Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pembelajaran Bahasa Aceh


BAB II

 LANDASAN TEORITIS


A.    Pembelajaran Bahasa Aceh

Pembelajaran berasal dari kata �ajar� yang mendapat imbuhan �be�yang mengadung makna �usaha� selanjutnya kata tersebut mendapat imbuhan �pe-an� yang mengandung makna �proses�, kata belajar diartikan dengan berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Sedangkan kata pembelajaran bearti proses, cara, perbuatan menjadi orang atau makluk hidup yang belajar.[1] Menurut Ramly Yahya kata pembelajaran bersal dari kata �belajar� yang bearti proses atau cara yang menjadikan orang atau maklauk hidup belajar.[2]  Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.[3]
Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Oleh karena itu guru seyogyanya memiliki prilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh.
Prestasi belajar mengajar bertujuan mengembangkan potensi siswa secara optimal yang memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, banyak faktor yang harus dipenuhi serta diperhatikan oleh guru, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi proses belajar siswa.
Pembelajaran merupakan proses berlangsungnya belajar mengajar di kelas yang merupakan kegiatan inti sekolah. Pelaksanaan pembelajaran adalah interaksi antara guru dan siswa dalam rangka penyampaian bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, cara pengelolaan kelas yang baik, interaksi belajar mengajar dan cara menutup pelajaran.[4]
Proses pembelajaran merupakan komunikasi dua arah yang dilakukan oleh guru sebagai pembelajar dengan siswa sebagai subjek belajar. Guru sebagai pembelajar berusaha melakukan program-program pembelajaran yang telah direncanakan dan berorientasi kepada siswa sebagai pihak yang dibelajarkan sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Begitu pula sebaliknya, para siswa dan siswi sebagai pihak yang menerima pelajaran dituntut lebih mempersiapkan diri untuk memperkaya pengetahuan terhadap pelajaran yang akan diberikan, di samping menunjukkan sikap antusias dan aktif dalam menerima pelajaran. Dengan demikian, hubungan yang terjadi merupakan hubungan timbal balik yang saling mendukung dalam pelaksanaan program. Perubahan tingkah laku individu siswa dalam interaksi belajar mengajar perlu bimbingan secara sistematis dari guru, sebab seorang guru tidak hanya dituntut menguasai materi ilmu pengetahuan yang akan diajarkan kepada siswa, akan tetapi guru harus pula menguasai metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran, sehingga apa yang diharapkan atau yang menjadi tujuan pembelajaran dari proses belajar mengajar itu dapat tercapai dengan baik.
Prinsip-prinsip belajar seperti yang dikemukakan oleh Suparta adalah:
1.     Pelajar harus mempelajari sendiri apapun yang dipelajarinya tidak ada seorangngpun yang dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya.
2.     Setiap pelajar belajar menurut temponya sendiri, dan setiap kelompok umur memiliki variasi dalam kecakapan belajar.
3.     setiap pelajar akan belajar lebih banyak bilamana setiap langkah belajar yang dilaluinya mendapat pengamatan
4.     Penguasa secara penuh terhadap setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti.
5.     Pelajar akan lebih termotivasi untuk belajar serta akan belajar dan mengingat secara lebih baik apabila diberikan tanggung jawab untuk belajar sendiri.[5]
Pendapat lain mengumukakan bahwa belajar merupakan suatu perubahan sikap, tingkah laku dan penambahan ilmu dari belajar. Dalam proses belajar disadari ataupun tidak, belajar itu mempunyai tujuan yang harus dicapai. Ismail mengemukakan sebagai berikut: belajar akan berhasil dengan baik apabila disertai dengan tujuan yang jelas dan belajar itu akan terjadi, maka langkah pertama yang harus kita lakukan dalam situasi pengajaran yang baik adalah menolong anak untuk menentukan tujuan dan tempat untuk diarahkannya kegiatan tersebut.
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia yang dilakukan sepanjang hidupnya. Kegiatan belajar merupaka kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses belajar di sekolah, yang berarti bahwa berhasil tidak pencapaian tujuan pendidikan tergantung pada begaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Belajar merupakan suatu proses untuk mengetahui, menemukan dan mengambil keputusan tentang suatu yang diketahui, dengan belajar berarti akan membawa perubahan-perubahan tingkah laku kerah yang lebih baik untuk perkembangan.
Berdasarkan pengertian tentang belajar yang telah didefinisikan oleh para ahli, diantaranya menurut Slameto �Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku seperti hasil dan interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya�.[6] Apabila kita ingin mengetahui bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan prestasi belajar maka kita harus mengetahui dulu apa itu belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Natawijaya bahwa: �Belajar adalah mengubah atau memperbaiki tingkah laku yang baru, secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan�.[7] S. Nasution mendefinisikan belajar dengan adanya perunahan tingkah laku sikap dan watak anak didik setelah mendapat interaksi proses belajar.[8]
Lapangan pendidikan agama identik dengan ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan sekedar proses pengajaran (face to face), tetapi mencakup  segala usaha penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik. �Tujuannya adalah agar terwujudnya manusia  muslim yang berilmu, beriman dan beramal salih. Usaha-usaha  tersebut  dapat dilaksanakan  secara langsung ataupun  secara tidak langsung�.[9]
Dalam bahasa Arab belajar mengajar biasa diistilahkan dengan muta�allim, istilah ini berarti mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil  yang sudah matang. Pemahaman yang lebih rinci  mengenai  muta�allim ini  harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu pendidikan  Islam harus dibangun dari perpaduan istilah  'ilm  atau 'allama (ilmu, pengajaran), 'adl  (keadilan), 'amal (tindakan), haqq(kebenaran atau ketetapan  hubungan  dengan  yang benar  dan nyata), nathq(nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat(tanda-tanda  atau symbol), tafsir dan ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung dalam  istilah adab.[10]
Secara keseluruhan definisi yang bertemakan belajar mengajar itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa  yang dimaksud adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik  yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian  yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara herarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut  dapat dijabarkan  pada tingkat yang lebih rendah lagi,  menjadi tujuan  yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikan, perbidang studi, perpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[11]
