Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sejarah Perkembangan Teologi Asyariyah


BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY�ARIYAH


A.   Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Nama lengkapnya ialah Abu al-Hasan Ali bin Ismail  bin Ishaq bin Salam bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Musa al-Asy�ari, dilahirkan di Kota Basrah (Iraq) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturunan  Abu Musa al-Asy�ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali ra. dan Muawwiyah ra.[1]Pada masa kecilnya al-Asy�ari berguru pada seorang tokoh Mu�tazilah terkenal, Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari Mu�tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari umurnya digunakan untuk mengarang buku-buku ke-Mu�tazilah-an.[2]
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut faham Mu�tazilah akhirnya meninggalkan ajaran Mu�tazilah. Sebab yang biasa disebut berasal dari al-Subki dan Ibnu �Asakir ialah bahwa suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw mengatakan kepadanya bahwa mazhab ahli haditslah yang benar, dan Mu�tazilah salah.
Akan tetapi, menurut riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa mula-mula ia memeluk faham Mu�tazilah, antara lain, Al-Qur'an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut: �saya tidak lagi mengikuti faham-faham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.[3]
Hal tersebut dikatakan al-Asy�ari setelah mengadakan peninjauan terhadap ajaran-ajaran Mu�tazilah dalam tempo 15 hari, sebab sebelum saat itu, ia banyak mengadakan perdebatan-perdebatan dengan al-Jubbai, gurunya tentang dasar-dasar faham aliran Mu�tazilah dan sering-sering berakhir dengan terlihatnya kelemahan faham Mu�tazilah.
Di antara perdebatan-perdebatan itu ialah mengenai soal al-ashlah keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan.[4]
Al-Asy�ari    : Bagaimana pendapat tuan tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil yang meninggal?
Al-Jubbai    : Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang yang selamat.
Al-Asy�ari    : Kalau anak kecil itu ingin mencapai tingkatan tertinggi, dapatkah ia?
Al-Jubbai    : Tidak dapat, karena akan dikatakan kepadanya: �orang mukmin tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan engkau tidak�.
Al-Asy�ari    : Anak kecil akan menjawab: �itu bukan salah saya, kalau sekiranya Tuhan menghidupkan aku (sampai besar), tentu aku akan mengerjakan ketaatan seperti orang mukmin tersebut?
Al-Jubbai    : Tuhan akan berkata: �Aku lebih tahu tentang engkau, kalau engkau hidup sampai besar tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan menyiksa engkau�. Jadi Aku mengambil yang lebih baik (lebih menguntungkan) bagimu dan Aku matikan engkau sebelum dewasa�.
Al-Asy�ari    : Kalau orang kafir tersebut berkata: �Ya, Yuhan, Engkau yang Mengetahui keadaanku dan keadaan anak kecil tersebut. Mengapa terhadap aku Engkau mengambil tindakan yang lebih baik bagi aku (lebih menguntungkan)?
Kemudian diamlah al-Jubbai dan tidak dapat menjawab lagi. Oleh karena itu, al-Asya�ri meninggalkan aliran Mu�tazilah selain karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut dan soal-soal seperti di atas, juga karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang baik akan keutuhan kaum muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau Al-Qur'an dan Hadits akan menjadi korban faham-faham aliran Mu�tazilah yang menurut pendapatnya tidak dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan kekuatan akal fikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist(al-Hasywiyah) the gross anthropomorphism of some of the traditional, yang hanya memegangi lahir (bunyi) nash-nash agama dengan meninggalkan jiwanya yang hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Melihat keadaan yang demikian, maka al-Asy�ari dan golongan textualist (al-Hasywiyah) dan ternyata jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[5]
