Anjuran Membaca Al-Qur'an
BAB II
KEMAMPUAN MEMBACA AL-QUR'AN SISWA
A. Anjuran Membaca Al-Qur'an
Membaca Al-Qur'an merupakan salah satu jalan
untuk mengetahui sumber hukum yang terkandung di dalamnya. Sebab di dalam
Al-Qur'an mengandung berbagai macam persoalan hidup manusia baik yang
berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlak ataupun syari’ah. Tanpa membaca
Al-Qur'an, tentunya sumber hukum tersebut tidak dapat digali secara benar
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Al-Qur'an.
Membaca Al-Qur'an merupakan dapat dilakukan sesuai dengan kehendak
pemmbacanya, karena dengan membaca Al-Qur'an seseorang akan dapat memahami
berbagai macam ilmu pengetahuan.[1]
Namun demikian kebebasan membaca Al-Qur'an tersebut juga dibolehkan dilakukan
dengan sekehendak hatinya, apalagi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat
pemahaman terhadap Al-Qur'an itu sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-Qiyamah
ayat 16 yang berbunyi:
لَا
تُحَّرِكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (القيامة :١٦)
Artinya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur'an karena hendak
cepat-cepat menguasainya”. (Q. S. al-Qiyamah: 16)
Di sisi lain Al-Qur'an adalah kitab suci yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu rahmat yang
tiada taranya bagi alam semesta. Di dalam terkumpulnya wahyu Ilahi ini yang
menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai serta
mengamalkannya. Bukan saja itu, tetapi juga Al-Qur'an itu adalah kitab suci
yang paling penghabisan diturunkan Allah, yang sisinya mencakup segala
pokok-pokok syari'at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan
sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur'an, akan bertambah
cinta kepadanya, cinta untuk membacanya,
untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan
mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam
semesta.[2]
Setiap mu’min yakin, bahwa membaca Al-Qur'an
saja, sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang
berlipat ganda, sebab yang dibacanya itu adalah kitab suci Ilahi. Al-Qur'an
adalah sebaik-baik bacaan bagi orang mu’min, baik di kala senang maupun di kala
susah, di kala gembira atau di kala sedih. Malahan membaca Al-Qur'an itu bukan
saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga menjadi obat dan penawar bagi orang
yang gelisah jiwanya.
Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada
sahabat Rasulullah saw. yang bernama Ibnu Mas’ud untuk meminta nasehat, katanya
“Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang
sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tenteram, jiwaku
gelisah dan pikiranku kusut; makan tidak enak dan tidur pun tidak nyenyak”. Maka
Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya: “kalau penyakit itu menimpamu, maka bawalah
hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang-orang membaca Al-Qur'an,
engkau baca Al-Qur'an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacaya; atau
engkau ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau engkau
cari waktu dan tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah,
umpamanya di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak,
engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT
ketenangan jiwa, ketenteraman pikiran dan kemurnian hati. Seandainya, jiwa
engkau belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah SWT, agar
diberi-Nya yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu, bukan lagi hatimu”.[3]
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa membaca
Al-Qur'an merupakan salah satu obat yang dapat menyembuh penyakit jiwa. Artinya
dengan membaca Al-Qur'an dapat menenangkan dan menenteramkan jiwa yang sedang
dilanda kegelisahan. Bahkan di sisi lain Al-Qur'an, juga dapat menjadi obat
penyakit yang dialami manusia secara nyata, seperti kerasukan setan dan lain
sebagainya. Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannya nasehat ibnu
Mas’ud itu. Dia pergi mengambil wadhu’ kemudian diambilnya Al-Qur'an, terus dia
baca dengan hati yang khusyu’. Selesai membaca Al-Qur'an, berobahlah kembali
jiwanya, menjadi jiwa yang aman dan tenteram, pikirannya tenang, kegelisahannya
hilang sama sekali.
