A.
Ahwal dan Maqamad Tasawuf pada Masa Klasik
Maqamad atau “tahapan-tahapan” merupakan
tingkatan suasana kerohanian yang ditunjukkan oleh seorang sufi. Bentuk maqamat
adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui
usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus
ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.[1]
Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi)
memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa
dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat
begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi
tingkatan-tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang harus dilalui
oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang
lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar
mengingat, seperti disebutkan di atas, maqamat itu terkait erat dengan
pengalaman sufi itu sendiri.
Dalam literatur yang menguraikan masalah tasawuf,
perbedaan itu terlihat dengan jelas. Al-Gazali (w. 505/1111) dalam karya
monumentalnya Ihya Ulumuddin mengatakan ada sembilan macam maqam, yaitu tobat,
sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal, mahabbah, makrifat, dan rida
(kerelaan). Sedangkan Abu Bakar al-Kalabadzi (w. 385/995) dalam Al-Ta’aruf li
Madzahib al-Tasawwuf menyatakan sembilan macam maqam, yaitu tobat, zuhud,
sabar, kefakiran, kerendahan hati (tawadlu), tawakkal, kerelaan, cinta, dan
makrifat. Selanjutnya, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (w. 377/987) dalam kitabnya
al-Luma’ menyatakan ada tujuh macam maqam, yaitu tobat, wara’, zuhud,
kefakiran, sabar, tawakkal, dan kerelaan hati. Para teoritikus
sufi memang berbeda pendapat mengenai jenis-jenis maqam yang harus dilalui oleh
setiap orang yang hendak menempuh jalan sufi. Akan tetapi, pada dasarnya mereka
sepakat bahwa bagi kaum sufi maqam-maqam tersebut adalah suatu kepastian. Tidak
ada sufi tanpa melewati maqam-maqam tersebut. Selain itu, mereka juga
sependapat mengenai pengertian yang dikandung oleh konsep-konsep dalam maqam.
Di antara prinsip-prinsip maqam yang paling
sering disebut dalam buku-buku adalah, sebagaimana dicatat oleh Harun Nasution,
adalah tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan kerelaan (ridla)[2].
Hal senada juga terungkap dalam Ensiklopedi Islam.[3]
Bahkan menurut Ensiklopedi yang ditulis oleh para ahli Islam Indonesia ini
kelima maqam tersebut tergolong paling populer di kalangan kaum sufi dan
masyarakat Islam pada umumnya.
Di samping maqam-maqam tersebut juga masih
terdapat jenis maqam-maqam lainnya. Ensiklopedi Islam menyebutkan fana
(tidak kekal) dan baqa (abadi) serta ittihad (bersatu dengan Allah).[4]
Sementara itu Nasution menambahkan dengan al-mahabbah dan al-ma’rifah.[5]
Berikut ini diuraikan jenis-jenis maqam dan
pengertiannya:[6]
Pertama, Zuhud (al-zuhd) adalah keadaan
meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan. Zuhud,
bagi kaum sufi adalah maqam terpenting yang harus dilalui. Seseorang yang
hendak menjadi sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid (asketik) karena
menurut mereka, dunia dan segala kehidupan materinya ini merupakan sumber
kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa.
Prinsip kaum sufi mengenai dunia antara lain diucapkan Hasan al-Basri (w.
110/728) “perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan untuk dilalui, jangan
membangun apa-apa di atasnya”. Lebih jauh ia mengatakan “jauhilah dunia ini
karena ia bagaikan ular, lembut dalam elusan tangan tetapi racunnya mematikan.
Hati-hatilah terhadap dunia ini karena ia penuh kebohongan dan kepalsuan”.
Kedua, Tobat (al-taubah). Menurut para sufi dosa
merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu
yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika
seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri
dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang
sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan
hanya sekali, tetapi harus berkali-kali.
Ketiga, Warak (wara’), yaitu menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat (keraguan) terhadap yang
halal karena dengan mendekati syubhat seseorang akan terjerumus kepada
sesuatu yang haram. Omar Kailani mengatakan bahwa para sufi membagi warak atas
dua bagian. Pertama, warak lahiriah, yakni tidak menggunakan anggota
tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Kedua, warak
batiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah.
Keempat, Kefakiran (al-fakr). Dalam paham tasawuf
berarti seseorang tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada dirinya.
Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Namun jika diberi ia terima. Seorang sufi tidak meminta
dan menolak pemberian Allah.
Kelima, Sabar (al-sabr), yaitu konsekuen dan
konsisten melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya, tahan uji
menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah menunggu datangnya pertolongan Allah dan
tabah menerima segala konsekuensi atas kesabarannya.
Keenam, Tawakkal (al-tawakkul), yaitu
menyerahkan diri secara total kepada Allah. Tawakkal berhubungan dengan nilai
kesempurnaan batin seorang sufi karena menyadari bahwa Allah bertindak sesuai
dengan kehendaknya. Ia menyerahkan diri tanpa bertanya sebab-sebabnya dan
meninggalkan usaha di luar batas kemampuannya sebagai manusia.
