Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Eksistensi Hukuman Fisik Dalam Pendidikan


BAB III

Eksistensi Hukuman Fisik Dalam Pendidikan

                                                         
A.    Tinjauan Hukum Formal Penerapan Hukuman Fisik dalam Pendidikan

Pelaksanaan  hukuman fisik mempunyai hikmah dan tujuan tersendiri. Menurut Islam, hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran mempunyai tujuan pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa “Pemberian hukuman dalam Islam adalah sebagai tuntunan dan bimbingan dan bukan sebagai hardikan atau balas dendam”[1]. Secara umum pemberian hukuman adalah untuk membersihkan kesalahan seseorang yang telah melakukan pelanggaran, serta menghambat orang lain, baik individu maupun kelompok untuk melakukan aksi pelanggaran dan kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian dipihak pelaku pelanggaran sendiri dan orang lain pada umumnya. Di samping itu pemberian hukuman juga bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan mendidik masyarakat secara keseluruhan bahwa segala bentuk perbuatan yang merugikan orang atau pihak lain dan menyimpang dari norma-norma yang berlaku akan dikenakan suatu hukuman yang setimpal.
B.    Tingkat Kebutuhan Hukuman Fisik dalam Pendidikan

Hukuman adalah “Penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua,guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan”. Pengertian ini memberikan penegasan bahwa hukuman dijatuhkan kepada seseorang sebagai akibat pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan yang dilakukannya[2]. Dalam pengertian lain dijelaskan tentang makna hukuman, yakni: “Suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa dengan orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungidirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran”.[3] Berdasarkan pengertian ini menegaskan bahwa hukuman diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan anak didik dan melindungi dirinya dariperbuatan yang kurang baik sehingga anak didik tidak melakukan kesalahan.
Di sisi lain makna hukuman adalah “Sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk membuat agar orang lain tersebut mengalami perasaan tidak senang untuk selanjutnya mengurangi perilaku yang yang menyebabakan dia dihukum.[4] Pengertian ini menegaskan bahwa hukuman merupakan satu bentuk terapi yang diberikan kepada seseorang agar ia mengurangi perilaku yang kurang baik yang menyebabkan ia dikenai hukuman.
Dalam dunia pendidikan, menurut Syamsul Bahri dan Aswan Zain menyebutkan bahwa hukuman adalah:
Reinforcement yang negatif, tetapi diperlukan dalan pendidikan. Hukuman dimaksud di sini tidak seperti hukuman penjara atau hukuman potong tangan. Tetapi hukuman adalah hukuman yang bersifat mendidik . Hukuman yang mendidik inilah yang diperlukan dalam pendidikan. Kesalahan anak didik karena melanggar disiplin dapat diberikan hukuman berupa sanksi menyapu lantai, mencatat bahan pelajaran yang ketinggalan, atau apasaja yang sifatnya mendidik.[5]