Terlepas dari soal sesuai atau tidak uraian Subki di atas dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keragu-raguan dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu�tazilah yang dianutnya selama ini.
Di sini timbul soal apa yang menyebabkan al-Asy'ari syak dalam dirinya yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Mu�tazilah. Berbagai penafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut Ahmad Mahmud Subki syak itu timbul karena al-Asy'ari menganut mazhab Syafi�i. al-Syafi�i mempunyai pendapat teologi yang berbeda dengan Mu�tazilah, umpamanya al-Syafi�i berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan (Allah) dapat dilihat di akhirat nanti.[6]
Apapun interpretasi yang dikemukakan di atas, yang tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap persoalan tersebut. Pendapat-pendapat itu menimbulkan persoalan lain pula; apa yang menyebabkan sesudah puluhan tahun menganut faham Mu�tazilah, akhirnya al-Asy'ari mengingkari mazhab tersebut.
Namun demikian, bagaimana pun al-Asy'ari meninggalkan faham Mu�tazilah seketika golongan ini berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil  membatalkan putusan al-Ma�mun tentang penerimaan aliran Mu�tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu�tazilah mulai menurun. Apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan kepada diri Ahmad bin Hanbal yang termasuk lawan Mu�tazilah terbesar waktu itu.
Sekarang keadaannya menjadi terbalik; Ibn Hanbal dan pengikut-pengikutnya, menjadi golongan yang dekat dengan pemerintah, sedangkan kaum Mu�tazilah menjadi golongan yang jauh dari Dinasti Bani Abbas. Umat Islam yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran Mu�tazilah selama ini mulai terbebas untuk menyerang mereka. Dalam keadaan seperti ini timbul pula perpecahan dalam golongan Mu�tazilah itu sendiri.
Karena kenyataan-kenyataan demikian, maka golongan al-Asy'ariyah menjadi golongan yang semakin berkembang di masa itu, sehingga banyak pengikut-pengikutnya menjadi bertambah. Pada dasarnya pikiran-pikiran al-Asy'ari merupakan jalan tengah di antara golongan-golongan yang berlawanan, atau aliran rasionalitas dan tekstualitas. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga menggunakan dalil-dalil akal dan naqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi Al-Qur'an dan hadits, ia mencari alasan-alasan dari pikiran untuk memperkuatkannya. Jadi ia tidak menganggap akal pikiran sebagai hakim atas nas-nas agama untuk menakwilkan dan melampaui ketentuan dari arti lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguat arti lahirnya nas tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai ahli filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya.
Meskipun demikian, Imam al-Asy'ari tetap menyatakan kesetiaannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal atau aliran Ahlussunnah Waljama�ah, suatu aliran yang menentang aliran Mu�tazilah sebelum al-Asy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama-ulama salaf, yaitu sahabat-sahabat dan tabi� tabi�in, terutama ulama yang menghadapi ayat-ayat mutasyabbihat, di mana mereka tidak memerlukan penakwilan, pengurangan atau melebihkan dari arti lahirnya.
Akan tetapi al-Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri, mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat, karena pada akhirnya, aliran al-Asy'ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran murni, mendahulukannya sebelum nas dan memberinya tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nas-nas itu sendiri.
Jadi aliran al-Asy'ariyah pada akhir perkembangannya mendekati aliran Mu�tazilah, karena kedua aliran tersebut memegang prinsip yang mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan atas unsur-unsur naqli (tradisional) tidak memberikan keyakinan kepada kita. Mereka memandang bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai kebenaran mutlak (absolute), kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan amalan-amalan syara� (fiqh), sedangkan masalah aqidah hanya bisa mencapai nilai sekunder. Karena itu hanya dalil-dalil akal pikiran saja yang memungkinkan dicapai keyakinan.[7]

