Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Eksistensi dan Fungsi Orangtua dalam Pembinaan Pendidikan Anak


BAB II
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP  PENDIDIKAN AGAMA ANAK


A.    Eksistensi dan Fungsi Orangtua dalam Pembinaan Pendidikan Anak
Orangtua boleh dikatakan sebagai pemimpin dalam memimpin anaknya lebih-lebih seorang bapak sebagai pkepala rumah tangga. Orangtua dalam memanage pendidikan bagi anaknya tentunya mempunyai batasan-batasan kaidah etika (kode etik) yang yang harus dipenuhi sebagai klasifikasi seorang pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga.
Adapun beberapa kode etik yang harus dimiliki orangtua sebagi pendidik menurut Abdullah Nasih Ulwan seharusnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Bersikap penyantun dan penyayang. Kedua, Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak. Ketiga, Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama. Keempat, Bersikap rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat. Kelima, Menghindarkan dari aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia. Keenam, Meningalkan sifat marah dalam menghadapi problem anaknya. Ketujuh, Mencegah dan mengontrol anak dalam mempelajari ilmu yang membahayakan. Kedelapan, Mencegah anak dalam mempelajari ilmu fardlu kifayah ( kewajiban kolektif, seperti mempelajari ilmu kedokteran, psikologi,dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu ‘ain ( kewajiban individual, seperti akidah, syari’ah, dan akhlak).[1]

Secara kodrat orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak-anaknya di rumah. Prediket orangtua sebagai pendidik di rumah datang secara otomatis setelah pasangan suami istri dikaruniai anak. Yang disebut pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Pendidik dalam Islam juga disebut sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didiknya, baik berupa potensi afektif (rasa), kognitif (rasa), dan psikomotor (karsa).
Dikutip dari Abudin Nata, pengertian pendidik adalah:
Orang yang mendidik. Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.[2]

Orangtua, dalam perspektif ini merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada anaknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah Swt. dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri nantinya.
Lembaga keluarga merupakan pendidikan yang pertama yang didapat oleh anak. Lingkungan pendidikan yang pertama membawa pengaruh terhadap anak untuk melanjutkan pendidikan yang akan dialaminya di sekolah dan di masyarakat, dengan kata lain bahwa peran keluarga adalah suatu kewajiban harus diberikan kepada anaknya untuk membentuk kepribadian masalah bagi anaknya baik lingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah.
“Motivasi pendidikan keluarga semata-mata demi cinta kasih sayang, dimana di dalamnya terdapat suasana cinta inilah proses pendidikan berlangsung seumur anak-anak itu dalam tanggung jawab orang tua/ keluarga”[3]. Mereka tidak hanya berkewajiban mendidik atau menyekolahkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan. Akan tetapi mereka juga diamati Allah Swt. untuk menjadikan anak-anaknya bertaqwa serta taat beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam AlQuran dan Hadits.
Jadi, orang tua seharusnya tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada pihak lembaga pendidika atau sekolah, akan tetapi mereka harus lebih memperhatikan pendidikan anak-anak mereka di lingkungan keluarga mereka, karena keluarga merupakan faktor yang utama di dalam proses pembentukan kepribadian sang anak.
“Orang tua merupakan pribadi yang sering ditiru anak-anaknya, kalau prilaku orang tua baik. Dengan demikian keteladanan yang baik merupakan salah satu kiat yang harus diterapkan dalam mendidik anak”[4]. Anak yang sholeh bukan hanya anak yang berdo’a untuk orang tuanya saja, akan tetapi anak shaleh adalah anak yang berusaha secara maksimal melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Untuk melaksanakan ajaran Islam, seorang anak harus dilatih sejak dini dalam praktik pelaksanaan ajaran Islam seperti: shalat, puasa, berjilbab bagi yang putri.
Dari sini jelas bahwa perkembangan kepribadian anak bermula dari keluarga, dengan cara anak mengambil nilai-nilai yang ditanamkan orang tua baik secara sadar maupun tidak sadar. bekitupun dengan pemakaian jilbab bagi sang anak kalau tidak ada dorongan dari orang tua anak tersebut akan sedih, maka peran keluargalah yang harus memberikan masukan, motivasi dan bimbingan kepada anak. Orang tua memberikan masukan kepada anak-anaknya agar kalau keluar rumah harus memakai jilbab, karena Islam menganjurkan sebaiknya bagi perempuan harus memakai jilbab.
Pelaksanaan pendidikan agama dalam lingkungan keluarga kaitannya dengan pembentukan akhlak adalah dengan melaksanakan pendidikan agama yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang terdiri dari perkembangan anak usia balita, usia sekolah dasar dan remaja. Bentuk pelaksanaan pendidikan selain dengan memberikan secara teoritis tentang akhlak juga harus disertai dengan contoh tauladan kepada anak oleh orangtua, maka faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan agama dalam keluarga terdiri dari faktor internal yaitu faktor yang berasal dari lingkungan keluarga itu sendiri seperti kondisi keluarga yang harmonis atau tidak, tidak berjalannya fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga, baik ayah, ibu dan anak, tingkat ekonomi keluarga yang rendah dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah “faktor yang berasal dari luar lingkungan keluarga yaitu masyarakat, lingkungan sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi informasi dan komunikasi”[5].
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan pendidikan keluarga, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan agama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[6]

