Cara Pelaksanaan Syariat Islam
A.
Cara
Pelaksanaan Syariat Islam
Dalam
penegakan syari’at Islam, maka adapun langkah awal yang mesti dilakukan adalah
rekonstruksi ulang dalam pikiran kita bahwa hukum Islam merupakan hukum yang
terbaik yang ada di dunia ini. Adanya keyakinan bahwa Islam dengan syariatnya
yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia merupakan cara untuk membawa
manusia kepada keadilan dan kedamaian.
Penegakan syari’at ini tidak hanya
membawa kedamaian kepada kaum muslimin tetapi kepada seluruh manusia
seluruhnya, termasuk alam lingkungan yang disamping diambil manfaatnya juga
harus dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang pada
akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Selain
itu perlunya sosialisasi yang dilakukan
oleh pemerintah dalam memperkenalkan Perda syari’at Islam dalam hal ini bagi
wilayah yang berbasis syari’at Islam, serta pentingnya untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat akan hakekat dari syari’at Islam itu sendiri. Sistem
kehidupan masyarakat dunia hingga kini masih didominasi dua sistem yakni sistem
kapitalis dan sosialis. Kedua sistem tersebut dibangun atas dasar materi belaka
(materialisme: tanpa nilai ruhiyah). Pada sisi inilah keduanya bertemu
meski pun dalam segi ide (fikrah) dan metode pelaksaan (thariqah)
peraturannya terkadang berbeda. Sebagai contoh sistem kapitalisme memandang
individu bebas bertindak dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih
kebahagiaan duniawi, tidak mau menerima pengawasan orang lain serta menolak
untuk dibatasi dan dibelenggu kebebasannya. Sedangkan sisrem sosialisme memandang
individu hanyalah bagian dari alat/sarana produksi yang tidak memiliki
kebebasan atau pilihan.
Masyarakat
pada sistem kapitalis selalu berubah peraturannya, terpecah-pecah hubungannya,
tidak diawasi dan dikoreksi oleh siapa pun, karena dalam pandangan sistem ini,
masyarakat terbentuk dari sejumlah individu yang ingin bebas sehingga mereka
tidak memiliki kemampuan mengoreksi masyarakat/individu lainnya. Adapun pada
sisitem sosialis, masyarakat bertingkat-tingkat (kelas) yang saling
bertentangan dan saling mewaspadai antara satu dengan lainnya, karenanya peran
negara pada sistem ini sangat mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat. Dalam
sistem kapitalis negara merupakan sarana yang bersifat temporal untuk menjaga
dan mempertahankan kebebasan individu. Sedangkan pada sosialisme, negara ibarat
tangan besi yang memaksa dan menghancurkan sisa-sisa sistem yang lama untuk
mengarahkan masyarakat agar produktif secara bersama-sama, dipimpin oleh
negara.
Sistem
Islam berbeda dengan kedua sistem tersebut dan jelas takkan pernah bertemu
apalagi berkompromi, baik dalam fikroh maupun thariqahnya. Pembahasan kali ini,
bukan untuk mengadakan perbandingan mendetail antara dua sisitem sebelumnya.
Namun saat ini akan dilihat secara ringkas bahwa sistem Islam dengan ketiga asasnya
merupakan sistem tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem-sistem lain yang
ada, baik yang lama maupun yang baru. Kemudian ketiga asas ciri khas sistem
Islam tersebut akan dirinci sebatas kesempatan yang ada.
1. Asas Pertama
Asas
pertama pembangun sistem Islam adalah ketakwaan yang tertanam dan terbina pada
setiap individu di masyarakat. Seorang muslim memiliki pandangan mendalam dan
jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia dan kehidupan serta apa
yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan
menumbuhkan perasaan dan indera seorang mukmin terhadap takwa, dan menjadikan
aqidahnya sebagai pengontrol tingkah lakunya sehingga tidak akan pernah
bertentangan dengan aqidahnya. Hal ini terjadi karena mafahim (ide-ide yang
nyata atau bukan khayali) tentang kehidupan dan tingkah laku seorang mukmin,
terpancar dari aqidahnya.