Kompetensi guru, baik secara teoritis maupun praktis memiliki manfaat yang sangat penting, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru. Kompetensi guru dapat digunakan untuk mengembangkan standar kemampuan propesional guru. Berdasarkan hasil uji dapat diketahui kemampuan rata-rata para guru, aspek nama yang perlu ditingkatkan, dan siapa yang perlu mendapat standar kemampuan minimal.
Dengan kompetensi yang digumakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional, tidak di dasarkan atas suka atau tidak suka, atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi berdasarkan standar kompetensi yang objektif dan berlaku secara umum untuk semua calon guru baru, maka akan sangat membantu peningkatan kualitas pendidikan, karena akan terjaring guru-guru yang kompeten dan siap melaksanakan tugasnya secara kreatif, profesional dan menyenangkan.
Pembelajaran yang optimal yang dimaksudkan adalah guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran mampu mengelola kelas dengan baik, menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan metode mengajar bervariasi, mampu melaksanakan evaluasi yang baik bagi semua kegiatan positif ini hanya mampu dilaksanakan oleh guru yang efektif.
Guru yang efektif adalah guru yang berhasil mencapai sasaran yang dituntut berdasarkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimilikinya. Untuk mengukur keefektifan itu sendiri kita tidak mampu melaksanakan ciri-ciri saja antara lain memiliki kecerdasan latar belakang yang tinggi. Menurut Burhani dan Hasbi Lawrens kata �Kompetensi� diartikan dengan  kecakapan, kewenangan, kekuasaan dan kemampuan."[12]
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang dijabarkan lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dinyatakan bahwa pengembangan bahasa dan budaya daerah yang merupakan bagian dari bidang pendidikan dan kebudayaan menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi. Dalam Politik Bahasa Nasional tentang kedudukan dan fungsi bahasa daerah dinyatakan bahwa di dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti Bali, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Makasar, dan Sunda, yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Bali, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Makasar, dan Sunda berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.[13]
Dalam pembelajaran Bahasa Daerah guru tidak hanya mengambil semua kesempatan untuk menjelaskan, tetapi memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Jika kesempatan itu tidak diberikan maka guru tidak mengetahui apakah siswanya sudah memahami materi pembelajaran itu, dan akibatnya tujuan pembelajaran Bahasa Daerah tidak tercapai.
Bahasa daerah di Indonesia, garis pembinaan dan pengembangannya tunduk pada kebijakan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dapat dirunut mulai Sumpah Pemuda 1928. Bunyi Sumpah Pemuda yang terkait dengan bahasa daerah adalah �Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia�. Dari isi Sumpah Pemuda, secara implisit diakui keberadan bahasa daerah. Dalam Perubahan Keempat UUD 1945 bab XIII, Pasal 32 , dinyatakan (1) negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam mmelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya dan (2) negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang dijabarkan lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dinyatakan bahwa pengembangan bahasa dan budaya daerah yang merupakan bagian dari bidang pendidikan dan kebudayaan menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi. Dalam Politik Bahasa Nasional tentang kedudukan dan fungsi bahasa daerah dinyatakan bahwa di dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti Bali, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Makasar, dan Sunda, yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Bali, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Makasar, dan Sunda berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.[14]
Di antara semua bidang linguistik terapan, bidang pembelajaran bahasa ibu dan bahasa asing merupakan bidang yang sudah mantap perkembangannya karena pembelajaran bahasa mempunyai daya jual yang tinggi dan diperlukan masyarakat. Pengetahuan linguistik mengenai bentuk, makna, struktur, fungsi, dan variasi bahasa sangat diperlukan sebagai modal dasar pembelajaran bahasa.[15]Kegiatan pembelajaran bahasa merupakan upaya yang mengakibatkan siswa dapat mempelajari bahasa dengan cara efektif dan efisien.
 Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.[16]
Suatu program pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan diri dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pelajar dapat mengaplikasikan kecakapan linguistik dan  keterampilan  berbahasa dalam suatu konteks budaya sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Dalam proses belajar-mengajar bahasa ada sejumlah variabel, baik bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik, yang dapat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar itu. Variabel-variabel itu bukan merupakan hal yang terlepas dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, sehingga merupakan satu jaringan sistem. Keberhasilan belajar bahasa, yaitu yang disebut asas-asas belajar, yang dapat dikelompokkan menjadi asas-asas yang bersifat psikologis anak didik, dan yang bersifat materi linguistik. Asas-asas yang yang bersifat psikologis itu, antara lain adalah motivasi, pengalaman sendiri, keingintahuan, analisis sintesis dan pembedaan individual.
Motivasi lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka untuk berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid sudah harus dibimbing agar memiliki dorongan untuk belajar. Jika mereka mempunyai dorongan untuk belajar. Tanpa adanya kemauan, tak mungkin tujuan belajar dapat dicapai. Jadi, sebelum proses belajar mengajar dimulai, atau sebelum berlanjut terlalu jauh, sudah seharusnya murid-murid diarahkan. Pengalaman sendiri atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan berkesan daripada mengetahui dari orang, karena pengetahuan atau keterangan yang didapat dan dialami sendiri akan lebih baik daripada hanya mendengar keterangan guru. Keingintahuan merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu menjadi maju. Pada anak-anak usia sekolah rasa keingintahuan itu sangat besar. Rasa keingintahuan ini dapat dikembangkan dengan memberi kesempatan bertanya dengan meneliti apa saja.
B.    Tujuan Pembelajaran Bahasa Aceh

