Fungsi Al-Qur’an
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an
memiliki fungsi sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan, penentu
jalan hidup dan sebagai sandaran kenabian. Sebagai undang- undang yang paling
utama, Al-Qur’an menurut hukum Islam mengandung serangkaian pengetahuan tentang
aqidah dan pokok-pokok akhlak, sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Isra’
ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut:
ان هذا
القرآن يهدي للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصلحات أن لهم
اجرا كبيرا (الاسرأ:
٩)
Artinya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada ( jalan ) yang lebih
lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang- orang mukmin yang mengerjakan
amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (QS. Al-Isra’ : 9).
Ayat
di atas sangat jelas menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk dan pedoman
umat dalam kehidupan yang menjelaskan segala sesuatu baik mengenai pokok-pokok
aqidah keagamaan, keutamaan akhlak maupun prinsip-prinsip umum hukum perbuatan.
Dari
sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Al-huda (petunjuk). Dalam
Al-Qur’an terdapat tiga katagori tentang posisi Al-Qur’an sebagai petunjuk.
Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Allah berfirman:
شهر
رمضان الذي أنزل فيه القرأن هدى للناس وبينات من الهدى … (البقرة:۱٨٥)
Artinya: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya
Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu ...” (QS. Al-Baqarah [2] : 185).
Kedua, Al-Qur’an
adalah petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Allah berfirman:
ذلك
الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين. (البقرة:۲)
Artinya: “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 2).
Ketiga, petunjuk bagi orang- orang
beriman. Allah berfirman:
…قل هو للذين أمنوا هدى وشفاء… (فصلت:٤٤)
Artinya: “... Katalah: Al-Qur’an itu adalah petunjuk
dan penawar bagi orang- orang beriman ...”. (QS. Fushshilat [41]: 44).
b. Al-furqan (pemisah). Dalam
Al-Qur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan
memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan yang
salah. Allah berfirman:
شهر
رمضان الذي أنزل فيه القرأن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان… (البقرة:۱٨٥)
Artinya: “Bulan
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil)...” (QS. Al-Baqarah [2]: 185.)
c. Al-shifa (obat). Dalam
Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang
ada dalam dada (dimaksud di sini adalah penyakit psikologi). Allah berfirman:
ياأيها
الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين (يونس:٥٧)
Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
dari penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang yang beriman”. (QS. Yunus [10]: 57).
d. Al-mau’izah (nasihat). Dalam
Al-Qur’an dikatakan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang
bertaqwa. Allah berfirman:
هذا بيان للناس وهدى وموعظة للمتقين (ال عمران:۱۳٨)
Artinya: “Al-Qur’an ini penerangan bagi seluruh manusia,
dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-
orang yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran [3]: 138).
e. Bukti
kerasulan dan kebenaran ajarannya. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan
yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapapun yang meragukannya untuk
menyusun semacam Al-Qur’an secara keseluruhan. Kedua, menantang mereka untuk
menyusun satu surat semacam Al-Qur’an. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun
satu surat saja semacam Al-Qur’an. Keempat, menantang mereka untuk menyusun
sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Qur’an.
Allah berfirman:
وما محمد الا رسول قدخلت من قبله الرسل... (ال عمران : ۱٤٤)
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul....” (QS. Ali Imran [3]:144)
f. Untuk
menjelaskan kepada manusia tentang kejadian-kejadian terdahulu. Contohnya: (1)
Kisah para nabi. Misalnya, kisah nabi Yusuf, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi
serta Rasul lainnya. (2) Kisah-kisah yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak
dipastikan kenabiannya. Misalnya, kisah orang yang keluar dari kampung halaman,
yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah dua orang putra Adam,
penghuni gua, Zulkarnain, Qarun, orang-orang yang menangkap ikan pada hari
sabtu (Ashabus Sabti), Maryam, Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, dan lain-lain. (3) Kisah-kisah
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah,
seperti perang Badar dan Uhud dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam
surat At-Taubah, hijrah, isra’ dan lain-lain. Firman Allah dalam Al-Qur’an:
لقد كا ن فى قصصهم عبر ة لأو لى الأ لبا ب... (يو سف:۱۱۱)
Artinya: “Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang berakal....” (QS. Yusuf [12] : 111)
g. Al-Qur’an
merupakan kitab yang terakhir dan penyempurna dari kitab-kitab terdahulu.