Fungsi pendidikan Islam dalam membina keluarga merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan pengajaran tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan semua pendidikan sama saja, termasuk terhadap prinsip pendidikan anak.
Hal tersebut dikarenakan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orangtua yang menciptakan guna membelajarkan anak didik. Orangtua yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Di sana semua bentuk pendidikan diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Sebagai orangtua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar mengajar yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orangtua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan agama bagi seorang anak menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang anak di luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain, apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan pendidikan kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan belajar. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar”.[7]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar mengajar anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
Pertama, pembelajaran memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu. Kedua, ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, kegiatan pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus. Keempat, ditandai dengan aktifitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar. Kelima, dDalam kegiatan belajar orangtua harus berperan sebagai pembimbing. Keenam, dalam kegiatan belajar membutuhkan kedisiplinan.[8]

Melihat realitas tersebut di atas, maka Zakiyah Daradjat merumuskan prinsip-prinsip pendidikan anak sebagai berikut:
Pertama, Memelihara dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Kedua, Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya. Ketiga, Memberikan pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya. Keempat, Membahagiakan anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.[9]

Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan Islam juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
B.    Kewajiban dan Tanggung jawab Orang Tua dalam Islam
Orangtua adalah “orang yang bertanggung jawab dalam satu keluarga atau rumah tangga yang biasa disebut ibu/bapak”.[10] Orangtua yaitu orang-orang yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak.[11] Menurut Hery Noor Aly orangtua adalah “ibu dan ayah dan masing-masing mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pendidikan anak”.[12] Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran orangtua merupakan suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab dalam satu keluarga, dalam hal ini khususnya peran terhadap anaknya dalam hal pendidikan, keteladanan, kreatif sehingga timbul dalam diri anak semangat hidup dalam pencapaian keselarasan hidup di dunia ini.
Sehingga sebagai orangtua mempunyai kewajiban memelihara keselamatan kehidupan keluarga, baik moral maupun material, denagn keteladanan, kreatif sehingga timbul dalam diri anak semangat hidup dalam pencapaian keselarasan hidup di dunia ini. Sebagaimana firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون َ)ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ׃ ٦ (
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Qs. At-tahrim:6).

Kepribadian orangtua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Hal ini dikarenakan posisi orang tua memiliki hubungan terdekat dengan anak-anaknya. Anak belajar mengenal makna cinta kasih, simpati, ideologi dan tingkah laku lainnya secara langsung kepada orang tuanya, sehingga perilaku orang tua memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi pembentukan karakter anak.        
Orangtua merupakan lingkungan terdekat anak, selain orang-orang sekitarnya. Orangtua dan anak yang berada dalam suatu kondisi lingkungan adalah keluarga inti. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anak didik pertama kali oleh lingkungan pertamanya yaitu keluarga, labih khusus orang tuanya. Hal ini yang menjadi perhatian karena anak tersebut merupakan produk dari keluarga.[13]

