Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Penjelasan Sekitar Metode Dan Kreatifitas Siswa


BAB II
PENJELASAN SEKITAR METODE DAN KREATIFITAS SISWA



A.       Jenis-Jenis Metode Mengajar
Penerapan suatu metode dalam setiap situasi pengajaran haruslah mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai kemungkinan-kemungkinanyang dapat mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode tertentu. Kalau tidak, maka bukan saja akan berakibat proses pengajaran terhambat, akan tetapi akan berakibat lebih jauh, yaitu tidak tercapai tujuan pengajaran sebagaimana yang telah ditetapkannya.Namun demikian dalam proses belajar mengajar aqidah akhlak tidak ditetapkan metode khusus, tetapi metode-metode yang berlaku umum diterapkan dalam pengajaran aqidah akhlak. Adapun metode tersebut adalah:
1.   Metode Hiwar
Hiwar (dialog) ialah �percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada satu tujuan, sehingga kedua pihak dapat bertukar pendapat tentang suatu perkara tertentu�.[1]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami metode hiwar merupakan pengajaran agama Islam yang memfokuskan diri dalam bentuk pertukaran pandangan antara si siswa dengan gurunya atau sebaliknya. Bila dilihat secara seksama, metode ini mempunyai kesamaan dengan metode tersebut adalah metode tanya jawab dan metode diskusi. Adapun kedua metode tersebut adalah:
a.    Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah �suatu teknik mengajar yang dapat membantu kekurangan mengajar yang terdapat pada metode ceramah, ini disebabkan karena guru memperoleh gambaran sejauhmana siswa dapat mengerti dan dapat mengungkapkannya�.[2]
b.    Metode Diskusi
Metode diskusi adalah �cara penyampaian pelajaran, dimana siswa diharapkan masalah yang berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dipecahkan bersama�.[3]
2.   Metode Hiwar
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk lain selain bahasa. Hal ini disebabkan kisah �Qur�ani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang membuat dampak psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi, dan jauh jangkauannya seiring dengan perjalanan zaman�.[4]
Adapun kedua metode tersebut adalah:
a.    Metode Ceramah
Metode ceramah adalah �sebuah bentuk interaksi melalui penerapan dan penuturan secara lisan oleh seorang guru terhadap sekelompok manusia. Guru yang berbicara, mengartikan serta menjelaskan pokok-pokok pelajaran yang telah ditentukan dalam kurikulum�.[5]
b.    Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah �metode mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas sesuatu pengertian atau memperlihatkan bagaimana memperlihatkan sesuatu kepada siswa�.[6]
3.   Metode Amtsal
Di dalam Al-Qur�an banyak sekali ayat-ayat dalam bentuk amtsal (perumpamaan) dalam rangka mendidik umatnya.[7]Demikian juga dalam proses pelaksanaan pendidikan sangat banyak perumpamaan-perumpamaan yang harus diberikan oleh seorang guru, misalnya seorang guru memberikan contoh secara langsung kepada siswa agar siswa dapat memahami apa yang dijelaskan oleh guru.
Adapun metode yang sama dengan metode ini adalah metode pemecahan masalah dan metode proyek yaitu:
a.    Metode Pemecahan Masalah
Problem Solving adalah �suatu cara menyajikan bahan pelajaran dimana siswa diharapkan dengan kondisi masalah, dari masalah yang sederhana, menuju ke masalah yang muskil�.[8]
b.    Metode Proyek
Metode proyek adalah �cara mengajar dengan jalan memberikan kegiatan belajar kepada siswa untuk memilih, merancang dan memimpin fikiran serta perkataannya, anak-anak dilatih agar berencana di dalam tugas-tugasnya�.[9]
4.   Meotde �Ibrah dan Mau�izah
�Ibrah adalah suatu metode yang digunakan untuk melakukan pertimbangan dari kejadian-kejadian yang ada dalam Al-Qur�an. Sedangkan mau�izah adalah �metode yang penekanannya kepada memperkuat ingatan terhadap kejadian-kejadian yang telah lalu, khususnya mengenai kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur�an�.[10]
Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan memaparkan metode-metode pengajaran tersebut sebagai berikut:
a.    Metode Driil
Metode driil adalah �melakukan kegiatan tertentu berulang kali sebagai latihan, baik yang menyangkut gerak gerik perbuatan kecakapan tertentu dan juga terpakai untuk kegiatan-kegiatan intelek atau ingatan, seperti menghafal berkali-kali secara mekanis dan lain-lain sebagainya. Dalam metode ini aktifitas yang menonjol berada dipihak siswa�.[11]
b.    Metode Resitasi
Metode resitasi adalah �suatu cara dalam proses belajar-mengajar manakala guru memberikan tugas tertentu dan siswa mengerjakannya, kemudian tugas tersebut dipertanggungjawabkan�.[12]