Al-Qur’an adalah kitab yang terakhir yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya
Muhammad SAW., yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan penyempurna dari
kitab-kitab terdahulu, yakni Taurat, Zabur dan Injil. Firman Allah dalam
Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 52 dan surat Yusuf ayat 111:
هذ بلغ للنا س و لينذ روا به... (ابراهيم:۵۲)
Artinya: “(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan
supaya mereka diberi peringatan dengannya....” (QS. Ibrahim: 52)
...ما كا ن حد يثا يفتر ى ولكن تصد يق ا لذ ى بين يد يه و تفصيل كل
شئ و هد ى و ر حمة لقو م يؤ منو ن (يو سف:۱۱۱)
Artinya: “...Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf: 111)
Al-Qur’an
memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak,
dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan
tersebut. Dalam hal ini, Quraish Shihab menegaskan dalam bukunya “Membumikan
Al-Qur’an” bahwa Al-Qur’an mempunyai tiga fungsi pokok utama yaitu:
1. Petunjuk
akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam
keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari
pembalasan.
2. Petunjuk
mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan
susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual atau
kolektif.
3. Petunjuk
mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang
harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya atau
dengan kata lain yang lebih singkat. “Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh
manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat”.[12]
Selain dari fungsi yang telah penulis
sebutkan di atas, M.Hasbi Ash- Shiddieqy juga mengemukakan tentang fungsi
Al-Qur’an diturunkan yaitu sebagai berikut: “Al-Qur’an diturunkan oleh Allah
SWT berfungsi sebagai iman, sebagai petunjuk dan sebagai pemimpin yang harus
dan mesti ditaati dengan sebaik- baiknya oleh manusia. Karena Al-Qur’an itulah القن الأسسى
(Anggaran Dasar) bagi masyarakat,
dialah dasar yang wajib dijadikan pokok
undang-undang hidup yang lengkap untuk tiap- tiap orang muslim.[13]
Di samping itu dalam Al-Qur’an sendiri
banyak kita dapati ayat-ayatnya yang menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan
berfungsi untuk menjadi rahmat, petunjuk dan pegangan bagi umat manusia. Hal
ini antara lain dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al- Ankabut ayat 51
yang berbunyi:
اولم
يكفهم انا انزلنا عليك الكتب يتلى عليهم ان فى ذلك لرحمة وذكرى لقوم يؤمنون. (العنكبوت:٥۱)
Artinya: “Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya
kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an yang dibacakan kepada mereka? sesungguhnya
dalam (Al-Qur’an) itu terdapat rahmat dan peringatan bagi orang yang beriman”.
(QS. Al- Ankabut: 51).
Berdasarkan uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada umat manusia berfungsi
sebagai petunjuk dan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari sekaligus
Al-Qur’an juga menjadi rahmat memberi peringatan kepada orang-orang yang
beriman, agar tetap taat menjalankan perintah Allah SWT. Menurut Muhaimin dalam
bukunya “Kawasan dan Wawasan Studi Islam” mengatakan lebih dari itu, fungsi
Al-Qur’an adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai
objektif, universal dan abadi, karena ia diturunkan dari Dzat Yang Maha Tinggi.
Kehujjahan Al-Qur’an dapat dibenarkan karena ia merupakan sumber segala macam
aturan tentang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral dan
sebagainya, yang harus dijadikan pandangan hidup bagi seluruh umat Islam dalam
memecahkan setiap persoalan.[14]
Dengan
melihat fungsi Al-Qur’an tersebut di atas maka orang mukmin harus mempelajari
Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk dan pelajaran untuk
mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Al-Qur’an
tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu
tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu.