B.   Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran al-Asy�ariyah, ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang kenamaan, yang dapat mengkontruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:

1.    Al-Baqillani
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kotaBasrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu al-Asy'ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah at-Tauhid, yang berarti �pengantar� atau �pendahuluan�. Dalam buku ini antara lain membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki teologi Islam, di antaranya tentang atom-atom, sifat datang dan cara-cara pembuktiannya.
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan aliran Mu�tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Menurutnya, alam ini tidak lain hanyalah kumpulan jauhar(benda tunggal-atom) yaitu bagian yang tidak dapat dibagi-bagikan lagi. Akan tetapi jauhar tersebut baru ada, setelah dibubuhi dengan aradh. Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari gabungan jauhar.
Jauharadalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak wujud, seperti halnya dengan aradh yang menempel padanya dan demikian pula dengan jisimyang terdiri dari jauhar-jauhar itu. Kesemuanya ini diciptakan Tuhan dan penciptaan ini terus xmenerus adanya, karena jauhar-fard dan jisimtidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu. Kalau Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada ini akan musnah.
Menurut al-Baqillani, tiap-tiap aradhmempunyai lawan aradh pula. Misalnya hidup lawannya mati, baik lawannya buruk, panas lawannya dingin dan seterusnya. Dua aradh yang berbeda tidak mungkin berkumpul pada sesuatu benda dari satu segi dan pada satu waktu (bersamaan waktu), meskipun bisa terjadi pergantian aradh yang berlawanan tersebut pada sesuatu benda.
Akibat penting dari pendapat al-Baqillani ialah bahwa alam ini tidak ada hukum keharusan (hukum alam) yang pasti. Pendapat ini berlainan dengan pendapat kaum Mu�tazilah-, karena penggabuangan atom-atom dan pergantian aradh tidak terjadi dengan sendirinya, bukan pula karena tabi�atnya, tetapi karena kehendak Tuhan semata. Kalau Tuhan menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya menguasai jalan alam, tentu bisa berubah dengan cara menggantikan apa yang biasanya ada dan meletakkan aradh yang baru sebagai ganti aradh yang telah ada.
Di sinilah terjadi mu�jizat, sebab mu�jizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan. Luar biasa kharqul yang ada hanyalah pergantian fenomena, yang boleh jadi tetap macamnya dan boleh juga berubah, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pengingkaran hukum kausalitas ini kemudian menjadi dasar utama aliran al-Asy�ariyah, sehingga aliran ini tidak segan-segan untuk mengeluarkan tuduhan telah menjadi kafir orang yang menetapkan hukum kausalitas dan menghubungkan daya kerja kepada sebab-sebab lahiriyah.[8]
2.    al-Juwaini
Nama lengkapnya Abdul Mu�ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran) kemudian setelah besar pergi ke kota Mu�askar, dan akhirnya tinggal di kota Baghdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi Islam. Ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy�ariyah dalam menjunjung tinggi kekuasaan alam fikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli hadits kepadanya. Akhirnya terpaksa ia meninggalkan Baghdad, menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekah dan kemudian di Madinah untuk memberikan pelajaran di sana.
Dalam bukunya al-Irsyad, yang berisi pokok-pokok kepercayaan ia menandaskan bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan akal fikiran yang bisa membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini adalah baharu, dan kalau baharu tentunya ada yang menjadikannya.
Al-Juwaini mengemukakan alasan-alasan wajib penyelidikan tersebut. Akan tetapi menyerang aliran Mu�tazilah yang menyatakan bahwa penyelidikan itu adalah suatu kewajiban akal. Baginya, kewajiban tersebut sudah disepakati oleh umat seluruhnya, dan apa yang diwajibkan oleh umat, hukumannya sama dengan apa yang datang dari syara� sendiri. Dengan perkataan lain kewajiban tersebut adalah kewajiban syara�.[9]
Dalam kitabnya tersebut, al-Juwaini juga membagi-bagi sifat Tuhan kepada sifat Nafsiah dan sifat Ma�nawiah. Sifat Nafsiah ialah sifat Itsbat (positif) bagi Zat yang selalu ada sepanjang Zat, tanpa dikarenakan sesuatu yang ada pada Zat. Sifat Nafsiah ialah qidam, berdiri sendiri (qiyamuhu binafsih), berbeda dengan makhluk (wahdaniah) dan tidak mempunyai ukuran. Sifat terakhir ini, yaitu tidak mempunyai ukuran, mengharuskan al-Juwaini untuk menakwilkan ayat-ayat yang mengesankan kejisiman Tuhan dan adanya tempat bagi Tuhan.