Seorang
mukmin mengetahui secara pasti bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Dia juga
menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia kan dihidupkan kembali oleh-Nya,
kemudian akan dihisab terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Ia
menyakini semua ini secara pasti tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit
pun. Dan keyakinan ini membekas dalam sikap hidupnya sehari-hari di masyarakat.
Contoh kebenaran pernyataan ini banyak sekali dapat kita temukan dalam rentetan
sejarah Islam yang agung, malah masih bisa ditemukan saat ini walaupun kaum
muslimin dalam keadaan terpecah belah dan tidak berjalannya sistem Islam.
Pada
masa Nabi Muhammad saw (periode terbaik dan teragung dalam sejarah Islam)
banyak teladan yang amat menakjubkan tentang ketakwaan para sahabat dalam
melaksakan dan memperjuangkan Islam. Pada masa itu cukuplah Rasululah saw
memberi isyarat (berperang), seluruh kaum muslimin yang telah beriman langsung
berangkat ke medan perang untuk meraih kemenangan atau syahid, tanpa ada
keraguan dan keterlambatan sedikitpun.
Kisah
Ma’iz Al Aslami dan al Ghamidiyah, radliyallahu ‘anhuma merupakan teladan yang
tepat sekali untuk menggambarkan betapa tingginya rasa ketakwaaan pada diri
para sahabat. Ma’iz adalah seorang mukmin sejati, demikian pula Al Ghamidiyah.
Suatu ketika Al Ghamidiyah ini datang ke hadapan baginda Rasulullah dan mengaku
telah berbuat zina, seraya meminta supaya baginda Nabi menjatuhkan hukuman/had
kepada sesegera mungkin. Nabi saw menangguhkannya hingga ia melahirkan (anak
yang dikandungnya) dan kemudian ditangguhkannya lagi hingga selesai
melaksanakan kewajiban menyusui anaknya; namun demikian selama itu ia masih
terus meminta agar hukum syara’ diberlakukan atas dirinya yaitu hukum rajam.
Begitu
pula hal dengan Ma’iz ra, ia telah melakukan seperti yang dilakukan oleh wanita
mukminah tadi. Rasulullah telah memberinya kesempatan untuk mengajukan
bukti-bukti, namun demikian ia tetap meminta kepada nabi agar sudi mensucikan
dirinya dan menegakkan hukum Allah SWT padanya (atas perbuatannya). Demikian
gambaran ketinggian aqidah dan akhlak individu masyarakat Islam, yang pada
akhirnya menjadi asas pertama penopang kehidupan masyarakat Islam.
Pada
masa sekarang pun, masih banyak teladan yang menunjukan tingginya nilai taqwa
individu dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Mayoritas umat Islam masih tetap
tegar menjauhi minum khamer, perbuatan-perbuatan keji, riba, dan harta yang
diperoleh dengan cara yang haram, sekali pun penguasa beserta sistem kufur yang
berlaku dewasa ini memberinya peluang dan kemudahan untuk itu. Semua ini sudah
cukup menjadi bukti bahwa ketaqwaan individu menjadi salah satu asas pokok
kehidupan masyarakat Islam.
2. Asas kedua
Asas
kedua dalam penegakkan sistem Islam adalah adanya sikap saling mengontrol
pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa,
pada masyarakat. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang
dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka
sehingga menjadi masyarakat yang solid (persatuannya). Masyarakat
seperti ini jelas berbeda dengan masyarakat kapitalisme yang terpecah-pecah
oleh rasa individualistis serta berubah. Juga tidak sama dengan masyarakat
sosialisme yang saling bertentangan dan mengalami fase kehidupan yang keras dan
penguasa yang absolut untuk mencapai masyarakat tanpa kelas yang diidamkan.
Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan
taqwa dalam diri individu.
Lebih
dari itu masyarakat Islam memiliki kepekaan indera yang sangat tajam, bagaikan
pekanya anggota tubuh terhadap sentuhan apapun yang mengenai tubuhnya. Tubuh
yang hidup akan merasakan luka apapun yang menimpa salah satu anggotanya,
kemudian ia bereaksi, bergoncang dan berusaha melawan penyakit tadi sampai
lenyap. Dari sisi inilah maka amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang
paling esensial sekaligus yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat
lainnya.