Lingkungan kedua yang berfungsi juga sebagai tempat pendidikan di luar adalah masyarakat. Dalam masyarakat tersebut anak akan berinteraksi dengan orang lain sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung akan saling mempengaruhi pembentukan pribadi anak. Jika orang tua sabar secara intensif mendukung serta bisa menjadi teladan, maka hal itu jelas masukan yang sangat berartidalam proses pembentukan anak seperti Rasulullah Saw. katakan bahwa anak memiliki fitrah, tauhid yang secara potensial dapat dikembangkan.
Peran orang tua merupakan kegiatan untuk mengembangkan segala potensi anak. Kegiatan tersebutlah yang akan mempengaruhi anak, termasuk dari sisi emosinya. Peran orang tua sebenarnya tidak hanya sekedar mengembangkan emosi bagi anak tetapi juga ada aspek-aspek lain yang mutlak dilakukan oleh orang tua, yaitu aspek afektif kognitif dan psikomotor. Orangtua memberikan perhatian dan rangsangan mental pada anak sedini mungkin. Karena hal ini akan mengembangkan potensi anak secara optimal karena pendidikan anak balitapenting sekali. Artinya dengan menyerahkan pendidikan anak balita kepada perawat atau pembantu adalah tindaakan yang kurang bijaksana.
Menyediakan sarana yang cukup, merupakan juga peran yang dilakukan oleh orang tua untuk pengutaran potensi anak baik secaara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Karena tanpa adanya sarana sebagai alat realisasi, maka potensi anak tidak akan berkembang secara optimal. Pada perannya juga, orangtua sedapat mungkin mendukung perkembangan anak dalam memenuhi kebutuhan gizi dan materi. Orangtua yang mampu memenuhi kebutuhan emosi anak berarti sudah memenuhi salah satu kebutuhan anak, yaitu kebutuhan emosi. Kebutuhan emosi ini meliputi kebutuhan kasih sayang, keamanan, pengalaman akan hal-hal baru pujian dan tanggung jawab.
Setiap ada sesuatu hal yang dirasakan janggal pada diri anak baik di rumah ataupun di sekolah, baik orangtua ataupun guru harus sesegera mungkin untuk menanganinya dengan cara saling menginformasikan diantara orangtua dan guru, mungkin lebih lanjutnya mendiskusikannya supaya bisa lebih cepat tertangani masalah yang dihadapai oleh anak dan tidak berlarut-larut.
Usia dini merupakan periode subur bagi perkembangan otak. Segala stimulasi akan merangsang perkembangan otaknya. Bahkan setelah mengadakan penelitian terhadap perkembangan anak, Manrique melihat nilai kecerdasan anak yang menerima stimulasi hingga enam tahun, terus semakin mengalami peningkatan. Sehingga semakin memperlebar kesenjangan kecerdasannya dibandingkan teman-teman sebayanya.[14] Oleh karena itu, untuk dapat berkembang secara optimal otak anak perlu mendapatkan rangsangan dari lingkungannya.
Djalaluddin dan Ramayulis dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama menjelaskan bahwa:
Dan bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan dan baru berfungsi setelah mencapai tahap kematangan. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi yang dibawa ini hanya memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada tahun-tahun pemulaan.[15]

Disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan, yaitu bagaimana orang tua memotivasi dan memacu potensi anaknya agar dapat berkembang dengan baik, karena setiap anak mempunyai potensi yang dapat berkembang menjadi anak yang cerdas dan kreatif. Orang tua dituntut memahami perkembangan dan cara belajar anak. Semakin optimal dan luas orang tua mengembangkan otak anak, akan membuatnya semakin tertantang untuk belajar dan mencari pengalaman baru. Dengan demikian sikap dan perilaku orangtua sangat menentukan perubahan pada perilaku dan sikap anak. “Sikap positif dalam mendidik dan membesarkan anak haruslah dimiliki oleh para orangtua. Sebaiknya orangtua berhati-hati bersikap dan bertingkah laku didepan anak. Karena anak memiliki sifat meniru yang sangat bagus”.[16]
Dari berbagai pengalaman para ahli maupun litelatur telah membuktikan bahwa peran ayah dalam membentuk kepribadian anak sangat besar artinya. Sejak Sigmud Freud mencanangkan teori Psikoanalisis  untuk pertama kalinya pada abad ke-20 ini, ia sudah menyatakan bahwa perkembangan kepribadian anak, khususnya sewaktu balita, sangat ditentukan oleh tokoh ayah.[17]
Menurut Irawati Istadi peran orangtua dalam proses belajar anak meliputi dua hal yaitu:
  1. Melengkapi fasilitas pendidikan;
Selain perabot rumah tangga, fasilitas rumah tangga yang harus diprioritaskan adalah fasilitas penunjang pendidikan anak. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain:
a).   Tempat belajar yang menyenangkan
Semakin baik dan menarik keberadaan fasilitas pendidikan yang diberikan, anak akan merasakan bahwa kegiatan belajar adalah kegaitan yang istimewa dan menyenagkan dalam keluarga. Selanjutnya, ini akan semakin memacu motivasi belajarnya.
b).   Media informasi
Ilmu pengetahuan tak bisa dilepaskan kaitannya dengan media informasi. Karena dari sinilah sebagian besar ilmu pengetahuan akan diperoleh. Maka untuk mengakrabkan anak dengan bidang pendidikan, tak bisa tidak harus pula terlebih dahulu mengakrabkan mereka dengan media informasi ini.
c).   Perpustakaan Keluarga
Untuk menumbuhkan motivasi pendidikan kepada anak, buku adalah sarana paling tepat. “Kecintaan anak terhadap buku mutlak harus ditumbuhkan sedini mungkin. Dan rumah adalah tempat yang paling cocok untuk kepeluan itu, yaitu dengan menyediakan fasilitas yang berupa perpustakaan rumah”.[18]
  1. Mengembangkan budaya ilmiyah dalam keluarga
Setelah fasilitas tersedia, yang diperlukan berikutnya adalah pembentukan budaya ilmiah dalam rumah. Maksudnya, pembentukan perilaku dan pembiasaan dari anggota keluarga yang menunjang visi pendidikan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a).   Budaya Islami
Satu-satunya cara terbaik untuk memberikan pendidikan keimanan, nilai-nilai moral, adalah dengan teladan langsung. Ajaran tentang dzikir kalimat tayyibah, shalat, kejujuran, hingga mencintai Alquran sangat mudah diajarkan jika orangtua langsung mempraktekkannya. Maka tanpa harus banyak memberi nasehat dan mengingatkan, anak akan secara langsung mencontoh.
b).   Budaya Belajar
Orang tua harus menunjukkan kepada anak-anak, bahwa mereka pun gemar belajar. Harus diluangkan waktu walaupun hanya sebentar bagi orangtua untuk belajar ini. Gairah orang tua untuk terus belajar inilah yang akan dicontoh anak. Sehingga, tanpa disuruh pun, anak akan senang mencontoh untuk belajar.
c).   Budaya Membaca
Membudayakan jam baca pun sangat baik untuk dilakukan. Konsekwensinya, harus ada fasilitas buku-buku yang memadai untuk dibaca. Jangan sampai anak menjadi bosan dan terpaksa membaca apa yang tak ia butuhkan dan tidak ia sukai.
d).   Gairah Cerita
Kegiatan bercerita memiliki manfaat yang sangat besar, yaitu sebagai wahana memperluas cakrawala berfikir anak, sebagai media bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai moral, mengingatkan anak kecintaannya terhadap buku, dan memelihara rasa keingintahuan mereka.
e).   Gairah Rasa Ingin Tahu.
Sebenarnya setiap bayi terlahir dengan berbekal rasa ingin tahu yang amat besar. Selanjutnya mereka berkembang menjadi anak-anak yang selalu serba ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu yang mereka temui seakan takpernah berhenti mengalir. Fitrah ini penting untuk dipelihara dan diarahkan. Dengan kesabaran orang tua untuk terus menjawab pertanyaan anak, memancingnya dengan pertanyaan baru, inilah akan mempertinggi gairah rasa ingi tahu anak.[19]

Anak adalah amanah Allah yang diberikan kepada setiap orang tua. Anak juga merupakan buah hati, tumpuan harapan serta kebanggaan keluarga. Anak-anak merupakan generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan membawa kemajuan di masa mendatang. Dalam litelatur lain mengatakan bahwa Anak-anak yang dilahirkan merupakan satu ujian Allah Swt. kepada kita. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam AlQuran surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ)١ﻷﻧﻔﺎﻝ ׃ ۲۸(
Artinya:  Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Qs. Al-Anfal:28).

