Pengertian Ibadah
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL
A. Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa bearti taat, tunduk, turut, mengikut dan doa dan disebut juga dengan meyembah Allah SWT. Allah berfirman sebagai berikut:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S. Al-Dzariyat : 50)
Soenarjo mendefinikan ibadah adalah kepatuhan dan ketudukan yang ditimbulkan oleh perasaaan tentang kebesaran Allah SWT, sebgai tuhan yang disembah karena keyanina bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.[1]Ibadah adalah pola dan tataracara hubungan manusia dengan Allah SWT semata, yang dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan ibadah mahdah atau ibadah murni. Ibadah bentuk ini mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).
Menurut Amin Abdullah ibadah mahdah dapat didefinisikan, mahdah merupakan aspek normativitas (wahyu), yang lebih menekankan aspek legalitas formalitas ekternal.[2]Dalam ibadah mahdah berlaku asa artinya tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena ketentuaannya telah diatur oleh Allah sediri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Misalnya seperti ketentuan sholat dhuhur yaitu diwajibkan setiap orang mukmin mengerjakan empat rakaat, tidak boleh diubah menjadi tiga rakaat atau dua rakaat, kecuali ada ketentuan lain misalnya qasar, maka shalat dhuhur yang tadinya empat bias menjadi dua rakaat. Shalat subuh dua rakaat tidak boleh diubah menjadi tida rakaat atau empat rakaat, karena sifatnya tertutup dalam ibadah mahdah berlaku asa umum yakni sumua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas disuruh Allah seperti dicontoh rasul-Nya.
Kalau dihubungkan dengan lima kaidah (al-ahkam al-khamsah) kaidah asal ibadah adalah haram atau larangan, artinya sesgala sesuatu atau yang berada dalam ruang lingkup ibadah khususnya ibadah kepada Allah SWT sebagaimana dicontohkan Rasulnya. Dengan demikian tidak mungkin ada pembaharuan (tajdid, modernisasi) dalam ibadah yakni proses pembaharuan dan perombakan mengenai susunan, cara dan tatacara ibadah, yang mungkin ada halnya penggunaaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.[3] Campur tangan akal pikiran manusia sama sekali tidak dibenarkan, lain halnya dengan mu'amalah, kaidah asalnya adalah ibahah atau mubah, jaiz, pembolehan, sepanjang yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Jadi prinsip ibadah mahdah sudah ditegaska dan tercakup secara terinci dengan pedoman yang jelas dan tegas dalam Al-Qur'an serta aplikasi praktisnya disebutkan dalam sunnah Rasullullah.[4]
B. Macam-macam Ibadah
Secara garis besar ibadah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
a. Ibadah mahdah
Ibadah mahdah disebut juga ibadah yang ketentuannya pasti sudah ditentukan oleh Allah atau ibadah khassah yaitu ibadah murni, ibadah khusus, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah.[5] Dan tidak bisa diubah lagi oleh manusia, kita hanya menjalankan bagaimana yang telah ditentukan-Nya, seperti mengerjakan shalat, shalat itu sudah diwajibkan kepada manusia dalam satu hari satu malam lima waktu, subuh, dhuhur, ashar, magrib,dan insya sedangkan yang lain boleh dikerjakan akan tetapi itu tidak diwajibkan. Dan selanjutnya membayar zakat, zakat itu sudah ada ketentuan dalam agama siapa-siapa saja yang harus membayarnya yakni orang memiliki kelebihan harta benda. Dan berpuasa pada bulan ramadhan itu juga sudah ada ketentuannya yakni berpuasa pada bulan yang sudah ditentukan bahkan ada yang dilarang berpuasa seperti pada kedua hari raya. Dan yang terakhir menunaikan haji, yakni diwajib bagi orang tersebut yang ada memiliki kemampuan baik secara fisik ataupun materialnya.
