Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Aliran tasawuf Zaman Klasik


1.     Aliran tasawuf Zaman Klasik

Aliran tasawuf Zaman Klasik

Tentang sumber ajaran di dalam pertumbuhan tasawuf di dalam Islam, telah berkembang suatu diskusi klasik apakah ia bersumber murni dari ajaran Islam ataukah ia muncul karena pengaruh dari dunia di luar ajaran Islam. Beberapa peneliti dan penulis yang menggeluti tasawuf khususnya dari Barat (orientalis), dalam beberapa tulisannya kebanyakan mencoba menggambarkan adanya hubungan keterpengaruhan di masa pertumbuhan awal tersebut.
Ignaz Goldziher (1850-1921 M) misalnya, menegaskan bahwa tasawuf banyak mendapat pengaruh dari ajaran agama masehi, Neo-platonisme, Hindu dan Budha. Menurutnya, tradisi zuhud (asketis) di dalam Islam menampakkan pengaruh dari asketisisme masehi, sedangkan pemahaman-pemahaman tasawuf, secara umum banyak dipengaruhi oleh ajaran neo-platonisme, unsur ajaran Hindu dan ajaran Budha.[1]
Nicholson, melihat bahwa banyak kutipan teks Bibel dan perkataan Yesus dapat ditemui di dalam karya-karya biografi sufi klasik. Juga tampak peranan para rahib Nasrani sebagai guru yang memberi petunjuk dan saran dalam kehidupan asketis sufi Islam. Harun Nasution, menulis bahwa ajaran zuhud dan tasawuf oleh sebagian orang dianggap bersumber dari filsafat mistik Phytagoras. Max Horten (1874-1945) dan R. Hartman (1882-1950 M), beranggapan bahwa tasawuf ditimba dari sumber India. Mereka mengajukan beberapa bukti dan argumentasi yang di antaranya bahwa sebagian teori tasawuf, dan bentuk-bentuk tertentu dari latihan-latihan rohaniah praktisnya, cenderung paralel kepada praktik-praktik serupa dalam mistisisme yang ada di India.[2]
Banyak lagi beberapa tulisan yang berkehendak menghubungkan pertumbuhan awal tasawuf Islam bersumber atau setidaknya diinspirasikan oleh kenyataan lain di luar Islam dengan menunjukkan bukti-bukti adanya keserupaan, atau adanya kontak serta kutipan-kutipan kisah atau pendapat di luar dunia tasawuf Islam. Asumsi-asumsi serupa yang menganggap tasawuf Islam memiliki hubungan keterpengaruhan di dalam pertumbuhan awalnya karena keserupaan dan adanya bukti yang menunjukkan hubungan seperti di atas, belakangan ternyata banyak direvisi ulang. Nicholson sendiri, sementara ia mengemukakan asumsi di atas, di dalam bukunya menulis bahwa simplifikasi dan generalisasi yang menyatakan bahwa terdapat hubungan seperti bahwa tasawuf Islam bersumber dari pengaruh-pengaruh luar tersebut antara tasawuf Islam dengan unsur lainnya hanya karena adanya kesamaan tidak dapat dilakukan begitu saja.
Horten yang mengemukakan bukti tentang adanya kaitan tasawuf dengan ajaran Vedanta di India, setelah melakukan analisa terhadap al-Hallâj (W 305 H), al-Bustâmî (w. 261 H.), dan al-Junaid, kemudian juga merevisi pendapatnya dengan, khususnya, merubah kesimpulannya dengan membatasi anggapan pengaruh ajaran Vedanta tersebut pada perkembangan tasawuf pada abad ke III H. saja.[3] Kenyataan bahwa kemudian terjadi penyerapan istilah dan pengaruh-pengaruh dari luar seperti kristen dan filsafat, memang tampak dan tidak sama sekali dapat dinafikan dari khazanah tasawuf Islam, seperti pemakaian lahut, nasut, dan malakut, terminologi Kristen yang dipakai al-Hallaj. Akan tetapi gejala semacam ini baru muncul pada akhir abad ke III; setelah pada masa-masa awal asketisisme (gerakan kezuhudan) telah cukup mapan dan berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf berikutnya.[4]
Di dalam mengkaji gejala mistisisme, tampaknya ada dua proposisi yang mesti kita perhatikan, yaitu pertama, mistisisme adalah suatu gejala umum yang dimiliki oleh semua agama; dan kedua, kelahiran dan perkembangan mistisisme tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan atau mistisisme yang telah berakar di mana ia hidup dan berkembang. Dengan demikian, para sufi bisa saja tidak menukil peradaban atau ajaran dari Persia, Kristen, Yunani atau lainnya; karena tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan bangsa atau rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniah, memang bisa saja sama, meskipun tidak pernah terdapat kontak antara keduanya. Ini berarti ada benang merah yang menghubungkan antara para sufi dan para mistikus, betapapun berbedanya interpretasi antara satu dengan yang lainnya dengan beragamnya budaya di mana ia hidup. Atas dasar ini, kesamaan antara tasawuf dengan berbagai sumber asing tidak selalu berarti bahwa gagasan tasawuf ditimba dari sumber-sumber lain.[5]