Wujud Tuhan menurutnya, bukan sifat, melainkan merupakan Zat Tuhan itu sendiri. Sifat Ma�nawiah ialah yang timbul karena sesuatu �ilat yang ada pada zat, seperti sifat �berkuasa�.[10]Walaupun demikian, sifat Tuhan tidak dapat diketahui seperti sifat-sifat makhluk yang diketahui dan disaksikan. Akan tetapi dengan melalui apa yang berlaku pada alam yang disaksikan, maka dapat dicapai sifat-sifat Tuhan tersebut.
3.    Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam�, lahir tahun 450 H di Thus di Churasan Iran. Perkataan al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali diambil dari perkataan Ghazzali yang artinya tukang pemintal benang. Sedangkan Ghazali diambil dari nama kampong kelahirannya, dan yang terakhir inilah yang paling terkenal.[11]
Beberapa pemikiran teologi al-Ghazali telah dikembangkan. Bahkan beliau sempat membantah beberapa pemikiran filosof dalam tiga hal seperti Kekadiman alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil dan masalah kebangkitan jasmani.[12]
Pengaruh  al-Ghazali di kalangan kaum muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi Islam-Ghazali.
Menurut Dr. Ahmad Zaki Mubarak dalam bukunya al-Akhlaq �Indal Ghazali, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan fikiran al-Ghazali, mulai dari murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru, bahkan menjadi guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat, menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasannya dan buku-bukunya.[13]
Sulaiman Dunia mempunyai tafsiran lain pula. Ia mengatakan bahwa semua buku-buku al-Ghazali masih dipegangi sampai akhir hayatnya. Tetapi haruslah diingat bahwa, ada buku-buku yang ditujukan kepada orang biasa (awam) ada ada pula yang khusus ditujukan kepada orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu isinya tidak akan sama.[14]
Walaupun al-Ghazali dikatakan orang yang berfikir bebas tanpa mengikuti sesuatu aliran tertentu, karena pembahasannya yang mendalam dan pandangan-pandangannya yang kritis yang telah menandai pembahasan-pembahasannya, namun ia lebih condong kepada aliran al-Asy'ariyah, sebagaimana yang dapat dilihat dalam kedua bukunya, yang ditulis pada tahun-tahun terakhir dari hidupnya. Meskipun demikian, aliran ini tidak menjadi halangan baginya untuk mengikutsertakan aliran-aliran lain dalam menghadapi golongan filosof.
Bagaimana pun kerasnya serangan yang dilancarkan, namun serangan itu tidak mencerminkan pendiriannya yang terakhir sebagai seorang al-Asy'ariyah, sebab dalam buku-bukunya yang lain bisa dilihat sikapnya yang moderat terhadap ilmu tersebut. Dalam ar-Risalah al-Laduniah ia mengatakan bahwa: �Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia, paling penting dan paling sempurna. Ilmu ini wajib dicari oleh setiap orang yang berakal, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi, mencari ilmu menjadi kewajiban setiap muslim�.[15]
Dalam Qawaidul Aqaid al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu teologi Islam tidak bisa dipuji seluruhnya atau dicela seluruhnya, melainkan ada yang perlu dipuji dan ada pula yang perlu dicela. Kalau diajarkan untuk orang awam, seperti fiqh, hadits, dan tafsir, tidak akan tercapai maksudnya, bahkan bisa mengacaukan pikiran serta memalingkan mereka dari aqidah yang benar.
Akan tetapi selama masih ada orang-orang yang tidak percaya kepada apa yang diriwayatkan atau diturunkan oleh Tuhan dan tidak puas kalau dijawab dengan kata-kata: �Tuhan berkata begini� atau �Rasulullah mengatakan begitu�, maka menurut al-Ghazali harus ada negeri, untuk menangkis serangan-serangan kaum bid�ah negeri itu dan hal ini baru tercapai dengan mengajarkan ilmu ini. Akan tetapi orang yang mengajarkan ilmu itu, menurut al-Ghazali, harus mempunyai tiga syarat, yaitu:
1.     Mengabdikan diri kepada ilmu itu.
2.     Cerdas dan lancar bicaranya, dan
3.     Berkelakuan baik, ta�at beragama serta menjalankan taqwa.[16]
4.    al-Iji
Nama lengkapnya �Alauddin al-Iji, pengarang buku ketauhidan dan filsafat, penduduk kota Ij, sebuah benteng di Iran. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah jabatan hakim dan guru di kota Syiraz dan wafat pada tahun 1355 H/756 H.
Karya-karyanya yang terkenal ialah:
a.    Al-�Aqaidus-�Adhudijah, dalam ilmu kalam yang banyak mendapat ulasan dari ulama-ulama yang datang sesudahnya.
b.    Al-Muwaqif, adalah kitab ilmu kalam dan di antara ulasan-ulasannya yang terkenal ialah ulasan dari al-Jurjani.[17]
Kitab al-Muwaqif adalah ilmu kalam terbesar yang memuat juga beberapa persoalan filsafat. Kitab tersebut terdiri dari pendahuluan, enam bagian yang dinamakannya muwaqif dan pasal penutup. Tiap-tiap muwaqif dibagi dalam beberapa marshad dan tiap-tiap marshad dibagi dalam beberapa maqsid.