Hukuman diberikan oleh guru kepada siswa sebagai upaya menyadarkan siswa dari kesalahan, pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Adanya hukuman yang dibrikan oleh guru dimaksudkan untuk memberi peringatan dan rasa jera kepada siswa unutuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya ketika belajar yang menyebabkan terganggunya proses pengajaran di dalam kelas. Dengan adanya hukuman menumbuhkan kesadaran bagi siswa bahwa apa yang dilakukannya salah dan tidak patut untuk diulangi.  
Sebagai alat pendidikan, maka hukuman adalah: “Tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja menimbulkan nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya”.[6] Defenisi ini memberikan penegasan bahwa hukuman diberi untuk mendidik anak unutk tidak lagi mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Untuk itu, maka hukuman dapat : senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, sedikit banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan dan Selalu bertujuan kearah perbaikan, hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri.
Dengan demikian hukuman diberikan dimaksudkan untuk mendidik anak agar menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah dan berusaha tidak mengulangi di kemudian hari. Kemudian memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan dengan mengoreksi mengapa kesalahan itu bisa terjadi.  Dalam dunia pendidikan, hukuman merupakan hal yang wajar, bilamana hukuman yang diberika kepada anak didik memberikan sumbangan bagi perbaikan moral anak didik. Artinya terjadi keinsyafan pada diri anak didik atas kesalahan yang dilakukannya dan berusaha memperbaiki dan tidak melakukannya lagi.  
Hukuman dianggap efektif apabila dapat memotivasi anak didik untuk berusaha tidak mengulangi kesalahan yang dilakukannya sebelumnya dan menyesal telah melakukannya. Dan akibat hukuman yang diberikan kepada anak didik tidak membuat ia dendam atau merasa dikucilkan dan merasa harga dirinya telah tiada.Untuk itu guru harus dapat mengantisipasinya sedemikian rupa, agar anak didik menerimanya dengan sewajarnya dan sadar bahwa itu merupakan akibat kesalahan yang dilakukannya.   
Hukuman tidak mutlak diberikan langsung kepada anak didik apabila melakukan kesalahan. Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahan yang dilakukannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya dan ia menghormati dirinya kemudiam ia merasakan akibat perbuatan tersebut. Akhirnya ia sadar dan insyaf terhadap kesalahan yang dilakukannya dan berjanji di dalam hati unutk tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah dilakukannya. Apabila tahap pertama ini belum berhasil, maka dilanjutkan pada tahap kedua, yakni memberikan teguran, peringatan dan nasihat-nasihat. Ketika memberikan teguran, peringatan dan nasihat dianjurkan untuk bersikap bijaksana, singkat dan berisi, halus tutur katanya , dan jangan terlalu banyak mencela.       
Apabila tahap kedua ini belum berhasil, maka dilanjutkan pada tahap ketiga, yakni memberikan hukuman kepada anak didik dengan hukuman yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan. Dengan demikian hukuman boleh diberikan dalam batas yang wajar dan tidak terlalu menyakitkan badan dan jiwa anak, apabila sampai menjadikannya cacat tubuh.Hukuman diberikan kalau anak betul-betul bandel dan kurang ajar yang berlebih-lebihan.    
Untuk mengarahkan siswa agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya, maka upaya perbaikan menjadi bagian dari pembinaan dan pendidikan yang dilakukan oleh guru di sekolah. Hal ini sebagaimana makna hukuman yakni :  
Suatu perbuatan, dimana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, yang baik dari kejasmanian dan segi kerohanian orang lain itu mempunyai kelemahan dibanding denga diri kita, dan oleh karena itu kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya.[7]

Defenisi ini memberikan penegasan bahwa hukuman merupakan suatu penderitaan yang diberikan kepada seseorang baik disengaja maupun tidak di sengaja yang dilakukan untuk membuat orang menderita baik jasmani maupun rohani karena kesalahan yang telah dilakukannya akan menjadi tanggung jawab kita unutk membimbing dan melindunginya. Hukuman secara jasmani adalah dengan menugaskan agar siswa berdiri di depan kelas, disuruh mengerjakan menulis pelajaran atau meresume pelajaran sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya selama mengikuti pelajaran di dalam kelas.  Sementara itu hukuman rohani berupa teguran, larangan atau peringatan secaralangsung melalui lisan maupun tulisan yang dimaksudkan agar siswa takut , sadar dan berusaha tidak mengulangi perbuatan salah yang dilakukannya pada saat kegiatan belajar berlangsung.
            Untuk menghindari adanya perbuatan sewenang – wenang dari pihak yang menerapkan hukuman terhadap anak didik, berikut ini beberapa petunjuk dalam menerapkan hukuman, antara lain:    Pertama, penerapan disesuaikan dengan besar kecinya kesalahan, Kedua, penerapan hukuman disesuaikna dengan jenis, usia dan sifat anak, Ketiga, penerapan hukuman dimulai dari yang kecil, Keempat, jangan lekas menerapkan sebelum diketahui sebab musababnya, karena                       mungkin penyebabnya terletak pada situasi atau pada peraturan atau pada pendidik, Kelima, jangan menetapkan hukuman pada saat marah, emosi atau sentimen, Keenam, jangan sering menerapkan hukuman, Ketujuh, sedapat mungkin jangan mempergunakan hukuman badan, melainkan pilihlah hukuman yang paedagosis, Kedelapan, perhitungkan akibat – akibat yang mungkin timbul dalam hukuman tersebut, Kesembilan, berilah bimbingan pada si terhukum agar menginsyafi atas kesalahannya dan Kesepuluh, pelihara hubungan \ jalinan cinta kasih sayang antara pendidik yang mengetrapkan dengan anak didik yang dikenai hukuman, sekira terganggu hubungan tersebut harus diusahakan pemulihannya.[8]