Ketujuh, Rida (al-ridha), yaitu menerima qada
dan qadar Allah serta mengeluarkan rasa benci sehingga yang tinggal adalah
rasa senang, tidak meminta imbalan atas amal ibadahnya, dan lebih dari itu
merasa senang jika tertimpa musibah sebagaimana ia senang ketika menerima
nikmat. Dzunnun al-Misri menyebutkan ada tiga tanda dalam diri seseorang jika
ia telah sampai pada maqam rida. (1) meninggalkan usaha sebelum terjadi
ketentuan; (2) lenyap rasa resah gelisah sesudah terjadi ketentuan; (3) cinta
yang bergelora pada saat menerima musibah.
Kedelapan, Cinta (al-mahabbah). Cinta kepada Allah
dalam arti patuh kepada-Nya, membenci setiap sikap yang melawan kepada-Nya,
menyerahkan diri sepenuhnya dan mengosongkan diri dari segalanya kecuali Allah
yang dicintai. Makam mahabbah ini didasarkan pada surat al-Maidah: 54 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ
بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ
عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ
لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ) المائدة: ٥٤(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa
di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.(Qs. Al-Maidah:54)
Menurut al-Sarraj al-Tusi, cinta itu ada tiga
tingkat. (1) cinta biasa terwujud dalam zikir dan tasbih, (2) cinta yang sidik,
yaitu cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari
Allah sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada-Nya, (3) cinta
yang arif, yakni cinta seseorang yang betul-betul mengetahui Allah sehingga
yang dirasakan bukan cinta melainkan diri yang dicintai. Pada akhirnya yang
dicintai masuk ke dalam diri yang menyintai. Mahabbah ini terutama dialami oleh
sufi Rabiah al-Adawiyah.
Kesembilan, Makrifat (al-ma’rifah). Mengetahui Allah
dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihatnya. Makrifat bukanlah hasil
pemikiran manusia, melainkan kehendak dan rahmat Allah yang diberikan-Nya
kepada hambanya yang sanggup menerimanya.
Kesepuluh, Fana dan baqa. Seorang sufi yang telah sampai
pada tingkat makrifah berarti telah dekat dengan Allah: Bertambah diri tingkatannya
dalam makrifat, bertambah pula kedekatannya dengan Allah sehingga akhirnya
bersatu dengan-Nya yang dalam istilah tasawuf disebut al-ittihad. Akan
tetapi sebelum ia bersatu dengan Allah, terlebih dahulu ia harus menghancurkan
diri, yang disebut fana. Penghancuran diri itu selalu diiringi dengan baqa.
Fana dan baqa dapat diibaratkan dua sisi dari satu mata uang yang
sama.[7]
Seperti disebutkan, al-ittihad itu mengambil dua bentuk, yaitu hulul dan
wahdatul wujud. Konsep hulul atau Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi
ini dibawa oleh sufi termashur, al-Hallaj, sedangkan konsep wahdatul wujud
dibawa oleh Ibn Arabi.
Sedangkan hal (jamak: ahwal) merupakan
istilah tasawuf yang berarti “suatu keadaan mental”, seperti perasaan senang,
sedih, takut, dan sebagainya. Hal yang biasa dikenal adalah perasaan takut (al-khauf),
rendah hati (tawadhu’), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd),
dan syukur (al-syukr). Hal berlainan dengan maqam, yaitu jalan panjang
yang berisi stasion-stasion (maqamat) yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk berada dekat dengan Tuhan. Hal diperoleh bukan karena usaha manusia
tetapi didapat sebagai snugerah dan rahmat dari Allah SWT. Sedangkan maqam
diperoleh melalui upaya-upaya yang sungguh-sungguh oleh seorang pelaku suluk (sufi).
Hal bersifat sementara, datang dan pergi, yaitu datang dan pergi bagi seorang
sufi dalam perjalanannya mendekati Allah.
Jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi tidak
mudah dan tidak mulus. Jalan itu demikian panjang dan berat. Perpindahan dari
suatu maqam ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan memerlukan
waktu yang tidak singkat. Ini berbeda dengan hal yang terkadang diperoleh
dengan mudah dan cepat, meskipun cepat hilang pula. Hal merupakan situasi
kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah SWT. Dan bukan hasil
usaha manusia. Datangnya kondisi mental begitu tidak menentu. Jika datang dan
perginya berlangsung cepat, maka keadaan itu disebut lawaih. Jika
kondisi mental itu datang dan pergi dalam tempo yang panjang dan lama, maka
kondisi mental itu disebut bawadih. Apabila kondisi mental itu
berlangsung secara terus-menerus dan menjadi kepribadian, maka hakekatnya
itulah yang disebut hal. Oleh karena itu, hal selalu bergerak naik setingkat
demi setingkat sampai ke titik puncak kesempurnaan rohani.