Tentang keutamaan dan kelebihan membaca
Al-Qur'an, Rasulullah saw. telah menyatakan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai
berikut:
عن إبن عمر رضي الله عنهما:
عن النبي صلى الله عليه وسلم: لا حسد الا فى اثنتين رجل أتاه الله القرآن فهو يقوم
به أناء الليل وأناء النهار ورجل اتاه الله ما لا فهو ينفقه أناء الليل و أناء النهار.
(رواه البخارى)[4]
Artinya: Dari Ibnu Umar ra., berkata Nabi Saw: jangan
menghasut kecuali ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh dengki
kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah SWT kitab suci Al-Qur'an ini,
dibacanya siang dan malam; dan orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan
harta, siang dan malam harta itu digunakannya untuk segala sesuatu yang
diridhai oleh Allah”.
Di dalam hadits lain, yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim Rasulullah saw. menyatakan tentang kelebihan martabat dan
keutamaan orang yang membaca Al-Qur'an, adalah sebagai berikut:
عن أبن عباس رضي الله عنهما فى قوله عز وجل ولا تجهر
بصلاتك ولا تخافت بها: قال نزلت و رسول الله صلى الله عليه وسلم متوار بمكة فكان
اذا صلى باصحابه رفع صوته بالقرآن فاذ سمع ذلك المشركون سبوا القرآن ومن أنزله ومن جاء به فقال الله تعالى
لنبيه صلى الله عليه وسلم ولا تجهر بصلاتك فيسمع المشركون قرآتك ولا تخافت بها عن
أصحابك أسمعهم القرأن ولا تجهر ذلك الجهر وبتغ بين ذلك سبيلا يقول بين الجهر
والمخافتة (رواه البخاري و مسلم) [5]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a: Tentang firman Allah:
Yang bermaksud: Dan janganlah kamu meninggikan suaramu dalam sembahyang dan
jangan pula memperlahankannya. Katanya: Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah
s.a.w sedang bersembunyi di Mekah. Oleh itu apabila baginda sembahyang bersama
para Sahabat, baginda meninggikan suaranya semasa membaca al-Quran. Apabila
orang-orang musyrik mendengarnya, mereka memaki al-Quran, Zat yang
menurunkannya dan orang yang membacanya. Maka Allah s.w.t berfirman kepada
NabiNya s.a.w: Yang bermaksud: Janganlah kamu meninggikan suaramu di dalam
sembahyangmu. Sehingga orang-orang musyrik mendengar bacaanmu. Yang bermaksud:
Dan jangan pula memperlahankannya. Sehingga sahabatmu tidak mendengarnya.
Perdengarkanlah al-Quran kepada mereka, tetapi jangan terlalu tinggi,
sebaliknya carilah cara yang sederhana di antara keduanya. Jadi baginda membaca
sederhana antara tinggi dan perlahan (H. R. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa
Rasulullah saw melarang membaca Al-Qur'an dengan nada tinggi ketika dalam
shalat. Tetapi beliau menganjurkan membaca Al-Qur'an dengan suara tinggi ketika
di luar shalat yang bertujuan untuk mengingatkan orang yang lupa membaca Al-Qur'an.
Sebab jika, Al-Qur'an jarang dibacakan, maka akan sangat mudah lupa.
Karena itu, mengutip hadits Rasulullah saw, Ali
bin Abi Thalib ra., mengatakan:
عن عيد الله بن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم، بئسما لأحدهم يقول نسيت آية كيت و كيت بل هو نسي استذكروا القرآن فلهو اشد
تفصيا من صدور الرجال من النعم بعقلها (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abdullah
bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Sangat buruk sekali apabila
seseorang daripada kamu mengatakan aku lupa ayat ini, ayat ini, tetapi
sebenarnya dia dilupakan. Sentiasalah membaca al-Quran karena sesungguhnya
al-Quran itu lebih mudah hilang dari dada manusia berbanding dengan unta yang
tercabut tali ikatan dari sendi kakinya (Bangsa Arab biasanya mengikat sendi
unta semasa unta duduk supaya unta tersebut tidak lari). (H. R. Muslim).[6]
Dari keterangan hadits di atas, dapat dipahami
adalah membaca Al-Qur'an akan sangat mudah lupa apabila jarang dibacakan. Oleh
karena itu, untuk menghindari kelupaan tersebut, semestinya membaca Al-Qur'an
itu dilakukan sesering mungkin, sehingga bacaan itu dapat dihafal dengan baik. Bahkan
Rasulullah mengibaratkan bahwa menjaga bacaan Al-Qur'an lebih sulit dari menjaga
dari kuda yang terikatan dengan tali tambatan. Ini menunjukkan bahwa membaca
Al-Qur'an akan cepat lupa apabila tidak dilakukan dengan sering.
