasan berpendapat bagi seorang Muslim merupakan sarana untuk menegakkan kewajiban ini. Tidaklah kewajiban amar makruf nahi mungkar ditegakkan kecuali dengan kebebasan berpendapat. Maka, memberikan kebebasan dalam berpendapat adalah perkara yang wajib.
Islam memberikan toleransi akan kebebasan berpendapat dalm segala ruang lingkup perkara dunia, baik dalam urusan umum maupun kelompok. Hal itu tampak jelas terlihat dalam kisah Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah ketika Rasulullah mengajak keduanya untuk bermusyawarah dalam perjanjian dengan Bani Ghathafan untuk memberikan upeti sepertiga hasil dari kurma Madinah hingga mereka bersedia untuk keluar dari perjanjian pada saat Perang Ahzab.[9]




               [1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 11.
               [2] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008),  hal. 104.

               [3] Ibid., hal. 103.
              
               [4] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 20.
               [5]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 38.
               [6] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian..., hal. 98.
               [7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian..., hal. 178.
               [8] Tim Redaksi MuslimDaily.net dari buku Raghib As Sirjani, Prof. Dr., Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al Kautsar, 2011. (Terjemahan dari buku Madza Qaddamal Muslimuna lil �Alam Ishamaatu al Muslimin fi al Hadharah al Insaniyah, Mu�asasah Iqra�. 2009.)
               [9] Tim Redaksi MuslimDaily.net dari buku Raghib As Sirjani, Prof. Dr., Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al Kautsar, 2011. (Terjemahan dari buku Madza Qaddamal Muslimuna lil �Alam Ishamaatu al Muslimin fi al Hadharah al Insaniyah, Mu�asasah Iqra�. 2009.)