Analisis Tentang Pemberian Hukuman Terhadap Anak
A. Analisis Tentang Pemberian Hukuman Terhadap Anak
Pada hakikatnya
tujuan pemberian hukuman terhadap anak dalam pendidikan Islam adalah untuk
memberikan bimbingan dan perbaikan bukan untuk pembalasan (dendam) atau untuk
kepuasan hati si pemberi hukuman. Pemberian hukuman terhadap anakpun memerlukan
berbagai macam pertimbangan, kajian dan tinjauan baik dari kajian Undang-Undang
Perlindungan Anak, Pendidikan Islam, psikologis, sosiologis, filosofis dan lain
sebagainya. Hal ini perlu dan sangat penting untuk dikaji kembali dengan tujuan
agar hukuman dalam proses pendidikan benar-benar dilakukan dengan tepat dan
tidak bertentangan dengan hakikat pemberian hukuman yang sebenarnya.
Pemberian
hukuman pada peserta didik dalam proses pendidikan adalah suatu hal yang
penting dan fundamental, hal ini dianggap penting dikarenakan bahwa pemberian
hukuman adalah suatu hal yang menjadi “remote kontrol” bagi anak didik dalam
bersikap dan bertingkah laku. Undang-undang pendidikan No 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang
Perlindungan Anak 23 tahun 2002 memang tidak membahas secara rinci tentang
bagaimana proses pemberian hukuman terhadap anak itu dilaksanakan, akan tetapi
dalam PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, dalam bab
IV terdapat pembahasan tentang standar proses perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan proses pendidikan.
“Perlindungan
anak”[1]
sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan
tujuan dasar dari terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Anak demi
terbentuknya anak yang tumbuh dengan penuh cinta, kasih sayang, aman, sehat,
cerdas dan tumbuh menjadi generasi kreatif yang mampu membangun agama dan
bangsa ini ke depan. Kajian dasar dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah
tentang terpenuhinya hak-hak anak secara fisik, mental, spiritual dan sosial[2]
untuk hidup secara wajar, tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.[3]
Pasal 13,Undang-Undang
Perlindungan Anak, ayat (1) berbunyi, bahwa: “Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1)
Diskriminasi,[4]
2)
Eksploitasi,[5]
baik ekonomi maupun seksual,
3)
Penelantaran,[6]
5)
Ketidakadilan;[9]
dan
6)
Perlakuan salah lainnya.”[10]
Dalam ayat (2) berbunyi, bahwa;
“Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”[11]
Jika kita
berbicara tentang anak, maka yang tergambar dalam fikiran penulis adalah anak
secara umumnya, sebagaimana anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun,[12]
anak dalam hal ini adalah anak siapa pun, dimana pun dan dalam suasana yang
bagaimana pun tetap dibahas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini.
Di samping itu, menurut
hemat penulis, jika Undang-Undang Perlindungan Anak memang benar-benar ingin
memperhatikan tentang nasib seluruh anak di Indonesia ini, hal yang pertama
sekali difokuskan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak adalah tentang
nasib-nasib anak-anak terlantar terlebih dahulu, mengapa? Karena menurut
penulis anak-anak terlantar adalah anak yang paling rentan dan yang paling banyak
mengalami hal-hal seperti yang sudah penulis sebutkan dalam pasal 13 Undang-Undang
Perlindungan Anak di atas.
Kehadiran
Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal 34 Tahun 1945, yang berbunyi:
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” jika benar-benar
disosialisasikan dengan baik di negara kita ini, maka Undang-Undang
Perlindungan Anak menurut penulis menjadi “mubazir” jika hanya sekedar menjadi
isu hangat atau hanya sekedar ikut-ikutan mengesahkannya tanpa menyesuaikan
dengan kondisi budaya dan tradisi bangsa kita.