B. Pendidikan Membaca Al-Qur'an
Berdasarkan sifat, corak dan
pendekatannya, pendidikan Al-Qur'an dapat dibagi kepada empat bagian. Pertama,
pendidikan yang bercorak normative-perenialis (Islamic education in normatif
dan perenialis persepektive). Kedua, pendidikan yang bercorak
filosofis (Islamic education in
filisofical persefektive). Ketiga, pendidikan yang bercorak sejarah (Islamic
education in historical persepektive). Keempat, pendidikan
yang bercorak aplikatif, (Islamic education in applicative).[7]
Pendidikan yang bercorak nornatif-perenialis adalah
pendidikan yang memfokuskan kajiannya
pada penggalian ajaran al-Qur'an dan hadist yang
berkaitan dengan pendidikan
Islam yang diyakini sebagai ajaran yang pasti
benar, harus diamalkan dan dinilai
lebih unggul dibandingkan konsep
pendidikan yang berasal dari sumber agama lain.[8]
Pendidikan semacam ini dapat dilakukan pada lembaga pengajian yang berbentuk
pesantren dan dayah.
Pendidikan yang bercorak filosofis adalah
pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran filsafat Islam yang
berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan sifatnya yang mendalam, radikal,
universal dan sitematis, filsafat Al-Qur'an berupaya menjelaskan konsep-konsep yang mendasar tentang berbagai hal
yang ada hubungannnya dengan berbagai aspek pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan,
kurikulum, bahan pelajaran, guru, murid,
hubungan guru murid, proses belajar mengajar, majenen, dan aspek pendidikan
lainnya dikaji secara mendalam untuk
ditemukan inti gagasan yang terdapat didalamnya.[9] Pendidikan ini dapat ditemukan pada lembaga
pendidikan agama yang bersifat formal seperti MIN, MTsN, MAN dan IAIN.
Pendidikan yang bercorak histories adalah
pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada data-data empiris yang dapat dilacak
dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga maupun
pendidikan dengan berbagai aspeknya.[10]
Model pendidikan seperti dapat dilihat pada lembaga pendidikan IAIN jurusan
Sejarah dan Kebudayaan.
Adapun pendidikan Al-Qur'an yang bercorak
aplikatif adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada upaya
menerapkan konsep-konsep kegiatan yang
lebih konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Corak pendidikan semacam
ini juga dapat ditemukan pada dayah salafi, karena lembaga ini mengajarkan
santrinya untuk mengaplikasikan norma-norma yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu haluan untuk
bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan
dengan pendidikan Al-Qur'an, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola
kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan Al-Qur'an untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.[11]
Belajar mengajar Al-Qur'an merupakan suatu proses untuk membimbing anak
untuk menjadi orang yang mampu membaca Al-Qur'an dengan baik. Oleh karena itu,
anak membutuhkan arahan secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan pendidikan tersebut mempunyai prinsip
tersendiri dalam usaha mencapai tujuan. Namun demikian, prinsip-prinsip
pendidikan Al-Qur'an tidak sama dengan prinsip pendidikan lainnya.
