C. Dampak Sifat Fathanah Terhadap Anak Didik.
Sifat Fathanah
merupakan suatu sifat yang sangat penting untuk proses berlangsungnya
pendidikan. Kalau kita lihat, Fathanah” Berasal dari bahasa arab yang
berarti ” Cerdas”. Sementara sifat cerdas itu sendiri adalah Sifat yang sempurna dalam perkembangan akal
budinya ( untuk berpikir, mengerti, memahami dan sebagainya ). Tajam pikiran,
seperti sekolah bertujuan untuk mendidik anak-anak supaya menjadi orang yang
lebih baik budinya”.12
Fathanah atau kecerdasan akrab di telinga semua
orang yang bekepentingan atas pendidikan. Kecerdasan
menjadi kunci memaknakan keberhasilan pendidikan, meski belum tentu arah
kecerdasan yang dimaksud. Beberapa dekade ke belakang, kecerdasan pada
seseorang lebih diarahkan pada kemampuan berfikir untuk hal-hal yang bersifat
materil.
Dalam Al-quran,
pendidikan pada anak-anak kita diidamkan menjadikan mereka sebagai penghias
mata (qurrah al-ain) dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
(lil muttqîn imâmâ). Kwalitas estetik dan ketaqwaan ini, berdimensi
sosial-transendental. Dalam bahasa populer manajemen kecerdasan mutakhir
terdiri dari; kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ),
dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam konteks itu, penulis punya catatan tersendiri atas
kecendrungan prestasi yang diraih oleh seorang anak didik, sering diukur dengan
nilai raport yang terkesan formalistik. Bila warna merah mendominasinya, maka
mereka diposisikan gagal. Padahal nilai-nilai raport hanya representasi dari
kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient, IQ). Sementara kecerdasan
emosional (Emotional Quotient, EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual
Quotient, SQ) kurang mendapat perhatian dalam nilai raport yang selama ini
ada. Kalaupun ada, kita mendapatinya
hanya beberapa kolom dengan ukuran a, b, dan c, yang menurut hemat penulis
tidak cukup memadai untuk merepresentasikan dua kecerdasan itu. Padahal kedua
macam kecerdasan itu sudah ada benihnya dalam setiap anak didik. Menumbuhkan
keduanya merupakan target strategis bagi setiap penyelenggara pendidikan.
Potensi
Kecerdasan. Kecerdasan intelektual (IQ), dibangun lewat nalar
salah-benar ketika menyikapi segala sesuatu di luar diri anak didik. Ini tidak
terlalu berpengaruh dalam menciptakan sosok pribadi yang paripurna. Tapi harus
dilengkapi dengan rasa 'enak dan tidak' dalam prilaku sosial sebagai
representasi dari kecerdasan emosional (EQ) dan kondisi 'tenang-gundah'
sebagai manifestasi kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat
transendental.
Kecuali
itu, nalar salah-benar cendrung melakukan prose 'dehumanisasi' pada diri anak
didik. Mereka terpaksa memandang diri dan lingkungannya sesuai tolak ukur yang
mekanik. Sementara perasaan dan keyakinan disembunyikan dalam dirinya. Mereka
dijejali dengan kepribadian artifisial yang satu saat akan merugikan sisi
kemanusiaan itu sendiri. Menjadi sukses ditakar dengan deret ukur, tidak peduli
sisi emosi dan spiritual anak ketika ada dalam lingkungannya.
Aktualisasi potensi kecerdasan akan membawa implikasi
yang sangat besar pada anak didik dalam cara berfikir dan bersikap. Mendidik
bukan saja menjadikan seseorang menjadi 'rasional', tetapi lebih menjadikannya
bersikap 'irrasional'. Karena terdapat potensi besar dalam diri setiap
individu. Tidak hanya menyangkut hubungan-hubungan sosial antarmanusia, tetapi
juga hubungan-hubungan transendental yang bersifat emosional-spiritual .
Memaknakan eksistensi emosional-spiritual bagi anak
didik sedianya menjadi agenda penting bagi para penyelenggara pendidikan.