Al-Qur’an adalah eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas
seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.
B.
Al-Qur’an Sebagai Landasan Sistem
Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan
yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat
berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu
usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan
semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu disandarkan.
Landasan itu sendiri terdiri dari
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah
al mursalah, istihsan, qiyas dan sebagainya. Dalam hadist Nabi SAW:
وانى قد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده ان اعتصمتم به كتاب الله (رواه ابن ماجة)
Artinya: “Dan
sesungguhnya telah aku tinggalkan kepadamu Al-Qur`an yang tidak dapat
menyesatkanmu bila kamu berpegang teguh kepadanya.” (HR. Ibnu Majjah).[15]
Prinsip menjadikan Al-Qur’an dan
hadist sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran
keyakinan semata. Lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang
dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah.[16]
Al-Qur’an adalah firman Allah berupa
wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya
terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua
prinsip dasar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut AQIDAH,
dan yang berhubungan dengan amal yang disebut SYARI’AH.
Istilah-istilah yang biasa digunakan
dalam membicarakan ilmu tentang syari’ah ini ialah: (a) Ibadah untuk perbuatan
yang langsung berhubungan dengan Allah, (b) Mu’amalah untuk perbuatan yang
berhubungan selain dengan Allah, dan (c) Akhlak untuk tindakan yang menyangkut
etika dan budi pekerti dalam pergaulan. Pendidikan karena termasuk ke dalam
usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruanglingkup
mu’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk
amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.[17]
Dalam konteks etika pendidikan dalam
Islam, maka sumber etika dan nilai- nilai yang paling tepat adalah Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an
adalah kuat, karena ajaran Al-Qur’an bersifat mutlak dan universal.
Langkah yang sangat efektif dalam
membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi yang memiliki
kecerdasan intelektual dan cerdas qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan
diperoleh bilamana lembaga pendidikan menggali nilai- nilai yang diajarkan
Al-Qur’an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas
dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qur’ani dalam sistem pendidikan
Islam.[18]
Di antara fungsi Al-Qur’an adalah
sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang
benar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (shifa’), nasihat atau
petuah (mau’izah). Sebagai sumber informasi Al-Qur’an mengajarkan banyak hal
kepada manusia: dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah
sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan, Al-Qur’an memberikan wawasan dan
motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai
manifestasi kekuasaan Allah. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam
kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, Al-Qur’an
berperan sebagai motivator dan inspirator bagi para pembaca, pengkaji dan
pengamalnya.[19]
Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang
digali secara langsung dari Al-Qur’an, seperti ilmu tafsir, fiqih dan tauhid,
akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan persoalan- persoalan
sains dan bidang keilmuan lainnya.
Berdasarkan wahyu pertama sekali yang
diturun kepada Rasullah SAW., yaitu surat Al-‘Alaq
اقرأ باسم ربك الذي خلق. خلق
الإنسان من علق. اقرأ وربك الأكرم. الذي علم بالقلم. علم الإنسان ما لم يعلم.
(العلق: ۱-٥)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Adalah untuk mencanangkan dan
mendorong manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu dengan
kata- kata “iqra’”. Iqra’ terambil dari
akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menela’ah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca
baik teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang
harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu;
bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis
maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.[20]
Dalam ayat-ayat permulaan itu ada kata-kata
“qalam” yang berarti pena yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Tuntutan
dan anjuran untuk mempelajari Al-Qur’an dan menggali kandungannya serta
menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan
tuntutan yang tak akan pernah habisnya.
