Dasar dan Tujuan Pendidikan Anak
A.
Dasar dan Tujuan Pendidikan Anak
Setiap usaha, kegiatan
dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan mempunyai tujuan
landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan anak
sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus mempunyai dasar ke mana kegiatan
dan perumusan tujuan pendidikan anak itu dihubungkan.
Dasar itu terdiri dari
Alquran dan Sunnah yang dikembangkan dalam bentuk ijtihad. Kemudian landasan tersebut juga dikembangkan
dan bentuk undang-undang negara yaitu UUD 1945. untuk memperjelas persoalan
tersebut, maka ada baiknya penulis menguraikan dasar pendidikan anak menurut
katagori masing-masing antara lain:
1.
Alquran
Alquran ialah firman
Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Di
dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan
seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Alquran itu
terdiri dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang
disebut dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut syari’ah.
Ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Alquran, tidak sebanyak
ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah
yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesamanya
(masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk
dalam ruang lingkup amal shaleh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa
digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari’at ini ialah:
a.
Ibadah untuk perbuatan
langsung berhubungan dengan Allah.
b.
Mu’amalah untuk
perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah.
c.
Akhlak untuk tindakan
yang menyangkut etika dan budi pekerti manusia, baik pribadi maupun masyarakat.[1]
Pendidikan, karena
termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke
dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut
menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun
masyarakat.
Di dalam Alquran terdapat
banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha
pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman mengajari
anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai 19 sebagai berikut:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ
الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن
كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ,وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ
وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ, , وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ,
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ
مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ
فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ ,يَا بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ, وَلَا تُصَعِّرْ
خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ, وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ
مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ) لقمان:- ١٢-١٩(
Artinya: Dan sesungguhnya telah
Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman: 12-19).
Cerita ini
menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak
ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan
nilai tentang sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan
pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu, pendidikan
Islam harus mengunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai
materi tentang pendidikan Islam.[2] Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Alquran yang
penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan
dan perkembangan zaman.
2.
Hadis (As-Sunnah )
As-Sunnah ialah
perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah Swt. Yang dimaksud dengan
pengakuan ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah
dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. As-Sunnah
merupakan sumber ajaran kedua sesudah Alquran. Seperti Alquran, As-Sunnah juga
berisi tentang aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk
kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi
manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu, Rasul menjadi guru dan
pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah
Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk
mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang
baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia
muslim dan masyarakat Islam.[3]
Oleh karena itu,
Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi muslim. Sunnah
selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa
ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan
dengan pendidikan.
3.
UUD 1945
Pendidikan adalah
usaha untuk mendidik manusia agar ia mampu menjalani kehidupannya baik dalam
kehidupan berbangsa maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, dalam Undang-undang
Dasar 1945 dijelaskan bahwa “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah
dan berlangsung seumur hidup.”[4]
Berdasarkan keterangan
di atas, maka dapat difahami bahwa proses pembelajaran wajib diterima setiap
manusia Indonesia seumur hidup.
Hal ini disebabkan pendidikan merupakan salah satu usaha yang dilakukan
secara sadar dalam mengembangkan kemampuan dan kepribadian.
Di sisi lain,
pendidikan juga perlu diberikan kepada semua bangsa Indonesia, apalagi semua
bangsa Indonesia memperoleh hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan
pengajaran. Hal ini sesuai pula dengan UUD 1945 bahwa “setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran yang sama”.[5] Ini berarti dalam proses pendidikan dan pengajaran, negara tidak
memperlakukan rakyatnya secara semena-mena, bahkan diberikan hak yang sama
dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Tujuan dari
melaksanakan pendidikan anak untuk memberikan pengetahuan tentang pelajaran
agama Islam yang diajarkan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan agama termasuk salah pengetahuan terpenting
dalam mengembangkan wawasan keagamaan anak, karena dengan adanya pendidikan
agama, anak dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengabdian
manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu, secara garis besar,
pendidikan anak mempunyai tujuan sebagai berikut:
Pertama, untuk mengenal
hubungan manusia dengan Allah Swt. (Hablumminallah). Hubungan vertikal antara manusia dengan Khaliknya mencakup dari segi
aqidah yang meliputi: iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya,
iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari
akhir, dan iman kepada qadha qadar-Nya. Kedua, Untuk mengenal hubungan manusia dengan manusia (Hablumminannas).
Pengetahuan yang diajarkan meliputi: akhlak dalam pergaulan hidup sesama
manusia, kewajiban membiasakan berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dan
orang lain, serta menjauhi akhlak yang buruk. Ketiga, untuk mengenal
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Pengetahuan tentang hubungan manusia
dengan alam sekitarnya meliputi akhlak manusia terhadap alam lingkungannya,
baik lingkungan dalam arti luas, maupun
makhluk hidup selain manusia, yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan.[6]
Proses penyaluran ilmu pengetahuan
mempunyai fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam tujuan pokok
maupun dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. sudah
sejak awal menjadi ciri dan unsur pokok umat manusia.
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang
mantap akan adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya,
Maha Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan
sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[7] Dalam sebuah hadis
diterangkan bahwa:
عن سفيانَ بن عبد اللّه
رضي اللّه عنه قال: قلت: يا رسول اللّه! قل
لي في الإِسلام قولاً لا أسألُ عنه أحداً غيرك، قال: "قُلْ آمَنْتُ باللَّهِ ثُمَّ
اسْتَقِمْ (رواه مسلم)[8]
Artinya: dari Sufyan Ibn
‘Abdullah r.a. menceritakan; ‘Aku telah berkata kepada Rasulullah Saw.; Ya Rasulullah!
Nyatakan untukku di dalam Islam ini satu ungkapan yang mana aku tidak akan
bertanya lagi tentangnya dari orang lain selain engkau’. Jawab Rasulullah Saw.; ‘Katakanlah;
‘Aku beriman kepada Allah’ dan kemudian hendaklah kamu istikamah’. (H. R.
Muslim).
Namun demikian
konsep iman yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah
berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud
dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Saw. dan
para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka
teguh mengikuti sunnah Nabi Saw; disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih
dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa
yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[9]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka mereka disebut dengan ahlul hadits, ahlul autsar,
ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah (kelompok yang dimenangkan),
dan firqah an-najah (golongan yang selamat).[10] Oleh karena itu,
mempelajari akidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi
kaum muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah Swt.
Demikian juga dengan akhlak
sebagian dari pelajaran pokok yang diajarkan dalam akidah akhlak menyangkut
masalah-masalah akhlak dan moralitas dengan mengangkat cerita-cerita kesabaran
dan ketabahan Nabi Saw. dalam menghadapi segala macam cobaan, maka dapatlah
diketahui pembinaan akhlak dan moralitas merupakan hal yang sangat diutamakan
disetiap masyarakat sejak dahulu sampai sekarang, terutama dalam upaya
pembinaan manusia seutuhnya dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas.
[1]Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 5,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 20.
[2]Ibid.,
hal. 20.
[3]Herry
Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Yokyakarta: Logos Wanan Ilmu, 1999),
hal. 56.
[4]Undang-undang
Dasar 1945, (Jakarta: Depdiknas, 2002), hal. 18.
[5]Ibid., hal. 19.
[6]Ahmad
Amin, Etika dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal. 2-3.
[7]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi
al-Babi, 1953), hal. 122.
[8]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri,
t.t.), hal. 85.
[9]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.),
hal. 65.
[10]Ibid., hal. 66.