Hal selanjutnya
yang lebih mengherankan lagi bahwa, Undang-Undang Perlindungan Anak lebih
banyak disosialisasikan pada lembaga-lembaga pendidikan dan menyoroti setiap
pendidik yang melaksanakan berbagai macam metode dalam proses belajar mengajar,
dari pada melihat nasib anak-anak fakir miskin yang tidak mendapatkan
pendidikan atau mengumpulkan anak-anak terlantar dan memberi mereka pendidikan
yang layak.
Penulis tidak
menafikan bahwa adanya tindak pemberian hukuman yang berbentuk kekerasan di
dalam proses belajar mengajar atau dalam proses interaksi edukatif antara
pendidik dan anak didik di lembaga pendidikan, jika hal ini terjadi, maka
solusi pertama adalah ada pada proses pembentukan awal para calon pendidik
tentang pemahaman pendidikan Islam yang baik benar dan benar, solusi kedua baru
dipertimbangkan sesuai dengan tujuan pendidikan yang tertera dalam
Undang-Undang Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Contoh yang
paling sederhana yang penulis angkat dalam tulisan ini adalah tentang hukuman. Terdapat
24 kata “Hukum,” 2 kata “Hukuman” dan terdapat 3 kata “Sanksi” di dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak. Kata hukuman terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) dan dalam
Pasal 16 ayat (1),[13]
hukuman yang dimaksudkan ini disini adalah hukuman tidak manusiawi yang
disamakan dengan tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap anak, hal ini
tentu berbeda dengan hukuman yang dimaksudkan oleh pendidikan Islam, karena
dalam proses belajar mengajar dalam sebuah lembaga pendidikan hukuman dipandang
sebagai suatu metode atau strategi dalam mendidik yang memiliki aturan, syarat
dan etika dalam proses pelaksanaannya. Yang ingin penulis tegaskan disini
bahwa, hukuman dalam proses belajar mengajar (PBM) tidak selamanya bisa disamankan
dengan hukuman sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak.
Disisi lain, setiap
anak berhak mendapat pendidikan,[14]
merupakan satu hal yang juga menjadi kajian dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak. Jika Undang-Undang Perlindungan Anak ternyata juga memandang perlunya
pendidikan terhadap anak, maka seharusnya keberhasilan jalannya proses belajar
mengajar di lembaga pendidikan dan keberhasilan perkembangan anak dari segi
fisik, psikis, sosial dan perubahan anak ke arah pendewasaan dengan menunjukkan
kepribadian atau perilaku yang baik merupakan suatu hal yang juga harus
diutamakan. Undang-Undang Perlindungan Anak membahas pentingnya pendidikan bagi
anak sebagaimana yang terdapat pada pasal 48,[15]
49,[16]
dan 50.[17]
serta Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengikat lembaga pendidikan dangan
kata “kekerasan” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 54 yang berbunyi: “Anak
di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di sekolah yang
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”[18]
Menurut penulis kata kekerasan dalam pasal tersebut adalah tindak kekerasan
yang seolah-olah direncanakan oleh setiap para praktisi pendidikan di sekolah,
sebagaimana tindak kekerasan yang terjadi terhadap anak diluar sekolah, bahkan
tindak kekerasan dalam pasal ini sering disamakan dengan proses pemberian
hukuman terhadap anak, sehingga setiap guru yang menjatuhkan hukuman terhadap
anak yang melakukan kesalahan terkesan menjadi tindak kekerasan. Hal ini jelas
berbeda, karena sefaham penulis, tidak ada sebuah lembaga pendidikan pun yang
punya perencanaan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak, walaupun
metode pemberian hukuman terhadap anak tidak bisa dihilangkan di lembaga
pendidikan, akan tetapi dua hal itu tetap tidak bisa selamanya disamakan.