b. Ibadah ghairu mahdah
Ibadah ghairu mahdah yaitu ibadah yang berhubungan manusia yang lain misalnya sosial, politik, budaya, pendidikan lingkungan hidup, kemiskinan,dan sebagainya. Dari uraian tentang kedua ibadah dia atas M. Amin Abdullah memberi dua penertian yaitu: pertama merujuk pada aspek normatifitas, wahyu, yang dihukumi oleh kaum fuqaha' sebagai fardu ain, sedangkan penngertian yang kedua merujuk pada aspek historisitas yang tersudut pada katagori fardhu kifayah.[6]
Selanjutnya jika ditinjau dari segi pelaksanaannya ibadah dapat dibagikan menjadi tigabentuk yaitu:
1. Ibadah jasmaniah dan rohaniah yaitu panduan ibadah jasmani dan rohaniah seperti shalat dan puasa.
2. Ibadah rohaniah dan maliah yaitu panduan ibadah rohani dan harta seperti membayar zakat.
3. Ibadah jasmaniah, rohaniah dan maliah sekaligus, seperti menunaikan atau melaksanakan ibadah haji
Jika ditinjau dari segi kepentingannya ibadah ada dua yaitu: kepentingan fardi atau perorangan, seperti shalat dan puasa, dan kepentingan ijtima'i atau masyarakat seperti zakat dan melaksanakan ibadah haji.
Ibadah ditinjau dari bentuk dan sifatnya ada lima macam yaitu:
1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (uacapan lidah) seperti berzikir, berdo'a tahmid, membaca Al-Qur'an.
2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang lain, jihad, mengurus jenazah.
3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya seperti shalat, zakat, dan haji.
4. Ibadah yang tatacara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, i'tikaf dam ihram.
5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.[7]
C. Fungsi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Ibadah Masarakat
Fungsi umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, agama Islam merupakan risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam. Tujuan strategis ini, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
?? ?? ??? ??? ????????.
Artinya: "Al-Qur'an tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam." (at-Takwir, 81: 27).
Bahkan sebelum turun ayat ini keharusan da'wah merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan meneladani Muhammad sebagai rasul.[8]
Dari kutipan di atas, maka difahami bahwa ayat tersebut memberikan peringatan kepada manusia agar selalu mengagungkan asma Allah SWT dan meneladani Nabi Muhammad saw, karena Nabi Muhammad saw merupakan orang yang paling baik akhlaknya, sehingga patut kita teladani terutama sekali bagi tokoh masyarakat dikarenakan merka adalah seseorang yang sangat berperan dalam meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
Di samping itu secara rinci fungsi pendidikan Islam[9] adalah: pertama,Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan prefosionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan pelajar dari segi propesionalisme, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingin tahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
Secara psikologi fungsi pendidikan Islam adalah:
1. Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat beriman kepada Allah.
2. Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat terutama pada manusia karena Islam adalah agama fitrah sebab ajarannya tidak asing dari tabi'at manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai dengannya.
3. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan.
4. Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi-potensi dan bakat-bakat manusia.[10]
Dari ilustrasi di atas terlihat jelas bahwa empat tujuan pendidikan tersebut harus dimanifestasikan dalam kehidupan manusia, karena keempat tujuan tersebut merupakan landasan pokok yang harus dijalankan oleh segenap manusia agar mampu memotivasi sikapnya sebagai khalifah di muka bumi.
D. Peranan Ibadah Terhadap Akhlak Masyarakat
Dalam berbagai kesempatan, pengajaian khutbah, kita selalu diajak agar kita selalu diajak agar kita selalu menigkatkan ketakqwaan kepada Allah. Salah satu bentuk usaha mencapai derajat takwa ialah menjadikan dan menempatkan hidup kita sebagai proses memperhambakan diri kepada Allah, yang merupakan tugas dan kewajiban manusia.[11] Secara esensial penghambaan manusia hanya kepada Allah adalah penghambaan yang berupa ketaatan dan kepatuhan kita yang penuh kepada penciptaan alam semesta ini, sebagai mana firman Alla SWT sebagai berikut:
x?$�?�) �?�7��tR y?$�?�)ur �����tG��nS
Artinya: "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Q.S. Al-Fatihah : 4)
Dengan menempatkat seluruh hidup kita sebagai proses mencapai kedekatan kepada sang pencipta alam yang indah ini yaitu Allah SWT mengandung konsekuensi agar kita selalu meneliti setiap gerak dan langkah kita sesuai dengan kehendak Allah. Ibadah harus dilaksanakan oleh manusia, untuk melaksanakan fungsi dan misi khilafah dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, ibadah yang demikian itu adalah dengan cara berqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan menaati seluruh apa yang sudah diperintahkan dan kepada apa yang sudah dilarang-Nya.[12]
Manusia di dunia ini selain sebagai khalifah Allah di bumi, agar manusia menjalankan perintah Allah seperti beribadah kepada Allah, Allah menegaskan dalam firman-Nya sebagai berikut:
$pk??r'��t? ��$�Y9$# (#r�?�6��$# �N�3�/u? ?�%�!$# �N�3s)n=s{ t���%�!$#ur `�B �N�3�=�6s% �N�3�=y�s9 tbq�)�Gs?