Asumsi-asumsi yang mengkaitkan keterpengaruhan tasawuf Islam di masa awal munculnya dengan pengaruh dari luar dengan sendirinya tidak kokoh dan batal. Belum lagi bila dikaitkan dengan kajian normatif terhadap sumber-sumber Islam (al-Qur’an dan Hadits) di mana sufi selalu mengkaitkannya dengan sandaran normatif tersebut. Dengan demikian, tasawuf di dalam pertumbuhan awalnya dipengaruhi dan bersumber kepada ajaran di luar ajaran Islam sulit dibuktikan. Dapatlah dikatakan, bahwa aliran-aliran dan praktik-praktik sufi hanya berdasar kepada sumber Islam. Dengan lewatnya waktu, dengan berlangsungnya pertememuan antara berbagai bangsa dan kontaknya dengan berbagai kebudayaan, adalah wajar telah membuat ada pengaruh Kristen atau non-Kristen merembes ke dalam tasawuf Islam. Akan tetapi kewajaran inilah yang tampaknya membuat beberapa orientalis keliru, sehingga telah mengira ajaran para sufi ditimba dari ajaran dan hal-hal di luar Islam.[6]
Istilah Tasawuf untuk pertama kalinya di terapkan kepada para Asketik Muslim yang berpakaian wool (Arab berarti Shuf) yang kasar. Dan dari kata shuf itulah lahir kata Tasawuf[7]. Sangat banyak pendapat mengenai Istilah tasawuf ini. Dalam berbagai manuskrip klasik dan karya-karya modern, sering kali ditemui berbagai makna yang berlainan tergantung dari perspektif penulisnya. Syekh Fadhlullah Haeri, dalam karyanya yang sangat popular “The Elemen of Sufism” berpendapat bahwa kata tasawuf (Sufism) yang telah digunakan selama berabad-abad memiliki bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, Sha, Wau dan Fa. Namun juga ada pendapat yang mengatakan kata taswuf berasal dari kata shafa yang berarti kesucian. Kemudian di temui beberapa pendapat yang lain-nya dari berbagai sumber klasik disebutkan, kata tasawuf berasal dari kata kerja (Bahasa Arab) Safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kata tasawauf berasal dari kata Shaf yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam shalat dan dalam perang suci. Ada juga di temui dari manuskrip-manuskirp lama bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuffa, yaitu serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit menyembul di atas Tanah di luar masjid Nabi di Madinah, tempat tersebut sering di jadikan tempat duduk-duduk untuk menunggu Nabi. Makna ini sangat popular dan dikenal diberbagai kitab-kitab literatur sufi.
William C. Chittick, dalam karyanya, “Sufism: a Short Introduction”, mengutip perkataan Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Busyanji, mengungkapkan bahwa :
Dahulu tasawuf adalah sebuah realitas tanpa nama, akan tetapi saad ini, ia adalah sebuah nama tanpa realitas. Istilah Tasawuf atau Sufi tidak dikenal dan tidak pernah di gunakan pada satu abad pertama Hijriah. Para pengkeritik dari kalangan otoritas hukum agama (Ulama Syariah) mempertanyakan istilah tasawuf, bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau sesudah beliau wafat. Namun, di abad kedua dan ketiga (622 M), ada sebagian orang mulai menyebut dirinya sufi atau dengan istilah lainnya yang serupa yang berhubungan dengan Tasawuf. Mereka-mereka yang mengaku dirinya sufi sekelompok kecil muslim yang mengikuti jalan-jalan penyucian diri, penyucian hati dan pembenahan kualitas watak dan prilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan melihatnya[8].
J. Spencer Trimingham, dalam “The Sufi Orders in Islam” mendifinikan lebih jelas bahwa: Tasawuf/Sufism adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang paralel dengan aliran utama kesadaran Islam yang diturunkan dari wahyu profetis dan yang di pahami dalam syari’ah dan teologi[9]. Sufisme adalah mistisisme Islam, J. Spencer Trimingham, lebih dalam memberikan suatu pengertian metode tertentu dalam penghampiran kepada realitas dengan memamfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional yang umumnya tidak aktif dan terpendam kecuali bila terimbau untuk aktif melalui pelatihan di bawah bimbingan. Pelatihan ini, yang di pandang sebagai penempuh jalan (Salaq ant-thariq), yang bertujuan menyingkapkan tabir yang menyembunyikan diri dari Yang realitas. Lebih lanjut J. Spencer Trimingham mengatakan:
Sufisme awal merupakan ungkapan natural agama personal dalam hubungannya dengan ungkapan agama sebagai urusan komunal. Ia merupakan suatu penegasan atas hak seorang untuk mengejar kehidupan yang penuh kontemplasi, yang mencari kontak dengan sumber wujud dan realitas yang berkebalikan dengan agama yang terinstitusionalisasi yang di dasarkan pada otoritas. Sufisme awal merupakan semangat kesalehan qur’ani dan telah mengalir ke dalam kehidupan dan model –model ungkapan seperti Dzikr dan lain-lain[10].
