Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Faktor-faktor Penyebab Dendam


A.    Faktor-faktor Penyebab Dendam

Pada dasarnya manusia memiliki suatu perasaan dan akal yang telah di anugerahkan oleh Allah SWT. Dengan adanya perasaan dan akal inilah manusia bisa mencintai, menyayangi, mengasihi satu sama lainnya. Di samping itu, manusia juga memiliki perasaan lain seperti iri, dengki, dendam, was-was dan lain sebagainya.
 Perasaan-perasaan tersebut bisa terjadi apabila manusia tidak mampu mengarahkan perasaan hatinya yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini juga akan menyebabkan manusia dipermainkan dan di jadikan bulan-bulanan oleh berbagai macam perasaannya, sehingga hidupnya tak akan pernah damai dan tentram.        
Mas Udik Abdullah dalam bukunya “Manajemen Perasaan” mengatakan bahwa:
“Apabila manusia tidak mampu mengontrol perasaan hatinya ke arah yang sesuai dengan ajaran agama Islam, maka  ia juga tidak akan mampu menjalankan perintah agama dengan baik. Hati bagi seluruh tubuh adalah bagaikan raja yang mengendalikan pasukan mengeluarkan instruksi dalam melakukan suatu perbuatan. Penyakit dendam bisa timbul juga karena adanya perintah dari hati nurani manusia itu sendiri”.[1]

Dengan demikian orang yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ia harus mampu menjaga perasaan hatinya. Karena apabila ia tidak mampu mengontrol dan menjaga perasaannya dengan baik, ini dapat menimbulkan berbagai macam penyakit hati, yang salah satunya adalah dendam.
Penyakit dendam juga bisa timbul karena adanya berbagai faktor yang menimpa seseorang manusia. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang berbuat dendam adalah sebagai berikut :
1.     Nasib buruk yang sering menimpa seseorang
Nasib buruk yang sering menimpa seseorang dapat menyebabkan ia dengki dan iri hati kepada orang lain yang bernasib baik. Nasib buruk ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah di bumi ini.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Keajaiban hati” mengatakan bahwa “Orang yang bernasib buruk ia akan rela melakukan berbagai macam prilaku kejahatan yang merugikan orang lain, seperti pembunuhan, perampokan dan pencurian yang dapat menimbulkan permusuhan dan perasaan dendam antar sesama manusia”. [2]
Orang yang bernasib buruk atau orang yang berada dalam kemiskinan tidak pernah menyadari bahwa, Allah SWT., menahan salah satu nikmat-Nya untuk seseorang, baik berupa harta, pekerjaan, kekuasaan, pangkat dan jabatan, bukanlah Allah benci kepada orang tersebut. Akan tetapi nasib buruk tersebut merupakan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hambanya yang beriman agar dia tidak lalai dalam beribadah kepada-Nya. Karena berapa banyak orang kaya dan berpangkat yang lalai dan lupa kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat As-Syura ayat 27 yang berbunyi :
öqs9ur xÝ|¡o0 ª!$# s-øÎh9$# ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9 (#öqtót7s9 Îû ÇÚöF{$# `Å3»s9ur ãAÍit\ム9ys)Î/ $¨B âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÎ/ 7ŽÎ7yz ׎ÅÁt/    (الشورا: 27)
Artinya : “Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat”. (Q.S. As-Syura: 27).
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa jikalau Allah tidak memberikan kekayaan kepada hamba-Nya yang beriman bukan berarti Allah benci kepada hamba-Nya tersebut. Akan tetapi Allah masih sayang kepada hambanya yang beriman, agar jangan sampai  ia membuat kerusakan di muka bumi. Allah juga mengetahui keadaan hamba-hambanya.
Orang yang bernasib buruk juga harus menyadari bahwa kenikmatan di dunia bukanlah tujuan utamanya. Dengan demikian, walaupun ia berada dalam kemiskinan dan kehinaan, ia harus taat kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 46, yang berbunyi sebagai berikut:
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( àM»uŠÉ)»t7ø9$#ur àM»ysÎ=»¢Á9$# îŽöyz yZÏã y7În/u $\/#uqrO îŽöyzur WxtBr& (الكهف:٤٦)                                           
Arinya:  “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Q. S. Al-Kahfi: 46).
Ayat di atas, menurut pendapat M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Misbah”mengatakan bahwa:
“Ayat di atas bukannya meremehkan harta dan anak-anak, hanya saja ia membandingkan harta dan anak-anak yang sekedar difungsikan sebagai hiasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Memang harta dan anak dapat juga menjadi sarana utama untuk beramal shaleh, ketika  ia difungsikan sesuai dengan tuntunan Agama Islam, akan tetapi ketika melenceng dari tuntunan Agama Islam ia dapat menjadi bencana bagi manusia yang beriman. Nah, di sinilah amal shaleh menjadi sangat lebih baik dari harta dan anak. Jika amal-amal yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat umum atau pribadi itu dilakukan sesuia dengan tuntunan Allah, maka ia akan menjadi amal shaleh yang diterima oleh Allah. Disisi lain, benar juga harta dan anak dapat di andalkan untuk memenuhi harapan, tetapi amal-amal shaleh tersebut lebih dapat diandalkan. Amal shaleh dipelihara oleh Allah, sedangkan harta dan anak-anak manusia yang menjaganya, dan tidak jarang pula harta dan anak dapat mengakibatkan kelalaian bagi manusia dalam mengingat Allah.[3]

Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan tentang kenikmatan hidup di dunia adalah surat Al-Hadid ayat 20, yang berbunyi:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$#(الحديد :٢٠)
Artinya:  Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Q.S. Al-Hadid; 20).

Ayat di atas, sebagaimana yang dikutip dalam buku “Departemen Agama Republik Indonesia Al-Quran dan Tafsirnya” menjelaskan bahwa:
Allah SWT menjelaskan kepada manusia bahwa kehidupan dan kesenangan dunia itu hanyalah seperti mainan dan sesuatu yang melalaikan bagi manusia yang berbangga-bangga dengan harta dan keturunan yang dianugerahkan kepada mereka. Dunia sifatnya hanya sementara, kemudian hilang dan berakhirlah wujudnya, tidak bedanya dengan bumi yang kena hujan lebat lalu menumbuhkan tanaman-tanaman yang mengagumkan para petani, menyebabkan mereka riang bermuka cerah dan merasa gembira. Di dalam keadaan demikian tiba-tiba berubah menjadi kering dan layu, hancur berguguran diterbangkan angin.[4]

Ayat di atas juga dapat dipahami bahwa di akhirat nanti ada azab keras yang terus menerus disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang sangat mencintai dunia. Meninggalkan amal-amal shaleh. Melibatkan dirinya ke dalam kemusyrikan dan penyembahan berhala. Di samping itu, ada ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya yang dianugerahkan kepada orang-orang yang mensucikan dirinya dari dosa dan maksiat, merendahkan diri kepada Allah dan kembali kepada-Nya, ta’at dan patuh pada segenap perintah dan larangan-Nya.
Ayat-ayat yang telah penulis sebutkan di atas, menunjukkan bahwa Allah SWT., memperingatkan hamba-hamba-Nya, agar jangan terlalu membanggakan diri dengan sebab adanya karunia Allah yang diperoleh, dan juga jangan berduka cita bila ia berada dalam kemiskinan. Allah  mengingatkan pula bahwa akhirat itu adalah hari yang kekal dan lebih baik dicapai dan dijadikan tumpuan harapan, sedang dunia sebagai tempat manusia untuk hidup, harta kekayaan yang ada di dalamnya, anak-anak yang banyak hanyalah bersifat sementara belaka.
Demikian juga dunia ini merupakan permainan, tipu daya belaka, tempat bermegah-megah dan berbangga-bangga dalam limit waktu yang sangat relatif bagaikan umur tanaman yang tumbuh menghijau, tetapi akhirnya menguning dan layu serta hancur berantakan. Namun demikian bukan berarti Allah menginginkan hambanya untuk meninggalkan kenikmatan duniawi, akan tetapi semua nikmat yang telah diberikan Allah tersebut harus digunakan sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan demikian jelaslah bahwa seseorang yang bernasib buruk dan berada dalam kemiskinan ia tidak perlu dengki dan iri hati kepada orang yang mempunyai harta kekayaan dan kemewahan hidup di dunia, karena hal itu dapat menimbulkan kedengkian dan iri hati kepada orang lain yang mempunyai nikmat tersebut.           Kedengkian dan iri hati dapat menyebabkan penyakit dendam pada manusia itu sendiri. Demikian pula kalau seseorang menyikapi nasib buruk ini dengan melupakan ketentuan Allah terhadap hambanya, ia akan dipenuhi oleh perasaan dendam yang akan terus bertambah. Hal ini mengakibatkan ia lalai dalam mengingat Allah dan bertaubat kepada-Nya.
2.     Pembagian harta yang tidak adil
Ketidakadilan dalam pembagian harta dan pilih-pilih dalam berinteraksi di antara sesama anggota rumah tangga, keluarga, warga negara, masyarakat, dan bangsa merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit dendam. [5]       
Apalagi kalau pembagian harta tidak di lakukan atas dasar hukum Islam, tetapi dengan mengikuti hawa nafsu, dan nepotisme. Maka penyakit dendam ini akan semakin terjangkit dalam diri seseorang yang tidak merasakan keadilan tersebut. Mungkin inilah rahasia Islam mengatur kepada manusia agar bersikap adil, bijaksana dan seimbang dalam memberikan hak tanggung jawab, baik  dalam keluarga yang kecil sampai kepada lembaga negara. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 135, yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3tƒ $ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7­Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊ̍÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz  (النساء: 135)
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. An-Nisa: 135).