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah:21)
Pada prisipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berisi penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah. Apabila hai ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah, artinya tidak akan adanya terbuka peluang sedikitpun bagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdiaan kita kepada Allah. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak manusia itu sendiri dan merugikan dirinya sendiri, sama sekali tidak berakibat kepada Allah. Beribadah tidaknya manusia kepada Allah, tidaklah mengurangi keangunan dan kebesaran Allah sebagai pemelihara alam semesta ini.[13]
Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai tanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan beribadah, bearti pengakuaannya sebagai muslim diragukan dan dipertanyakan. Dan jika kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepengaruhnya konsepsi syari'ah tentang kewajiban pengabdian kepada Allah.
Dalam syari'at Islam di ungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah, sebab Dialah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia di muka bumi dan semesta ini. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah tidak memebankan kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri. Melaksanakan suatu perintah Allah saja sudah bernilai ibadah, sebab tidak satupun anjuran dan perintah Allah yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan menjauhi larangan-Nya termasuk mempunyai nilai ibadah, menurut Islam semua aktivitas manusia yang diniatkan demi kemaslahatan umat dan demi mencari ridha Allah termasuk juga salah satunya ibadah.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang perlu dipahami bersama adalah ada tiga pilar pondasi keislaman, yakni akidah, syari'ah dan akhlak yang merupak bagian dan tidak bisa dipisahkan. Yang bisa kita lakuakan mengkin hanya sekedar pembedaan antara ketiganya, artinya secara keilmuan kita bisa membuat ketegori mana aqidah, syari'ah dan akhlak, akan tetapi dalam kehidupan kita sehari di muka bumu ini ketiganya akan menyatu secara integral. Berikut penjelasan dari ketiga katagori di atas yaitu sebagai berikut:
a. Aqidah
Kita ketahui bahwa akidah adalah kepercayaan yang timbul di dalam hati manusia dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya, dari akidah ini dijabarkan beberapa unsur keimanan. Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut aqidah. Aqidah berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang. Karena Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.[14]
Sistem kepercayaan Islam atau aqidah dibangun atas enam dasar keimanan yang lazim disebut rukun Iman. Rukun Iman meliputi keimanan kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab, para Rasul, hari akhir serta qadha dan qadar-Nya. Sebagai rukun Iman tersebut adalah:
??????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ???? ?? ??? ??? ????? ????? ????????? ????? ?????? ??????? ????? ??? ?? ???? ???????.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (Q. S. 4:136).
b. Syari'ah
Syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan muslim sehari-hari termasuk di dalamnya soal ibadah.[15]Pada dasarnya, syari�ah merumuskan tentang permasalahan yang menyangkut dengan aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada Tuhannya,. demikian juga mencoba meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini dalam bentuk nilai-nilai aplikatif.
Konsep iman yang dibicarakan dalam perbuatan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltout, yang dimaksud dengan keimanan �Mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya; disebut �Taqwa� karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi SAW; disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
Pada fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[16]Karena itu, masing-masing individu memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia. Dalam pelaksanaan ibadah seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada Al-Qur�an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
c. Akhlak
Dan aklahk adalah yang tertanan dalam jiwa kita yang menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Dalam hadits Rasulullah saw juga disebutkan sebagai berikut:
???? ????: ?? ???? ??? ??? ????? ??? ???? ??? ??? ???? ???? ??? ???? ??? ???????? ??????? ? ??? ??????? ??? ????? ??????? ???? ?? ???? ??? ????.
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Berkata Rasulullah saw bahwa: Allah telah memilih agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan akhlak dan sikap dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali adalah akhlak dan sikap kedermawanan.[17] (H.R. Muslim)
Berdasarkan keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan salah satu landasan utama ditegakkan agama Islam. Hal ini dibuktikan dari tujuan diutusnya Rasulullah saw untuk memperbaiki akhlak manusia. Oleh karena itu, bagi orang yang belum mengamalkan akhlak mulia belum dapat dikatakan Islamnya telah sempurna. Akan tetapi sebaliknya, orang yang telah mengamalkan akhlak mulia, maka orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai umat Islam sejati.
