Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Sistem Pengelolaan Zakat Menurut Qanun No. 7 Tahun 2004


BAB SATU
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu ibadah maliyah ijtimaiyah yang berkaitan dengan ekonomi, keuangan dan kemasyarakatan. Menegakkan sistem zakat merupakan salah satu kewajiban pemerintah karena pemerintahan mempunyai tanggung jawab untuk memelihara semua fakir miskin dan orang-orang yang berlatar belakang hidup melarat, sebagaimana tercantum dalam Perda No. 7 Tahun 2004, Pasal 25 ayat 1-4 dimana gubernur bertanggung jawab atas terselenggarannya pengelolaan zakat dengan baik dan tertib di wilayah NAD.
Salah satu fungsi zakat adalah untuk membantu pengentasan kemiskinan dan menjadikan sebagai kekuatan yang bersifat ekonomi umat Islam. Mengumpulkan zakat sebagai kekuatan yang bersifat aktual bukan saja berasosiasi dengan pahala di akhirat tetapi juga diasosiasikan dengan umat di muka bumi ini. Pada dasarnya pemerintahan daerah telah membentuk suatu badan untuk mengelola zakat, sekaligus mempunyai aparat yang lengkap, sarana dan prasarana yang memadai serta mempunyai kekuatan menegur dan memaksa bagi wajib zakat yang enggan membayar zakatnya.[1]
Dalam hal ini juga terdapat dalam Pasal 22 ayat 1 Badan Baitul Mal dalam melakukan tugas pengelolaan zakat berwenang menegur atau memperingatkan para simuzakki yang belum, lalai atau tidak menunaikan zakat setelah jatuh tempo (haul).
Zakat bukanlah masalah atau urusan pribadi yang berarti pengelolaannya bukan diserahkan kepada pribadi masing-masing jika memang zakat sebagai urusan pribadi maka tentu berlawanan dengan konsep pengelolaan zakat dalam Islam yang telah berlaku sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian pemerintah harus membuat suatu usaha penyuluhan di mana masyarakat yang telah sampai nisab (haul) hartanya wajib dikeluarkan zakat dan menyalurkan zakatnya kepada Baitul Mal. Dalam hal ini dibutuhkan peran serta untuk menciptakan budaya sadar zakat dilingkungannya masing-masing.[2]
Upaya mewujudkan fungsi dan tujuan zakat sekaligus merealisasikan konsep pengelolaan zakat dengan baik dan terkoordinir di kalangan umat Islam Indonesia, pemerintah membuat ketentuan pelaksanaan zakat yaitu dikeluarnya Undang-undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang sistem pengelolaan zakat. Sistem pengelolaan zakat lebih rinci dituangkan dalam Perda No. 7 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 13 menyebutkan bahwa pengelolaan zakat adalah serangkaian kegiatan, perencanaan, pengorganisasian, pengumpulan dan pendayagunaan zakat oleh Badan Baitul Mal.
Apabila telah mencapai kadar nisab selama setahun wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat 1 yang bahwa setiap hasil perdagangan dan harta usaha/industri yang telah mencapai nisab wajib mengeluarkan zakatnya 2,5 %[3]
Pemerintah berkewajiban mengelola zakat sebagai upaya pengentasan kemiskinan yang ada dalam masyarakat, sebab kalau kemiskinan telah mendarah daging maka dikuatirkan akan menjadi kemiskinan yang mansiyah yaitu kemiskinan yang membuat lupa kepada Allah dan nilai-nilai luhur yang ada di dalam dirinya. Hal ini tidak jauh bedanya dengan orang kaya yang tidak mampu mengontrol hartanya, maka hartanya menjadi kekayaan yang mathqiyah yaitu orang yang melakukan apa saja demi bertambahnya status quo tersebut. Akan tetapi yang terjadi selama ini tidak sebagaimana yang diharapkan di mana pemerintah kurang berperan dalam hal pengelolaab zakat dibandingkan dengan hal-hal lain yang mana di Propinsi NAD masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.[4]
Dalam Al-Qur'anul Karim Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
?? ?? ??????? ???? ?????? ??????? ??? ???? ????? ?? ????? ???? ??? ????? ???? ???? (?????: ???)
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q. S. at-Taubah: 103)
Oleh karena itu, jika muzakki tidak menyerahkan hartanya yang telah sampai nisabnya kepada badan yang berwajib (Baitul Mal) maka Baitul Mal berhak atau berkewajiban menegur dan memaksa simuzakki yang enggan membayar zakat, sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 22 yaitu Badan Baitul Mal dalam melakukan tugas pengelolaan zakat berwenang menegur atau memperingatkan muzakki yang belum, lalai atau tidak menunaikan zakat setelah jatuh tempo (haul). Namun kenyataannya yang penulis amati tidak sebagaimana yang diharapkan di dalam Pasal tersebut, di mana kita lihat selama ini masih banyak para muzakki yang tidak membayar zakat ataupun dalam pembayaran zakatnya masih dengan unsur pribadi, maka tujuan dari pengentasan kemiskinan tidak akan terwujud sebagaimana yang diharapkan.
Pengelolaan dan pembagian zakat bukanlah suatu urusan pribadi atau pembagian zakatnya dibagikan kepada kerabatnya, dalam hal ini pemerintah sudah membuat suatu badan amil zakat di mana apabila simuzakki yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan kepada Baitul Mal yang telah ditunjuk dan juga Badan Baitul Mal harus membuat suatu penyuluhan, pengkajian dan seminar agar masyarakat sadar zakat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 30 ayat 2. Akan tetapi kenyataannya tidak sebagaimana yang terdapat dalam pasal tersebut di mana badan Baitul Mal tidak melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas.
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sedang menerapkan syariat Islam secara kaffah secara serius mulai meningkatkan potensi zakat agar tidak menghilangkan jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin, dan juga sebagai pembersih dan pensucian diri simuzakki baik materil maupun spiritual. Dalam hal ini Propinsi NAD telah mengeluarkan Qanun No. 7 Tahun 2004. Di mana dalam Pasal 1 ayat 13 dengan jelas menerangkan bahwa pengelolaan zakat adalah serangkaian kegiatan, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh Badan Baitul Mal. Tetapi walaupun telah dibentuk qanun tersebut, masyarakat belum juga mengeluarkan zakatnya secara menyeluruh kepada Badan Baitul Mal sebagaimana yang telah disebutkan dalam qanun tersebut. Apabila hal ini masih terjadi maka tujuan awal zakat untuk memberantaskan kemiskinan akan tidak berjalan sebagaimana diharapkan.[5]
Maka bertitik tolak dari latar belakang di atas penulis sangat tertarik untuk menganalisanya menurut Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan zakat dengan merumuskan sebuah judul : Sistem Pengelolaan Zakat Menurut Qanun No. 7 Tahun 2004 (Study kasus di Baitul Mal Kota Banda Aceh)
Dengan latar belakang dan rumusan judul di atas, penulis memfokuskan masalah yang akan diteliti:
1.     Bagaimana model pengelolaan zakat pada Baitul Mal?
2.     Apakah sistem pengelolaan zakat pada Baitul Mal telah berfungsi sebagaimana diharapkan oleh Qanun No. 7 Tahun 2004?
3.     Bagaimana implikasi pengelolaan zakat terhadap pengentasan kemiskinan?