3.   Pemaksaan
Pemaksaan juga merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya rasa dendam dalam hati seseorang. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata “Rasa dendam timbul saat seseorang dipaksakan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan tidak disenanginya. Kemudian ia dipaksakan dengan berbagai cara, seperti di cela, di penjara, di buat lapar, di pukul, dan di teror”.[6]  
Jadi, pemaksaan akan menimbulkan perasaan dendam dalam hati orang yang dipaksakan tersebut. Ia juga akan memendam semua perlakuan buruk yang dilakukan pada dirinya. Sehingga ia akan berusaha untuk membalas semua perlakuan buruk ini kepada orang yang melakukannya.
4.   Tidak menjaga hubungan baik dengan saudara dan tetangga
“Menjaga hubungan baik sesama saudara dan tetangga merupakan suatu perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Karena dengan menjaga hubungan baik ini manusia dapat hidup dalam keadaan damai dan tentram”.[7]
Dalam menjaga hubungan baik antara sesama saudara dan tetangga, ada banyak cara yang harus dilakukan oleh seseorang. Seperti saling tolong-menolong, memperkuat rasa silaturrahmi, menjenguk saudaranya yang dalam keadaan sakit. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW., yang berbunyi:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم: قال: قال رسول الله صلى الله وسلم: من عاد مريضا أوزار أخاله فى الله، ناداه مناد بأن طبت، وطاب ممشاك وتبوأت من الجنة منزلا. (رواه: الترمذي)
                                                              
Artinya: “Siapa saja yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya   karena Allah, maka dia diseru oleh penyeru: engkau baik, jalanmu baik dan engkau akan menempati satu tempat di surga” (HR. Tarmidzi).[8]
Hadits di atas, dapat dipahami bahwa menjenguk dan mengunjungi orang yang dalam keadaan sakit merupakan suatu perbuatan yang mulia dan akan mendapat tempat di surga. Hal inilah yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang telah beriman kepada Allah SWT. Karena perbuatan seperti ini akan terpelihara  hubungan baik antar bersaudara dan tidak akan putus untuk selamanya.
Akan tetapi apabila manusia tidak mampu menjaga hubungan baik dengan cara yang disebutkan tadi, maka hubungan persaudaraan akan putus dan juga akan hilang rasa kasih sayang sesamanya. Putusnya rasa persaudaraan seseorang dan retaknya silaturrahmi dengan tetangga. Hal ini akan menimbulkan permusuhan dan penyakit dendam antara sesamanya.
5.   Bersikap Sombong
Sikap sombong juga merupakan suatu faktor akan timbulnya perasaan dendam. Dalam hal ini Sayid M. Nuh berkata: “Orang yang sombong sering kali ia membanggakan dirinya dan menghina orang lain. Ia juga tidak akan pernah menganggap tinggi derajat orang lain. Sehingga sikap kesombongannya ini akan menimbulkan permusuhan dan kebencian orang lain kepadanya”.[9]
Dengan timbulnya permusuhan dan kebencian orang lain kepada orang yang bersikap sombong, maka disinilah akan munculnya perasaan dan penyakit dendam.
Sikap sombong ini, Bila ditinjau dalam pandangan agama Islam, maka Islam sangat mencela orang-orang sombong yang dapat menyebabkan timbulnya perasaan dendam tersebut. Sombong juga merupakan suatu sikap yang sangat buruk di dalam pandangan Islam, bahkan orang yang sombong akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam oleh Allah pada hari kiamat kelak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Mu’min ayat 60, yang berbunyi:
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ (المؤمن: ٦٠)
Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan   Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Q.S. Al-Mu’minun: 60)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa orang yang sombong dan tidak mau beribadah kepada Allah akan masuk ke dalam neraka jahannam dengan keadaan yang sangat hina. Allah SWT., juga tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sikap sombong. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Lukman ayat 18, yang berbunyi:
Ÿwur öÏiè|Áè? š£s{ Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC 9qãsù (لقمن: ١)
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.  (Q.S. lukman: 18)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah melarang manusia untuk bersikap sombong di atas bumi ini. Allah juga sangat tidak suka kepada orang yang sombong.