Apabila dikaitkan hadits tersebut dengan pendidikan akhlak sangat erat hubungannya. Sebab hadits tersebut mengajarkan manusia untuk menghormati agama dengan akhlak dan sikap dermawan. Sementara itu, sikap kedermawanan merupakan salah satu implementasi dari pendidikan akhlak, karena sikap dermawan adalah bagian dari akhlak yang terpuji.
Berbicara pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sangat sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke mertabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat berbahaya dari binatang buas.
Di dalam surat at-Tin ayat 4-6 mengajarkan bahwa:
??? ????? ??????? ?? ???? ?????? ?? ????? ???? ??????? ??? ????? ????? ?????? ???????? ???? ??? ??? ?????.
Artinya: �Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, amal bagi mereka pahala yang tidak putus-putus (Q. S. at-Tin: 4-6)
Keterangan ayat di atas menggambarkan bahwa manusia dapat saja rendah derajatnya melebihi binatang apabila tidak berakhlak. Akhlak merupakan salah satu jalan manifestasi dari keimanan, serta usaha untuk mengaplikasi iman dan Islam secara langsung
Imam al-Ghazali menjelaskan akhlak adalah:
????? ????? ?? ???? ?? ????? ????? ???? ???? ??????? ?????? ???? ?? ??? ???? ??? ??? ?????.
Artinya: Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran.[18]
Dari kutipan di atas, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatannya tanpa dilandasi oleh pertimbangan. Artinya setiap perbuatan yang baik tidak diperlukan pertimbangan fikiran, karena perbuatan tersebut memang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia.
Dikatakan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub, bahwa Allah telah menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1. Allah menciptakan malaikat dan kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2. Allah menjadikan hewan tidak lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3. Allah menjadikan manusia lengkap dengan akal dan nafsu.[19]
Oleh karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka hewan melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
Keimanan merupakan akidah dan pokoh, yang di atasnya berdiri syari'ah termasuk di dalamnya ibadah keduanya saling menyambung serta tidak dapat dipisahkan keduanya bagaikan buah dan pohonnya. Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai kolerasi yang kuat dan tidak bisa dipisahkan-pisahkan. Dengan kata lain ibadah merupakan manifentasi dari keimanan, kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseoarang, dapat diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Samapai sejauhmana dia beribadah, disitulah ukuran lahiriah keimanannya seseorang. Hal ini merupakan titik berangkat yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam golongan mukmin atau non-muslim, tanpa pembuktian itu sama sekali tidak masuk akal, akan tetapi tidak lain adalah amal ibadah dalam situasi dan kondisi yang bagaimana adanya.
Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amalia ibadah bisa kita lihat dari pentingnya niat ibadah, semua amaliah manusia bisa bernilai ibadah atau tidak menjadi apa sama sekali, tergantung pada motif dan niat seseorang yang menjalankannya.[20]Jadi adanya hubungan timbal balik antara keimanan dan ibadah, artinya jika iman seseorang tebal maka akan melahirkan intebsitas iabadah yang banyak maupun yang kulitas ibadah yang baik pula. Sebaiknya jika seseorang rajin melaksanakan ibadah disertai niat tulus ikhlas karena Allah niscaya akan mempertebakan kemanannya seseorang terhadap penciptanya yaitu Allah SWT.
Dan hubungan amal ibadah dengan akhlak adalah sangat erat, misal seseorang yang melakukan shalat dengan baik, benar, khusyu', khudu', memenuhi syarat dan rukunnya, pastilah perbuatan kesehariannya akan mencerminkan akhlak yang mulia, shalat yang dilakukan mampu membentingi terhadap dirinya dari perbuatan yang keji dan mungkar, dan akan selamatnya keimanan dimana kita berada. Dan begitu juga orang yang melakukan ibdah puasa yang bertujuan finalnya adalah membentuk pribadi muttaqin, niscaya akan melahirkan sikap dan tingkah laku yang terpuji yang mencerminkan sikap takwa kepada Allah.
Kemudia ada juga ibadah yakni zakat juga diyakini sebagai mediator bagi seseorang untuk berakhlak mulia, dengan ekonomi yang baik dan berlebih seseorang dituntut untuk mengeluarkan zakat, sebagai wujud kepudulian terhadap situasi lingkungan sosial masyarakat yang kekurangan sangat membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak terutama sekali bagi orang orang yang mempunyai sedikit kelebihan hartanya. Diantara fungsi zakat selain menyucikan harta benda juga bisa membuat kita lebih hidup bermasyarkat yang memiliki rasa kebersamaan dalam kehidupan di alam ciptaan Allah.