Dalam Islam pendidikan adalah dasar utama dalam mengarahkan seseorang. Dasar dapat menentukan arah dan langkah kegiatan. Tanpa dasar itu, maka setiap kegiatan tidak mempunyai arah dan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan tidak akan sistematis, efektif dan efisien, kecuali dengan ditetapkan dasar dan arah itu.
Dengan demikian, ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Ajaran Islam menganggap menuntut ilmu sebagai hal yang wajib dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan yang ada pada setiap individu. Belajar mengajar dalam Islam sangat penting dilaksanakan dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Belajar mengajar sangat penting dalam rangka pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai syari�at agar manusia lebih mengenal agamanya. Oleh karena itu, melalui pelaksanaan belajar mengajar secara optimal terlihat fungsi pendidikan Islam dalam membentuk perilaku muslim sejati yang dapat meningkatkan pengabdian kepada Allah dan mengharmoniskan hubungan sesama manusia. Peningkatan pengabdian kepada Allah serta hubungan sesama manusia sangat dipengaruhi oleh prilaku manusia itu sendiri.
Setiap manusia yang kreatifitas, sepanjang aktivitas yang ia lakukan tentunya mempunyai suatu tujuan yang diinginkan. Seseorang yang mengemudi ia pasti punya maksud untuk sampai ketempat tertentu. Dalam perjalanannya, ia mencoba menambah kecepatan kenderaannya. Kendaraan yang dipercepat sudah ada maksud-maksud tertentu yang diinginkan. Rasanya semua aktivitas yang dilakukan manusia mempunyai tujuan.
Begitu juga dengan aktivitas belajar. Apa yang diinginka oleh pembelajar sudah terlebih dahului dirumuskan tujuannya. Sehubungan dengan itu Imron menyebutkan beberapa tujuan belajar sebagai berikut :
Paling tidak ada empat alasan mengapa tujuan belajar perlu dirumuskan oleh pembelajar. Pertama, agar ia mempunyai target tertentu setelah mempelajari sesuatu. Kedua, agar ia mempunyai arah dalam kreativitas belajar. Ketiga, agar ia dapat menilai seberapa target belajar telah ia capai atau belum. Keempat, agar waktu dan tenaganya tidak tersita untuk kegiatan selain belajar.[17]

