Dendam Menurut Pandangan Islam
A. Dendam Menurut Pandangan Islam
Dendam secara bahasa diambil dari
kata “Al-Hiqdu, yang artinya menahan, yaitu menahan rasa sakit
atau rasa tidak puas sehingga menuju dendam dan ingin membalas rasa sakit
hatinya”.[1]
Untuk makna dendam ini Al-Quran menggunakan kata-kata
عِلٌّ dan إنتقاما
Menurut
istilah dendam adalah “menyimpan permusuhan di dalam dada karena tidak bisa
membalas pada saat itu juga, sambil kemudian menghindar atau mencari kesempatan
untuk melampiaskannya pada waktu yang lain dengan cara apa saja.”[2]
Hal ini terjadi kalau seseorang menahan marahnya karena tidak bias membalas
saat itu juga.
Abdullah Gymnastiar
dalam bukunya “Menggapai Qalbu Salim” mengemukakan bahwa:
“Dendam merupakan buah dari hati
yang terasa terluka, teraniaya dan haknya terambil. Semakin kuat seseorang
menyimpan dendam, maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk marah dan
dengki. Ia tidak akan suka melihat orang lain merasa nikmat dan senang malah
sebaliknya ia lebih senang melihat orang lain merasakan kesusahan. Apabila
dendam itu tidak segera diobati maka, bukan cuma mencemarkan nama baik, tetapi
bisa menimbulkan rasa ingin mencelakai
bahkan membunuh, meskipun dengan menyuruh dan membayar orang lain untuk
melakukannya.”[3]
Dendam juga timbul
karena ada rasa marah, rasa marah ini juga merupakan suatu penyakit hati yang
perlu dijauhi serta dihilangkan oleh setiap manusia. “Apabila seseorang telah
marah maka, ia tidak dapat menyelesaikan masalah dengan hati yang jernih.
Hatinya selalu diliput rasa ingin membalas rasa sakit hati, inilah yang disebut
dendam. Bila marah sudah memuncak maka pikiran akan menjadi sempit, tindakan
akan lepas dari kontrol, sehingga apa saja yang dilakukan hanya untuk
menyalurkan dorongan marah dan dendamnya.”[4]
Dendam merupakan salah
satu penyakit hati yang harus dihilangkan oleh setiap yang telah beriman kepada
Allah, karena sifat ini merupakan suatu sifat keinginan dari hawa nafsu yang
ada dalam jiwa manusia yang tidak digunakan pada tempatnya serta tidak sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Zaka
Al-Farisi dalam bukunya “Petunjuk Hidup Bahagia”
menjelaskan bahwa “orang yang telah beriman kepada Allah SWT.,dan telah
mengerjakan amal yang shaleh, harus menjauhi sifat dendam, karena ia akan
dimasukkan kedalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang begitu
indah.”[5]
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT, Surat Al-A’raf ayat42-43 yang berbunyi:
úïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# w ß#Ïk=s3çR
$²¡øÿtR
wÎ)
!$ygyèóãr
Í´¯»s9'ré& Ü=»ptõ¾r&
Ïp¨Zpgø:$#
(
öNèd
$pkÏù tbrà$Î#»yz $uZôãttRur
ÇÍËÈ $tB
Îû NÏdÍrßß¹ ô`ÏiB 9e@Ïî ÌøgrB `ÏB
ãNÍkÉJøtrB
ã»pk÷XF{$# ( (#qä9$s%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# $uZ1yyd #x»ygÏ9 $tBur $¨Zä. yÏtFöks]Ï9
Iwöqs9 ÷br& $uZ1yyd ª!$# ( ôs)s9
ôNuä!%y` ã@ßâ
$uZÎn/u Èd,ptø:$$Î/ ( (#ÿrßqçRur br&
ãNä3ù=Ï? èp¨Yyfø9$# $ydqßJçGøOÍré&
$yJÎ/ óOçGYä. tbqè=yJ÷ès? (العأرف: 42-43)
Artinya:
Dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami tidak
memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya,
mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Dan
kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di
bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah
yang Telah menunjuki kami kepada (surga) ini. dan kami sekali-kali tidak akan
mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya Telah
datang Rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran." dan diserukan kepada
mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu
kamu kerjakan". (QS. Al-A’raf :
42-43)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa orang-orang yang
beriman dan beramal saleh sesuai dengan kemauannya, mereka akan menjadi
penghuni surga, mereka tidak akan dikeluarkan dari dalamnya dan tidak akan
dicabut dari mereka segala kenikmatan buat selama-lamanya. Allah juga tidak
akan memikulkan kewajiban kepada mereka melainkan sekedar kesanggupannya. Ayat
di atas juga menjelaskan bahwa “penghuni surga tidak mempunyai rasa dendam dan benci
kepada orang lain. Allah telah membuang rasa dendam dan benci itu dari dada
mereka. Kemudian Allah menumbuhkan rasa berkasih-kasihan, rasa bergembira dan
bersatu kepada mereka.”[6]
Dengan demikian mereka akan memuji Allah yang telah
memberi petunjuk selama hidup di dunia sehinnga mereka menjadi orang yang
beriman dan beramal shaleh yang menyebabkan mereka menjadi penghuni surga. Inilah balasan dari
Allah kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh serta
menjauhi sifat dendam. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang mempunyai sifat
dendam, mereka akan dimasukkan kedalam nereka. Kemudian Allah membakar mereka dengan
api yang menyala-nyala.
Dari
penafsiran ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah memberikan balasan surga kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal yang shaleh serta menjauhi dari penyakit dendam.
Sedangkan orang yang mempunyai sifat dendam akan jauh dari surga Allah dan disiksa
dalam neraka yang apinya menyala-nyala. Demikianlah ayat di atas, yang
mana Allah menjelaskan kepada umat manusia
bahwa keburukan dendam sangat tidak baik, bahkan penyakit dendam sangat tercela
dan dibenci oleh Allah SWT.
M. Al-Ghazali dalam
bukunya “Akhlak Seorang Muslim” mengatakan bahwa
“Rasa dendam atau perbuatan tercela merupakan “suatu penyakit hati yang membawa
seseorang kepada buruk sangka, suka menyelidiki keburukan orang lain,
membicarakan cacat orang lain, semua ini merupakan perbuatan yang di benci
dalam Islam.”[7]
Apabila buruk sangka ada pada seseorang maka
nilai-nilai kebaikan akan jauh dari orang tersebut, hatinya hanya menilai kejelekan orang lain. Ia disibukkan dengan
mencari-cari, menyelidiki kelemahan dan kejelekan orang lain. Setelah ia
mengetahui semua kejelekan orang lain, maka ia akan menceritakan kepada yang
lain lagi supaya anggapan yang negatif itu bisa tertanam kepada orang yang di
jelekan. Jika ini berhasil dilakukan maka hatinya akan puas dan senang. Padahal dengan perbuatannya itu kesenangan yang hakiki tidak akan dimilikinya, tetapi karena pengaruh hawa nafsu dan bujuk rayu syaithan, maka
ia akan akan rela berbuat demikian.
Oleh
karena itu, “sifat dendam hanya akan menghancurkan kebahagiaan pikiran
dan akhlak manusia. Dendam juga menghancurkan kebahagiaan hidup di akhirat
kelak, karena orang yang dendam telah menyibukkan dirinya untuk mengurus dan
mencari kejelekan orang lain, sehingga ia lupa beramal untuk bekal hidup
akhiratnya.” [8]
Sungguh
maha besar Allah yang telah menurunkan Islam melalui utusan-Nya untuk
memperbaiki akhlak manusia. Barang siapa yang hidupnya ia gantungkan pada agama
yang di wahyukan Allah maka ia akan selamat dunia akhirat.
