Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam


A.    Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam


Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, sebagai pengganti undang-undang Sisdiknas nomor 2 tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Adapun bunyi pasal 30 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 adalah;
(1)   Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)   Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3)   Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal.
(4)   Pendidikan keagamaan berbentuk ajaran diniyah, pesantren, pabhajasamaera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5)   Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana yang dimaksu dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.[1]

Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, membuktikan bahwa dayah merupakan lembaga pendidikan agama yang salah satu fungsi nya adalah mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala ajaran agama Islam secara baik. Sesuai dengan pengertian dayah itu sendiri, yaitu sudut atau pojok. Sebagai lembaga pendidikan, dayah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan di sudut-sudut mesjid yang merupakan lembaga pendidikan yang paling tua dalam Islam. Dalam bahasa Aceh perkataan zawiyah akhirnya berubah menjadi dayah karena dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki huruf Z dan cenderung lebih memendekkan. Di samping istilah dayah berasal dari zawiyah itu, lembaga pendidikan tradisional di Aceh sekarang ini disebut juga dengan pasantren yang terdiri dari khazanah bahasa Sanskerta yang dipakai untuk lembaga pendidikan tradisional yang sama di Jawa.[2]
Semenjak dahulu masyarakat Aceh mengenal pasantren dengan nama dayah atau rangkang, sehingga dalam penulisan ini kata pesantren diidentikkan dengan kata dayah. Dayah atau rangkang ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para ahli sejarah muslim Indonesia telah sepakat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[3]

Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam yang banyak menciptakan ulama, juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan umat serta mampu berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air. Ulama dan muballigh yang telah menamatkan studinya di suatu dayah kembali mendirikan dayah atau pesantren yang baru di daerah asalnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan A. Hasjmi sebagai berikut:
Dayah Cot Kala adalah pusat pendidikan yang banyak menghasilkan ulama, juru dakwah, dan pemimpin yang sangat berperan dalam pembangunan kerajaan Peureulak, Samudra Pase, Beunua (Tamiang), Lingga, Pidie, Daya dan Lamuri. Sebagai contoh Teungku Kawee Teupat, dan Teungku Chik lampeuneu’eun. Teungku Kawee Teupat adalah keluaran Dayah Cot Kala, pindah ke Aceh Tengah, dan membangun kerajaan Islam Lingga pada tahun 416 H. atau 1025 M. sedangkan teungku Chik Lampeuneu’eun yang orang tuanya berasal dari Kan’an Palestina, setelah menamatkan pendidikannya di Cot Kala, pindah ke Lamuri, Aceh Besar dan menjadi pendakwah yang pertama di Aceh Besar.[4]