Hal tersebut dikarenakan pendidikan Al-Qur'an adalah suatu kondisi yang
dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan
Al-Qur'an anaknya. Orang tua yang mengajarkan Al-Qur'an kepada anaknya yang
berkeinginan untuk belajar ilmu Al-Qur'an. Namun demikian, orang tua tentunya
sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar
yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kemampuan membaca Al-Qur'an. Di sini
tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan
menyenangkan bagi anaknya, yang mendorong anaknya untuk bisa belajar Al-Qur'an
dengan baik.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan pendidikan
Al-Qur'an kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong anak-anak untuk belajar. Oleh karena itu, Nana
Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses
memberikan bimbingan/bantuan kepada anak dalam melakukan proses belajar”.[12]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar mengajar
Al-Qur'an anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
1. Pembelajaran
memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2. Ada suatu prosedur
(jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
3. Kegiatan
pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus.
4. Ditandai
dengan aktifitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak
bagi berlangsungnya kegiatan belajar.
5. Dalam
kegiatan belajar orang tua harus berperan sebagai pembimbing.
6.
Dalam kegiatan
belajar membutuhkan kedisiplinan.[13]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis merumuskan
prinsip-prinsip pendidikan Al-Qur'an sebagai berikut:
1. Memelihara
dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana dan merupakan dorongan
alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2. Melindungi
dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan
dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah
hidup dan agama yang dianutnya.
3. Memberikan
pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki
pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4. Membahagiakan
anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup
muslim.[14]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan
pendidikan anak juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan
lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip
yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku
secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka anak-anak juga
diajarkan di berbagai lembaga pendidikan Al-Qur’an seperti TPA, TPQ. Bahkan
lembaga pendidikan non formal seperi dayah dan pesantren juga memberikan
pengajaran Al-Qur’an kepada santrinya agar mereka dapat memahami tentang tata
cara membaca Al-Qur’an yang sesuai dengan qira’ah-qira’ah tertentu yang telah ditetapkan
menurut hukum bacaannya.
C. Kewajiban Mengajarkan Al-Qur'an Kepada
Anak
Setiap mu’min yang percaya Al-Qur'an, mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab terhadap Kitab Sucinya itu. Di antara kewajiban
dan tanggung jawab itu ialah mempelajari dan mengajarkannya. Belajar dan
mengajarkan Al-Qur'an itu adalah kewajiban suci dan mulia. Rasulullah saw.
telah mengatakan: sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan
mengajarkannya”. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menjelaskan: Sesungguhnya
seseorang yang berpagi-pagi mempelajari ayat-ayat yang ada dalam Kitabullah
lebih baik yang seperti itu daripada mengajarkan sembahyang sunat seratus
raka’at. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Abbas Rasulullah saw.
bersabda: “Siapa-siapa yang mempelajari Kitabullah, kemudian diamalkannya isi
yang terkandung di dalamnya, Allah akan menunjuki dari kesesatan dan akan
dipeliharanya pada hari kiamat dari siksaan yang berat.
Jadi belajar Al-Qur'an itu merupakan kewajiban
yang utama bagi setiap mu’min, begitu juga mengajarkannya. Belajar Al-Qur'an
itu dapat dibagi kepada beberapa tingkatan, yaitu belajar membacanya sampai
lancar dan baik, menurut qaidah-qaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid;
belajar arti dan maksudnya sampai mengerti akan maksud-maksud yang terkandung
di dalamnya; dan terakhir belajar menghafalnya di luar kepala, sebagaimana yang
dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw., demikian pula di masa
sekarang di beberapa negeri Islam.
Belajar Al-Qur'an itu hendaklah dari semenjak
kecil, sebaik dari semenjak berumur 5 atau 6 tahun, sebab umur 7 tahun sudah
disuruh mengerjakan sembahyang. Rasulullah saw. sudah mengatakan: “Suruhlah
anak-anakmu mengerjakan sembahyang, bila sudah berumur 7 tahun dan pukullah
(marahilah) bila dia tidak mengerjakan sembahyang kalau sudah berumur 10 tahun.
Menjadikan anak-anak dapat belajar Al-Qur'an
mulai dari semenjak kecil itu, adalah kewajiban orang tuanya masing-masing.