Manusia
sebagai umat Nabi Muhammad SAW., harus mengikuti setiap prilaku dan pola hidup Rasulullah
SAW. Prilaku beliau yang paling utama dan harus diikuti oleh setiap manusia adalah sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh
Al-Ghazali dalam bukunya “Akhlak Seorang Muslim”. Al-Ghazali mengatakan
bahwa:
“Akhlak Nabi Muhammad yang harus
diikuti oleh setiap muslim adalah ketika beliau dihina, dilempar, bahkan mau
dibunuh, akan tetapi hatinya tetap tidak pernah marah
dan tidak menimbulkan dendam. Prilakunya sangat bersahabat mengedepankan rasa
persaudaraan antar sesama muslim maupun orang kafir. Rasulullah juga tidak
pernah mempunyai penyakit hati yang dapat menyebabkan putusnya tali
persaudaraan, akan tetapi hubungan baiklah yang beliau inginkan, baik dengan
orang kafir maupun sesama muslim. Beliau juga
tidak pernah melakukan perselisihan atau perseteruan dengan sesama manusia”.[9]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat
Al-Hijr ayat 47 yang berbunyi:
$oYôãttRur $tB Îû NÏdÍrßß¹ ô`ÏiB @e@Ïî $ºRºuq÷zÎ) 4n?tã 9ãß tû,Î#Î7»s)tGB (الحجر:47 )
Artinya: Dan
kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka
merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (QS. Al-Hijr : 47)
Ayat di atas, menjelaskan bahwa “Allah SWT., mencabut
dari hati penduduk surga segala macam dendam kesumat dan rasa dengki yang telah
terpendam selama hidup di dunia, dan menjadikan mereka hidup bersaudara dan
berkasih sayang. Penyakit hati akan di cabut keakar-akarnya sehingga tidak ada
lagi dendam kesumad, dengki dan permusuhan.”[10]
Dengan demikian kita manusia
menjadi saudara dan saling bersahabat. Kata
yang harus di pahami dalam ayat di atas, adalah kata “ghillin” yang berarti kekeruhan. Kata tersebut dipahami juga
dalam arti permusuhan,
dengki, iri hati dan dendam yang kesemuanya melahirkan
kekeruhan jiwa.”[11]
Kekeruhan
jiwa yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit hati seperti dendam, iri
hati dan lain-lain.
Hal ini akan berakibatkan kepada hati yang mati. Hati yang
mati adalah hati yang tidak memiliki kehidupan dan tidak mengenal Tuhan yang
harus di sembah, apabila ia mencintai, maka ia akan mencintai karena hawa nafsunya dan apabila ia membenci,
maka ia membenci karena hawa nafsunya.
Demikian
pula menurut Said
Abdul Azhim dalam bukunya “Hati yang Bening” mengatakan bahwa “apabila seseorang yang hatinya
telah mati, maka ia tidak akan mampu
lagi berbuat kebaikan yang ikhlas karena Allah. Ia tidak lagi
berfikir menurut peraturan Allah karena ia telah di
pengaruhi oleh hawa nafsu yang diikutinya.
Dalam hal ini syahwat
menjadi pengemudinya, kebodohan adalah supirnya dan kelalaian adalah kendaraannya”.[12] Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat
Al- An’am ayat 43, Allah berfirman :
Iwöqn=sù øÎ) Nèduä!%y` $uZßù't/ (#qãã§|Øs? `Å3»s9ur ôM|¡s% öNåkæ5qè=è% z`yur ÞOßgs9 ß`»sÜø¤±9$# $tB (#qçR$2 cqè=yJ÷èt ( الأ
نعم: ٤۳)
Artinya:
Maka Mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri
ketika datang siksaan kami kepada mereka, bahkan hati mereka Telah menjadi
keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu
mereka kerjakan. (QS. Al-An’am: 43)
Ayat di atas, memberi suatu penafsiran bahwa “Allah bertanya
kepada manusia, Mengapa mereka selaku hamba-Nya tidak mau memohon kepadanya
dengan tunduk merendahkan diri dan mendekatkan diri kepadanya, ketika Allah
menguji mereka? Hatinya keras membangkang dan tidak
dapat Khusyuk, sehingga mereka melakukan kemusyrikan, keingkaran dan perbuatan-perbuatan
maksiat.”[13] Hal ini terjadi karena hati mereka telah mati
dan tidak lagi dapat membedakan antara kebaikan dengan kebaikan.
Demikian pula dengan orang-orang yang mempunyai perasaan
dendam, di mana ia banyak menyimpan rasa dengki, iri hati kepada orang lain.