Pendidikan, kecuali bertujuan membentuk kecerdasan intelektual, juga membentuk
pribadi anak didik yang peka akan eksistensi emosioal-spiritualnya. Pendidikan
yang terlalu mementingkan kecerdasarn intelektual mereduksi hakikat kemanusiaan
itu sendiri; sebagai makhluk sosial dan emosional-spiritual sekaligus.
Lalu bagaimana
menumbuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual tersebut ? Pertanyaan ini berimplikasi pada; (1)
aktualisasi kurikulum yang berlaku, (2) peran seorang guru, (3)
peran orang tua, dan (4) lingkungan di sekeliling anak didik. Semuanya
harus diperankan secara integratif, baik itu oleh diri anak didik sendiri atau
pihak di luar anak didik.
Kurikulum berbasis kompetensi yang belakangan marak
dipergunakan di sekolah-sekolah, sedianya dicermati secara jeli. Kalau saja
jatah untuk mengelola ketiga potensi kecerdasan anak tidak diberikan secara proporsional, maka
hasil yang didapatkan akan berbanding lurus dengan prosentasi itu. Jika ia
hanya beda dalam 'cara mengajar' bukan pada 'apa yang diajarkan', maka
aktualisasi kurikulum mutlak dilakukan.
Upaya itu, tidak
perlu ditakuti sebagai yang 'melanggar' ketentuan pengajaran yang disepakati
bersama. Otonomi tiap penyelenggara pendidikan terlihat signifikansinya ketika,
'kurikulum resmi' terkesan dikramatkan yang pada gilirannya mengorbankan out
put tiga kecerdasan anak didik itu sendiri. Kurikulum sedianya
diaktualisasikan dalam bentuk turunan program pengajaran yang sesuai dengan
konteks ruang dan waktu di mana proses belajar-mengajar dilakukan.
Penyelenggara pendidikan harus berani menanggung resiko
coba dan salah dalam proses belajar-mengajar. Kalau perlu tiap semester,
turunan program pengajaran itu mengalami perubahan secara signifikan.
Pendidikan harusnya ditempatkan sebagai prose yang terus berjalan (on going
process) mengiringi perubahan ruang dan waktu itu sendiri. Dan ia tidak
dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan kaku.
Selain itu, peran guru yang selama ini dianggap
'sentral' oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan terhadap dunia
pendidikan, harus segera dijernihkan. Guru kerapkali diposisikan tidak
proporsional, hingga tidak fokus menjalankan fungsi dasarnya sendiri. Ketika
anak didik berada di sekolah, memang sepenuhnya menjadi tanggungan seorang
guru. Tapi tetkala anak didik berada di luar sekolah, peranannya diambil alih
oleh pihak selain guru.
Pendidikan adalah sistem yang membutuhkan peranan semua
pihak; baik itu guru, orang tua, dan lingkungannya. Seorang guru hanya beperan
sekitar 25 % dari aktifitas anak didik manakala dititipkan di sekolah.
Selebihnya pihak orang tua dan lingkungannya, memegang peranan yang tidak kalah
pentingnya. Separoh lebih proses belajar-mengajar, sebenarnya diperankan secara
efektif oleh para orang tua dan lingkungannya itu.
Pendidikan di negara kita, memang masih jauh untuk
diselenggarakan ‘gratisan’ bagi warganya. Meski Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan
peraturan perundang-undangan yang memberikan dana pendidikan kurang dari 20 %;
seperti ketentuan UUD 1945. Namun alokasi itupun, hemat
penulis belum cukup untuk menyelesaikan problem profesionalisasi pendidikan di
negari ini.
Persepsi keliru atas dunia pendidikan, sedianya jadi
pelajaran penting bagi orang tua dan lingkungannya. Tanggungjawab pendidikan
itu tidak hanya dibebankan pada pundak seorang guru. Tapi dialamatkan juga pada
peranan orang tua dan lingkungannya itu sendiri. Jika ini bisa dimulai,
kecerdasan paripurna tidak lama lagi akan bersemayan dalam diri anak didik
kita.