Dari kutipan di atas terlihat beberapa perumusan tujuan belajar. Jika perumusan ini tidak diperhatikan sungguhlah menjadi aktivitas yang sia-sia. Proses belajar tetap berjalan tetapi tidak mengenai sasaran yang diharapkan. Tujuan belajar dapat merupakan sasaran dari pembentukan pemahaman. Hal tersebut dapat diperoleh dari usaha mempelajari masalah yang dihadapi. Rasanya menjadi suatu hal yang mustahil apabila pengalaman itu datang dengan sendirinya tanpa belajar.
Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra secara umum meliputi:
1)     Siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara.
2)     Siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan.
3)     Siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial.
4)     Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis).
5)     Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
6)     Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.[18]

Untuk sampai pada tujuan tersebut, diperlukan strategi penyampaian pembelajaran berupa metode untuk menyampaikan pembelajaran kepada pebelajar untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari pelajar.
C.    Strategi Pembelajaran Bahasa Aceh

Strategi pembelajaran Bahasa Aceh adalah kegiatan yang dipilih pengajar dalam proses pembelajaran, sehingga memperlancar tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran Bahasa Aceh berlangsung dengan baik perlu diatur strateginya.
Penggunaan strategi sangat mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Aceh, oleh karena itu seorang guru hendaklah menggunakan strategi yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan mendukung tercapainya tujuan sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan bahan pelajaran dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa dalam mencerna pelajaran yang telah disampaikan oleh guru sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak sempurna sebagaimana yang diinginkan.
Model mencakup strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.  Strategi itu sendiri merupakan siasat dalam pembelajaran yang bertujuan meng-optimalkan proses belajar dan pembelajaran. Ramly Maha mendefinisikan strategi sebagai �kemampuan mengatur langkah-langkah dan menata semua potensi yang ada agar suatu rancangan pembelajaran yang disusun akan bermanfaat seoptimal mungkin, sehingga suatu kegiatan pem-belajaran tercapai sasarannya.�[19] Menurut Nana Sudjana, strategi mengajar adalah �taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan secara efektif dan efisien.[20] Mencermati beberapa pengertian strategi di atas, penulis lebih condong bahwa strategi pembelajaran adalah taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang dapat mempengaruhi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.

Dalam strategi terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan adalah cara pandang yang digunakan guru dalam memecahkan suatu masalah. Satu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang juga berbeda. Misalnya strategi untuk mengaktifkan anak didik belajar dapat dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan yang berpusat pada siswa, seperti pendekatan kontekstual, pendekatan tematik, ataupun pendekatan problem posing (pengajuan masalah).[21]
Adapun metode adalah cara mengajar yang sifatnya umum dan dapat diguna-kan untuk berbagai mata pelajaran dengan memperhatikan sasaran tujuannya. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. Contohnya metode ceramah dapat digunakan untuk memperkenalkan teori baru yang bersifat knowledge, dan metode tanya jawab untuk pengembangan sikap dan nilai. Sedangkan teknik merupakan cara mengajar yang bersifat khusus sesuai dengan karakter materi pelajaran, peserta didik atau keterampilan guru. Jadi teknik penyajian adalah �suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang diperlukan oleh guru�.[22]
Dalam pembelajaran Bahasa Aceh guru tidak hanya mengambil semua kesempatan untuk menjelaskan, tetapi memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Jika kesempatan itu tidak diberikan maka guru tidak mengetahui apakah siswanya sudah memahami materi pembelajaran itu, dan akibatnya tujuan pembelajaran Bahasa Aceh tidak tercapai.
Berdasarkan kegiatan yang ditimbulkannya, strategi pembelajaran dapat di-bagi dua macam, yaitu strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, dan strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik.[23]Kedua macam strategi tersebut dapat diuraikan di bawah ini :
1.       Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik

Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran. Strategi ini menekankan bahwa peserta didik adalah pemegang peran dalam proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan pendidik berfungsi untuk mem-fasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.[24]
Strategi pembelajaran ini juga memiliki keunggulan dan kelemahan, keunggulannya adalah: Pertama, siswa akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi, Kedua, siswa memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, Ketiga, tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar membelajarkan di antara siswa, Keempat, dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi siswa karena sesuatu yang dialami dan disampaikan siswa mungkin belum diketahui sebelumnya oleh pendidik.[25]
Adapun kelemahan strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik antara lain: Pertama, membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya, Kedua,aktivitas pembelajaran cenderung akan didominasi oleh sebagian siswa yang sering berbicara, sedangkan siswa lainnya akan lebih banyak mengikuti jalan pikiran siswa tersebut, Ketiga, pembicaraan dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetap-kan sebelumnya.[26]
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik ini pada dasarnya dapat diterapkan dalam semua metode pembelajaran perorangan, metode pem-belajaran kelompok, dan metode pembelajaran komunitas atau massal. Namun penggunaan strategi pembelajaran ini akan lebih efektif dalam metode pembelajaran kelompok.[27]

2.     Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik

Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah kegiatan pembelajaran yang menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar atau membelajarkan peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan dan penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik.[28] Strategi ini sangat sesuai untuk pembelajaran Bahasa, karena dalam pembelajaran Bahasa Aceh dibutuhkan strategi yang dapat mengaktifkan guru dan siswa dalam pembelajaran supaya tidak terdapat kekeliruan dalam memahami Bahasa.
Dalam hal ini dituntut adanya hubungan yang erat antara guru dengan murid, karena suksesnya suatu pendidikan sangat tergantung kepada seberapa besar hubungan kasih sayang yang dijalin oleh seorang guru dengan murid. Hubungan itu dianggap cukup bila mampu mendorong murid memberikan kepercayaan penuh kepada sang guru hingga tidak takut kepadanya.[29]
Strategi pembelajaran ini juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Ke-unggulannya adalah: Pertama, Bahan belajar dapat disampaikan secara tuntas oleh pendidik sesuai dengan program pembelajaran yang telah disiapkan sebelumnya, Kedua, Dapat diikuti oleh siswa dalam jumlah besar, Ketiga,Waktu yang digunakan akan tepat sesuai dengan jadwal waktu pembelajaran yang telah ditetapkan, Keempat, Target materi pembelajaran yang telah direncanakan relatif mudah tercapai.[30]
Adapun kelemahan strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik antara lain: Pertama, Mudah menimbulkan rasa bosan pada siswa sehingga hal ini dapat mengurangi motivasi, perhatian dan konsentrasi peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran, Kedua, Keberhasilan pembelajaran, dalam hal perubahan sikap dan perilaku siswa relatif sulit untuk diukur karena yang diinformasikan kepada siswa pada umumnya lebih banyak menyentuh ranah kognitif, Ketiga,Kualitas pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan adalah relatif rendah karena pendidik sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran.[31]
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik ini pada dasarnya dapat diterapkan dalam metode pembelajaran dengan teknik ceramah atau kuliah, tanya jawab dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran Bahasa Aceh kedua strategi ini hendaknya digunakan secara kombinasi sesuai dengan materi yang akan dibahas, sehingga tujuan pembelajaran Bahasa Aceh tercapai.

D.    Pembelajaran Bahasa Aceh dalam Sisdiknas

Dalam Undang � Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 17 dan 18 disebutkan bahwa:
(1)  Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
(2)  Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
(3)  Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik[32].