Sejarah permulaan dayah di Aceh berlangsung dalam keadaan sangat sederhana. Hal ini dapat dilihat dari keadaan tempat yang digunakan adalah hanya mesjid-mesjid dan diikuti oleh beberapa orang saja, seperti Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang didirikan oleh Syech Muhammad Wali al-Khalidy pada tahun 1931. Namun, sekarang Dayah Labuhan Haji semakin maju dan sangat berpengaruh dan memiliki 2000 santri dengan 300 orang guru.[5]
Sampai sekarang ini, pendidikan sistem dayah di Aceh mengalami berbagai fenomena baru yaitu munculnya berbagai pesantren atau dayah yang bersifat terpadu yang mengambil pola-pola perubahan yang telah dilakukan di Jawa. Di antara dayah terpadu yang sangat menonjol sekarang ini di Aceh adalah Madrasah Bustanul Ulum Langsa Aceh Timur, dan Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu Kabupaten Pidie.
Dayah Bustanul Ulum Langsa didirikan pada tahun 1961 pada mulanya hanyalah sebuah dayah tradisional biasa seperti dayah-dayah tradisional lainnya, tetapi pada tahun 1985 dayah ini dimodernisir dengan konsep terpadu yang memadukan  pendidikan  dayah  dengan  pendidikan madrasah yang ada di bawah Departemen Agama. Dengan menggunakan administrasi dan pendidikan sistem sekolah, ternyata masyarakat menaruh minat yang luar biasa terhadap lembaga pendidikan dayah yang terpadu ini, sehingga sekarang mempunyai santri lebih seribu orang.[6]
Lahirnya pendidikan terpadu ini nampaknya tidak terlepas dari pembaharu-pembaharu yang dialami oleh pendidikan pesantren di Jawa. Salah satunya adalah pesantren modern Gontor di Jawa Timur. Pesantren ini menggunakan sistem pendidikan madrasah, dengan menerapkan disiplin belajar dan penerapan ibadah secara praktis dan sistematis. Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren modern Gontor dalam komplek asrama. Santri digodok dalam satu lingkungan sosial keagamaan yang kuat dengan ilmu agama serta dengan ilmu pengetahuan umum.[7]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan pesantren atau dayah diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pembinaan pesantren dengan cara mengumpul atau memondokkan sejumlah santri untuk menerima pendidikan Islam di bawah bimbingan kyai atau ulama. Para santri yang telah lama belajar di pesantren atau dayah diharapkan mampu menguasai pengetahuan agama, sehingga dapat mewarisi ilmu yang telah diperolehnya kepada generasi berikutnya.
Memperhatikan perkembangan pesantren, maka nampak jelas peranannya dalam usaha pembinaan pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini dayah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk menempuh jalur pendidikan di dayah-dayah. Dayah pada masa sekarang juga sangat berperan dalam menanggulangi tindakan dekadensi moral dan kriminal di kalangan generasi muda. Dengan demikian, secara langsung dayah dapat dikatakan sebagai lembaga yang dapat menyukseskan program-program pemerintah.
Pemerintah juga sangat besar memberikan perhatian terhadap perkembangan dayah. Salah satu bentuk perhatian pemerintah dengan cara memberikan bantuan-bantuan kepada pesantren modern yang memadukan program pesantren dengan program-program pemerintah. Bentuk lain dari perhatian pemerintah adalah adanya pengadaan seminar-seminar tentang pendidikan dayah yang fungsi nya untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran di dayah, terutama mengenai pengembangan kurikulum dayah.
Dalam perkembangan dayah masa sekarang ini dapat dilihat mulai mendirikan madrasah dalam komplek dayah. Sebagian lagi ada juga yang mendirikan lembaga pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan berarti sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain, dayah di samping mendirikan madrasah, juga mendirikan sekolah-sekolah umum dengan kurikulum yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[8]
Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh adalah Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau, sementara di Pattani dan Malaysia disebut Pondok.[9] Dayah diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[10] diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para sahabat pada awal Islam.[11] Dayah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah tempat tinggal tetap yang digunakan untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan agama Islam.
            Dayah merupakan pusat pendidikan Islam masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang berpengaruh dimasanya. Peminpin-peminpin Aceh masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah alumni dayah. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[12]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi kemunduran dayah sejak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya saat itu merupakan simbol dan penggerak perjuangan menentang kolonialisme di Aceh.
Peribahasa mengatakan bahwa yang kekal di dunia ini hanyalah perubahan. Karena itu senang atau tidak kita selalu harus menerima perubahan. Perubahan itu bisa jadi ke arah yang positif bisa juga ke arah negatif. Agar perubahan itu bisa mengarah ke positif, maka perubahan itu harus direkayasa sehingga dapat mengarah seperti kita inginkan. Bahkan lebih bagus lagi jika lebih awal diantisipasi terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Seperti zaman itu terus berubah, bersamaan dengan itu masyarakat juga akan berubah. Jika kita dapat prediksikan perubahan tersebut, apalagi jika kita dapat memprediksikan perubahan itu mengarah ke negatif atau positif, maka kita lebih baik dapat mempersiapkan sesuatu sehingga perubahan itu selalu mengarah ke positif. Dalam hal ini tak terkecuali masyarakat, kita juga harus mengantisipasinya, setidak-tidaknya dengan menyediakan lembaga pendidikan yang sudah kita yakini ampuh dalam mendidik masyarakat menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu dayah.