Sifat Fathanah (cerdas) yang dimiliki oleh
pendidik akan sangat berpengaruh terhadap anak didiknya. Biasanya anak yang
cerdas lahir dari keluarga yang cerdas dan dari guru yang cerdas dalam
memgasuhnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan sifat fathanah atau
kecerdasan baik secara intelek tual maupun emosional.
Nabi pernah bersabda tentang bagaimana sesungguhnya
kecerdasan yang hakiki. Seperti dalam sabdanya:
الكيس
من دان نفسه(أي حاسبه) وعمل لما بعد الموت , والعجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على
الله الأمانى (رواه أحمد و النرمذى وقال : حديث حسن )
Artinya: Orang yang cerdas adalah mereka yang
mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati,
Sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan
kepada Allah”.(Riwayat Ahmad dan Turmuzi, berkata Turmuzi: hadits ini hasan
derajatnya)12
Menurut Hadist ini, kecerdasan sesorang dapat diukur
dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan
mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual).
Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa
setiap amalan di dunia sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan dihadapan
Allah SWT.
Keyakinan tentang keabadian, menjadikannya lebih
berhati-hati dalam menapaki kehidupan di dunia ini, sebab mereka percaya bahwa
kehidupan ini tidak sekali di dunia ini saja, tapi ada kehidupan yang lebih
hakiki. Dunia adalah tempat menanam, sedangkan akhirat adalah tempat memanen.
Siapa yang menanam padi akan menuai padi. Siapa yang menanam angin akan menuai
badai.
Tidak hanya bersikap hati-hati, orang yang cerdas spiritual nya
lebih bersemangat, lebih percaya diri dan lebih optimis. Mereka tidak pernah
ragu-ragu berbuat baik, sebab jika kebaikannya tidak bisa dinikmati saat di
dunia mereka masih bisa berharap mendapatkan balasannya di akhirat nanti. Jika
tidak bisa dinikmati sekarang, amal kebaikan itu akan berubah menjadi tabungan
atau deposito secara otomatis yang kelak akan dicairkan justru pada saat mereka
sangat membutuhkan di alam keidupan sesudah mati.
Saat menanam pohon, misalnya mereka sangat antusias.
Mereka yakin jika pohon tersebut nantinya berbuah tidak ada yang sia-sia
sekalipun buahnya dimakan burung atau dimakan orang lain. Sekalipun ia tidak
menikmati buah itu di dunia ini, ganjaran nya akan dipetik di akhirat nanti.
Orang-orang ini, ketika melihat ketidakadilan di dunia
tidak segera putus asa. Sekalipun para koruptor bebas berkeliaran, sedang
orang-orang sholeh justru dipenjarakan, mereka tetap memandang dunia dengan
pandangan yang positif. Mereka tetap berjuang menegakan keadilan, sekalipun
keadilan yang hakiki barus dirasakan kelak di akhirat. Di depan mahkamah Ilahi
tidak ada barang bukti yang hilang atau sengaja dihilangkan. Mulut dikunci dan
semua anggota tubuh bersaksi.
Ciri orang yang cerdas sebenarnya telah tampak jelas dalam derap
langkahnya, ketika mereka membuat rencana, saat mengeksekusi rencananya dan pada
saat melakukan evaluasi. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat sendirian atau
dalam interaksi sosialnya nampak wajahnya yang sennatiasa bercahaya,
memancarkan energi positif, menjadi magnet power, penuh motivasi, menjadi
sumber inspirasi, dan berfikir serta bertindak positif. Mereka akan bersikap
baik dan benar baik ketika ditengah keramaian maupun disaat sendirian karena
dimanapun dia berada merasa dilihat oleh Allah. Orang seperti ini mempunyai
integritas (selaras antara kata dan perbuatannya).
Orang yang cerdas emosi dan spiritual enak diajak
bergaul, karena mereka telah terbebas dari su’udzan (buruk sangka, hasad
(iri atau dengki) dan takabur (menyombongkan diri). Orang-orang inilah yang
memiliki potensi untuk meraih sukses di dunia sekaligus sukses menikmati
kehidupan surgawi di akhirat nanti. Semoga Allah SWT menganugrahi kepada kita
gabungan tiga kecerdasan sekaligus, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan
spiritual dan kecerdasan emosional.
0 Comments
Post a Comment