B.    Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang ada dalam judul skripsi ini, yaitu:
1.      Efektiftas
Efektifitas berasal dari kata �efek� yang dikembangkan menjadikata efektif. Efek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan akibat, sedangkan efektif adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sesuatu keadaan yang mempengaruhinya.[6]Adapun efektifitas yang penulis maksudkan dalam skripsi ini pengaruh yang ditimbulkan dari adanya pengelolaan zakat dengan cara yang baik dan benar.
2.      Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat terdiri dari dua kata yang berlainan maknanya. Pengelolaan berasal dari kata kelola yang memiliki makna mengurus suatu bidang usaha yang berupa pertanian, perdagangan, dan sesuatu yang mempunyai  tujuan.[7]Sedangkan zakat ialah derma wajib atau sedekah wajib.[8]
Namun demikian, Abdul Fatah Idris memberikan pengertian zakat dalam dua bentuk istilah. Menurut bahasa zakat diartikan dengan tumbuh, berkat atau kebaikan. Tetapi menurut istilah fiqh zakat diartikan dengan kadar harta tertentu yang harus diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu dengan berbagai syarat. Dinamakan demikian, karena harta itu tumbuh dengan sebab diberikan pada orang dan doa penerima.[9]
Adapun pengelolaan zakat yang penulis maksudkan dalam pembahasan skripsi ini orang-orang yang bekerja pada Baitul Mal dalam rangka mensejahterakan kehidupan umat Islam yang berdomisili di wilayah Kota Banda.
3.      Qanun No. 7 Tahun 2004
Qanun dapat diartikan dengan undang-undang. Qanun berasal dari bahasa Arab yang artinya perundang-undangan atau peraturan-peraturan.[10]
Menurut Abdul Aziz Dahlan dkk., qanun berasal dari bahasa Yunani (kanun) dan diserapkan ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Suryani. Pada asalnya, kata ini berarti alat ukur, kemudian berkembang menjadi kaidah, norma, undang-undang, peraturan atau hukum. Qanun merupakan kumpulan kaidah dan peraturan yang dibuat untuk mengatur hubungaun antara Negara dan warga Negara yang wajib dipatuhi.[11]
Qanun berarti juga undang-undang yang lebih bersifat ditetapkan oleh manusia yang ada kalanya diadopsi dari hukum fiqih dan sebagainya. Dalam qanun ini, hukum lebih bersifat tegas dan memiliki sanksi berbeda apabila hanya menjadi hukum agama (syara�) saja yang lebih bersifat akhirat.[12]
Berkaitan dengan topik pembahasan skripsi ini, maka qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.[13]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan qanun ini adalah sekumpulan peraturan yang berkenaan dengan perbuatan hukum, yang apabila dilanggar atau tidak dipatuhi pelaksanaannya, maka akan menimbulkan sejumlah sanksi sebagai konsekwensi dari adanya peraturan hukum yang mengatur dalam segala perbuatan dan tindakan oleh warga Negara yang tinggal di dalam wilayah yang mempunyai aturan perundang-undangan.