Pada sisi yang lainnya, sebelum abad ke dua hijriah perkembangan Islam setelah meninggalnya Nabi Muhammad berada pada titik yang sangat memilukan. Pertikaian demi pertikaian terus berlangsung sesama ummat. Abu Bakar terbunuh pada tahun 634 H setelah 2 tahun sibuk mengurusi pertikaian internal dalam Islam Sayyidina Umar Ibn al-Khattab menjadi khalifah menggati Abu Bakr. Kemudian Umar terbunuh pada tahun 644 M oleh seorang tahanan perang dari Persia setelah berhasil menguasai Mesir, Persia, dan Empiirium Bizantium termasuk Yerusalem. Selanjutnya Utsman di tunjuk oleh Bani Umayyah yang sebagian anggotanya adalah musuh utama Nabi Muhammad. Bani Umayyah masuk Islam setelah Nabi menguasai mekkah, mereka masuk Islam karena tidak ada pilihan lain. Fadhullah Haeri, memaparkan “ Dalam masa pemerintahan Ustman yang berlangsung selama dua belas tahun, banyak kaum muslim yang benar-benar kembali ke cara hidup jahiliyah (sebelum kenabian nabi Muhammad), takhuyyul dan kesukuan, rampasan perang dari Empirium Persia, Bizantium dan mesir di bawah ke Mekah dan madinah, akibatnya terjadi kemerosotan akhlak dan kebusukan dalam kemewahan. Puncaknya adalah Ustman terbunuh pada tahun 656 M oleh tentara muslim sendiri yang berkhianat dan kemudian memunculka Ali Ibn Abi Talib sebagai khalifah yang baru, namun tidak semua mengakui Ali sebagai Khalifah.
Semasa ke khalifaan Ali Ibn Abi Talib, selama lima tahun pemerintahannya berlangsung, disibukkan menangani perselisihan internal, baik para keluarga nabi sendiri (Ahlul Bait) dan antar sesama pendukung, bahkan telah terjadi sumpah palsu secara massal atas nama Al-Quran dan atas nama Agama yang di lakukan oleh ummat muslim dan Istri nabi (Aisyah). Fitnah dan perang sipil terus berlangsung, perebutan kekuasaan, balas dendam atas pengikut usman serta intimidasi politik berlanjut hingga berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali pada tahun 661 M oleh ektrimis dari kelompok Khawarij. Para pendukung setia Ali Ibn Abi Talib menyatakan Hasan sebagai Khalifah. Krisis politik terus berlanjut, Hasan putra Ali mengadakan perjanjian dengan Muawiyah. Imam Hasan putra Ali dalam kepemimpinan lebih cenderung sebagai pemimpin ke-Agamaan, sedang kepemimpinan politik lebih banyak di perankan oleh Khalifah Muawiyah. Khalifah Muawiyah mendirikan dinasti Umayyad dan memindahkan Ibu kotanya dari madinah ke damaskus. Muawiyah melanggar perjanjian dan Imam Hasan putra Ali terbunuh pada tahun 669 M oleh orang-orang Yazid putra Muawiyah. Kemudian Husain adik Imam Hasan memperoleh tawaran dukungan dari penduduk kufa di Irak untuk menentang Yazid putra Mu’awiyah. Penduduk kufah adalah komunitas baru yang memiliki vested-interest (kepentingan sendiri lagi terselubung). Masa-masa itu telah terjadi digradasi moral yang luar bisa. Tradisi lama sebelum masa kenabian Nabi Muhammad hidup kembali. Imam Husain anak laki-laki kedua Ali Ibn Abi Talib keluar dari dari madinah dan terbunuh di dataran karbala oleh pasukan Yazid pada tahun 680 M.
Pertempuran karbala merupakan titik awal kesadaran ummat Islam dan menandai suatu bekas peringatatan yang menyayat hati bagi kaum muslim, yang telah meninggalkan jalan Islam agar kembali ke-tradisi Islam. Tradisi Islam dihidupkan kembali dengan kematian Imam Husain. Dibalik suasana politik dan perebutan kekuasaan dalam rentang waktu sejarah antara tahun 683 M sampai 724 M ada Sekelompok kecil Ummat Islam yang dengan tekun terus menerus melakukan menjagaan dengan ketat tradisi kenabian di pinggiran kekuasaan. Sekelompok kaum muslim yang menyadari ajaran dan tradisi islam, namun tak mampu mengubah situasi yang ada mulai mencurahkan sepenuhnya untuk hidup ber-Ibadah dan disiplin penyucian jiwa (Tashfiyatul nafsi) dan penjernihan hati (Tashfiyatul Qal) . Kelompok kecil ini lagi tidak berdayah. Imam Zainal Abidin putra Imam Husain, merupakan salah satu contoh kecil yang sangat menonjol. Para muslim ini tidak memliki kemampuan untuk melawan keruwetan persoalan yang sulit diterima akal, seperti kasus alfitnah al-kubro dan perpecahan sesama muslim. Setelah melewati masa periode 724 M atau 1 abad wafatnya Nabi Muhammad, Ummat Islam berangsur mulai ada berbaikan. Penyadaran terhadap tradisi ke-Islaman mulai nampak, setelah munculnya khalifah Hisyam I, seorang penguasa yang saleh secara personal. Masa-masa tersebut terus berlangsung hingga sampai pada ke Khalifahan Harun ar-Rasyid pada tahun 786 M – 809 M.
Demikian juga gerakan esoterik yang di kembangkan oleh keluarga dan kerabat dekat Nabi Muhammad saw, Imam Ja’far as-Soddiq (w 765). Imam Ja’far as-Soddiq adalah Imam syiah ke 6 yang dengan tekun mengembangkan sebuah metode esoterik yang di peroleh dari ayahnya Imam Muhammad al-Baqir (w 735) yang juga Imam Syi’ah ke lima. Ibu Imam Ja’far as-Sadiq adalah putri Saidina Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddiq. Imam Ja’far as-Sadiq tidak hanya seorang Imam islam akan tetapi juga sebagai guru spiritual yang menyampaikan Ilmu Tuhan kepada generasinya dan menuntun mereka dalam menemukan dan mencari makna tersembunyi (Batin) dengan cara taqiyyah (kepura-puraan) guna keselamatan diri mereka sendiri. Ini adalah masa penuh halangan dan hambatan bagi syi’ah yang ada dalam bahaya akibat institusi politik. Taqiyyah menjaga agar konflik ditekan serendah mungkin. Kelompok esoterik ini berkembang di pinggiran kekuasaan kekhalifaan Islam setelah terbunuhnya Khalifah Ali Ibn Abi Thalib beserta putra-putanya. Gerakan taqiyyah secara terus menerus dikembangkan oleh para krabat dan keturunan dekat Nabi Muhammad saw.