Oleh
karena itu ketaqwaan individu itu dapat dipengaruhi dan dibina oleh pandangan
masyarakat dan individu. Sedangkan individu tidak lain adalah salah satu unsur
dari masyarakat yang tegak atas dasar ketaqwaaan yang kuat. Dalam naungan
masyarakat inilah, individu yang berbuat maksiat tidak berani terang-terangan,
atau bahkan tidak berani melaksanakannya. Bahkan kalau pun ia tergoda juga
untuk melakukannya ia akan berusaha menyembunyikannya. Namun begitu dengar ia
sadar dan kembali kepada kebenaran dan bertaubat atas kekhilafannya.
Bahkan
orang-orang munafik sekali pun, dimasa nabi saw, tidak berani menampakkan apa
yang mereka sembunyikan dan menampakkan rencana-rencananya. Pada zaman
kekhalifahan Abbasiyah didapati orang-orang fasik, tapi jumlahnya sedikit, yang
dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah-rumah orang-orang Nashrani (kafir
dzimmi) hanya untuk meminum seteguk khamr. Mereka melakukan hal ini bukan
hanya karena takut kepada penguasa saja ataupun sanksi yang akan diterimanya,
akan tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan keras dari
masyarakat inilah, yang menjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil
penyelewengan tersebut bersembunyi.
Contoh
lain dari kenyataan hidup sehari-hari dewasa ini juga dapat dilihat.
Orang-orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat pedesaan, yang masih bersih
dari noda-noda kemerosotan akhlak, seperti adanya kedai-kedai khamr,
tempat-tempat mesum dan lain-lain. Sedikit sekali diantara mereka yang berani
melakukan kemaksyiatan atau perbuatan haram, karena masih khawatir atas
pengawasan masyarakat terhadap kemaksyiatan yang ada di masyarakat tersebut. Karenanya,
pengawasan masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahyi munkar merupakan asas
kedua yang menopang kehidupan masyarakat Islam. Dengan asas ini makin kokohlah
bangunan masyarakat Islam sehingga mampu membawa kepada kemuliaan umat.
3. Asas Ketiga
Asas ketiga pembangun masyarakat Islam adalah
keberadaan negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syara’. Kedudukan negara
dalam Islam, tidak lain selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya
serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan
rakyatnya. Keberadaan terpenting sebuah negara/pemerintahan dalam masyarakat
Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Maka dalam negara Islam, kedaulatan (penentu nilai benar
salah) itu adalah milik syara’ saja, sedangkan kekuasaan (penentu siapa yang
akan melaksanakan nilai benar salah) adalah milik umat. Artinya umat memiliki
kekuasaan untuk mengatur dan melaksanakan pemerintahan, dengan tetap berdasar
kepada hukum syara’ karena kedaulatan hanyalah berdasar syara’ semata.
Sedangkan kekuasaan melaksanakan hukum diserahkan kepada manusia untuk memilih
pemimpinnya dalam melaksanakan hukum tersebut.
Dalam
sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku
individu dan sikap masyarakat.Hal ini terjadi karena umat secara keseluruhan
merupakan penyangga bagi negara; dimana negara diberi wewenang penuh untuk
menerapkan hukum-hukum syara’ tanpa melihat tinggi-rendahnya kedudukan
seseorang. Dan tanpa merasa khawatir, apalagi takut, menindak siapa saja yang
melakukan penyelewengan dan kejahatan walaupun kejahatannya meluas dan
jumlahnya besar.
Oleh
karena itu ketika nampak adanya kemurtadan, sesaat setelah Rasulullah saw
wafat, dan kejahatan merajalela serta menunjukkan tanda-tanda membahayakan
stabilitas negara Khilafah yang masih muda umumnya itu, dengan segera Abu Bakar
mengambil tindakan menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para murtaddin
itu kembali kepada kebenaran (Islam) semula. Kemudian Allah SWT menghinakan
para pemimpin kafir yang mengibarkan bendera kemurtadan lalu kembalilah Islam
menjadi kuat dan mulia.
Dengan
demikian, negara merupakan asas tegak dan kokohnya masyarakat Islam.
Negara/pemerintahan mengawasi dan mengontrol masyarakat, individu dan
pelaksanaan seluruh hukum Islam. Kepadanyalah Allah memberikan amanah untuk
menerapkan syari’at Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya yang
menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab
mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya.