c.     Metode Eksperimen
Titik berat dari pada percobaan adalah �melakukan percobaan-percobaan oleh siswa sendiri setelah dalil-dalilnya diketahui dan difahami dengan maksud untuk lebih jelas dan kongkrit tentang teori-teori yang diketahuinya. Bisaanya metode ini memerlukan alat-alat tertentu bahkan, laboratorium disebut juga laboratorium method�.[13]
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka menurut pengamatan penulis, metode pengajaran agama yang paling sering dan sangat dominan digunakan adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, dan resitasi. Sebab kelima metode tersebut mempunyai relevansi dengan pengajaran mata pelajaran agama. Tanpa adanya kombinasi kelima metode tersebut, maka pengajaran agama tidak akan berhasil seperti yang diharapkan.

B.       Pendekatan dalam Metode Mengajar
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa untuk mencapai mencapai keberhasilan dalam mengajar, maka di gunakan metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan. Namun demikian metode-metode tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai macam pendekatan, yang tidak boleh tidak harus diperhatikan dalam kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, untuk mendukung suksesnya program pendidikan, maka perlu diperhatikan beberapa pendekatan, antara lain:
a.    Pendekatan emosional, yaitu pendekatan untuk menggugah emosi siswa dalam memahami dan meyakin aqidah Islam serta memberi motivasi agar siswa ikhlash mengamalkan ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan akhlaqul karimah.
Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan sosial, dan perasaan harga diri. Dalam hal ini Chadijah Hasan mengemukakan bahwa �merasa adalah aktualisasi kerja dari hati sebagai materi dalam struktur tubuh manusia, dan merasa sebagai aktifitas kejiwaan ini adalah suatu pernyataan jiwa yang bersifat subjektif.�[14]Oleh karena itu, Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono menjelaskan bahwa �fungsi jiwa untuk dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang dan tidak senang, mempunyai sifat-sifat senang dan sedih, kuat dan lemah, lama dan sebentar, relatif dan tidak berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa�.[15]
Emosi atau perasaan adalah sesuatu yang peka. Emosi akan memberi tanggapan (respon) bila ada rangsangan (stimulus) dari luar diri seseorang. Baik rangsangan verbal maupun rangsangan non verbal, mempengaruhi kadar emosi seseorang. Rangsangan verbal ini misalnya ceramah, cerita, sindiran, pujian, ejekan, berita, dialog, anjuran, perintah dan sebagainya. Sedangkan rangsangan non verbal dalam bentuk prilaku berupa sikap dan perbuatan.
b.    Pendekatan rasional, yaitu usaha memberikan peranan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran Islam.
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang sempurna diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan oleh Tuhan. Perbedaannya terletak pada akal. Manusia mempunyai akal, sedangkan makhluk lain seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal. Jadi, hanya manusialah yang dapat berfikir, sedangkan makhluk lain tidak mampu berfikir.[16]
Dengan kemampuan akalnya manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran atau perbuatan. Dengan akal pula manusia dapat membuktikan dan membenarkan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini. Walaupun disadari keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu persoalan, tetapi diyakini pula dengan akal dapat dicapai ketinggian ilmu pengetahuan dan penghasilan teknologi moderen. Oleh karena itulah manusia dikatakan sebagai homo sapien, semacam makhluk yang kecenderungan berfikir.
Di sekolah siswa dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Perkembangan berfikir anak dibimbing ke arah yang lebih baik, sesuai dengan tingkat usia anak. Perkembangan berfikir anak mulai dari yang abstrak sampai yang kongkrit. Maka pembuktian sesuatu kebenaran, dalil, prinsip, atau hukum menghendaki dari hal-hal yang sangat sederhana menuju ke kompleks. Pembuktian tentang sesuatu yang berhubungan dengan masalah keagamaan harus sesuai dengan tingkat berfikir anak. Kesalahan pembuktian akan berakibat fatal bagi perkembangan jiwa anak. Usaha yang terpenting bagi guru adalah bagaimana memberikan peranan kepada akal (rasio) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, termasuk mencoba memahami hikmah dan fungsi ajaran agama.[17]
Karena keampuhan akal (rasio) itulah akhirnya dijadikan pendekatan yang disebut pendekatan rasional guna kepentingan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Untuk mendukung pemakaian pendekatan ini, maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, latihan, kerja kelompok dan pemberian tugas.
c.     Pendekatan fungsional, yaitu usaha untuk menyajikan ajaran Islam dengan menekankan pada segi kemanfaatannya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh anak di sekolah bukanlah hanya sekedar mengisi otak, tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Anak dapat memaafkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu pengetahuan dapat membentuk kepribadian anak. Anak dapat merasakan manfaat dari ilmu yang didapatnya di sekolah. Anak mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu untuk kepentingan hidupnya. Dengan begitu, maka nilai ilmu sudah fungsional dalam diri anak.[18]
Pelajaran agama yang diberikan di kelas bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisian kekosongan intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang demikian itulah yang pada akhirnya hendak dicapai oleh tujuan pendidikan agama di sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan. Karena itu, kurikulum pun disusun sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat.
Pendekatan fungsional yang diterapkan di sekolah diharapkan dapat menjembatani harapan tersebut. Untuk memperlicin jalan ke arah itu, tentu saja diperlukan penggunaan metode mengajar. Dalam hal ini ada beberapa metode mengajar yang perlu dipertimbangkan, antara lain adalah metode latihan, pemberian tugas, ceramah, Tanya jawab, dan demonstrasi.  