Dengan beberapa petunjuk yang diberikan di atas memungkinkan guru dapat memberikan hukuman dengan sebaik – baiknya dan tidak menimbulkan masalah bagi siswa yang diberi hukuman oleh guru. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa hukuman harus diberikan guru didasarkan pada beberapa pertimbangan di bawah ini :
a) Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan.
b) Hukuman harus disesuiakan dengan kepribadian anak.
c) Hukuman harus diberi dengan adil.
d) Guru sanggup memberi maaf setelah hukuman itu dijalankan.[9]
Dengan berpedoman kepada empat point ini besar kemungkunan siswa tidak akan mudah mangulangi kesalahan yang telah diperbuatnya, asal terus mendapat bimbingan dari guru di sekolah. 
Dalam konsep al- Qur’an juga memberikan tuntunan mengenai hukuman sebagai akibat tidak melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT sebagaimana dijelaskan pada ayat ini:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُوْلَـئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَآئِفِينَ لهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ  (البقرة:۱۱٤)
Artinya: Dan siapa orang yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang – halangi menyebut nama allah dalam masjid – masjidnya, dan berusaha untuk merobohkannya ? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid allah), kecuali dengan rasa takut kepada allah.Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat ( Qs. al-Baqarah: 114 )

         Ayat diatas secara tegas memberikan penjalasan bahwa adalah satu kerugian bagi setiap orang yang menghalang – halangi orang untuk melaksanakan amal ibadah di dalam masjid. Allah menegaskan bahwa bagi mereka akan mendapat siksa di dunia mendapat kehinaan dari manusia dan di akhirat akan dihukum atau di siksa denga siksa yang amat pedih. Hal ini adalah satu bentuk larangan kepada umat untuk jangan coba – coba melarang orang untuk melakukan kebaikan.
            Maksud orang berbeda-beda dalam memberi hukuman hal ini sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman:
1)     Teori pembalasan
            Teori inilah yang tertua hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan pelanggaran yang dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak bisa digunakan dalam dunia pendidikan diantaranya adalah :
2)     Teori perbaikan
            Menurut teori ini hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yang bertujuan untuk memperbaiki seseorang yang pernah berbuat kejahatan agar jangan berbuat hal yang serupa
3)     Teori perlindungan
            Menurut teori ini Hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang tidak wajar
4)     Teori ganti rugi
            Atau hukuman adalah diadakan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat kejahatan atau pelanggaran. Dalam teori pendidikan teori ini masih belum cukup. Sebab dengan hukuman semacam itu anak mungkin menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu terbayar dengan hukuman, dan yang terakhir
5)     Teori menakut-nakuti
            Hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut akan akibat perbuataannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan tiu dan meninggalkannya.
            Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Dan tiap-tiap teori yang tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain. Dengan singkat tujuan paedagogis dari hukuman ialah memperbiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik mereka kearah kebaikan
         Dalam kaitannya dengan hukuman mendidik, dapat diambil pelajaran dari apa yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya berikut ini :
وعن عمروبن شعيب عن جده رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي ا لله عليه وسلم: مرواأولادكم بالصلا ة وهم ابناء سبع سنتين واضربوهم عليها وهم بناءعشروفرقوابينهم في المضا جع حديث حسن،(رواه ابوداود)

Artinya: Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari neneknya ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : Suruhlah anakmu sholat pada waktu umur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan sholat jika telah berumur sepuluh tahun. Dan pisahkan anak laki- laki dengan anak perempuan dalam tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud).[10]

Hadist ini menegaskan bahwa dianjurkan pada setiap orang tua unutk menyuruh anaknya melakukan ibadah shalat dalam umur tujuh tahun. Apabila anak sampai umur 10 tahun tidak mengerjakan ibadah sholat, maka dapat dipukul, dalam arti memukul unutk mendidik anak agar mau melaksanakan ibadah sholat.   
Dari hadist ini dapat dipahami bahwa hukuman merupakan salah satu bentuk tindakan preventif atau untuk mencegah seseorang lalai melakukan tugas atau kewajibannya yang harus dipikulnya. Dari hadist ini bahwa tindakan hukuman dilakukan setelah adanya perintah untuk melakukan , bila tidak ditaati baru dihukum.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah; Memberi nasehat dan petunjuk, Ekspresi cemberut, Pembentakan, Tidak menghiraukan murid, Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai, Jongkok, Memberi pekerjaan rumah/tugas, Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut dan Alternatif terakhir adalah pukulan ringan.
Hal yang menjadi prinsip dalam memberikan sanksi adalah tahapan dari yang paling ringan, sebab tujuannya adalah pengembangan potensi baik yang ada dalam diri anak didik.