C.   Pengaruh Teologi Asy�ariyah Terhadap Dunia Islam
Sebagai upaya gemilang yang telah dilakukan oleh al-Asy'ari dalam mengeksplorasikan pemikiran teologi ke atas panggung yang sebenarnya, menurutnya manusia sebagai makhluk obyektif selalu berfikir ke arah pembaharuan, dan mengkaji perhatiannya terhadap perkembangan pemikiran Islam yang dapat difahami oleh segenap lapisan masyarakat.
Implikasi dari keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan daya fikir telah dinyatakan perang terhadap orang-orang yang enggan berfikir terhadap teologi.
Akibat dari adanya teori kalam tersebut, keadaan Islam dewasa ini menjadi terhalang berbagai hal yang tidak menggembirakan, salah satunya adalah terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam itu sendiri. Perbedaan pendapat terjadi dikarenakan ketidaksamaan pandangan dalam menterjemahkan konsep teologi Islam. Seharusnya, hal tersebut tidak perlu terjadi, karena Islam merupakan agama yang sangat toleran terhadap perbedaan pendapat.
Secara umum teologi mempunyai pengertian suatu pemikiran yang dikehendaki untuk menuju kepada pemikiran tentang Tuhan. Dihubungkan dengan ilmu kalam, teologi dapat diartikan sebagai pola-pola fikir umum dari kegiatan untuk menetralisasi aqidah umat Islam secara keseluruhan walaupun pada akhirnya terjadi ketimpangan-ketimpangan yang tidak dapat dielakkan.[18]
Al-Asy�ari merupakan salah seorang tokoh teologi Islam yang membangun khazanah pemikiran Islam. Oleh karena itu, Dia mengembangkan aliran Ahlussunnah waljama�ah secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, usaha tersebut mengalami hambatan dalam mencapai tujuan kebahagiaan tersebut. Namun demikian, teologi al-Asy�ariyah tetap membawa pengaruh yang luar biasa dalam mengembangkan pemikiran teologi umat Islam.
Hal tersebut dikarenakan teologi al-Asy�ariyah adalah sesuai kondisi saat itu. Al-Asy�ari menawarkan pemikirannya tersebut untuk merubah pola fikir para teolog Islam. Oleh karena itu, ia memberikan konsep yang sesuai dengan perkembangan zaman. Perpaduan dari kedua teologi antara teologi Mu�tazilah dan teologi Jabariyah ini lahirlah sebuah pola yang memanfaatkan pemikiran teologi secara rasional, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan.[19]
Sebagai seorang teolog tentunya al-Asy'ari sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi kebahagiaan yang dapat mengantarkan umat Islam ke tujuan. Di sini tentu saja tugasnya memang berat untuk berusaha menciptakan kebahagiaan yang hakiki dan memuaskan bagi umat Islam yang biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang serius bagi tercapainya tujuan teologi al-Asy�ariyah.
Namun demikian teologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masalah-masalah metafisika. Sehingga sulit untuk dijelaskan secara kongkrit, walaupun demikian pengembangannya tetap berjalan. Pengembangan ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi kesalahtafsiran terhadap pengembangan teologi Islam yang sebenarnya.
Sama halnya dengan teologi Mu�tazilah, teologi al-Asy�ariyah pun pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk membahagiakan umat Islam di seluruh permukaan bumi, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong perkembangan iman secara merata. Oleh karena itu, Sayyid Sabiq menerangkan bahwa �pada tahap berikutnya teologi adalah proses memberikan pemahaman kepada umat Islam dalam mencapai taraf kebahagiaan yang abadi�.[20]
Melihat kenyataan tersebut, peranan al-Asy�ariyah dalam meningkatkan keimanan masyarakat Islam sangat besar. Apalagi dalam memberikan pemahaman tentang aqidah Islamiyah secara benar.
Dengan adanya perkembangan teologi al-Asy'ariyah saat ini, maka semua konsep yang ditawarkan tersebut dengan mudah disebarkan ke seluruh dunia Islam, sehingga semua tawarannya dapat diterima dengan baik tanpa adanya bantahan dari ulama-ulama dewasa ini.
Sesuai dengan kedudukannya aliran al-Asy'ariyah sebagai aliran yang terbesar dan masih tetap dipeluk sampai sekarang oleh sebagian kaum muslimin, maka aliran itu dibicarakan agak meluas, mulai dari suasana lahirnya, sebab berdirinya, pendiriannya dan tokoh-tokohnya yang kemudian terutama al-Ghazali, perkembangannya sepeninggal pendirinya, pertalian dengan sebutan Ahlussunah Waljama�ah, dan sebagainya.
Boleh jadi persoalan yang dibahas Ahlussunnah Waljama�ah, karena telah dibahas golongan Mu�tazilah, dan Ahlusunnah ingin memberikan pemecahan masalah tersebut yang dapat mendekati sahabat dan tabi� tabi�in, akan tetapi pemecahan mereka juga bersifat rasionalitas, meskipun dalam bentuk lain yang dipakai oleh aliran Mu�tazilah.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa alirah al-Asy'ariyah berpengaruh terhadap dunia Islam sampai saat ini dikarenakan mengambil jalan tengah dalam memecahkan setiap persoalan yang dihadapi, yaitu dengan cara mengelaborasikan antara wahyu dan akal. Karena mengambil konsep penyelesaian masalah aqidah seperti inilah, maka apa yang dibicarakan oleh faham al-Asy'ariyah dapat dipahami oleh hampir seluruh kaum muslimin, sehingga mereka dapat menerima semua metode yang digunakan al-Asy'ariyah.