Berdosalah orang tua yang mempunyai anak-anak, tetapi anak-anaknya tidak pandai
membaca Al-Qur'an. Tidak ada rasa malu yang paling besar dihadapan Allah
nantinya, bila anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Qur'an. Padahal dengan membaca
Al-Qur'an akan mendapatkan beberapa kemuliaan sebagaimana digambarkan dalam
hadits Rasulullah saw. telah bersabda:
عن أبى موسى الأشعرى رضى الله عنه قالت: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم مثلا مؤمن الذى يقرأ القرأن مثل الأترجه ريحها طيب وطعمها طيب
ومثل المؤمن الذى لا يقرأ القرأن مثل التمرة لا ريح لهاوطعمها حلو ومثل المنافيق
الذى يقرأ القرأن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافيق الذى لا يقرأ
القرأن كمثل الخنظلة ليس لها ريح وطعمها مر (رواه المسلم) [15]
Artinya: “Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a katanya:
Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Perumpamaan orang mukmin yang membaca
al-Quran ialah seperti perumpamaan buah utrujah iaitu buah yang berbau harum
dan rasanya enak. Manakala perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Quran
ialah seperti buah kurma, tidak ada baunya akan tetapi rasanya manis. Adapun
perumpamaan orang munafik yang membaca al-Quran ialah seperti buah Raihanah
iaitu buah yang berbau harum tetapi rasanya pahit. Sedangkan perumpamaan orang
munafik yang tidak membaca al-Quran ialah seperti buah hanzhalah (peria) iaitu
buah yang tidak ada bau sama sekali dan ditambah pula oleh rasanya yang pahit”.(H.
R Muslim)
Pada tingkat pertama ini, yaitu tingkat mempelajari
Al-Qur'an dengan baik, hendaknya sudah mereka laksanakan, sehingga tidak ada
lagi orang yang buta huruf Al-Qur'an di kalangan masyarakat Islam. Di tiap-tiap
rumah tangga orang Islam hendaknya diaktifkan benar-benar pemberantasan buta
huruf Al-Qur'an, sehingga setiap muslim yang menjadikan keluarga rumah tangga
itu sudah pandai semuanya membaca Al-Qur'an dengan baik. Batas untuk
mempelajari Al-Qur'an itu hanya bila seseorang sudah di antar ke lubang kubur.
Jadi tidak ada alasan untuk tidak mempelajarinya,
misalnya saja karena orang tua, karena sudah dewasa dan sebagainya. Dalam
tingkatan pertama hanya sekedar pandai membaca Al-Qur'an dengan baik, hal ini
berlaku bagi anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, pria atau wanita,
semuanya berkewajiban untuk mempelajarinya.
Sesudah itu, barulah menginjak ke tingkat kedua,
yaitu mempelajari arti dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan
demikian,, Al-Qur'an itu betul-betul menjadi pelajaran, petunjuk dan peraturan
bagi setiap muslim dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia yang diridhai oleh
Allah SWT. Selain itu mempelajari cara membaca Al-Qur'an serta mendalami arti
serta maksud yang terkandung di dalam Al-Qur'an, yang terpenting adalah
mengajarkannya. Jadi belajar dan mengajar Al-Qur'an merupakan dua tugas mulia
dan suci, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedapat mungkin terus dipelajari
dan terus diajarkan pula dan demikianlah seterusnya. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. demikian beliau menerima wahyu, waktu itu juga beliau
mengajarkan kepada para sahabat, seketika selesai menerima wahyu itu turun. Para sahabat pun berbuat demikian. Seterusnya orang yang
mendapat pelajaran dari para sahabat itu juga melanjutkannya kepada yang lain.
Demikianlah secara sambung menyambung seperti rantai yang tidak pernah putus.
Jadi, pekerjaan mengajarkan Al-Qur'an merupakan
tugas yang sangat mulia di sisi Allah. Di dalam tugas mengajarkan Al-Qur'an itu
terkandung tiga kemuliaan, yaitu: kemuliaan mengajarkan yang merupakan warisan
dari nabi; kemuliaan membaca Al-Qur'an sementara mengajarkannya; dan ketiga
kemuliaan memperdalam maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan mengajar terus
menerus, ia akan menjadi orang yang mahir membaca Al-Qur'an.