C.    Model-Model Hukuman Fisik dalam Pendidikan

Bentuk hukuman yang dapat diterapkan dalam mendidik anak dalam berdasarkan al-Qur’an, akan diperoleh bentuk yang sangat bervariasi, seperti dera seratus kali bagi orang yang berzina, potong tangan bagi yang mencari, diasingkan dari kampungnya bagi penzina dan seterusnya. Bila bentuk yang bermacam-macam itu diklasifikasikan akan diperoleh dua bentuk utama yaitu hukuman jasmaniah dan hukuman rohaniah. Ditinjau dari masa atau kapan hukuman itu diberikan, bagi Schaefer[11] ada tiga bentuk hukuman yang dapat dipergunakan sesudah dilakukannya suatu perbuatan salah oleh si anak yaitu: Pertama, membuat anak itu melakukan suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, Kedua, mencabut dari anak tersebut sesuatu kegemarannya atau sesuatu kesempatan yang menggembirakannya dan Ketiga, menimpakan kesakitan berbentuk kejiwaan dan jasmani terhadap anak.
Disamping itu, peringatan atau teguran dan hal yang serupa merupakan bentuk hukuman yang dapat diterapkan sebelum terjadinya suatu kesalahan yang dilakukan anak. Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali Jumbulati[12] menyatakan, jika terpaksa mendidik anak dengan kekerasan, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman terlebih dahulu, jangan menindak anak dengan kekerasan tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan kadang-kadang dengan muka masam.
Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa secara general (umum), hukuman berupa kata-kata teguran misalnya lebih baik dilakukan dari alternatif pilihan lainnya. Tetapi ini tidak bisa diartikan bahwa orang tua mempunyai kebebasan yang mutlak dalam menggunakan kata-kata. Dalam memberi peringatan atau teguran, orang tua tidak boleh menggunakan kata-kata yang mendiskriditkan anak, seperti kata “saya jijik melihatmu” kata-kata yang sedemikian itu akan menghilangkan paling tidak menjatuhkan harga diri anak dan ia akan kecewa. Al-Ghāzali sebagaimana dikutip oleh Fathiyah[13] menyatakan bahwa orang tua hendaklah berhati-hati dalam menggunakan hukuman sebagai metode pendidikan, ia tidak boleh berlaku kasar dalam membina mental anak. Begitu juga tidak boleh menyebarluaskan kesalahan mereka, karena hal ini dapat menjadikannya bersikap menentang ataupun mempertahankan dirinya.
Selanjutnya menerapkan bentuk hukuman apa yang akan diberikan kepada anak, orang tua hendaknya harus memperhatikan dua prinsip berikut ini:
Pertama, hukuman profosional, maksudnya berat atau ringan hukuman itu tergantung kepada bentuk perlanggaran dan frekuensinya. Jadi seorang anak usia tujuh tahun yang memecahkan piring ketika makan, dilarang makan untuk satu hari adalah suatu contoh hukuman yang tidak proposional. Sebab, bertanya hukuman tidak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam menyingkapi masalah ini, ia lebih cenderung tidak memberi hukuman apabila frekuensinya masih bisa ditolerir. Dengan alasan bahwa setiap benda itu mempunyai ajal sebagaimana ajalnya manusia.[14]
Kedua, Hukuman diberikan setelah ada penjelasan. Ini berarti menuntut orang tua agar memberikan pendidikan mengenai masalah syariat, adab atau akhlak, sehingga anak mengerti alasan atau argumentasi orangtuanya ketika terpaksa memberikan hukuman atau balasan kepadanya.[15] Perlunya penjelasan sebelum pelaksanaan hukuman agar anak lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga terhindar dari kesalahan yang mengakibatkan ia terhukum.
D.    Kelebihan dan Kekurangan dalam Penerapan Hukuman Fisik dalam Pendidikan