Dengan demikian,
jika semua kata hukuman disamakan dengan tindak kekerasan sehingga harus
dihilangkan dalam mendidik anak, maka yang menjadi persoalan selanjutnya
adalah; bagaimana pendidik mampu mengajarkan anak tentang cara menghormati hak
orang lain, menghormati orang tua, menghormati nilai budaya bangsa, bertanggung
jawab, mandiri, menghargai orang lain, sehingga mampu membedakan mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang salah agar anak mampu mengaplikasikan
nilai-nilai moral, etika serta akhlak yang baik di dalam kehidupannya, jika
anak tidak pernah dikontrol atau diarahkan sikap dan tingkah lakunya.
Jika hal
tersebut terjadi, maka pendidikan terhadap anak menurut penulis 50% gagal,
walaupun dari segi pengusaan materi anak mendapat nilai yang tinggi, akan
tetapi jika sikap atau tingkah laku mereka tidak memiliki nilai-nilai etika,
moral dan akhlak yang baik dan tidak tertanam dalam diri anak, maka pendidikan
tetap penulis katakan gagal, mengapa, karena tujuan pendidikan bagi bangsa kita
adalah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun
2003, Pasal 3 menyatakan bahwa:
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[19]
Dan
tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan Islam adalah untuk mengingat Allah
swt,[20]
untuk tidak mengutamakan hawa nafsu[21]
yaitu melalui pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti
dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapan dalam
kehidupan sehari-hari.[22]
Hal ini jelas sangat berbeda dengan tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak sebagaimana yang terdapat pada Pasal 9, Ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
mengembangkan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.”[23]
Dari
ketiga tujuan pendidikan yang penulis paparkan di atas, tujuan pendidikan
menurut Undang-Undang Perlindungan Anak adalah tujuan pendidikan yang “cacat” dengan
hanya mengutamakan kecerdasan, kemauan dan kehendak pribadi anak tanpa melihat
hal yang lebih penting yaitu pembinaan etika, moral dan akhlak anak. Maka
dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Anak tidak bisa lebih mendominasi
proses belajar mengajar di sekolah, seperti halnya hukuman, karena hukuman
tidak selamanya dengan pemukulan sehingga dianggap kekerasan, dan kekerasan
bukan hanya bersumber dari pemberian hukuman.
Pendidikan
Islam juga tidak menyetujui adanya tindak kekerasan di lembaga pendidikan, akan
tetapi pendidikan Islam memandang pemberian hukuman terhadap anak dari sudut
pandang yang berbeda. Hukuman terhadap anak merupakan suatu metode pendidikan yang
terkadang perlu dipakai untuk meluruskan perilaku anak. Setelah anak dibimbing,
dididik, dibina dan dibiasakan dalam bersikap atau berakhlak mulia, akan tetapi
anak masih berperilaku menyimpang, maka seorang pendidik diharuskan untuk
segera menegur dan menasehati anak tersebut. Hal ini penting, karena jika anak
tidak ditegur atau dinasehati atau bahkan dibiarkan begitu saja tanpa
mendapatkan teguran apapun dari pendidiknya, maka anak akan merasa bahwa apa
yang dilakukannya adalah benar, dan anak akan terus terbiasa dengan perilaku
yang menyimpangnya tersebut. Jamaal Abdur Rahman dalam bukunya “Tahapan
Mendidik Anak” menjelaskan bahwa:
“Sesungguhnya
tujuan menjatuhkan hukuman dalam pendidikan Islam tiada lain hanyalah untuk
memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan atau kepuasan hati.