C.    Tujuan Penelitian
Dalam melaksanakan program tertentu memiliki tujuan tersendiri, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.     Untuk mengetahui model pengelolaan zakat pada Baitul Mal.
2.     Untuk mengkaji apakah sistem pengelolaan zakat pada Baitul Mal telah berfungsi sebagaimana harapan Qanun No. 7 Tahun 2004.
3.     Untuk melihat implikasi pengelolaan zakat terhadap pengentasan kemiskinan.
Kiranya nanti hasil penelitian ini yang tersusun dalam sebuah skripsi dapat menambah pengetahuan tentang pengelolaan dan pendayagunaan zakat menurut qanun No. 7 tahun 2004 untuk menjadi bekal penulis dikemudian hari dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di kalangan masyarakat.

D.    Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian Deskriptif Analisis, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan keadaan pengelolaan zakat yang sesuai dengan ketentuan Islam, kemudian dilakukan analisis agar dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan zakat di kemudian hari.
Adapun dalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik Library Research, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan membaca buku-buku, kitab-kitab fiqh, majalah atau bahan-bahan lain yang berhubungan pembahasan masalah dimaksud. Di samping itu penulis juga menggunakan teknik Field Research, suatu suatu cara pengumpulan data yang bersifat lapangan dengan meliputi:
a.      Wawancara, yaitu suatu teknik penelitian dengan melakukan wawancara seputar pengelolaan zakat di Baitul Mal.
b.     Angket, yaitu cara penelitian dengan mengajukan beberapa pertanyaan tertulis untuk dijawab oleh responden. Sedangkan pertanyaan yang diajukan seputar pengelolaan zakat di baitul mal.
c.      Observasi, yaitu suatu penelitian dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk meninjau tentang bagaimana sistem pengelolaan zakat yang dilakukan Baitul Mal.
Untuk keseragaman penulisan karya ilmiah, maka penulis berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa yang dikeluarkan Oleh Fakultas Syari�ah Tahun 2001. Sedangkan pentejemahan ayat-ayat Al-Qur'an penulis berpedoman pada Al-Qur'an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RItahun 1990.




[1]Syeikh Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional; Persamaan dan Perbedaannya dengan Pajak, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 2
[2]Muhammad Abu Zahrah, Zakat dalam Perspektif Sosial, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, hlm. 15
[3]Anonim, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari�at Islam, Dinas Syari�at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Edisi Ketiga, 2005, hlm. 362

[4]Muhammad Abu Zahrah, Op. cit., hlm. 35
[5]Anonim, Op. cit., hlm. 354
[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 125

[7]Ibid., hal. 226

[8]Ibid., hal. 368
[9]Abdul Fatah Idris, Fiqh Islam Lengkap, Cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 98

[10]Louis Ma�luf, al-Munjid fi al-Lafadz wa al-I�lam, Beirut: Darul Masyriq, t.t., hlm. 923

[11]Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1999, hlm. 1439

[12]Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 420

[13]Anonim, Op. cit., hlm. 15