BAB III
METODE USWATUN HASANAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.
Bentuk-bentuk Metode Uswatun Hasanah Dalam PAI
Keberhasilan dari suatu
pelaksanaan pendidikan itu akan sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Salah
satu faktor tersebut adalah metode pendidikan. Apabila kita perhatikan dalam
proses perkembangan pendidikan Agama Islam di Indonesia, bahwa salah satu
gejala negatif sebagai penghalang yang paling menonjol dalam pelaksanaan
pendidikan agama ialah masalah metode mengajar agama. Meskipun metode tidak akan
berarti apa-apa bila dipandang terpisah dari komponen-komponen pendidikan yang
lain.[1]
Dalam kaitannya dengan metode
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dimana tujuan umum
pendidikan Islam adalah membimbing anak agar menjadi orang muslim sejati,
beriman teguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat,
agama dan negara.[2]
Maka diperlukan usaha dalam mencapai tujuan tersebut, pendidikan merupakan
suatu usaha sedangkan metode merupakan cara untuk mempermudah dalam mencapai
tujuan. Dalam hal ini keteladanan berperan penting sebagai sebuah metode dalam
mencapai tujuan dari pendidikan Islam.
Kehidupan seorang manusia tidak
jauh berbeda dengan kehidupan manusia lainnya. Sifat-sifat yang ada pada
manusia cenderung ada suatu kesamaan, hal ini bisa diketahui bahwasanya
seseorang berbuat sesuatu karena terobsesi oleh perbuatan orang lain. Wajarlah
bila sifat-sifat yang ada pada manusia punya kecenderungan untuk meniru.
Perbuatan meniru untuk hal yang positif dan terpuji disebut meneladani, yang
biasanya banyak ditemui dalam kehidupan umat. Dalam hal ini seorang pemimpin
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakatnya.
Keteladanan merupakan upaya
konkret dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Karena secara
psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelekpun
ditirunya. Sifat peserta didik itu diakui dalam islam. Umat meneladani nabi;
nabi meneladani Al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu
adalah Al-Quran. Pribadi rasul itu adalah interpretasi Al-Quran secara nyata.
Tidak hanya cara beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan
merupakan contoh tentang cara kehidupan Islami. Contoh-contoh dari rasul itu
kadang-kadang amat asing bagi manusia ketika itu. Contohnya, Allah menyuruh
Rasul-nya menikahi bekas istri Zaid; Zaid itu anak angkat rasul. Ini ganjil
bagi orang arab ketika itu. Dengan itu Allah memberikan teladan secara praktis
yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung; bekas istri anak angkat
boleh dinikahi .
Banyak contoh yang diberikan
oleh nabi yang menjelaskan bahwa orang (dalam hal ini terutama guru) jangan
hanya berbicara, tetapi juga harus memberikan contoh secara langsung. Dalam
peperangan, nabi tidak hanya memegang komando; dia juga ikut berperang ,
menggali parit perlindungan. Dia juga menjahit sepatunya, pergi berbelanja ke
pasar, dan lain-lain. Hal senada disampaikan oleh Khalid bin Hamid al-Khazimi
bahwa pentingnya teladan itu disebabkan karena beberapa hal:
Pertama, manusia itu saling mempengaruhi antara yang satu dengan
yang lain, dalam perkataan,perbuatan, orentasinya, pemikirannya, tradisinya dan
segala sikap prilaku yang lainnya. Kedua, menyaksikan sendiri suatu
sikap atau prilaku dalam pendidikan lebih dapat diterima dari pada melalui
susunan kata-kata, dengan kata lain bahasa sikap lebih dapat diterima dari pada
bahasa lisan. Ketiga, manusia itu pada hakekatnya membutuhkan kepada
sosok yang mampu meluruskan pengetahuan atau anggapan-anggapan atau
konsep-konsep yang salah yang ada pada dirinya dan keempat, adanya
pahala pada teladan yang baik dan adanya dosa pada teladan yang jelek, karena
adanya pahala itu mempertegas terhadap pentingnya teladan.[3]
Adapun bentuk-bentuk uswatun
hasanah dalam pendidikan agama islam adalah sebagai berikut:
a).