Oleh karena itu, harus diperhatikan watak dan kondisi anak yang bersangkutan
sebelum seseorang menjatuhkan hukuman terhadapnya, memberikan keterangan
kepadanya tentang kekeliruan yang dilakukannya, dan memberi semangat untuk
memperbaiki dirinya serta memaafkan kesalahan-kesalahan dan kealpaannya
manakala anak yang bersangkutan telah memperbaiki dirinya.[24]
Oleh
karena itu, Seorang pendidik dalam memberikan hukuman pada dasarnya memerlukan
tahapan-tahapan dan pertimbangan yang tepat dengan metode pemberian hukuman
yang efektif diberikan kepada peserta didiknya, selain itu, hal yang perlu dilihat
juga dari tingkat kesalahan yang dilakukan anak didik itu sendiri. Pemberian
hukuman bisa dilakukan dengan menasehati anak secara lemah lembut, pelarangan,
sindiran, pengabaian dan tahap terakhir baru dengan pukulan dan itupun pukulan
dengan tidak meninggalkan bekas atau menyakiti si anak.
Akan
tetapi, jika para pendidik “lupa daratan” dalam memberi hukuman terhadap anak
sehingga melenceng dari hakikat pemberian hukuman sebenarnya, maka hal itu
bukan malah menyelesaikan masalah tapi sebaliknya akan dapat menimbulkan
masalah baru. Memang penulis akui, terkadang agak sulit membedakan antara
hukuman dan kekerasan, namun harus penulis tegaskan kembali bahwa, pada hakikat
dasarnya hukuman dan kekerasan adalah suatu hal yang berbeda, hanya ketika
aplikasi hukuman dilakukan secara berlebihan dan tidak sesuai lagi dengan
hakikat dasarnya, maka hukuman akan mengacu pada kekerasan yang tidak akan
menambah atau memberi efek apapun terhadap perubahan perilaku anak didik,
melainkan kebodohan dan kebekuan pemikiran mereka.
Kategori
hukuman yang paling banyak dipersoalkan dan menimbulkan efek negatif terhadap
anak didik adalah hukuman pukulan, para pendidik terkadang juga menjadikan
penyamarataan hukuman dengan hukuman pukulan sebagai sarana yang langsung
digunakan sebelum melalui beberapa tahapan hukuman lainnya tanpa membedakan
tingkat kesalahan anak. Hal ini yang kemudian menjadi “bumerang” dalam
kesalahpahaman dalam memahami hukuman sehingga sarana pendidikan tersebut
menjadi tindak kekerasan yang jelas pendidikan Islam juga tidak menyetujui hal
tersebut terjadi di dalam lembaga pendidikan.
Persoalan
selanjutnya adalah, hukuman pukulan seolah-olah dianggap sebagai satu-satunya
solusi sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah saw dalam sabdanya yang artinya: “Suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh (7) tahun dan Pukullah jika tidak
mau shalat di usia sepuluh tahun (10), serta pisahkan tempat tidur mereka.” Jelas itu
merupakan suatu hal yang keliru, jika kita mencoba memahami kembali nilai-nilai
edukatif yang terdapat dalam Ḥadits tersebut, kata “pukullah” bukanlah hal yang
diutamakan dalam pendidikan. Hal yang terlebih dahulu diutamakan dalam Ḥadits
tersebut adalah tahapan mengajarkan, mendidik, membimbing dan membina anak. Hal
itu dilakukan oleh setiap orang tua mulai semenjak anak masih bayi sampai usia
7 tahun, dari usia 7 tahun sampai 10 tahun,[25]
dan pada usia 10 tahun anak baru boleh dipukul.
Sedangkan
bagi pendidik, jarak usia 7 tahun sampai 10 tahun adalah 3 tahun, menurut
penulis, jika pendidik telah mengajarkan, mendidik, membimbing dan membina anak
selama 3 tahun (365x3=1095 hari), maka pendidik baru dibolehkan memberi hukuman
pukulan terhadap anak didiknya. Jika kita melihat jenjang pendidikan kita di
Indonesia khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas (SMA), maka hanya dilewati selama 3 tahun oleh anak didik, maka kapan
pendidik berkesempatan menjatuhkan hukuman pukulan terhadap anak didiknya? Oleh
karena itu, menurut penulis, pendidik tidak boleh memberikan hukuman pukulan
terhadap anak didiknya sebelum mendidik, mengajarkan, membina dan membimbing
mereka selama 3 tahun dan pendidik tidak boleh menghukum anak didik yang
berumur di bawah 10 tahun.