Terdapat banyak ajaran di dalam Al-Qur’an
yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan
itu. Sebagai contoh, dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya, dalam surat
Lukman ayat 12 sampai dengan 19. Cerita itu menggariskan prinsip materi
pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah, sosial dan ilmu
pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu
kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung
tujuan hidup tersebut. Dalam Al-Qur’an surat Az-Dzariyat ayat 56 menjelaskan
tujuan hidup manusia itu adalah untuk beribadah kepada Allah.
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات:٥٦)
Artinya: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS.
Az-Dzariyat: 56).
Oleh karena itu, pendidikan Islam
harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan merumuskan berbagai
teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus
berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan
ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.
C.
Sistem Pembelajaran Al-Qur’an
Sistem pembelajaran Al-Qur’an yang
diterapkan di kalangan masyarakat dewasa ini adalah bersifat informal dan
nonformal. Sistem pengajaran informal adalah pembelajaran yang diselenggarakan
secara sengaja akan tetapi tidak berencana dan tidak sistematis di dalam
lingkungan keluarga.[21]
Pengajaran seperti ini sering dilakukan secara individual, biasanya
pembelajaran dilakukan langsung oleh orang tuanya sendiri, baik ayah maupun
ibunya dengan mengajar berhadapan langsung.
Di
samping pembelajaran Al-Qur’an secara informal, juga dilakukan pembelajaran
dengan sistem nonformal, yaitu usaha yang dilakukan secara sengaja dan
sistematis di luar lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan formal.[22]
Menurut
Fadullah dalam bukunya “Quo Vadis Pendidikan Islam” menyatakan ada beberapa
sistem pembelajaran Al-Qur’an. Pertama, sistem bercorak individual. Pengajian
Al-Qur’an di sini diberi secara individual, dalam posisi duduk bersila para
murid membaca dan melagukan ayat- ayat Al-Qur’an di hadapan guru satu persatu,
di bawah bimbingannya selama 1\4 atau 1\2 jam.
Dalam sistem bercorak individual
semacam ini, perbedaan kemampuan individu sangat dihargai. Akibatnya, rentang
waktu belajar murid berbeda-beda. Ada murid yang cepat dan ada pula murid yang
lambat dalam penyelesaian pengajiannya. Indikator tercapainya membaca Juz
‘Amma, Juz Alif Lam Mim sampai Sayaqulus, dan tamatnya keseluruhan 30 Juz
Al-Qur’an.[23]
Kedua,
sistem pendidikan masjid. Dalam sistem pendidikan mesjid, para santri (murid)
mendatangi mesjid di mana tempat mereka tinggal. Para santri mempelajari
membaca Al-Qur’an secara berkelompok dan dengan seorang ustadz atau ustadzah.
Dalam
sistem ini, santri tidak hanya belajar membaca Al-Qur’an saja tetapi juga
diajari tentang praktek ibadah lainnya. Kalau pada masa sekarang ini sistem
seperti ini lebih dikenal dengan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
Dalam
masyarakat Banten, sistem pendidikan mesjid dikenal dengan Majelis Ta’lim.
Dalam pelaksanaannya, ada yang gabungan antara kaum lelaki dan perempuan, ada
pula yang khusus perempuan. Pengajian dilaksanakan pada pagi hari sesudah
shalat dhuha sampai menjelang dzuhur dan pada malam hari sesudah shalat isya.[24]
Ketiga,
sistem pesantren. Di dalam sistem pesantren ini, terdapat lima subsistem yang
bersifat organik, yakni: pondok, mesjid, santri, pengajaran kitab- kitab kuning
dan kiai. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang lebih berkembang
hingga memiliki kelima substansi tersebut akan berubah statusnya menjadi
pesantren. Jadi, pesantren pada dasarnya merupakan asrama (pondok) pendidikan
Islam tradisional di mana para santri tinggal bersama dan belajar Al-Qur’an,
Hadist dan segala warisan khazanah intelektual muslim, lewat kitab kuning di
bawah bimbingan seorang kiai atau lebih.
Keempat,
sistem madrasah. Dalam hal ini, madrasah sebagai manifestasi dan realisasi
pembaharuan sistem pendidikan Islam dikalangan modernis.