Berdasarkan prediksi perkembangan zaman dan masyarakat masa akan datang maka rencana pembangunan Aceh pun memerlukan visi masa depan. Rencana pembangunan itu termasuk lembaga pendidikan seperti dayah. Berdasarkan visi pembangunan yang direncanakan masadatang, maka kita pun harus menyesuaikan program-program pengembangan dayah untuk masa akan datang. Penyesuaiannya mulai dari tujuan dari pendidikan dayah, artinya untuk apakita didik santri-santri di dayah, mau menjadi apa mereka setelah menamatkan pendidikan di dayah. Penyesuaian ini juga membutuhkan rekayasa kurikulum sehingga akan dapat menghasilkan alumnus seperti yang kita harapkan.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang kebanyakan sebagai dampak perkembangan teknologi akan mempengaruhi pula perkembangan umat Islam. Karena itu ulama yang dihasilkan oleh dayah di masa depan harus pula disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dayah sudah seharusnya mampu memproduksi ulama tidak hanya untuk kosumsi regional, tetapi untuk level nasional dan internasional[13].
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha[14]. Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C. Berg berpendapat bahwa istilah “santri” itu berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar tidaknya istilah tersebut, yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat Islam hingga saat ini, serta telah menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi. Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern yang bermunculan dari waktu ke waktu[15].
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan keilmuwan yang dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-pesantren di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Sebenarnya ada banyak potensi dasar yang dimiliki dayah yang mudah dikembangkan. Pertama telah sangat kuat dalam ilmu bahasa Arab dan memiliki dasar keterampilan berbahasa Indonesia. Agar mereka dapat berkomunikasi tingkat nasional, tinggal membiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang benar melalui membaca surat kabar, artikel-artikel ilmiah dan buku-buku yang terbit sekarang sehingga dengan demikian sekaligus terperbaiki bahasa Indonesia dan mendapat ilmu baru. Untuk memiliki alat komunikasi tingkat internasional, tinggal mengaktifkan bahasa Arabnya yang sudah cukup kuat dalam membaca teks. Ada satu lagi potensi besar di dayah, mereka banyak yang menguasai ilmu mantik dengan kuat dan juga ilmu ushul Fiqh. Ilmu ini sangat dipentingkan dalam melatih kemampuan dalam berdialog dengan ilmu-ilmu lain atau ilmuwan lainnya. Ilmu ini hanya perlu penambahan pendalaman saja. Sangat sempurna lagi jika mereka ingin menghiasinya dengan ilmu filsafat. Terserah kepada mereka setuju atau tidak dengan ilmu filsafat, tetapi sangat baik jika dipelajari sehingga ketika menolak pendapat orang lain yang menggunakan filsafat cukup mudah kerana ilmu itu telah dikuasai sebelumnya. Seperti juga Imam Al-Gazali telah mampu menolak pikiran filsafat orang lain kerana dia sendiri menguasai ilmu filsafat baik.
Sebagaimana kenyataan bahwa alam ini terus berubah dan sebagiannya kearah kemajuan, maka tidak boleh tidak umat Islam pun berusaha menyesuaikan ilmunya dengan perubahan tersebut. Sebenarnya yang terbaik adalah justeru umat Islam yang membuat kemajuan-kemajuan sehingga umat lain yang harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dalam hal ini tidak terkecuali masyarakat yang berkutat dengan dayah apakah kerana aktivitas hari-harinya di dayah atau orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan dayah, harus memikirkan lebih serius sehingga dayah akan terus diminati dan dikagumi oleh umat di masa-masa akan datang.
Peranan dayah sebagai pusat lembaga pendidikan Islam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, dan memiliki tak kurang dari 44 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatera, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh dunia, hingga dikenal sebagai lima negara Islam super power dunia[16].
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Disadari atau tidak, dayah telah menjadi bagian vital dalam sejarah Aceh; serta sebagai sejarah lahirnya peradaban Islam utama di Aceh sejak zaman kerajaan Samudera Pasai hingga era sekarang. Dayah jua lah yang telah mendidik ulama-ulama Aceh sehingga dapat mengharumkan nama Aceh di seluruh penjuru dunia



[1] Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah R.I Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2008), hal. 2.
[2]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995), hal. 61.

[3]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.

[4]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[5]Forum Keadilan, Potret Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Forum Adil Mandiri, 2001), hal. 104.
[6]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan…, hal. 87

[7] Arifin, Kapita .., hal. 241.
[8]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesatren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19.

[9]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.
[10]Elias A. Elias & Edward E. Elias, Kamus Saku Arab Inggris Indonesia , (Jakarta: al-Ma’arif, 1983), hal. 439.
[11]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7. 

[12]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[13] http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/06/24/dayah-peradaban-islam-pertama-di-aceh/.

[14] Zulfah, Kedudukan Meunasah dan Masjid Dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh, Aceh Forum Community: http://www.acehforum.or.id
[15] Abuddin Nata, (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 30.
[16] Ibid., hal. 31.