Allah Swt. telah menjelaskan kepada kita dalam ayat ini bahawa harta benda dan anak-anak yang kita sayangi ini merupakan satu ujian kepada kita. Jika harta benda yang kita perolehi dengan secara yang halal dan menggunakan ke jalan yang halal maka beroleh ganjaran yang besar daripada Allah Swt. Dalam ayat ini juga Allah Swt. telah menyebut anak-anak juga merupakan ujian kepada orang yang beriman. Jika anak-anak yang kita didik mengikut acuan Islam, maka kita akan beroleh ganjaran yang besar hasil ketaatan mereka.
Semakin dini pendidikan yang diberikan kepada anak, akan semakin berarti bagi kematangan dan kesiapannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sedang dan akan dihadapinya. Tentu, pembinaan pendidikan sejak dini yang dimaksud tidak dilakukan begitu saja atau dipaksakan secara cepat kepada anak. Pembekalan harus disampaikan dengan penuh kasih sayang, rasa hormat, menyenangkan, penuh kesabaran, ketekunan, serta penuh keuletan. Selain itu harus pula disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sehingga segala perlakuan, cara atau pendekatan yang diterapkan tidak membuat anak stress dan frustasi, merenggut keceriaannya atau mengekang ekspresi dan dinamikanya.
Dalam mendidik anak setidaknya ada dua macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu lagi bersifat eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sumber tantangan internal yang utama adalah orangtua itu sendiri. Ketidakcakapan orangtua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah tangga. Sunatullah telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh), dan jasadiyahnya (jasad).[20]