Tahap pertama dalam pembelajaran
Al-Qur’an adalah memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah kepada anak-anak, kemudian
mengajar membaca, mengetahui artinya dan memahami maksudnya.
Untuk
lebih memudahkan bagi anak-anak dan guru, perlu dilakukan langkah- langkah di
dalam menetapkan materi Al-Qur’an kepada anak-anak, yaitu sebagai berikut:
1. Diajarkan
huruf-huruf Al-Qur’an dan baris-barisnya, tanda mati, tanda panjang, tanda tasydid, baris dua serta cara membaca
yang baik.
2. Setelah anak-anak pandai membaca huruf-huruf Al-Qur’an,
maka tuliskan tanda-tanda pendek di papan tulis dengan tulisan yang terang,
kemudian guru membacanya di hadapan anak-anak.
3. Menyuruh anak-anak untuk membaca satu persatu
secara bergiliran, sehingga semua dapat membacanya. Waktu membaca Al-Qur’an
hendaklah dijaga benar-benar tanda-tanda madnya, ghunnahnya, waqafnya dan juga
membetulkan pengucapan makharijul hurufnya.
Dengan
menerapkan cara-cara tersebut di atas anak lebih mudah mengerti. Karena bagi
masyarakat yang bukan bangsa Arab, Al-Qur’an yang bahasa Arab itu merupakan
bahasa asing. Maka mempelajari Al-Qur’an juga mempelajari bahasa Arab yang
asing bagi anak-anak. Oleh sebab itulah tahap pertama diterapkan dalam
mengajarkan Al-Qur’an adalah belajar membaca.
Sistem
belajar mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam
tahap-tahap pengajaran, pembinaan bagian-bagian ilmu di atas sesuatu yang
bersifat menyeluruh dan mutlak, serta dari yang umum menjadi yang lebih khusus;
atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat
intelektual, rohani dan jasmani, maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal
dan tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya
menambah kebekuan dan kemunduran.[25]
D. Metode Pembelajaran
Al-Qur’an
Metode adalah suatu cara yang ditempuh
dalam suatu kegiatan belajar mengajar untuk memudahkan anak didik dalam
menyerap dan menerima pelajaran yang disajikan. Metode merupakan suatu alat
pencapai tujuan, makin baik metode makin efektif pencapaian tujuan. Hal ini
bagaimana yang dikemukakan oleh Thayar Yusuf “Metode adalah suatu alat yang
dijadikan untuk pencapaian tujuan makin baik metode makin efektif pencapaian
tujuan”.[26]
Cara mempelajari Al-Qur’an ialah
dengan menghafalnya ayat demi ayat. Cara inilah yang dewasa ini dipakai dalam
media pendidikan modern, yakni setiap pelajar diharuskan menghafal sedikit demi
sedikit, kemudian ditambah lagi dengan pelajaran berikutnya, dan begitu
seterusnya. Dari Abul Aliah, ia berkata, “pelajarilah Al-Qur’an limaayat-limaayat,
karena Nabi mengambilnya dari Jibril ‘Alaihiwassalam lima ayat-lima ayat.”[27]
Di bawah ini akan di kemukakan
beberapa metode pembelajaran Al-Qur`an yang lazim digunakan, antara lain:
a. Metode Baghdady
Metode Baghdady sering disebut juga
dengan metode mengeja huruf-huruf hijaiyah seperti أ = الف,
ب = باء dan seterusnya. Kemudian diajarkan pengenalan titik hurufnya dan barisnya
(harakah), baris atas, baris bawah, baris depan atau dhammah seperti: أَ إِ أُ بَ بِ
بُ dan seterusnya.
Setelah itu diajarkan cara pengucapan huruf yang bertasydid, tanda mati sampai
kepada cara membaca Al-Qur`an yang sesuai dengan huruf aslinya sehingga pada
akhirnya santri mengerti cara membaca Al-Qur`an dengan fasih dan benar.