Karena
itu negara menegakkan sanksi-sanksi hukum dan menyebarkan keadilan serta
mengembalikan hak-hak kepada fihak yang seharusnya menerimanya. Negara
memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam di seluruh
pelosok dunia. Negara juga merupakan pemimpin bagi umat dalam mengatur
perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah masyarakat. Negara pula
yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan
perang, membuat perdamaian, kerjasama ekonomi maupun yang lainnya untuk
kemaslahatan bersama. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat serta individu
dan meminta pertanggungjawaban mereka tanpa memandang siapa pun juga. Dalam hal
ini negara tidak membujuk masyarakat dan individu untuk mendapat suara yang
terbanyak seperti apa yang terjadi dalam sistim kapitalisme. Dalam sistem
Islam, negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syari’at Islam, tetapi
lunak terhadap umat dan individu ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi
tingkah laku para penguasa.
Oleh
karena itu dalam sistem Islam pengontrolan dan pengawasan dan pelaksanakan
hukum dilakukan secara bersama-sama. Individu merupakan penyangga dan
pengoreksi tingkah laku masyarakat dan pengausa. Sedang masyarakat adalah pilar
yang membentuk kepribadian individu secara Islami yang khas, lalu meluruskan
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan serta mendukung negara dan
meminta pertanggungjawabannya, juga ikut serta dalam menyangga masyarakat dan
individu, disamping memenuhi dan melayani seluruh kebutuhan masyarakat,
berdasarkan peraturan-peraturan Islam, serta meminta pertanggungjawaban mereka
terhadap setiap kesalahan dan penyelewengan.
Setelah
kita lihat gambaran umat Islam yang disimbolkan dengan negara, masyarakat dan
indivudu-individunya, kita dapat menyimpulkan bahwa ummat Islam adalah ummat
yang kokoh bangunannya, sempurna dan konsisiten peraturannya sehingga tidak
terdapat sedikitpun celah-celah yang memungkinkan disusupi oleh
pemikiran/ideologi asing. Keadaan ummat yang kacau balau selama ini, yang telah
menggoncangkannya, sehingga ambruk bangunannya dan ditentukan oleh
peraturan-peraturan kufur; semuanya itu telah terjadi setelah ummat Islam
menjauhkan diri dari dienul Islam dan mencampakkan peraturan-peraturan Islam.
Padahal dienul Islam itulah yang telah memuliakan mereka dan meninggikan
martabatnya di antara ummat-ummat lain.[1]
Terkadang
umat Islam kadang berfikir bahwa penegakan syari’at Islam merupakan sebuah
utopia, terlebih adanya anggapan bahwa syari’at Islam dengan segala
konsekuensinya dengan hukuman yang begitu mengerikan seperti hukum potong
tangan, rajam, dera dan lain sebagainya. Pemahaman yang parsial tentang hukum Islam
tentunya akan membawa kepada pemahaman yang keliru tentang hukum Islam itu
sendiri. Dalam Islam, penjatuhan hukuman kepada seseorang dilakukan dengan
sangat hati-hati. Sebagai contoh hukuman kepada pelaku zina baru dilakukan
apabila sudah mempunyai saksi sebanyak 4 orng laki-laki yang adil sebagaimana
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Dalam
penetapan suatu hukum, Islam menganut azaz praduga tak bersalah, dimana
seseorang tidak boleh menuduh orang lain berbuat kejahatan sebelum membawa
bukti-bukti yang nyata dan jelas tentang
kejahatan yang dilakukannya. Seperti menuduh wanita baik-baik melakukan zina,
Islam mengancam dengan hukuman 80 kali dera seperti yang dijelaskan pada ayat 4
surat An Nur sebagai berikut :
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً
وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ) النور: ٤(
Artinya: Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.(Qs. An-Nur:4)
Ayat
di atas sangatlah manusiawi dan rasional
sekali, Islam menyuruh umatnya untuk berhati-hati dalam menuduhkan seseorang
dalam berbuat kejahatan dan lebih mengutamakan prasangka baik (husnudzan) dalam
kehidupan sesama manusia.
[1]
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam penegakan
Syariat Dalam Wacana dan Agenda. (Jakarta: Gema Insani Press. 2003), hal. 24.
Post a Comment for "Cara Pelaksanaan Syariat Islam"