Ḥadits di
atas juga bukan untuk dijadikan landasan oleh orang tua atau pendidik untuk
menjatuhkan hukuman pukulan terhadap anak pada setiap kesalahannya. Hukuman
fisik seumpama pukulan terhadap anak, menurut penulis hanya bisa diberikan
hanya ketika anak melakukan hal-hal yang mendekati perbuatan dosa seperti
halnya (mencuri, menyakiti orang lain, berbohong, berzina, dsb), atau hal yang
menjadi aturan prinsip dalam Islam seperti halnya shalat.[26]
Bagi orang tua, penerapan kebiasaan shalat terhadap anak, haruslah dilakukan 5
kali sehari, jika 5 dikalikan dengan 365 hari dan dikalikan lagi dengan 3 tahun,
maka akan berjumlah 5475 atau (5x365x3=5475). Dengan demikian, orang tua maupun
pendidik baru boleh menjatuhkan hukuman fisik (pukulan) terhadap anak atau anak
didik mereka apabila orang tua dan pendidik telah mengajarkan, memberi teladan,
membimbing, mengayomi dan membina anak shalat, serta telah memerintahkan anak
melaksanakannya sebanyak 5475 kali.
Jika untuk
masalah yang paling prinsipil saja seumpama shalat, anak baru boleh diberikan
hukuman pukulan apabila telah diajarkan selama 3 tahun dan diperintahkan
sebanyak 5475 kali, maka bagaimana boleh untuk kesalahan lain yang tidak begitu
prinsipil, orang tua atau pendidik langsung menjatuhkan hukuman pukulan terhadap
anak atau anak didiknya tanpa melewati tahapan, syarat, etika, cara yang benar
dan jangka waktu yang tepat terlebih dahulu.
Hal
yang terjadi di lapangan hari ini adalah praktek pemberian hukuman di
lembaga-lembaga pendidikan memang kita akui terkadang melampaui batas dasar
hakikat pemberian hukuman itu sendiri, akan tetapi walaupun demikian bukan
berarti pemberian hukuman oleh guru harus dihilangkan apalagi sampai dianggap
sebagai sebuah sikap tindak kriminal (kekerasan) sebagaimana yang sering kita lihat
digembar-gemborkan oleh para aktifis perlindungan anak sebenarnya juga
merupakan suatu hal yang keliru, mengapa? Karena hukuman jelas tidak sama dengan
kekerasan, hukuman mengandung nilai edukatif ke arah perbaikan karakter anak,
sedangkan kekerasan sebagimana yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
no 23 tahun 2002 pasal 3,[27]
4,[28]
dan 13[29]
adalah suatu tindakan yang memaksakan bahkan melukai psikis dan fisik anak yang
bukan untuk tujuan kebaikan anak itu sendiri. Dengan kata lain, hukuman tidak
selamanya harus dengan pemukulan sehingga dianggap kekerasan, dan kekerasan
bukan pemberian hukuman, sehingga hanya hal tersebut yang menjadi sorotannya.
Intinya
adalah jika semua pemberian hukuman seperti menasehati anak dengan lemah
lembut, pelarangan, sindiran, pengabaian dan tahap terakhir baru dengan pukulan
dan itupun pukulan dengan tidak meninggalkan bekas atau menyakiti si anak
dianggap sebagai tindak kekerasan sehingga siapapun yang melakukan tindakan
tersebut dianggap sebagai suatu tindak kriminal yang melanggar Undang-Undang
Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, maka hal ini dengan sendirinya akan
membatasi dan mengikat ruang gerak dalam proses pendidikan itu sendiri. Jika
hal ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin, untuk mewujudkan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan
meningkatkan kecerdasan anak akan terkendala, sehingga apa yang tertera dalam
UU pendidikan No 20 tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional akan sulit
pelaksanannya.