[1]Hamiddin Muhammad al-Anshari, Abu Hasan al-Al-Asy'ariyah�ari, Riyadh, Pustaka ath-Thaba�ah at-Tajliyah, 1382 H, hal. 15

[2]A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003, hal. 127
[3]Ibid., hal. 128

[4]Ibid., hal. 129
[5]Hasan Shadily,Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1983, hal. 1023

[6]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 137
[7]A. Hanafi, Op,. cit., hal. 152
[8]Hanna al-Fachuri dan Khalil al-Jarr, Tarkhul; Falasifah al-Arabiah, Beirut: Darul Ma�arif, 1957, hal. 124
[9]Imam Juwaini, Al-Irsyad, Maktabah al-Khanji, 1950, hal. 57
[10]Ibid., hal. 58
[11]Ibid., hal. 38

[12]Imam al-Ghazali, Tahafut Falasifah, Mustafa al-Halabi, 1321 H, hal. 135

[13]A. Hanafi, Op. cit, hal. 144
[14] Ibid, hal. 145

[15]Imam al-Al-Asy�ary, Istihsan al-Kawadhi fi Ilmil Kalam, Beirut: ad-Durusy Syuruq, t.t., hal. 313


[16]Imam al-Ghazali, Qawaidul Aqaid, Mesir: Dar al-Maktabah, t.t., hal. 31

[17]Al-Iji, Al-Muwaqif, Mathba�atul �Ulum, tahun 1357 H, hal. 111
[18]Barbara Word, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, Terj. Mukhtar Lubis, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hal. 102.

[19]Ibid., hal. 65.
[20]Sayid Sabiq, Aqidah dan Syari�ah, Terj. KH. Ali Yafie, Bandung: al-Ma�arif, t.t., hal. 112