Metode Yang Berpengaruh Terhadap Akal
1)
Kisah
Sesungguhnya cerita atau kisah
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi jiwa pendengarnya lantaran di dalamnya
terkandung pentahapan dalam pengurutan berita, membuat kerinduan dalam
pemaparannya, dan membuang pemikiran-pemikiran
yang bercampur dengan emosi kemanusiaan. Cerita juga bertahap dari satu
posisi ke posisi lain yang dapat memikat emosi dan pikiran pendengar sehingga
dimungkinkan adanya interaksi dan larut dalam kisah yang didengarnya pada akhirnya ia
sampai pada titik klimaks, kemudian mengurai sedikit demi sedikit. Titik
penerang dalam peristiwa berada pada cahaya yang menyelamatkan posisi cerita
dan mengalihkannya ke kondisi yang tenang dan teratur atau mengambil posisi
kemanusiaan sebagai akibat dari interaksi pikiran dan kejiwaan bersama dengan
adegan-adegan peristiwa itu.[4]
Penyampaian pesan-pesan
(mendidik) yang beliau lakukan melalui cerita lebih di maksudkan sebagai upaya
beliau agar para peserta didiknya bisa banyak belajar dari sejarah kehidupan
orang-orang yang mendahului mereka, baik tentang kesuksesan ataupun kegagalan,
tentang kebaikan dan keluhuran mereka dan lain sebagainya. Jika cerita tersebut
mengandung kebaikan atau kesuksesan, maka mereka diharapkan bisa meniru dan
meneladani apa yang telah mengantarkan mereka pada kesuksesan tersebut. Begitu
juga sebaliknya.[5]
Yang penting untuk di catat adalah bahwa kisah-kisah yang beliau sampaikan
adalah bersandar pada fakta riil
yang pasti yang pernah terjadi di masa lalu. Jauh dari khurafat dan mitos.
Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan keyakinan sejarah pada diri anak, juga
menambahkan spirit pada diri anak untuk bangkit serta membangkitkan rasa
keislaman yang bergelora dan mendalam.[6]
2)
Dialog dan Rasionalisasi
Seperti halnya akal dan
kemampuan manusia yang berbeda kadar pemahaman dan tingkat kecerdasan, berbeda
pula kadar kerelaan terhadap perintah Allah dan larangan-Nya, ada diantara
mereka yang tidak puas dengan dalil, kecuali setelah jelas hikmah dari syari'at
tersebut namun ada pula mereka yang merasa cukup dan puas dengan dalil itu.
Pada umumnya begitu pula yang
terjadi pada murid, diantara mereka ada yang tidak puas dengan kaidah-kaidah
dan asas yang telah diistilahkan oleh ulama' kecuali jelas hikmahnya. Ada juga
diantara mereka yang tidak bisa mencapai kepahaman sempurna kecuali setelah
kaidah ataupun masalahnya dijelaskan dengan dialog dan rasionalisasi.[7]
3)
Pengamalan Praktis
Rasulullah SAW pernah melihat
anak yang sedang menguliti kambing, namun salah dalam mengerjakannya. Lalu
Rasulullah menyingsingkan lengan dan mulai menguliti kambing itu di hadapannya.
Iapun memperhatikan Rasulullah menguliti kambing. Ia mengfungsikan akal dan
memusatkan perhatiannya pada pengajaran yang diberikan oleh Rasulullah. Melalui
pengalaman nyata dan praktis di dalam mendidik anak seperti ini, wawasan anak
akan terbuka dan pengetahuannya semakin luas.[8]
4)
Berbicara Langsung
Bahasa adalah alat komunikasi
antar manusia. Dan telah dimaklumi tingkat perbedaan dalam cara-cara orang
berbicara. Ada yang berbicara panjang lebar padahal informasinya sedikit.
Seperti apakah ucapan Rasulullah SAW? Sebagaimana yang diriwayatkan Sayyidina
Aisyah: bahwa Rasulullah tidak berbicara dengan sambung menyambung (nyerocos)
seperti yang kalian lakukan, akan tetapi pembicaraan Rasulullah terpisah dengan
jeda. Jika seseorang menghitung kata-katanya tentu ia dapat menghitungnya.