Demikian juga dengan ibadah haji yang dilakukan muslimin juga diharapkan mampu mencerminkan akhlakul karimah bagi yang melaksanakannya.. Cerminan sikap ibadah haji ini juga merupan indikasi bahwa haji yang bersangkutan diterima oleh Allah atau disebut dengan haji mabrul. Allah berfirman sebagai berikut:
�m?�� 7M�t?#u� �M�uZ�i�t/ �P$s)�B zO?�d�t��/�) ( `tBur ��&s#yzy? tb%x. $YY�B#u� 3 �!ur ?n?t� ��$�Z9$# �k�m �M��t7�9$# �`tB t�$s�tG�?$# �m�?s9�) Wx?�6y? 4 `tBur t�x�x. �b�*s� �!$# ;��_x� �`t� t���Jn=�y��9$#
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahi; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Ali Imran: 97)
Jika ibadah haji dilakukan oleh seseorang tidak mencerminkan akhlak mulia dalam praktik keseharian, kita perlu mempertanyakan apakah ibadah yang dilakukan itu sudah sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan sunnah Nabi, apakah ibadahnya sudah memenuhi syarat dan rukunnya, apakah ibadah haji tersebut dilakukan secara ikhlas karena Allah dan bukan karena pamer atau motif-motif tertentu. Jadi jangan serta merta menyalahkan ibadah, misal ibadah itu tidak ada gunanya, karena tidak mempunyai dampak apa-apa dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya orang mengerjakan shalat tetapi dia tetap melakukan kejahatan perbuatan yang sudah jelas dilarang oleh agama misal judi, mabuk, mencuri dan dan sebagainya. Intinya jangan kita menganggap nilai ibadah itu salah tetapi kita harus cermat dan teliti bahwa seharusnya yang dislahlan adalah pelaku ibadah yang tidak mau menghayati dan meresapi nilai-nilai ibadah, akan tetapi pelaku ibadah itu yang tidak mencerminkan akhlakul karimah.
E. Tujuan Pendidikan Ibadah dalam Islam
Tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, mengingat Islam adalah risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam. Tujuan strategis ini, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
? ??? ???? ??????? ? ??? ??? ??? ???????.
Artinya: �Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk menyembah-Ku.� (Adz-Dzariyaat : 56)
Bahkan sebelum turunnya ayat ini keharusan pendidikan merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan meneladani Muhammad sebagai Rasul.[21]
Di samping itu secara rinci Azis Abbas mengemukakan :
Tujuan pendidikan ibadah dalam Islam adalah: pertama, Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan profesionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan pelajar dari segi profesionalisme, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.[22]
Di dalam Al-Qur'an tujuan pendidikan adalah: pertama, mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga, membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekhalifahannya. Kelima,mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lapangan pendidikan Islam identik dengan ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan sekedar proses pengajaran (face to face), tetapi mencakup segala usaha penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik. �Tujuannya adalah agar terwujudnya manusia muslim yang berilmu, beriman dan beramal shaleh. Usaha-usaha tersebut dapat dilaksanakan secara langsung ataupun secara tidak langsung�.[23]
Tujuan ini secara hierarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikal, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[24]
F. Usaha-usaha dalam Meningkatkan Ibadah
Usaha-usaha dalam meningkatkan ibadah adalah tahap perencanaan dan pelaksanaan pengajaran, dengan mengunakan metode dan teknik yang tepat dalam menyampaikan materi ibadah kepada anak didik.perencanaan dibuat untuk memberikan arah yang jelas dalam proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara lebih efektif dan efesien[25].
Demikian pula metode dan teknik mengajar ditujukan agar materi pelajaran dapat dengan mudah diterima oleh murid, disamping untuk memberikan motivasi murid, disamping untuk memberikan motivasi murid agar dapat mencerna dan menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah. Yang menjadi langkah-langkah mengajar ibadah adalah:
1. Perencanaan
Guru harus merencanakan tujuan pengetahuan bahan, pemilihan metode dan alatnya juga bentuk evaluasinya harus yang sesuai dengan kemampuan sianak didik. Perencanaan ini juga meliputi persiapan mental guru, lebih-lebih bagi guru baru misal guru PPL, yang belum atau kurang dalam pengalaman mengajar, ia harus benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin, tidak hanya materi tetapi juga mental supaya apa yang disampaikan guru siswa bisa dipahami dan juga betul-betul belajar, misalnya guru akan mengajarkan materi bacaan takbiratur ikram, maka harus ditentukan tujuannya, misal agar anak mampu menghafal dengan fasif dan lancar bacaan takbiratul ihram.