Sehingga membuat ia lupa melakukan kebenaran dan kebaikan untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah. Kebenaran atau kebaikan yang diberikan orang tidak akan
diterima, karena ia hanya mengikuti hawa nafsu dan godaan syaithan yang telah
menampakkan keindahan, kebaikan terhadap orang-orang yang mempunyai penyakit
dendam.
Abdullah Gymnastiar dalam bukunya “Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qalbu” mengatakan
bahwa “Penyakit dendam sering timbul dari hati orang yang terluka, tersakiti,
teraniaya, atau yang merasa terambil haknya, sehingga wujud dendam yang paling
kongkrit adalah kemarahan”.[14]
Seseorang akan membalas amarahnya karena tidak suka
melihat
orang itu sengsara melebihi dirinya. Makin membara dendam
seseorang maka semakin kuat berupaya mencari jalan untuk mencemarkan, mencoreng
bahkan kalau perlu mencelakakannya. Orang yang dendam juga tega melakukan
hal-hal yang keji demi kepuasan hatinya. Hal ini dilakukan karena merasa ia
telah ditipu atau karena takut disaingi.
Kehidupan di dunia yang fana ini Memang sering terjadi
kesalahpahaman bahkan kedengkian antara seseorang dengan orang lain, kendati
mereka telah bersahabat, tetapi karena faktor kedengkian dan iri hati sering
membuat mereka tidak harmonis yang pada gilirannya menimbulkan keresahan hidup.
Penyakit hati ini juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa
kerusakan pada diri sendiri dan orang lain.
Dendam juga dapat diidentikkan dengan hati yang sakit. Hati yang sakit juga
kerap diuji dan di bisikan oleh dua seruan yakni seruan menuju pada jalan
Allah, Rasul-Nya, dan seruan pada ketergesa-gesaan yakni seruan Iblis. Hati
yang sakit cenderung menjawab seruan yang paling dekat dengan kecenderungan
dirinya yaitu seruan Iblis.
Said Abdul Azhim dalam
bukunya “Hati yang Bening” mengemukakan bahwa “Salah
satu contoh dendam yang merupakan implementasi dari hati orang yang sakit adalah
ia cenderung kepada
kebatilan yaitu ingin membalas rasa sakit hatinya. Perbuatan ini sering dilakukan
oleh orang-orang munafik”. [15] Hal ini juga sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Maidah ayat 52 :
utIsù
z`Ï%©!$#
Îû
NÎgÎ/qè=è%
ÖÚt¨B
cqããÌ»|¡ç
öNÍkÏù
tbqä9qà)t
#Óy´øwU
br&
$oYt7ÅÁè?
×otͬ!#y
4 Ó|¤yèsù
ª!$#
br&
uÎAù't
Ëx÷Fxÿø9$$Î/
÷rr&
9øBr&
ô`ÏiB
¾ÍnÏYÏã
(#qßsÎ7óÁãsù
4n?tã
!$tB
(#r| r&
þÎû
öNÍkŦàÿRr&
úüÏBÏ»tR
(المائدة: ٥۲)
Artinya: Maka kamu
akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami
takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu Keputusan dari sisi-Nya. Maka
Karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam
diri mereka. (QS. Al-Maidah : 52)
Ayat di atas,
memberi suatu penafsiran bahwa “Allah menjelaskan kepada nabi Muhammad SAW., bahwa
Nabi akan melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, yaitu
orang-orang munafik yang lemah imannya, belum sampai ketingkat yakin, mereka
itu, lebih mendekatkan diri kepada orang yahudi dari pada orang mukmin sendiri”.[16]
Demikian
pula menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam bukunya “Tafsir
Al-Maraghi” mengatakan bahwa:
“Abdullah bin Ubay
sebagai pemimpin orang munafik, sehari-hari lebih dekat hubungannya dengan
orang yahudi, sedangkan orang-orang munafik yang lain telah berani membuat
perjanjian kerja sama dengan orang-orang yahudi, seolah-olah mereka
menggantungkan keselamatan mereka kepada orang-orang yahudi. Karena mereka
takut kalau orang yahudi menjadi kuat dan berkuasa, mereka sendiri akan
mendapat bahaya. Orang-orang munafik tersebut kurang yakin dengan kekuatan Nabi
Muhammad SAW., dan orang-orang Islam. Sedangkan Allah telah menjanjikan bahwa
setiap mukmin yang berjuang membela agama-Nya, akan dibantu dengan kekuatan dan
kemenangan. Maka pada waktu itulah timbul penyesalan dari orang-orang yang ragu
dan munafik.”[17]
Sehubungan
dengan hal ini Said Abdul Azhim mengatakan bahwa,”Tanda-tanda orang yang mengalami hati yang sakit adalah
kemunafikan dan mengedepankan hawa nafsu, yang tercermin pada hal-hal syubhat
dan bid’ah”.[18]
Tanda
orang-orang yang hatinya sakit dan munafik adalah apabila ia mengatakan sesuatu maka itu
berbalik dengan apa yang dikatakannya.