Bahasa lokal (daerah) adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat dari suku�suku atau kelompok-kelompok etnis di daerah-daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, bahasa lokal merupakan salah satu sarana pembentuk kekayaan budaya bangsa yang plural (majemuk) di samping kekayaan keragaman cara berpikir, keragaman adat, dan keragaman sistem hukum adat. Keragaman budaya bangsa tersebut sebagai embrio terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga identitas kebangsaan (Indonesia) adalah keragaman itu sendiri yang salah satu pondasinya adalah bahasa lokal.[33]
Eksistensi bahasa lokal berkedudukan sebagai bahasa daerah sehingga memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai:
(1) Lambang kebanggaan daerah,
(2) Lambang identitas daerah,
(3) Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah[34].
Tiga fungsi tersebut yang biasa disebut dengan politik bahasa nasional (PBN). Terkait dengan hal itu dalam rumusan kebijakan bahasa nasional (KBN), di samping tiga fungsi utama, ada dua fungsi tambahan yaitu (1) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan (2) bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indoneia.
Bahasa lokal memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahasa lokal akan dihormati, dipelihara dan dikembangkan oleh negara termasuk pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah. Dengan memperhatikan fungsi bahasa lokal dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat dipahami bahwa untuk pembinaan dan pengembangan bahasa lokal dan sastra lokal memerlukan strategi yang tepat. Strategi yang tepat itu, bahasa lokal dimaknai secara imperatif harus diproteksi baik secara mekanik maupun secara organik.
Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[35]. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di sekolah adalah bahasa daerah.

E.    Perumusan Hipotesis

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.     Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Aceh di MTsN Bireuen belum mencapai hasil yang signifikan.
2.     Usaha-usaha guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran Bahasa Aceh di MTsN Bireuen belum maksimal.
3.     Banyaknya kendala-kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran Bahasa Aceh di MTsN Bireuen.
4.     hasil yang dicapai dalam pembelajaran Bahasa Aceh di MTsN Bireuen belum mencapai target.






[1] Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Indonesia Ed. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 17.

[2] Ramly Maha Perencanaan Pembelajaran Sistem PAI  (Banda Aceh: IAIN AR-Raniry, 2002), hal. 2.
[3] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal.5.
[4]Surya Subroto B., Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal, 37.
[5]Suparta, Metodelogi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Amico, 2003), hal. 38.
[6]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), hal. 134.

[7]Natawijaya, Faktor-faktor Pendukung Motivasi, (Bandung: Tiga Bersaudara, 1999), hal. 77.

[8] S. Nasution, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Buana Ilmu, 1996), hal. 41

[9]M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Persepektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.

[10]Khursyid  Ahmad,  Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.

[11]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 292.
[12]Burhan, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media), hal. 301.

[13]Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Hasil Seminar Politik Bahasa Nasional. (Jakarta: Seri Penyuluhan 3. 1977), hal. 35.

[14]Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Hasil Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Seri Penyuluhan 3. 1977.

[15]Widyaparwa No.26 : 8-17. Balai Penelitian Bahasa, (Yogyakarta, Mitra Pelajar, 2001), hal. 23.

[16] Ibid, hal. 27.
[17] Ibid, hal. 20.
[18] Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 32.
[19] Ramly Maha, Strategi Pembelajaran(Banda Aceh: KKD Rahmad, 1994), hal. 1.
[20] Nana Sudjana, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru, 1990). hal. 33.
[21] Johar, Strategi..., hal. 9-10.
[22] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: al-Husna Zikra, 1995), hal. 39.
[23] Sudjana, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Production, 2001), hal. 37.
[24] Johar Strategi..., hal. 12.
[25] Sudjana, Metode..., hal. 37.
[26] Ibid., hal. 38.
[27] Ibid.
[28] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. VI, (Bandung: Remaja Rosda-karya, 2005), hal. 76.
[29] M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 93.
[30] Sudjana, Metode..., hal. 38.
[31] Ibid., hal. 39.
[33]Asshiddiqie, Jimly. �Perlindungan Bahasa Daerah Berdasarkan UUD 1945.� Makalah Seminar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 8 September 2007.

[34] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Hasil Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Seri Penyuluhan 3. 1977.
[35] UU RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 7.