6.   Mengambil Keuntungan dengan cara curang atau penipuan
Mengambil keuntungan dari orang lain dengan curang dapat menimbulkan penyakit dendam. Apalagi penipuan ini terjadi saat orang susah dan tertimpa musibah, maka perasaan dendampun akan timbul dalam hati orang yang tertipu tersebut.
Allah sangat melarang seseorang muslim mengambil keuntungan dari orang lain dengan cara yang curang dalam bentuk apapun, seperi riba, menimba harta, menipu dalam berdagang,  memakan harta  anak yatim dengan cara yang zalim.”[10] Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 278 – 279.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? (البقرة:279 -278 )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S. Al-Baqarah: 278-279).

7.     Putusnya tali kekeluargaan akibat penceraian
Ikatan keluarga kadang kala terputus disebabkan oleh kematian salah satu anggotanya. Ikatan kekeluargaan ini juga akan putus karena adanya perceraian dalam sebuah keluarga. Mas Udik Abdullah dalam bukunya “Manajemen Perasaan” mengatakan bahwa “Saat ikatan keluarga putus dengan sebab penceraian yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, maka hal ini akan menimbulkan dendam dari pihak istri kepada pihak suami yang melakukan penceraian tersebut”.[11]  
8.     Mendengarkan perkataan orang yang suka mengadu domba.
Adu domba merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang dalam agama Islam, karena perbuatan adu domba ini akan menimbulkan permusuhan sesama manusia.
Mas Udik Abdullah berkata “Mendengarkan perkataan dan omongan pengadu domba tanpa meneliti kembali perkataan dan omongan tersebut menjadi penyebab timbulnya penyakit dendam, karena orang yang mendengar perkataan orang yang mengadu domba akan terpengaruh dengan apa yang ia dengarkan”.[12]
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk senantiasa hati-hati dalam mendengarkan perkataan seseorang yang membawa suatu berita. Dalam hal ini Allah berfirman dalam dalam surat Al-Hujarat ayat 6 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR   (الهجارت: 6)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah sangat tegas memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu waspada kepada orang-orang yang membawa berita yang tidak jelas. Allah juga menyuruh untuk memeriksa kebenaran berita tersebut. Karena apabila seseorang langsung mengambil suatu tindakan sebelum ia mengetahui kebenaran berita yang didengarnya itu, maka ia akan merasakan penyesalan kalau tindakannya yang diambilnya tidak sesuai dengan apa yang telah didengarkannya.
9.   Pembunuhan dan pertikaian
“Pembunuhan dan pertikaian juga merupakan salah satu faktor munculnya penyakit dendam dalam hati manusia, karena keluarga yang terbunuh akan menyimpan perasaan dendam kepada keluarga yang membunuh”.[13] 
Demikian pula dengan pertikaian yang sering terjadi di dalam masyarakat akan menimbulkan permusuhan yang akhirnya saling menyimpan perasaan dendam dalam hati mereka. 
10.  Perdebatan
Perdebatan yang sering terjadi di dalam masyarakat terkadang dapat menyebabkan timbulnya perasan dendam. Hal ini sesuai dengan ungkapan Mas Udik Abdullah bahwa “Apabila dua orang yang berdebat ingin saling menjatuhkan lawannya. Maka seseorang yang merasa kalah  karena dijatuhkan dalam perdebatan tersebut, Ia akan menyimpan perasaan dendam kepada pihak yang telah menjatuhkannya”.[14]
Oleh karena itu, peluang timbulnya perasaan dendam sangat besar bagi orang yang melakukan perdebatan dengan tujuan hanya untuk mengalahkan orang lain. Berbeda dengan perdebatan yang dilakukan dengan kepala  yang dingin dan tidak ada niat menjatuhkan orang lain, tetapi cuma untuk dakwah atau meluruskan sesuatu yang benar, maka kemungkinan timbulnya perasaan dendam itu lebih kecil dibandingkan dengan perdebatan yang dilakukan dengan emosi.
11.    Lingkungan dan sahabat karib
            Lingkungan tempat tinggal sangat mempengaruhi prilaku seseorang, karena Apabila ia tinggal dan hidup dalam masyarakat yang saling bermusuhan, saling bertikai, maka orang tersebut juga akan terpengaruh dengan perbuatan dan prilaku masyarakat tersebut”.[15]
            Demikian pula dengan sahabat, apabila seseorang berkawan dengan orang yang mempunyai perasaan dendam kepada orang lain. Maka iapun akan terjangkit penyakit dendam yang dimiliki oleh kawannya itu. Hal ini memang sudah menjadi suatu kebiasaan bagi manusia dalam hidupnya, di mana manusia akan mudah terpengaruh dengan kawan dan lingkungan hidupnya. Jika lingkungan dan kawannya itu terjangkit penyakit dendam, maka orang-orang yang hidup di dalam lingkungan itu juga akan tertular penyakit dendam.
12.     Kurangnya ilmu pengetahuan agama
            Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-’Utsaimin dalam bukunya “Panduan Menuntut Ilmu” mengatakan bahwa “orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai, ia akan mudah menyimpan perasan dendam dalam hatinya dan ia juga akan berusaha untuk membalas dendam tersebut”. [16]
            Demikian pula orang yang tidak mengerti tentang ilmu pengetahuan agama tidak pernah menyadari bahwa dendam merupakan suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga tidak sadar bahwa dendam dapat membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.
            Oleh karena itu, Allah SWT menyuruh kepada manusia mempelajari ilmu agama. Usaha mempelajari agama dikategoriakan-Nya sebagian dari jihad. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat At-taubah ayat 122 :
 $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts  (التوبة: ١۲۲ )
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(Q.S. At-Taubah: 122).