[1] Para Pencinta: Konsep Cinta Abadi dalam Tasawuf), terj. Muhammad Absul Qadir al-Kaf. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hal 19.

[2] Abdul Syukur, Amin dan Muhayya, Tasawuf dan Krisis. (Semarang: IAIN Wali Songo Press, 2001), hal. 29.

[3] Ibid, hal. 30.

[4] Halim, Abdul Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Jakarta, Pustaka Setia, 2002), hal. 22.

[5] Mahmud, Tasawuf ..., hal. 24.

[6] Ibid, hal. 25.

[7] , Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 55.
[8] Osman bin Bakar, Tasawuf di Dunia Melayu-Indonesia, Terjemahan dalam edisi Indonesia dari Islamic Spirituality:, (English: Manisfestations, 1997), hal. 66.

[9] Ahmad Bahjat, Pledoi Kaum Sufi (terjemahan dari Bihar al-Hub ‘Inda al-Sufhiyah), cet. 2, (Surabaya: Gramedia, 1997), hal. 33.
[10] As-Sarraj, Abu Nashr, Al-Luma’ (Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi), Maktabah ats-Tsaqafiah-Diniyyah, Bursaid – Kairo, Mesir. Tanpa tahun, Dan telah di terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul yang sama Al-Luma’, (Jakarta: Risalah Gusti, 2002), halk. 20.