d.    Pendekatan keteladanan, yaitu menyuguhkan keteladan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, prilaku pendidik, dan tenaga kependidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung mekakui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Pendidikan dengan menggunakan pendekatan keteladanan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan menggunakan pendekatan keteladanan merupakan metode yang paling berhasil guna. Hal itu karena, orang dalam belajar, pada umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit ketimbang yang abstrak. Dalam hal ini Abdullah Ulwan menggambarkan bahwa �pendidikan barang kali akan mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya�.[19]Dalam Al-Qur�an terdapat banyak ayat yang menunjukkan kepentingan keteladanan dalam pendidikan.
Sebagaimana termaktub dalam suratal-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
??? ??? ??? ?? ???? ???? ???? ???? ??? ??? ???? ???? ?????? ????? ???? ???? ????? (???????: ??)
Artinya: Sesungguhnya ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q. S. al-Ahzab: 21)
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru boleh memilih salah satu metode atau menggabungkan beberapa metode mengajar yang ada. Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa metode yang dipilih tersebut sesuai dengan tujuan pelajaran, materi pelajaran, sarana yang ada, serta waktu yang tersedia. 
C.       Urgensinya Metode Mengajar
Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi siswa. Dengan seperangkat teori dan pengalamannya digunakan guru untuk mempersiapkan program pengajaran dengan baik dan sistematis.
Salah satu usaha yang tidak pernah ditinggalkan guru adalah bagaimana memahami urgensitas metode dalam penyelenggaraan pengajaran. Oleh karena itu, metode dalam mengajar merupakan sarana terpenting, karena metode termasuk alat dalam melaksanakan pendidikan. Adapun kepentingan menggunakan metode dalam setiap belajar mengajar dikarenakan metode berfungsi sebagai berikut:
1.    Metode Sebagai Alat Motivasi Ekstrinsik
Sebagai salah satu alat motivasi pengajaran, metode menempati peranan yang tidak kalah pentingnya dengan alat lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada satupun kegiatan belajar mengajar yang tidak menggunakan metode pengajaran. Ini berarti guru memahami benar kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik menurut Sudirman AM. adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya, karena adanya perangsang dari luar. Karena itu, metode berfungsi sebagai alat perangsang dari luar yang dapat membangkitkan belajar seseorang.[20]
Dalam penggunaan metode terkadang guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah anak memperngaruhi penggunaan metode. Dalam perumusan tujuan, guru perlu merumuskannya dengan jelas dan dapat diukur. Dengan begitu mudahlah bagi guru menentukan metode yang bagaimana yang dipilih guna menunjang pencapaian tujuan yang telah dirumuskan tersebut.
Dalam mengajar, guru jarang sekali menggunakan satu metode, karena mereka menyadari bahwa semua metode ada kebaikan dan kelemahannya. Penggunaan satu metode lebih cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang membosankan bagi siswa. Jalan pengajaran pun tampak kaku. Siswa terlihat kurang bergairah dalam belajar. Kejenuhan dan kemalasan menyelimuti kegiatan belajar mengajar siswa. Kondisi seperti yang sangat tidak menguntungkan bagi guru dan siswa. Kondisi guru mendapatkan kegagalan dalam penyampaian pesan-pesan keilmuan dan siswa dirugikan. Ini berarti metode tidak difungsikan oleh guru sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.
Akhirnya, dapat difahami bahwa penggunaan metode yang tepat dan bervariasi akan dapat dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
2.    Metode Sebagai Strategi Pengajaran
Dalam kegiatan belajar mengajar tidak semua siswa mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama. Daya serap siswa terhadap bahan yang diberikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang sedang, dan ada yang lambat. Faktor intelegensi mempengaruhi daya serap siswa terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Cepat lambatnya penerimaan siswa terhadap bahan pelajaran yang diberikan menghendaki pemberian waktu yang bervariasi, sehingga penguasaan penuh dapat tercapai.
Terhadap perbedaan daya serap siswa sebagaimana telah disebutkan di atas, memerlukan strategi pengajaran yang tepat. Metodelah salah satu jawabannya. Untuk sekelompok siswa boleh jadi mereka mudah menyerap bahan pelajaran bila gurunya menggunakan metode Tanya jawab, tetapi untuk sekelompok siswa yang lain mereka lebih mudah menyerap bahan pelajaran bila guru menggunakan metode demonstrasi atau metode eksperimen.
Karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar, menurut Roetiyah N. K. guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu adalah harus menguasai teknik-teknik penyajian atau biasanya disebut metode mengajar.[21]Dengan demikian, metode mengajar adalah salah satu strategi pengajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
3.    Metode Sebagai Alat untuk Mencapai Tujuan.
Tujuan adalah suatu cita-cita yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Tujuan adalah pedoman yang akan memberi arah ke mana kegiatan belajar mengajar dibawa. Guru tidak bisa membawa kegiatan belajar mengajar menurut sekehendak hatinya dan mengabaikan tujuan yang telah dirumuskan. Itu sama artinya dengan perbuatan yang sia-sia. Kegiatan belajar mengajar yang tidak mempunyai tujuan sama halnya ke pasar tanpa tujuan, sehingga sukar untuk menyeleksi mana kegiatan yang harus dilakukan dan mana yang harus diabaikan dalam upaya untuk mencapai keinginan yang dicita-citakan.
Tujuan dari kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai selama metode tidak diperlukan. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mencapai tujuan pengajaran. Metode adalah pelicin jalan pengajaran menuju tujuan. Ketika tujuan dirumuskan agar siswa memiliki ketrampilan tertentu, metode harus menunjang pencapaian tujuan pengajaran. Bila tidak, maka akan sia-sialah perumusan tujuan tersebut. Apalah artinya, kegiatan belajar mengajar yang dilakukan tanpa mengindahkan tujuan.[22]
Jadi, guru sebaiknya menggunakan metode yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan pengajaran.