Metode yang di gukan guru bisa dalam bentuk ceramah, pengulangan. Alat yang dipakai: papan tulis, buku pelajaran, tulisan tempel atau memakai slide, penggunaan alat pembelajaran ini sangat tergantung pada sarana dan prasarana, serta kemampuan guru untuk mengoperasikan alat yang bersangkutan. Dan selanjutnya guru juga harus menentukan evaluasi biasnya dilakukan, misal menyuruh murid satu persatu untuk menghafal bacaan takbiratul ikhram, atau jika waktunya terbatas, bisa secara acak, yakni tidak semua anak disuruh tetapi hanya beberapa saja sebagai sampel keberhasilan proses belajar mengajar.
2. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar
Setelah guru melakukan perencanaan tentang apa yang akan dilakukan di kelas dan tiba saatnya guru harus berakting di depan anak didik dan guru harus siap dengan bahan apa yang akan diajarkan kepada anak didiknya. Guru memulai tahap appersepsi, pretes, presentasi, mengorganisir kelas, memberi contoh, menerangkan dengan jelas-sejelasnya, mengadakan evaluasi dan sebagainya.
Dalam kegiatan belajar mengajar ini guru harus mampu secara dinamis, melibatkan partisipasi semua siswa jangan hanya anak-anak tertentu saja atau dengan membentuk dinamika kelompok murid. Organisasi kelas ini harus jelas dan terkoordinasi untuk menghindarkan adanya kesemrawutan[26]. Untuk materi yang telah dipersiapkan seperti takbiratur ikram, sebelum menerangkan guru bisa bertanya dulu atau pretes kepada murid-muridnya nanti apabila ada murid yang bisa menjawab dan langsung memberkan hadiah yang bisa membuat anak didik itu bersemangat dalam belajar, misalnya memberi tepuk tangan bersama karena sudah diberikan jawaban. Dan apabila ada murid salah juga diberikan hadiah jangan langsung diponis salah peserta didik akan jatuh mentalnya, walaupun salah tetap diberikan hadiah yang sesuai dengan jawban yand dia berikan.
3. Tahap Penilaian atau evaluasi
Penilaian merupakan salah satu proses penting dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar-mengajar. Hakikat penilaian dalam pendidikan adalah proses yang sistematik, mengumpulkan data dan informasi, menganalisis dan selanjutnya menarik kesimpulan tentang tingkat pencapaian hasil dan tingkat efektivitas serta efisiensi suatu program pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan penilaian dapat dilakukan terhadap programnya sendiri, terhadap proses pelaksanaannya dan terhadap pencapaian hasil pelaksanaannya. Penilaian terhadap program pendidikan terutama berkaitan dengan ketepatan dan relevansi program dengan kebutuhan nyata masyarakat. Jenis penilaian juga dapat dibedakan berdasarkan pihak yang melaksanakannya. Dalam pendidikan, apabila penilaian itu dilakukan oleh guru atau sekolah sendiri maka disebut penilaian internal. Sebaliknya apabila penilaian itu dilakukan oleh pihak luar disebut penilaian eksternal.[27]
Mengevaluasi kemampuan siswa merupakan tugas pokok setiap guru di samping mengajar. Penilaian dalam pengajaran sangat penting dilaksakan, karena hasilnya dapat memberikan gambaran tentang kemajuan belajar siswa, selain itu untuk mengetahui prestasi belajar siswa, penilaian juga dipergunakan untuk mengetahui tepat tidaknya metode mengajar yang dipergunakan.
Oleh karena itu untuk mengetahui apakah bahan-bahan pelajaran yang telah di ajarkan dapat dimengerti oleh siswa atau belum, hal ini biasanya akan ditandai dengan adanya perubahan-perubahan tertentu pada diri siswa, untuk itu diperlukan juga pengukuran dan penilaian terhadap hasil penilaian akhir siswa.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka pengukuran dan penilaian bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi tentang perkembangan dan kemajuan belajar siswa setelah beberapa pokok bahasan diajarkan. Selanjutnya penilaian hasil belajar siswa digunakan oleh guru untuk menilai apakah metode mengajar dan penyampaian materi yang digunakan sudah sesuai dengan yang apa diharapkan atau belum. Adapun tujuan penilaian adalah sebagai berikut:
1. Menilai pencapaian tujuan sampai dimanakah telah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
2. Menilai sesuai atau tidaknya alat-alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
3. Menilai metode, sesuaikah dengan tujuan yang akan dicapai dengan bahan pelajaran atau tidak dan juga anak yang akan menerimanya.