Metode Baghdadiyah atau yang dikenal
dengan istilah “turutan”. Cara mengajarkannya adalah:
1. Mula-mula diajarkan nama-nama
huruf hijaiyah menurut tertip kaidah Baghdadiyah, yaitu dimulai dari huruf
alif, ba’ dan sampai ya’.
2. Kemudian diajarkan
tanda-tanda baca (harakah) sekaligus bunyi bacaannya. Dalam hal ini anak
dituntun bacaannya secara pelan-pelan dan diurai/dieja, seperti: alif fathah a,
alif kasrah i, alif dhommah u, a-i-u, dan seterusnya.
3. Setelah anak-anak mempelajari
huruf hijaiyah dengan cara-cara bacaannya itu, barulah diajarkan kepada mereka
Al-Qur’an Juz Amma, dengan dimulai dari surat An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas,
demikian seterusnya sampai selesai satu Juz Amma.[28]
Metode Baghdady umumnya masih sering
digunakan di lingkungan yang masih bersifat informal dan nonformal seperti
rumah-rumah dan meunasah atau balee, rangkang dan taman kanak-kanak. Metode ini
pada umumnya diterapkan pada tingkatan anak-anak yang masih belajar merangkai
huruf hijaiah sampai pada membaca. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi
kalangan orang dewasa.
b. Metode Struktur Analisa
Sintesa (Metode Lihat dan Baca)
Metode struktur analisa atau metode
lihat dan bacalah jauh berbeda dengan metode pertama yakni metode Baghdady.
Pada metode ini, yang pertama kali diperkenalkan adalah bentuk kata-katanya,
baru kemudian diuraikan menjadi huruf, kata-kata yang dipergunakan dalam metode
ini adalah dalam bahasa Indonesia bukan dengan tulisan huruf Arab. Di samping
itu dilengkapi juga dengan gambaran-gambaran pada setiap kata-kata baru.[29]
Contohnya: guru membuat kata-kata yang
mudah dimengerti seperti kata اينى رومه سكوله (ini rumah sekolah), كيت (kita), كامو (kamu) dan kata-kata lainnya, kemudian diuraikan satu persatu
dari kata-kata yang telah dituliskan.
Penggunaan metode ini lebih mudah dan
praktis dibandingkan dengan metode Baghdady, karena di samping guru mengajarkan
dengan menunjukkan huruf, juga diberikan gambaran-gambaran huruf supaya mudah
diingat dan dimengerti.
Metode struktur Analisa sintesa
(metode lihat dan baca) ini sering digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan
formal, seperti madrasah ibtidaiyah dan lembaga pendidikan lainnya.
c. Metode Hattaiyah
Metode Hattiyah ini diperkenalkan oleh
Muhammad Usman, Seorang guru agama dari Kampar, provinsi Riau. Metode ini
didasarkan oleh pengalamannya mengajar tulis baca Al-Qur`an sejak tahun 1964.
Pada dasarnya metode ini tidak berbeda
jauh dengan metode tradisional, hanya di sana sudah diperbaharui “cara mengajar
sistem metode Hattiyah adalah yang dengan pendekatan huruf Arab tanda baca
melalui huruf latin”.[30]
Akan tetapi metode ini bukan mulai
memperkenalkan huruf hijaiah dari Alif, melainkan dimulai dari lam. Dengan
alasan karena huruf ini paling mudah diingat oleh anak-anak. Sedangkan
huruf-huruf yang tidak bisa dituliskan dengan huruf latin, diajarkan paling
akhir, seperti: ا ء ع غ
Ciri-ciri dari metode ini, ialah hanya
mengajar enam murid tiap kelas dan sekali tatap muka diperkenalkan hanya dua
huruf. Menurut pelopor metode ini, untuk membebaskan anak-anak dari buta aksara
Al-Qur`an, hanya diperlukan 4/5 jam, untuk selanjutnya akan dapat membaca dan
menulis lancar secara fasahah dan dilengkapi tajwid yang memerlukan waktu enam
bulan lagi.
d. Metode Iqra’
Metode ini menekan langsung pada
latihan membaca yang dimulai dari tingkat yang paling sederhana tahap demi
tahap sampai pada tingkat yang paling sempurna.