D.       Pentingnya Kreatifitas Siswa Dikembangkan
Mengembangkan kreatifitas siswa merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Tugas ini harus diemban guru agar siswa dapat meningkatkan kualitas belajar, sehingga pada suatu saat siswa tersebut akan mampu belajar sendiri tanpa harus diawasi oleh seorang guru. Untuk itulah, maka kreatifitas siswa sangat perlu untuk dikembangkan.
Karena itu, guru sebagai orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang dapat memudahkan dalam melaksanakan peranannya membimbing siswa. Ia harus menilai diri tanpa harus berlebih-lebihan, sanggup berkomunikasi dan bekerja bersama orang lain. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa hal mana ia memiliki kemampuan dalam mengembangkan kreatiftas siswa, sehingga suasana belajar di kelas menjadi lebih hidup.
Yang dimaksud dengan dengan suasana kelas adalah hubungan interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Di dalam kelas sering kita jumpai hubungan sosial yang bersifat otokratis dan demokratis. Pada suasana otokratis memang guru memegang peranan dan tanggung jawab dan inisitif. Siswa cenderung menjadi pasif, penurut, bekerja sendiri-sendiri yang memungkinkan persaingan tidak sehat. Pada suasana demokratis pembagian tugas dan tanggung jawab antara guru dan siswa. Siswa mempunyai kecenderungan bekerja sama, penuh inisiatif, tidak hanya menerima pelajaran tetapi juga mengemukakan pendapat-pendapatnya.[23]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengembangkan kreatifitas siswa memang sangat diperlukan guna menghidupkan suasana kelas dan siswa pun dapat mempelajari materi pelajaran secara bersama-sama dan juga akan mampu mengeluarkan pendapat di dalam kelasnya.
Meningkatkan kreatifitas siswa tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memberikan motivasi belajar kepada siswa. Motivasi adalah upaya yang medorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Atau dapat diartikan juga sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan adanya tujuan.[24]
Dari keterangan di atas, dapat difahami bahwa mengembangkan kreatifitas siswa dilakukan agar siswa terdorong untuk belajar secara teratur, sehingga pada suatu saat siswa akan mampu belajar secara mandiri. Karena itulah, pengembangan kreatifitas siswa perlu ditingkatkan agar siswa dapat menggali ilmu pengetahuan tanpa harus meminta bantuan dari pihak lain (guru).