Isi atau kandungan hal sebenarnya merupakan
manifestasi dari maqam yang mereka lalui. Dengan kata lain, kondisi mental yang
diperoleh seorang sufi merupakan hasil dari amalan yang mereka lakukan. Hanya
saja seorang sufi “segan” mengatakan bahwa mereka selamanya bersikap hati-hati
dan berserah diri kepada Allah Swt. Karena dalam kesempatan yang lain mereka
juga mengatakan bahwa sekalipun sikap mental atau kondisi kejiwaan itu
diperoleh sebagai karunia Allah, tetapi orang yang ingin mendapatkannya harus
berusaha meningkatkan kualitasnya dengan meningkatkan amalnya. Ini berarti
bahwa orang yang pantas menerima hal adalah orang yang mengkondisikan dirinya
ke arah hal itu.
Jika maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang
dapat dilihat dari perbuatan seseorang, maka hal adalah kondisi mental yang
sifatnya abstrak. Ia tak dapat dilihat tetapi dapat dipahami dan
dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit diungkapkan dengan
kata-kata.
Sebagaimana halnya maqam, kaum sufi juga berbeda
pendapat mengenai jumlah dan formasi hal. Di antara sekian banyak nama dan
sifat hal yang terkenal adalah muqarabah, al-khauf, al-raja’,
al-syauq, al-uns,al-tuma’ninah, dan al-yaqin.[8]
Pertama, Muraqabah adalah salah satu sikap mental
yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan
dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Jadi sikap mental
muqarabah ini merupakan suatu sikap yang selalu memandang Allah dengan mata
hatinya, sebaliknya ia pun sadar bahwa Allah selalu memandang kepadanya dengan
penuh perhatian. Orang yang berada pada kondisi mental seperti ini akan selalu
berusaha menata dan membina kesucian dirinya.
Kedua, Al-Khauf adalah suatu sikap mental merasa takut
kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir
jangan sampai Allah merasa tak senang kepadanya. Dengan sikap itu yang
bersangkutan melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang keji.
Ketiga, Al-Raja’ adalah suatu sikap optimis dalam
memperoleh karunia dan nikmat Allah yang disediakan bagi hamba yang saleh. Ia
menyadari bahwa Allah itu Maha Pemurah, Maha Penyayang, dan Maha Pemaaf,
sehingga dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai
amal terpuji guna mewujudkan harapan-harapannya itu.
Keempat, Al-Syauq (rasa rindu) adalah suasana
kejiwaan yang menyertai mahabbah (perasaan kasih sayang). Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan
yang lebih mendalam akan menimbulkan rasa senang dan gairah yang besar untuk
selalu bersama-sama dengan Tuhannya pada setiap denyut jantungnya.
Kelima, Al-Uns adalah rasa berteman yang akrab
dengan Allah yang menimbulkan kegembiraan karena tersingkapnya keindahan
rahasia ilahi yang belum pernah ia lihat sehingga seluruh ekspresi jiwanya
terpusat penuh kepada suatu titik, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, yang
diingat, dan yang diharap selain Allah. Segenap jiwa dan perhatiannya terpusat
pada Allah sehingga dirinya seolah-olah telah hilang.
Keenam, Al-Tuma’ninah berarti tenang dan
tenteram. Orang yang mencapai tahap ini tidak memiliki rasa was-was dan
khawatir. Tidak ada lagi yang dapat mengganggu perasaan dan pikirannya karena
sudah berhasil mencapai tingkat kesucian jiwa yang paling tinggi. Orang ini
dapat berkomunikasi dengan Allah. Karenanya ia merasa sangat senang dan
bahagia. Tentu saja semuanya dicapai setelah melalui pelbagai perjuangan.
Ketujuh, Al-Musyahadah yaitu menyaksikan secara
jelas dan sadar apa yang dicarinya itu; dalam hal ini yang dicapai oleh seorang
sufi, yaitu Allah. Orang seperti itu merasa seolah-olah sudah tidak ada lagi
tabir yang mengantarinya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia
melalui sir (mata hatinya) mengenai apa yang ada pada Allah.
Kedelapan, Al-Yaqin yaitu perpaduan antara
pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam
pula sehingga tertanamlah di dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan
Tuhannya. Pada tingkat ini seseorang memiliki kepercayaan yang kokoh dan tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimilikinya karena ia sendiri
menyaksikan dengan segenap jiwanya, dirasakan dengan seluruh ekspresinya, dan
diperaksikan dengan segenap keberadaannya. Apabila seorang sufi suatu saat
telah mencapai tingkat tertinggi, tidak berarti selesailah mujahadah atau
tamatlah latihannya. Mujahadah itu harus dilakukan terus-menerus sampai ujung
perjalanan suluknya.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:
Penerbit UI Press, 1986), hal. 79.
[3] Ensiklopedi..., hal. 124.
0 Comments
Post a Comment