Dalam hal Rasulullah saw. bersabda sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
عن إبن عباس رضي الله عنه قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: الماهر باالقرآن مع السفرة الكرام البررة، والذى يقرأ
القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له اجران (رواه البخارى)[16]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw.
bersabda: Orang yang membaca Al-Qur'an, lagi pula ia mahir, kelak akan mendapat
tempat dalam syurga bersama-sama dengan Rasul-Rasul yang mulia; dan orang-orang
yang membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan
tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapatkan dua pahala (H.
R. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan keterangan hadits di atas, maka dapat
dipahami bahwa mengajarkan Al-Qur'an merupakan perbuatan yang sangat mulia.
Bahkan karena kemuliaan mengajarkan Al-Qur'an diberikan imbalan berganda oleh
Allah SWT kepada orang yang mengajarkan Al-Qur'an tersebut. Oleh karena itu,
mengajarkan Al-Qur'an adalah kewajiban yang mesti dijalankan oleh setiap umat
Islam terutama mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anaknya. Apalagi mengajarkan
Al-Qur'an sampai anak-akan mampu memahami isi kandungan Al-Qur'an merupakan
kewajiban setiap orang tua.
D. Kualifikasi Kemampuan Anak Membaca
Al-Qur'an
Bagi seorang mu’min membaca Al-Qur'an telah menjadi kecintaannya. Pada
waktu membaca Al-Qur'an, ia sudah merasa seolah-olah jiwanya menghadap kehadhirat
Allah Yang Maha Kuasa; menerima amanat dan hikmat suci, memohon limpahan
karunia serta rahmat dan pertolongannya. Membaca Al-Qur'an telah menjadi
wiridnya (kebiasaannya) yang tertentu, baik siang maupun malam. Sibacanya
sehalaman demi sehalaman, sesurat demi sesurat, sejuz demi sejuz sampai khatam.
Tidak ada suatu kebahagiaan di dalam hati seorang mu’min melainkan bila membaca
Al-Qur'an sampai khatam.
Di dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali mencatat beberapa hadits yang
diriwayatkan mengenai pembacaan Al-Qur'an. Digambarkan bahwa para sahabat
dengan keimanan dan keikhlasan hati, berlomba-lomba membaca Al-Qur'an. Namun
demikian dalam membaca Al-Qur'an mempunyai adab-adab tersendiri antara lain
sebagaimana yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin yang
menjelaskan bahwa adab membaca Al-Qur'an itu ada yang berbentuk adab lahir dan
adab bathin. Adab yang mengenal bathin itu diperincikan menjadi arti pemahaman
asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah, menghadirkan hati dikala
membaca sampai ke tingkat memperluas perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan
demikian, kandungan Al-Qur'an yang dibaca melalui perantaraan lidah, dapat
bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya.[17]
Membaca Al-Qur'an merupakan hal yang keharusan
mutlak untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun orang tua merupakan
lembaga pendidikan pertama yang harus mengajarkan anaknya untuk membaca
Al-Qur'an secara baik dan benar.[18]
Membaca
Al-Qur’an merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang
berguna bagi agama. Oleh karena itu, manusia perlu membaca secara optimal agar
mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan membaca
Al-Qur'an tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai
kebahagiaan. Namun demikian, prinsip-prinsip tersendiri termasuk terhadap prinsip membaca
Al-Qur'an anak.
Hal tersebut
dikarenakan membaca Al-Qur'an adalah suatu kondisi yang dengan sengaja
diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan anaknya. Orang tua
yang mengajar dan anak didik untuk membaca Al-Qur'an. Perpaduan dari kedua
unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan keluarga
sebagai mediumnya. Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang
sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi membaca Al-Qur'an anak, yang dapat
mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orang tua
berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena
itu, memberikan pengetahuan Al-Qur'an bagi seorang anak menghendaki hadirnya
sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak selamanya memerlukan seorang
guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang anak di luar dari
keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak terlalu
banyak mengharapkan bantuan dari orang lain, apalagi aktifitas itu berkenaan
dengan kegiatan membaca Al-Qur'an.