E.        Cara Mengembangkan Kreatifitas Siswa
Mengembangkan kreatifitas siswa merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang mesti dilakukan jika terdapat siswa yang malas dalam belajar. Namun dalam melakukan usaha mengembangkan kreatifitas siswa[25], maka guru memerlukan beberapa cara, antara lain:
1.     Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian yang harus diingat  oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna.

2.     Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut.
3.     Saingan/Kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
4.     Ego � Involvoment
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu motivasi yang cukup penting.
5.     Materi Ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar jika mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan merupakan sarana motivasi, tetapi memberikan ulangan jangan terlalu sering, karena siswa bisa bosan dan bersifat rutinitas.
6.     Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka motivasi pada diri siswa untuk terus belajar dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
7.     Pujian
Pujian merupakan benyuk motivasi yang positif sekaligus umpan balik yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
8.     Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif kalau diberikan secara tepat dan bijak dan bisa menjadi alat motivasi. Tetapi guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.
9.     Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
10.Minat
Motivasi sangat erat hubungannya dengan unsur minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan proses belajar mengajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Minat antara lain dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a)          Membangkitkan adanya suatu kebutuhan.
b)          Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau.
c)          Memberikan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik.
d)          Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
11.Tujuan yang Diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Bermacam-macam motivasi itu dapat dikembangkan dan diarahkan guna untuk dapat melahirkan hasil belajar yang bermakna. Pada mulanya, karena bentuk motivasi siswa rajin belajar, tetapi guru harus mampu melanjutkan dari tahap rajin belajar guru bisa mengarahkan ke kegiatan belajar yang bermakna.