Hal selanjutnya menurut penulis adalah, kata pengabaian
dalam UU Perlindungan Anak berbeda dengan pengabaian dalam Pendidikan Islam.
Dalam UU Perlindungan Anak, pengabaian[30]
yang dimaksud adalah pengabaian orang tua terhadap tugas dan tangung jawabnya
terhadap anak dengan tidak memperdulikan kebutuhan-kebutuhan anak baik dari
segi sandang, pangan, kasih sayang, cinta, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Sedangkan pengabaikan dalam Pendidikan Islam adalah bentuk hukuman pendidik
terhadap anak didik yang melakukan kesalahan agar anak didik merasa telah kehilangan
perhatian dari gurunya karena sikapnya yang salah tersebut sehingga timbul
keinginannya untuk memperbaiki sikapnya dan minta maaf atas kesalahnya dengan
maksud agar ia mendapatkan kembali perhatian dari gurunya tersebut.
Hal lain
yang membuat tidak bisa disamakannya antara hukuman dan kekerasan adalah, jika
hukuman bertujuan untuk meluruskan perilaku anak yang menyimpang seperti: tidak
menghormati orang tua,[31]
tidak disiplin, mencuri, egois,[32]
merokok, berzina, bebas berkehendak, suka berkelahi dan sebagainya, maka
sesungguhnya hukuman adalah suatu usaha para orang tua atau guru untuk
meminimalisir tindak kekerasan itu sendiri dalam diri anak terhadap dirinya dan
orang lain, bukan sebaliknya hukuman malah dianggap sebagai suatu tindakan
kekerasan.
Terakhir
yang ingin penulis pertegas kembali bahwa, dalam pendidikan, sikap dan perilaku
salah anak harus tetap ditegur dan segera diluruskan dengan cara yang baik dan
tepat, bukan dengan cara yang salah. Hukuman dalam pendidikan Islam bukanlah
hukuman sebagaimana yang terkadung dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, dan
jika terjadi tindakan pemberian hukuman terhadap anak yang berlebihan di
lembaga pendidikan, maka hal tersebut baru bertentangan dengan Undang-Undang
Perlindungan Anak dengan tetap kembali pada konsep pemberian hukuman dalam
pendidikan Islam yang disesuaikan dengan tujuan Undang-Undang Sisdiknas.
Undang-Undang
Perlindungan Anak menurut penulis adalah benar dalam melindungi hak-hak anak,
walaupun tidak seluruhnya benar, pendidikan Islam juga benar dalam membuat
konsep hukuman terhadap anak, akan tetapi konsep tersebut belum tersampaikan
dengan baik sehingga belum teraplikasikan dengan benar di lapangan pendidikan.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam hal ini yang perlu
kita lakukan menurut penulis adalah proses pensosialisasian Undang-Undang
Perlindungan Anak di dalam keluarga, lembaga-lembaga pendidikan dan di dalam
masyarakat haruslah dibarengi atau diseimbangkan dengan pemahaman yang benar
tentang pemberian hukuman terhadap anak yang sesuai dengan konsep pendidikan
Islam, sehingga tujuan perlindungan anak yang dimaksudkan oleh Undang-Undang
Perlindungan Anak dan tujuan hukuman yang dimaksudkan oleh pendidikan Islam dapat
terlaksana dengan baik tanpa saling menyalahkan, karena hukuman
tidak bermaksud untuk tidak melindungi anak dan perlindungan anak bukan berarti
harus meghilangkan metode hukuman dari dunia pendidikan dalam proses mendidik
mereka.
[1]“Perlindungan Anak” adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan
Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 13.
[2]Pasal 8 “Perlindungan
anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera.”
Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen
Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 17.
[3]Pasal 3 “Setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 16.
[4]Perlakuan diskriminasi, misalnya
perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan/atau mental. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia..., h. 58.