Metode iqra’ lebih cenderung kepada
ingatan huruf, sehingga tidak perlu menghafal. Metode iqra’ dan berkembang pada
tahun 1989, akan tetapi penyusunannya dimulai pada tahun 1983-1988 di kota
pelajar Yogyakarta yang dipelopori oleh seorang ulama yang bernama As’ad Humam.
Sampai sekarang metode ini dikenal di seluruh pelosok nusantara dan metode ini
diterapkan hampir dalam setiap pengajian Al-Qur`an di masa sekarang.
Penerapan metode iqra’ ini bertujuan
untuk menyiapkan anak didik menjadi generasi Qur`ani yakni generasi selalu
mencintai Al-Qur`an, yang berkepribadian terhadap Al-Qur`an dan menjadikan
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup yang selalu dibaca dan di praktekkan isi
kandungannya.
Berdasarkan uraian di atas penulis
merasa perlu untuk menjelaskan sistem pelaksanaan dan pengajaran Al-Qur`an
dengan metode iqra’. Sebagai contoh, seorang guru hanya mengajarkan huruf-huruf
ب ا ب، ا ب ا، ا ت ا kemudian santri mengulainya, sehingga santri
betul-betul mahir dan mengerti pada setiap huruf itu.
Dalam metode iqra’ ini tidak
disebutkan huruf-huruf aslinya seperti alif, ba, ta atau baris fatah, baris
bawah, dan seterusnya. Akan tetapi, santri harus menyebutkan ا = a, ب = ba, ت = ta, ث = tsa
dan guru tidak menyuruh untuk menghafal, tetapi hanya dilatih membaca sendiri
lanjutannya, tanpa dituntun oleh guru. Adapun tugas guru dalam mengajar hanya
memberikan teguran bila santri melakukan kesalahan dalam membacanya. Dengan
demikian santri telah mengetahui kalau bacaannya sampai betul dan seterusnya.
Metode ini langsung diperkenalkan
bunyi huruf a ,(ا)ba (ب), ta (ت) dan seterusnya. Memperkenalkan lebih
dahulu huruf hijaiyah sebagaimana metode Baghdadiyah seperti alif, ba, ta, tsa
dan seterusnya.
Selanjutnya santri membaca sendiri dan
melatihnya berulang ulang. Sedangkan guru hanya membetulkan kesalahan dengan
isyarat. Dengan demikian, metode ini menerapkan CBSA (Cara Belajar Santri
Aktif).[31]
Adapun kelebihan metode iqra’ ini
adalah:
a. Pengajaran bersifat santri
aktif, artinya guru hanya mengajarkan pokok-pokok pelajaran saja tidak perlu
memperkenalkan istilah-istilah.
b. Pengajarannya bersifat
privat, yaitu masing-masing siswa menyimak satu persatu secara bergantian.
c. Bagi santri yang sudah tamat
buku jilid enam telah mampu untuk mengajar santri yang berada di buku jilid
satu sampai jilid lima.
d. Dalam mempelajari metode ini
mempunyai buku tersendiri yaitu buku-buku yang disediakan beraneka ragam warna
sehingga santri rajin untuk belajar.