Sedangkan jika Rasulullah SAW mengucapkan satu kalimat beliau mengulanginya
sebanyak tiga kali agar dapat diingat.[9]
5)
Perumpamaan
Untuk lebih memudahkan
diterima, dicerna dan dipemahami pesan pendidikan yang hendak disampaikan
kepada peserta didiknya beliau seringkali memberikan perumpamaan-perumpamaan
yang dekat dan akrab dengan kehidupan sehari-hari mereka atau secara umum sudah
dikenal oleh mereka. Ini untuk mempermudah pemahaman terutama peserta didiknya
yang berada dalam taraf intelektual yang sedang. Sehingga mereka bisa lebih
mudah untuk mengingat isi pesan yang disampaikan, terutama ketika sedang ingat
kepada perumpamaan yang dipakai. Dalam banyak kasus pendidikan yang berlangsung
antara Beliau dan peserta didiknya, Beliau tidak langsung menjawa atau
memberikan penjelasan atau persoalan yang diajukan atau sedang dibahas bersama
peserta didiknya dengan memakai bahasa
yang komplit atau verbal. Beliau seringkali memberikan penjelasan dengan memakai
pendekatan perumpamaan.[10]
b).
Metode Yang Berpengaruh Terhadap Kejiwaan
1)
Motivasi
Metode pemberian motivasi
adalah salah satu faktor yang dapat
membangkitkan semangat dan keinginan belajar. Jiwa manusia pada hakekatnya
selalu ingin mengetahui sesuatu yang baru. Jadi, dorongan dan motivasi yang
diberikan kepada peserta didik dapat membuatnya sangat bersemangat dan memiliki
keinginan yang kuat untuk mencari dan meneliti apa yang hendak diketahuinya.[11]
2)
Ancaman
Di dalam Al-Qur'an banyak
dijumpai ayat-ayat yang bersifat memotivasi dimana ayat yang demikian tak
satupun yang tidak diikuti dengan ancaman. Motivasi dan ancaman adalah dua hal
yang saling terkait satu sama lain.[12]
Motivasi dan ancaman merupakan bagian dari metode kejiwaan yang sangat
menentukan dalam meluruskan anak. Ini merupakan
cara yang sangat jelas dan gambling dalam pendidikan ala Nabi SAW. Beliau sering menggunakannya dalam
menyelesaikan masalah anak disegala kesempatan.[13]
3)
Mengembangkan Potensi dan Bakat
Pendidik yang sukses adalah dia
yang mampu menemukan sejumlah potensi dan bakat terpendam yang ada pada diri
peserta didiknya, kemudian menyalurkan bakat tersebut dengan cara yang tepat.
Karena setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian tertentu, meski berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Tidak ada perbedaan pada manusia, kecuali
sebatas perbedaan tingkat kemampuan atau keahlian. Dengan kata lain, perbedaan
yang ada hanya sebatas perbedaan tingkatan atau kuantitas, dan bukan perbedaan
kualitas.[14]
[1]
Zuhairini, Abdul Gofir, Slamet As. Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal. 79.
[2] Ibid, hal.
45.
[3]
Syahidin, Metode Pendidikan Qur`ani : Teori dan Aplikasi, (Jakarta : Misaka Galiza, 2001), hal. 19
[4]
Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi (panduan lengkap pendidikan anak
disertai teladan kehidupan para salaf), penerjemah: Salafudin Abu Sayyid,
(Solo: Pustaka Arafah, 2006),hal. 453.
[5] M.
Fethullah Gulen, Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah Saw. Di Terjemahkan
Oleh: Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2002),hal. 197-198.
[7]
Fuad Bin Abdul Aziz Al-Syahlub, Quantum Teaching, 38 Langkah Belajar Mengajar
EQ Cara Nabi SAW, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), 91.
[9]
Najib Kholid Al-Amir, Mendidik Cara Nabi, Terj. M. Iqbal Haitami,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 35-36.
0 Comments
Post a Comment