4. Meninjau kembali usaha-usaha yang gagal sebelumnya.
5. Menilai atau menyelidiki anak mana yang harus diperhatikan secara khusus.
6. Menyelidiki latar belakang kehidupan anak, sebagai pembantu dalam usaha memberikan bantuan.
7. Menilai sampai dimanakah hasil yang telah diperoleh oleh siswanya.[28]
Dari kutipan diatas menggambarkan betapa banyaknya tujuan dan pentingnya penilaian. Oleh sebab itu guru harus mengetahui kegunaan penilaian dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Suharsimi Arikunto sebagai berikut:
Tujuan penilaian adalah untuk memonitor kemajuan belajar-mengajar langsung dan juga bertujuan untuk memberikan balikan (feedback) yang kontinyu (terus menerus) bagi penyempurnaan program pengajaran, baik yang menyangkut diri siswa maupun guru. Bahkan bagi siswa bertujuan untuk mendorong siswa kearah perbaikan belajar dalam arti bila ada kesalahan cara belajar pada masa lalu perlu diperbaiki (remedial) dan sebaliknya bila cara belajar itu telah betul, perlu ditingkatkan. Bagi guru balikan itu diperlukan sebagai bahan penyempurnaan pengajarannya dan peningkatan cara cara belajar siswa baik secara kelompok maupun individual dalam pengajaran.[29]
Ada beberapa macam bentuk penilaian dalam pendidikan. Hal ini tergantung kepada tujuan pengukuran, sifat bahan pengajaran dan tingkat kematangan siswa.
Dalam pengajaran bidang studi terdapat bermacam-macam bentuk tes untuk mengukur hasil belajar siswa. Jika ditinjau dari segi melaksanakannya dapat digolongkan atas beberapa golongan tes antara lain tes lisan, tes tulisan atau tertulis dan tes perbuatan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Utju Ali Basyah yaitu:
1. Tes dalam bentuk tertulis, yaitu suatu tes untuk menilai tercapai atau tidaknya suatu tujuan yang dilakkan secara tertulis. Misalnya untuk bidang studi IPA dan IPS biasanya digunakan tes tertulis.
2. Tes dalam bentuk lisan, yaitu suatu tes yang dilakukan dengan cara lisan. Misalnya untuk pengajaran bahasa inggris biasanya digunakan tes lisan untuk mengetahui ucapan yang tepat.
3. Tes dalam bentuk perbuatan, yaitu tes untuk menilai tercapai atau tidaknya sesuatu tujuan yang dilakukan dengan cara penertiban tugas misalnya bidang studi kerajinan tangan atau prakarya.[30]
[1]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam Kehidupan Manusia, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 6
[2]M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 21.
[3]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam � hal. 11
[4]Ibid., hal. 17
[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 41.
[6] M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam ... hal. 21
[7]Masykur Djalal, Ulumul Qur�an, (Jakarta : Bulan Bintang, 2000), hal. 119
[8]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.
[9]Azis Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[10] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995). hal. 61.
[11]Abdullah Munir Mulkham, Paradigma Intelektual Musli, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 84
[12]Ibid., hal. 208
[13] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), hal. 144
[14]Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
[15] Ibid., hal. 230.
[16]HAMKA, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, hal. 176
[17]Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dina, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 236
[18]Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hal. 133
[19]Mansur Ali Rajab, Ta�ammulat fi Falsafati Akhlak, (Dar al-Kutub: Mesir, 1991), hal. 246
[20]KH.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 180
[21]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.
[22]Azis Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[23]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.
[24]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 292.
[25] Ibid., hal. 322.
[26]Depdikbud, Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal Landas,(Jakarta: Depdikbud, 1998), hal 49
[27]Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 68
[28]Utju Ali Basyah, Teknik Penilaian dan Pengukuran dalam Pendidikan, (Banda Aceh: FKIP Unsyiah, 1979), hal. 1-2
[29]Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan,(Yogyakarta: Bina Aksara, 1993), hal. 8-9
[30]Ibid., hal. 16