A. Aspek-aspek Pendidikan dalam Majelis Ta’lim
Majelis Ta’lim adalah lembaga pendidikan non
formal jenis keagamaan. Oleh karenaya, muatan pengajarannya lebih menekankan
aspek agama Islam dengan mengacu pada sumber utamanya, yaitu Alquran dan
As-Sunnah Serta sumber hukum Islam lainnya yang mu’tamad. Sedangakan penyusunan
kurikulum ini, materinya disesuaikan dengan kondisi jamaah majelis ta’lim yang
terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak dan para pemuda/remaja.
Keberadaan Majelis Taklim khususnya dalam era
globalisasi sangat penting, terutama dalam upaya menangkal dampak negatif dari
globalisasi itu sendiri. Tetapi, untuk menjaga eksistensi Majelis Taklim itu
sendiri, maka ia harus mampu memanfaatkan dampak positif globalisasi. Keberadaan
Majelis Ta’lim menjadi sangat penting karena ia berada di tengah-tengah
masyarakat, dan masyarakat adalah salah satu dari tiga lingkungan pendidikan.
Menurut
pedoman Majelis Ta’lim
materi yang disampaikan
dalam majelis ta’lim adalah[1]:
a. Kelompok Pengetahuan Agama
Bidang pengajaran kelompok ini meliputi
tauhid, tafsir, Fiqih, hadits, akhlak,
tarikh, dan bahasa Arab.
b. Kelompok Pengetahuan Umum
Karena
banyaknya pengetahuan umum, maka
tema-tema atau maudlu’ yang
disampaikan adalah yang
langsung berkaitan dengan
kehidupan masyarakat. Kesemuanya
itu dikaitkan dengan
agama, artinya dalam
menyampaikan uraian-uraian tersebut berdasarkan dalil-dalil agama baik
berupa ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits
atau contoh-contoh dari
kehidupan Rasulullah Saw.
Sebagaimana diungkapkan pada ciri-ciri Majelis
Ta’lim di atas , maka majelis ta’lim dengan perkembangannya tentunya
juga adanya perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman saat ini. Misalnya di
Jakarta majelis Ta’lim sudah diorganisir secara lebih baik, sehingga
tujuan, arah kegiatan sampai pada model pendekatannya dalam pengajarannya dan
bahkan sampai pada rumusan materi pendidikannya sudah dirumuskan.
Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan
masyarakat maka pola pengembangan da’wah majelis ta’lim tidak cukup
hanya berorientasi kepada tema-tema da’wah yang sifatnya menghibur dan
menentramkan, tetapi juga bersifat memperluas dan meningkatkan yaitu
meningkatkan wawasan dan kualitas keilmuan.
Dalam usaha pembinaan masyarakat khususnya
dalam bidang keagamaan, ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam rangka
mewujudkan tujuan dan fungsi majelis ta’lim, baik itu dalam menentramkan
rohaniahnya maupun memperluas dan meningkatkan wawasan dan pengetahuannya.
Adapun pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam majelis ta’lim diantaranya
adalah[2]:
1. Permasyarakatan doktrin (ajaran ) Jihad
Yaitu semangat untuk mencapai prestasi yang
bersifat horisontal. Dalam hal ini majelis ta’lim mengarahkan jama’ahnya
untuk memahami tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial.
2. Permasyarakatan doktrin Ijtihad
Yaitu menumbuhkan semangat perjuangan dalam
tataran intelektual. Dalam hal ini da’wah dalam majelis ta’lim mampu
mempertajam intelektual jamaahnya melalui sikap bersedia mendengarkan
perkataan, pengumpulan informasi untuk memperoleh bukti serta data yang akurat,
selanjutnya memilih , memutuskan dan mengikuti yang terbaik.