Tantangan eksternal pun juga sangat berpengaruh dan lebih luas lagi cakupannya. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah. Informasi yang yang didapat melalui interaksi dengan teman bermain dan kawan sebayanya sedikit banyak akan terekam. Lingkungan yang tidak islami dapat melunturkan nilai-nilai islami yang telah ditanamkan di rumah. Yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru sekolah tidak mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan teman-teman sekolahnya apabila tidak dipantau dari rumah bisa berdampak negatif. Sehingga memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting demi terjaganya akhlak sang anak. Anak-anak Muslim yang disekolahkan di tempat yang tidak islami akan mudah tercemar oleh pola fikir dan akhlak yang tidak islami sesuai dengan pola pendidikannya, apalagi mereka yang disekolahkan di sekolah nasrani sedikit demi sedikit akhlak dan aqidah anak-anak Muslim akan terkikis dan goyah. Sehingga terbentuklah pribadi-pribadi yang tidak menganal Islam secara utuh.
Disamping itu peranan media massa sangat pula berpengaruh. Informasi yang disebarluaskan media massa baik cetak maupun elektronik memiliki daya tarik yang sangat kuat. Jika orang tua tidak mengarahkan dan mengawasi dengan baik, maka si anak akan menyerap semua informasi yang ia dapat, tidak hanya yang baik bahkan yang merusak akhlak. Meskipun banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak, orang tua tetap memegang peranan yang amat dominan.                 
C.    Bentuk Pendidikan dan Bimbingan Anak Oleh Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. “Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari”[21], selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.
Jadi, orangtua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh kasih sayang. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak yang menjadi temanya dan yang pertama untuk dipercayainya.
Kunci pertama dalam mengarahkan pendidikan dan membentuk mental si anak terletak pada peranan orang tuanya, sehingga baik buruknya budi pekerti itu tergantung kepada budi pekerti orang tuanya.
Sesungguhnya sejak lahir anak dalam keadaan suci dan telah membawa fitrah beragama, maka orang tuanyalah yang merupakan sumber untuk mengembang fitrah beragama bagi kehidupan anak dimasa depan. Sebab cara pergaulan, aqidah dan tabiat adalah warisan orang tua yang kuat untuk menentukan subur tidaknya arah pendidikan terhadap anak.
Orang tua harus menyadari bahwa anak selalu membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tuanya, oleh karena itu orang tua harus mengerti betul ciri-ciri pertumbuhan yang dilalui oleh anak. Maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam mendidik anak antara lain[22]:
1.     Pembinaan Pribadi Anak
Setiap orang tua ingin membina anak agar menjadi anak yang baik mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya. Seringkali orang tua yang tidak sengaja, tanpa di sadari mengambil suatu sikap tertentu, anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperhatikan suatu reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi suatu pola kepribadian. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Di sini tugas orang tua untuk menjadi pembimbing anaknya, supaya perkembangan anak yang dialami pada permulaan hidup dapat berlangsung sebaik-baiknya, tanpa gangguan yang berarti.
Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa anak kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena anak mempunyai kesempatan yang baik untuk tumbuh berkembang. Hubungan yang sangat erat yang terjadi dalam pergaulan sehari-hari antara orang tua dan anak merupakan hubungan berarti yang diikat pula oleh adanya tanggung jawab yang benar sehingga sangat memungkinkan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan atas dasar rasa cinta kasih sayang yang murni, rasa cinta kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Tetapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi dan tidak dibentuk, karena anak tidak mendapat suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya. Dan banyak lagi faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang mempengaruhi pembinaan pribadi anak. Di samping itu, banyak pula pengalaman-pengalaman yang mempunyai nilai pendidikan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan oleh orang terhadap anak, baik melalui latihan-latihan atau pembiasaan, semua itu merupakan unsur pembinaan pribadi anak.
2.     Perkembangan Agama Pada Anak
Perkembangan keagamaan seseorang di tentukan oleh pendidikan dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa kecilnya, karena melalui pendidikan secara terpadu akan membantu pertumbuhan dan perkembangan keagamaan secara terpadu pula. Anak yang di waktu kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama seperti ibu bapaknya orang yang tau dan mengerti agama, lingkungan sosial dan kawan-kawannya juga hidup menjalankan agama, ditambah pula dengan pendidikan agama secara sengaja di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Oleh karena itu, pertumbuhan agama pada anak tergantung kepada orang tuanya, karena anak-anak sikap, tindakan, dan perbuatan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan agama pada anak.
3.     Pembentukan Pembinaan Pada Anak
Hendaknya setiap orang tua menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang sesuai dengan perkembangan jiwanya, karena dengan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laut sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Untuk membina anak agar mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik buat anak cenderung melakukan perbuatan yang baik seperti latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah, dibiasakan sejak kecil sehingga lambat laun akan merasa senang dan terdorong oleh sikap tersebut untuk melakukannya atas dasar keinginan dari hati nurani yang ikhlas.
4.     Dibawa Orang Tua
Anak akan meniru segala perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanya dan mau melaksanakan perintah orang tuanya bila semua itu akan merasa enggan kepada orang tua. Maksud enggan ialah si anak menganggap orang tuanya dianggap dan diakui sebagai pembimbing dan panutan. Maka orang tua wajib ditaatinya, ditiru perbuatannya, dan dihormati. Akibat dari rasa enggan kepada orang tua timbul rasa patuh dan penuh kesadaran dan rela hati.
5.     Contoh Tauladan
Suatu sikap keteladanan dan perbuatan yang baik dan positif yang dilaksanakan oleh orang tua sangat diperlukan. Hal ini merupakan proses pendisiplinan diri anak sejak dini, agar anak kelas terbiasa berbuat baik sesuai dengan aturan dan norma yang ditetapkan di masyarakat berdasarkan kaidah yang berlaku orang tua yang dapat memberi contoh tauladan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu dan dapat membimbing anak-anaknya ke jalan yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
6.     Pembentukan Sikap
Dalam pergaulan sehari-hari kata sikap sering kali digunakan dalam arti yang salah dan kurang tepat. Untuk lebih jelasnya definisi sikap ialah “Suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang” suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi.
Untuk mengetahui sejauhmana peranan sikap orang tua terhadap anak, maka akan diperinci setiap sikap serta akibatnya yang dapat dilihat dari sifat-sifat kepribadian yang terbentuk, yaitu[23]:
a.      Sikap terlalu menyayangi dan melindungi serta memanjakan
Orang tua terlampau cemas terhadap oleh karena itu Berhati-hati sekali mendidik anaknya dan senantiasa menjaga agar anaknya terhindar dari bahaya. Sikap melindungi dan menyayangi anak terlalu berlebihan serta cenderung mengerjakan apa saja untuk anaknya, akibatnya anak tidak dapat kesempatan untuk belajar berbuat sendiri, mengambil keputusan, anak sangat tergantung kepada orang tuanya sulit untuk menyesuaikan diri, bersifat ragu-ragu.
b.     Sikap Otoriter
Sikap ini menggambarkan pengawasan yang keras dari orang tua terhadap anak-anaknya, banyak larangan, semua perintah harus dilaksanakan tanpa ada pengertian kepada anak. Akibatnya anak menjadi tidak taat bahkan anak melawan terang-terangan atau pura-pura taat, menjadi pasif, kurang inisiatif, bersifat menunggu (perintah), kemampuan untuk merencanakan sesuatu, tidak dapat mengambil keputusan sendiri, akan mudah cemas dan putus asa.
c.      Sikap Demokratis
Sikap ini dapat digambarkan sebagai sikap orang tua yang senantiasa berembuk dengan anaknya mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil, menerangkan alasan-alasan peraturan-peraturan memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi, berinisiatif menghargai pendapat anak-anaknya, menanggapi pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya, membimbing anak-anak ke arah penyadaran akan menjadi hal dan kewajiban dan bersikap toleran. Dari sikap demokratis ini akan menimbulkan kemampuan berinisiatif.
D.    Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Tunggal Terhadap Pendidikan Agama Anak
Pola asuh merupakan suatu cara yang dilakukan dalam mendidik dan menjaga anak secara terus menerus dari waktu ke waktu sebagai perwujudan rasa tanggungjawab orang tua terhadap anak. “Dalam mengasuh anak, orang tua harus memiliki pengetahuan agar mereka tidak salah asuh. Selain itu orang tua juga harus mengetahui seutuhnya karakteristik yang dimiliki oleh anak”[24]. Peranan orang tua begitu besar dalam membantu anak agar siap memasuki gerbang kehidupan mereka. Disinilah kepedulian orang tua sebagai guru yang pertama dan utama bagi anak-anak. Sebagai orang tua harus betul-betul melakukan sesuatu untuk anak tercinta. Bagaimana seorang anak dapat tetap memandang masa depan mereka dalam angan seorang anak, bagaimana mereka dapat menjadi generasi penerus kita. Masa depan bangsa Indonesia kelak di tangan mereka dan masa depan mereka dipersiapkan oleh orang tua saat ini.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Zakiyah Daradjat, bahwa “Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.[25] Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan oleh orang tua. Sebelum berlanjut kepada pembahasan berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian dari pola asuh itu sendiri.
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap”.[26] Sedangkan kata “asuh dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga”.[27] Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.[28] Menurut Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto “Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[29]
Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak[30]. Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik. Artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
Menurut Clemes bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya[31].
Penanganan terhadap perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.
Di dalam mengasuh anak terkandung pula pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Di sini peranan orang tua sangat penting, karena secara langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakannya di kemudian hari[32]. Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orang tua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.
Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.