Orang seperti ini tidak bisa di pegang,
karena ia selalu menyalahi dengan apa yang diucapkan
atau diperlihatkan olehnya.
Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW.,
berikut:
عن
عبد الله بن عمر و رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أربع منْ كن فيه كان منا فقًا خالصًا ومنْ كانتْ
فيه خصلةٌ منهنّ كانتْ فيه خصلةُ من النفّاقِ حتىّ يدعها: إذا اﺅتمن خان،
وإذا حدّث كذب، وإذا عاهد غدر، وإذا خاصم
فجر
(رواه بخارى)
Artinya: Diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a.: Rasulullah SAW,. pernah bersabda, “Siapa pun yang memiliki empat
sifat (karakteristik ini adalah seorang munafik dan siapa pun yang memiliki
satu dari empat sifat ini akan mempunyai satu sifat kemunafikan sampai ia
meninggalkannya: Keempat perangai itu adalah: bila dipercaya ia
khianat, bila berkata ia dusta, ia berjanji ia ingkari, dan bila bertengkar ia berlaku kasar. (H.R.
Bukhari)[19]
Hadits
di atas, dapat dipahami bahwa secara
tidak langsung membicarakan
tentang dendam. Karena orang yang
mempunyai sifat dendam sudah tentu mempunyai penyakit hati yang sulit untuk
disembuhkan, sebelum ia dapat membalas dendamnya itu. Bila
hati seseorang mengalami suatu penyakit yaitu dendam, maka
ia akan menampakkan sikap buruk pada prilakunya. Dalam hal ini perilakunya
adalah kemunafikan, di antara tanda kemunafikan yang disebutkan dalam hadits
adalah “apabila bertengkar ia berlaku kasar “berlaku kasar di sini menandakan
bahwa adanya menyimpan rasa dendam
di dalam hatinya kepada orang lain.
Berdasarkan
penjelasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dendam dalam
pandangan Islam merupakan suatu sifat yang sangat tercela dan harus dijauhi
oleh setiap orang Islam yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sifat
dendam juga sangat dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, karena dapat
merusak kehidupan umat Islam itu sendiri. Prilaku dendam juga dapat menimbulkan
permusuhan antar sesama umat manusia.
[1] Sayid M Nuh, Mengobati
Penyakit Hati, (Bandung :
Al-Bayan, 2004), hal. 168.
[3] Abdullah Gymnastiar, Menggapai
Qalbu Salim, (Bandung :
Khas MQ, 2005), hal. 37.
[4] M. Zaka Al-Farisi, Petunjuk
Hidup Bahagia, (Bandung :
Media Qalbu, 2009) hal. 48.
[6] Departemen Agama RI.,
Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid III, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1991),
hal. 417.
[7] M. Al-Qhazali, Akhlak
Seorang Muslim, (Semarang: Wilaksana, 1992), hal. 186.
[8] Ibid., hal.
186.
[12] Said Abdul Azhim, Hati
yang Bening, (Jakarta :
Cendekia, 2005), hal. 125.
[13] Al-Imam Abul Fida
Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung, Sinar Baru
Algensindo, 2003), hal. 263.
[14] Abdullah Gymnastiar, Meraih
Bening Hati dengan Manajemen Qalbu, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2002), hal. 120.