F.        Peran Metode Diskusi dalam Mengembangkan Kreatifitas Siswa
Metode diskusi merupakan suatu metode pengajaran yang mana guru memberi suatu persoalan (masalah) kepada siswa, dan para siswa diberi kesempatan secara bersama-sama untuk memecahkan masalah itu dengan teman-temannya.[26]
Diskusi juga termasuk salah satu metode mengajar yang dapat mengembangkan kreatifitas siswa, karena dalam metode ini siswa diharuskan mengembankan wawasan berfikir secara lebih luas. Pada dasarnya diskusi adalah satu tekni belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah. Di dalam diskusi ini proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja.[27]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa dengan menerapkan metode diskusi, maka siswa dengan sendirinya akan merasa terpanggil untuk mencari solusi yang dihadapkan kepadanya, sehingga guru hanya bertugas untuk memberikan arahan saja. Dalam penggunaan metode ini, guru juga turut aktif menyampaikan materi pelajaran yang tidak sanggup dipecahkan oleh siswa. Karena itu, dengan metode antara siswa dan guru sama-sama dibutuhkan keaktifan bersama.
Dengan melaksanakan metode diskusi, maka diharapkan suasana kelas akan semakin hidup, setiap anak diharapkan dapat berparstisipasi secara aktif. Mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, mempertahankan pendapat, menyangkal pendapat orang lain, mengajukan usul-usul dan mengajukan saran-saran dalam rangka memecahkan masalah yang ditinjau dari berbagai segi.[28]
Dari keterangan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa menggunakan metode diskusi memang akan meningkatkan kreatifitas siswa, karena dalam metode ini siswa berparstisipasi aktif untuk menyelesaikan masalah yang diajukan guru secara bersama. Oleh karena itu, dalam rangka meningkat kreatifitas siswa, maka guru diharuskan menggunakan metode diskusi, walaupun guru diwajibkan menentukan topik dan arahan yang jelas kepada siswa.


----000----





[1]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet. II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 113
[2]Zakiah Daradjat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 20

[3]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, hal. 99
[4]Ibid., hal. 119

[5]Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Terj. Sori Siregar, )Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 71

[6]Indrakusuma, dkk., Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hal. 236

[7]Ibid., hal. 121
[8]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metode Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), hal. 94

[9]Ibid., hal. 95

[10]Ibid., hal. 124

[11]Sutari Imam Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yokyakarya: Andi Offset, 1993), hal. 89

[12]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hal. 237
[13]Sudjono Trimo, Perkembangan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), hal. 95
[14]Chadijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Surabaya: Al-Ikhlash, 1994), hal. 39

[15]Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 63

[16]Hassan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 35
[17]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, Cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 76-77
[18]Ibid., hal. 76
[19]Abdullah Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Berikut: Dar al-Salam, 1978), hal. 663
[20]Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 90
[21]Roestiyah N. K., Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Cet. III, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal. 1
[22]Sudirman N., Ilmu Pendidikan, Cet. V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 27
[23]Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 267

[24]Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar; Pedoman bagi Guru dan Calon Guru, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 73
[25]Roestiyah N. K., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 45
[26]Soetomo, Dasar-Dasar Interaksi belajar mengajar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), hal. 153

[27]Roestiyah N. K., Strategi Belajar Mengajar, Cet. VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 5

[28]Soetomo, Dasar-Dasar Interaksi belajar mengajar, hal. 154