               [1] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (terjemah: Tarbiyatul ‘l-Aulad fil‘-Islam), (Bandung: Asy-Syifa, 1988), hal. 42.

               [2] Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 19.
               [3]Djuju Sujana, Peranan Keluarga dalam Lingkungan Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 33.

               [4]Jalaluddin Rahmat, dan Muhtar Gandatama, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 29.
[5] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak   Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), hal. 39.

[6] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 5.
[7]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29.
[8]Djamarah , Strategi ..., hal. 46-49.

[9]Daradjat, Ilmu ..., hal. 38.
               [10] Thamrin Nasution dan Nurhalijah Nasution, Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hal. 1.
              
               [11] Departemen Agama RI., Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Proyek Pemgbinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1982), hal. 34.

               [12] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 88.
               [13] Soegeng Santoso, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Citra Pendidikan, 2001), hal. 77-78.
               [14] Ibid., hal. 3.

               [15] Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet. IV, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hal. 31-32.

               [16] Nugroho,  Serba Serbi...., hal. 3.
              
               [17] Alex Sobur, Komunkasi Orang Tua Dengan Anak, Cet. I, (Bandung: Angkasa, 1991), hal. 21.

               [18] Irawati Istadi, Istimewakan Setiap Anak (Seri Psikologi Anak 2), (Jakarta: Pustaka Inti, 2004), hal.151.
               [19] Ibid, hal. 169-175.
[20] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Cet. II, Terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992 ), hal. 8.
               [21] Ramayulis, Pendidikan Islam Dasar Rumah Tangga, (Jakarta: Ilmu Kalam, 1987), hal. 35.
               [22] Gunarsa Singgih, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1990), hal. 65-67.
               [23] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Jakarta: Pustaka Inti, 2006), hal. 19.
               [24] Anwar dan Arsyad Ahmad, Pendidikan Anak Dini Usia, Panduan Praktis Bagi Ibu           dan Calon Ibu), (Bandung: Alfabeta, 2007), hal. 29.
[25] Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Cet. XV,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 56.

[26] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 54.

[27] TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 692.

[28] Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, Cet. I, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 5.

[29] Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, Cet. Ke-1, (Jakarta: Arcan, 1991), hal. 94.
[30] Theo Riyanto, Pembelajaran Sebagi Proses Bimbingan Pribadi, (Jakarta: Gramediaa Widiasarana Indonesia, 2002), hal. 39.

[31] Harris Clemes, Mengajarkan Disiplin Kepada Anak, (Jakarta: Mitra Utama, 2001), hal. 38.
[32] Mahmud Mahdi, Mendidik Anak Nakal, (Bandung: Pustaka, 2002), hal. 69.