Sebenarnya
semua halnya yang menyangkut dengan memberikan membaca Al-Qur'an kepada anak
pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi
lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan
mendorong anak-anak melakukan belajar Al-Qur'an. Oleh karena itu, Nana Sudjana
menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan
bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar”.[19]
Dari
keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan membaca
Al-Qur'an juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya,
karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus
untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna
tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Namun
demikian, apabila menyikapi kemampuan membaca Al-Qur'an anak dapat
dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.
Membaca
Al-Qur'an dalam bentuk mengejakan setiap hurufnya.
2.
Membaca
Al-Qur'an dengan cara tartil.
3.
Membaca
Al-Qur'an dengan cara melagukannya.[20]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat
dipahami bahwa kemampuan membaca Al-Qur'an anak terdiri atas tiga tingkatan
yang berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan anak dalam membaca
Al-Qur'an, sehingga terlihat bahwa ada anak-anak mampu mampu membaca Al-Qur'an
sebagaimana orang dewasa membacanya dan begitu juga sebalikya.
Tetapi di sisi lain, pembacaan Al-Qur'an juga
dianjurkan untuk membaca sesuai dengan makhrijul hurufnya, karena apabila
huruf-huruf yang dibacakan tidak sahih, sudah barang tentu makna yang
terkandung di dalamnya pun akan keluar dari yang dimaksudkan Al-Qur'an.
Pendidikan Al-Qur'an yang diajarkan di tingkat
menengah dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.
Bagus sekali,
yaitu kelompok membaca Al-Qur'an dengan memenuhi kriteria pembacaan yang sesuai
dengan aturan tajwid. Biasanya mereka membaca Al-Qur'an dengan menganut konsep
melagukan dalam melantunkannya.
2.
Baik, yaitu
kelompok yang membaca Al-Qur'an dengan memahami kaidah-kaidah pembacaan, tetapi
tidak mampu melagukannya sebagaimana yang dibacakan qari-qari’ah.
3.
Kurang baik,
kelompok ini termasuk kelompok yang tidak bisa membaca Al-Qur'an sama sekali,
walaupun mereka bisa membaca dapat digolongkan dalam bentuk mengejakannya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami
bahwa membaca Al-Qur'an terbagi kepada tingkatan, yakni tingkat bagus
bacaannya, tingkat baik bacaannya, dan tingkat kurang baik bacaannya. Namun
demikian ketiga tingkatan ini dibacakan secara ikhlas akan mendapatkan ganjaran
yang sesuai pula dari Allah SWT.
[1]Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu dan Seni Baca Al-Qur'an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1994), hal. 10
[2]Masykur Djalal, Ulumul Qur’an,
(Jakarta : Bulan
Bintang, 2000), hal. 111
[3]Masykur Djalal, Ulumul…., hal. 100
[4]Imam Bukahri, Shahih Bukhari,
(Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 189.
[5]Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Dar
al-Fikr, t.t.), hal. 178
[6]Imam Muslim, Shahih…., hal.
179
[7]Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam; Pada Priode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1.
[8]Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 6.
[9]Majid Fakhri, Sejarah Filsafat
Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 29.
[10]Ahmad Syalabi, asy-Syajaratu al-Tarbiyatu al-Islam, Terjemahan
Munawar Khalil “Sejarah
Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hal.12.
[11]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar,
(Jakarta :
Rineka Cipta, 2000), hal. 5
[12]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II,
(Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29
[13]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar…,
hal. 46-45
[14]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 38
[15]Imam Muslim, Shahih Muslim, hal. 96
[17]Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,
(Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 172
[18]Ari Furqan, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 65
[19]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II,
(Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29
[20]Manna’ Khalil al-Qattan, at-Ta’limu
‘Ulumu al-Qur’an, Terj. Mudzakkir AS , “Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an “ (Jakarta : Lentera Antar
Nusa, 2000), hal. 231