[5]Perlakuan eksploitasi, misalnya
tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh
keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Lihat Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 58.
[6]Perlakuan penelantaran, misalnya
tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Lihat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.
[7]Perlakuan yang kejam, misalnya
tindakan atau perbuatan secara zhalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas
kasihan kepada anak. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia..., h. 58.
[8]Perlakuan kekerasan dan
penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak
semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Lihat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.
[9]Perlakuan ketidakadilam, misalnya
tindakan keberpihakan anatar anak yang satu dan lainnya, atau
kesewenang-wenangan terhadap anak. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 58-59.
[10]Perlakuan salah lainnya, misalnya
tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kapada anak. Lihat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 59.
[11]Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 18.
[12]Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 13.
[13]“ Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia..., h. 19.
[14]Pasal 9, ayat 1 “Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Lihat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 17.
[15]“Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahu untuk semua anak.”
Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen
Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 31.
[16]“Negara, pemerintah, keluarga,
dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan. ” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia..., h. 31-32.
[17]“Pendidikan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 48 diarahkan pada: (a) pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian
anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang
optimal; (b) pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
(c) pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal,
dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbedadari peradaban
sendiri; (d) persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan (e)
pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.” Lihat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 32.
[18]Lihat Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 33.
[19]Keppres dan Kepmendiknas, Undang-Undang
Sisdiknas..., h. 5-6.
[20]Lihat Q.S. Ali Imran, (3: 191):
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[21]Lihat Al-Mu’minun, (23: 71):
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari
kebanggaan itu.”
[22]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 149.
[23]Lihat Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia..., h. 17.
[24]Jamaal Abdur Rahman, Tahapan
Mendidik Anak Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi,
(Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2008), h. 176.
[25]Pada usia 10 tahun, anak-anak
mulai memasuki “kesempurnaan” akal. Pada masa baliq (pubertas), perkembangan
fisik, mental, dan koqnitif anak mencapai kelengkapan dan kesempurnaan fungsi.
Pada usia pubertas pula, pembentukan kepribadian dimatangkan. Lihat Ihsan
Baihaqi Ibnu Buchori, Sebelum Meminta Anak Shalih, Yuk Jadi Orang Tua
Shalih, (Bandung: Mizania, 2010), h.160.
[26]Bagi umat Islam, shalat adalah
ibadah yang sangat prinsipil. Shalat membedakan muslim dengan umat lainnya. Di
akhirat, kita percaya, ibadah inilah yang paling awal ditanyakan. Konsekuensi
pelanggaran aturan ini sangat berat. Itu sebabnya Rasulullah saw menekankan
penegakan aturan ini. Lihat Ihsan Baihaqi Ibnu Buchori, Sebelum Meminta Anak
ṣaliḥ, Yuk Jadi Orang Tua ṣaliḥ, (Bandung: Mizania, 2010), h. 160-161.
[27]“Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang..., h. 16.
[28]“Setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.” Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang...,
h. 16.
[29]“Anak berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun
seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan
perlakuan salah lainnya.” Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang...,
h. 18.
[30]Perlakuan penelantaran, misalnya
tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Lihat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.
[31]Tidak adanya rasa hormat dan taat
kepada pendidik, orang tua atau guru, sebab rasa hormat muncul setelah adanya
ketaatan, dan ketaatan ada bila rasa takut menjadi salah satu rukunnya. Kemudian
muncul sikap tidak peduli terhadap perintah dan larangan pendidik, ini lumrah
terjadi, sebab “siapapun yang merasa aman dari hukuman, niscaya akan berbuat
semaunya.” Lihat ‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu Pemukulan Dalam
Pendidikan Anak, terj. Abdul Aziz, (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006), h.
53.
[32]Timbul kebiasaan keinginan
mengutamakan keinginan diri sendiri, walaupun merugikan orang lain. Lihat
‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu Pemukulan Dalam..., h. 53.