Adapun kelebihan penerapan hukuman fisik dalam pendidikan Menurut Spencer sebagaimana yang dikutip oleh Suwarno dalam bukunya Pengantar Ilmu Pendidikan adalah sebagai berikut: Pertama, anak belajar mengetahui akibat yang wajar dari perbuatannya; Kedua, anak merasa hukuman ini sebagai hukuman yang dirasakan adil; Ketiga, karena itu, hukuman ini dirasakan tidak menyakitkan anak itu sendiri; dan Keempat, hubungan antara guru dan anak tetap terpelihara dengan baik.[16]
Adapun kekurangan penerapan hukuman fisik dalam pendidikan adalah sebagai berikut: Pertama, akibatnya kadang-kadang terlalu berat; Kedua, anak hanya akan memperhatikan akibat dari pada perbuatannya, kurang memperhatikan sebab-sebabnya, anak akan bertambah hati-hati tetapi kurang menyadari masalah norma baik dan buruk dari perbuatannya.
Ag. Soejono mengemukakan bahwa kelemahan lain dari pada adanya hukuman fisik yaitu: anak didik yang hanya dikenakan hukuman alam akhirnya mempunyai sikap hidup yang hanya memperhatikan lahiriah saja, ia hanya memperhatikan akibat dari perbuatannya yang salah dan berusaha menghindarinya.[17] Segala cipta, rasa, karsa dan karyanya hanya bertujuan mengelakkan dari akibat perbuatannya, tidak untuk memperbaiki kelakuannya atau sikap jiwanya. Ia tidak akan berkembang menjadi manusia yang berbudi luhur, melainkan menjadi manusia yang pandai menghindari akibat perbuatan hinanya. Bahkan, hukuman alam terkadang baru diderita jauh di hari kemudian sesudah amat terlambat.
Sebagaimana pendekatan-pendekatan pendidikan lainnya, pemberian hadiah juga tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihannya adalah:
Pertama, Memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak didik untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersikap progresif. Kedua, Dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya untuk mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari gurunya; baik dalam tingkah laku, sopan santun ataupun semangat dan motivasinya dalam berbuat yang lebih baik. Proses ini sangat besar kontribusinya dalam memperlancar pencapaian tujuan pendidikan.
Disamping memiliki kelebihan, pemberian hadiah juga memiliki kekurangan. Antara lain: Pertama, Dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya secara berlebihan, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari teman-temannya. Kedua, Umumnya hadiah membutuhkan alat tertentu dan membutuhkan biaya[18].
Selanjutnya pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan benar, yaitu: Pertama, Hukuman akan menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. Kedua, Murid tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Ketiga, Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
Sementara kekurangannya adalah apabila hukuman yang diberikan tidak efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain: Pertama, Akan membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri. Kedua, Murid akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum). Ketiga, Mengurangi keberanian anak untuk bertindak[19].








[1]Ibnu Hajar, Sejarah Pendidikan Umum/Islam, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1988), hal. 67.
[2] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal.120.

[3]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet, I, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2007), hal.45.

[4] Padhlan Mudhafir, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000), hal. 182.

[5] Syaiful Bahri Djamarah dan  Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2006 ), hal.176.

[6] Abu Ahmadi dan  Nur Ukhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 ), hal. 153.
[7] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Cet. I, (Yokjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 150.
[8] Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet. I (Jakarta: KDI, 2002 ), hal. 156.

[9] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), hal. 56.
[10] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, (Terj. Agus Hasan Basri dan M. Syu’aib), Cet. 2,            (Jakarta: Duta Ilmu, 2004 ), hal. 586.
[11] Charles Schaefer, Bagaimana Membimbing,  Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif, terjemahan R. Turman Sirait, (Jakarta: Restu Agung, 1997), hal. 105.

[12]Ali al-Jumbulati, Perbandingan…, hal. 124.

[13]Fathiyah Hasan Sulayman, Madzhib al-Tarbiyah, Baths fi al-Madzahib al-tarbawiy 'inda al-Ghazali, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1994), hal.35.

[14]Muhammad Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 111.

[15]Ibid, hal. 103.

[16] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakrta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 33.

[17] Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: CV. Ilmu. 1980), hal. 166
[18] www.scribd.com/doc/18120787/penerapan-hukuman-dan-pemberian-hadiah, Diakses 29 Oktober 2010.

[19] http://missdzaa.blogspot.com/2009/01/penerapan-hukuman-dan-ganjaran-dalam.html, Diakses 29 Oktober 2010.