3. Permasyarakatan doktrin Mujahadah
Yaitu usaha terus menerus untuk mencapai
kebenaran atau kedekatan diri kepada Tuhan (Taqarrabanilallah), melalui
tindakan-tindakan atau perbaikan amaliyah ubudiyah. Hal ini dilakukan spritual
religius yang berorientasi untuk memperlembut hati nurani dan memperluas
kepekaan ruhaniah. Dalam majelis ta’lim memberikan bimbingan-bimbingan praktis
terhadap jamaahnya dalam bentuk peribadatan vertikal (hablum minaallah)
seperti shalat, dzikir , do’a - do’a, wirid dan peribadatan lainnya yang
mengarah pada kesadaran atau kehadirat Allah dalam kehidupan. “Melihat bentuk-bentuk
pendekatan tersebut tentunya majelis ta’lim sangatlah perlu dan dibutuhkan
masyarakatan. Dan tentunya dalam hal ini bukan hanya tugas majelis ta’lim tapi
juga tugas masyarakat”[3].
Sistim pengajaran yang diterapkan dalam
majelis taklim terdiri dari beragam metode. Secara umum, terdapat berbagai metode
yang digunakan di majelis taklim, yaitu:
1) Metode Ceramah, yang dimaksud adalah penerangan dengan penuturan lisan oleh
guru terhadap peserta.
2) Metode Tanya Jawab, metode ini membuat peserta lebih aktif. Keaktifan
dirangsang melalui pertanyaan yang disajikan.
3) Metode Latihan, metode ini sifatnya melatih untuk menimbulkan keterampilan
dan ketangkasan.
4) Metode Diskusi, metode ini akan dipakai harus ada terlebih dahulu masalah
atau pertanyaan yang jawabannya dapat didiskusikan.[4]
Sedangkan metode penyajian yang dilakukan di
majelis taklim dapat dikategorikan menjadi:
1) Metode Ceramah, terdiri dari ceramah umum, yakni pengajar/ustadz/kiai
tindak aktif memberikan pengajaran sementara jamaah pasif dan ceramah khusus,
yaitu pengajar dan jamaah sama-sama aktif dalam bentuk diskusi.
2) Metode Halaqah, yaitu pengajar membacakan kitab tertentu, sementara jamaah
mendengarkan.
3) Metode Campuran, yakni melaksanakan berbagai metode sesuai dengan
kebutuhan.[5]
“Institusi pendidikan non-formal ini telah
lama tumbuh dan berkembang di tengah-tengah komunitas muslim sebagai lembaga
dakwah plus pendidikan dan menjadi lembaga yang paling banyak diminati oleh
komunitas muslim dalam mengembangkan wawasan keagamaannya”[6].
Di samping statusnya sebagai institusi
pendidikan Islam non-formal, majelis taklim sekaligus juga merupakan lembaga
dakwah yang memiliki peran strategis dan penting dalam pengembangan kehidupan
beragama bagi masyarakat. Majelis taklim sebagai institusi pendidikan Islam
yang berbasis masyarakat memiliki peran yang strategis terutama terletak pada
upayanya mewujudkan learning society, suatu masyarakat yang memiliki tradisi
belajar tanpa di batasi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan dapat
menjadi wahana belajar, serta menyampaikan pesan-pesan keagamaan, wadah
mengembangkan silaturrahmi dan berbagai kegiatan kegamaan lainnya, bagi semua
lapisan masyarakat. Peranannya yang strategis demikian pada gilirannya membuat
majelis taklim diintegrasikan sebagai bagian penting dari Sistim Pendidikan
Nasional. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI pasal 26 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan non-formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan
formal. Bahkan pada ayat 4 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut
secara eksplisit disebutkan bahwa majelis taklim merupakan bagian dari
pendidikan non-formal. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa majelis taklim
merupakan bagian penting dari Sistim Pendidikan Nasional.
Sebagai bagian dari Sistim Pendidikan
Nasional, majelis taklim melaksanakan fungsinya pada tataran non-formal, yang
lebih fleksibel, terbuka, dan merupakan salah satu solusi yang seharusnya
memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah dan melengkapi pengetahuan
yang kurang atau tidak sempat mereka peroleh pada pendidikan formal, khususnya
dalam aspek keagamaan. Kedudukan majelis taklim yang demikian semakin mendapat
dukungan dari masyarakat yang indikasinya bisa dilihat semakin berkembangnya
majelis taklim dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan
pertumbuhan kuantitas majelis ta’lim di seluruh Indonesia berdasarkan
data yang terdapat di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI.
[4]
Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Cet. 4. Jilid 3. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 43-45.
0 Comments
Post a Comment