Ayat di atas, dapat dipahami perkara menuntut ilmu merupakan suatu perkara yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Berperang melawan kafir pun tidak boleh pergi semua, apabila tidak di antara mereka mau untuk memperdalam ilmu agama.  Hal ini menandakan berapa pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan agama demi menghindari kebodohan dan kemunafikan.
Apabila seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan agama, misalnya tentang akhlak dan akibat buruk dari dendam, maka ia akan menjauhkan diri dari penyakit dendam tersebut.
13.    Penghinaan
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Keajaiban Hati” mengatakan bahwa “Penghinaan juga merupakan salah satu faktor terjangkitnya perasaan dendam dalam hati seseorang, karena saat seseorang menghina orang lain, maka orang yang menerima penghinaan akan menyimpan rasa dendam kepada orang yang telah menghina dirinya”.[17]
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang bersifat dendam adalah: bernasib buruk atau kemiskinan, pembagian harta yang tidak adil, pemaksaan, tidak menjaga hubungan baik dengan saudara dan tetangga,  bersikap Sombong, mengambil keuntungan dengan cara curang atau penipuan, mendengarkan perkataan atau omongan adu domba,  pembunuhan dan pertikaian, perdebatan, lingkungan dan sahabat karib, kurangnya ilmu pengetahuan agama dan penghinaan.




[1] Mas Udik Abdullah, Manajemen Perasaan, (Yogyakarta, Media Qalbu, 2004), hal. 11.

               [2] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, (Jakarta: Pustaka Azam, 1999), hal. 14.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 8, Cet. I (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 69.

[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), hal. 713.

               [5] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban hati…, hal. 15.

               [6] Ibid., hal. 16.
               [7] Sayid M. Nuh, Mengobati Penyakit Hati, (Bandung: Al-Bayan, 2004), hal. 189.

[8] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Surabaya: Duta Ilmu, 2004), hal. 390.

               [9] Sayid M. Nuh, Mengobati Penyakit Hati.., hal. 190.
               [10] Ibid., hal. 191.
[11] Mas Udik Abdullah, Manajemen Perasaan…, hal. 20.
              
               [12] Ibid., hal. 21.
               [13] Ibid., hal. 22.

[14] Ibid., hal. 24.
               [15] Ibid., hal. 25.

               [16] Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-’Utsaimin, Panduan Menuntut Ilmu, (Jakarta: Media Grafika, 2003), hal. 40.

               [17] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban hati…, hal. 20.