e. Bagi santri yang telah
menamatkan buku pertama sampai enam maka cara belajarnya mulai tadarus.[32]
Namun demikian setelah mempelajari
metode-metode sebagaimana diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa masing-masing
memiliki ciri khas tersendiri. Metode tradisional, sebagaimana metode
Baghdadiyah yang sampai sekarang masih diterapkan di kampung-kampung memerlukan
latihan-latihan dan ketentuan yang tinggi, sehingga sering kali anak-anak
sangat lambat berkembang. Di samping itu kemampuan anak-anak sangat lambat
berkembang karena pelajaran tidak mungkin meningkat tahap berikutnya sebelum
memantapkan kemahiran pada satu tahap. Meskipun demikian, melalui metode ini
kemampuan membaca dengan fasih anak-anak lebih mantap.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa metode pengajaran Al-Qur`an yang penulis uraikan ada empat macam yaitu,
metode Baghdady, metode struktur Analisa Sintesa (Lihat dan Baca), metode
Hattiayah, dan metode Iqra’, di samping masih banyak metode-metode lain yang
cocok dan sesuai, baik sistem pengajarannya bersifat informal maupun nonformal
yang dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan sekarang ini.
E. Evaluasi Pembelajaran
Al-Qur`an
Dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran selalu diharapkan agar anak didik memiliki dan menguasai sejumlah
mata pelajaran yang termasuk dalam bidang studi masing-masing. Untuk melihat
tindakan penyampaian materi pendidikan agama pada suatu lembaga pendidikan,
maka para guru biasanya melakukan evaluasi terhadap siswa-siswi, untuk
mengetahui pandangan mereka terhadap materi yang telah dipelajari.
Evaluasi dikatakan hasil belajar siswa
berupa kompetensi sebagaimana yang dicantum dalam KBK setiap mata pelajaran. Di
samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan kompetensi setiap
mata pelajaran di masing-masing kelas dalam kurikulum nasional. Evaluasi yang
dilakukan untuk mengetahui kedudukan atau posisi siswa dalam level kompetensi
yang ditetapkan secara nasional.
Evaluasi atau penilaian berbasis kelas
harus memperlihatkan tiga ranah, yaitu: pengetahuan (kognitif), sikap (afektif)
dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga ranah ini sebaiknya dinilai proposional
sesuai dengan sifat atau karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan.
Sebagai contoh, pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, penilaiannya harus
menyeluruh pada segenap aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, dengan
mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta setiap aspek dari setiap
kompetensi dan materi. Misalnya pengetahuan meliputi seluruh materi (Al-Qur`an,
Aqidah, Syari’ah, Akhlak dan Tarikh). Aspek sikap sangat dominan khususnya pada
aspek penanaman nilai akhlak. Sedangkan aspek keterampilan (psikomotorik)
sangat dominan pada pengajaran Al-Qur`an.[33]
Sesuai dengan prosedur evaluasi
digunakan pada satuan pengajaran sistem evaluasi mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam pada sekolah Negeri maupun swasta ada beberapa tes yang diharapkan,
antara lain:
a. Tes awal (pretest) yaitu
seorang guru memberikan pertanyaan kepada siswa yang menyangkut tentang materi
yang akan disajikan. Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam tes ini dapat
dilakukan secara lisan atau tulisan kepada siswa, mengenai ayat-ayat Al-Qur`an
atau Hadits yang telah diketahui, tentang pembahasan yang akan disampaikan. Tes
ini bertujuan agar guru dapat mengetahui kadar kemampuan siswa terhadap
pelajaran atau materi yang akan disajikan, agar adanya perubahan dan
peningkatan kecakapan siswa. Dalam buku metodologi pengajaran ilmu pengetahuan
sosial, menyebutkan bahwa: “Tes pendahuluan biasanya dilakukan sebelum suatu
program dilaksanakan. Tes pendahuluan ini bertujuan mengetahui tingkat
kecakapan atau tingkat pengetahuan yang sudah ada pada siswa. Tingkat kecakapan
sebelum dan sesudah suatu program dilaksanakan, dari perbandingan itu nanti
guru akan dapat mengetahui ada atau tidak adanya perubahan dan peningkatan
kecakapan siswa”.[34]
Contoh tes awal (pretest) adalah: saat guru akan memulai memasuki ke dalam
satuan bahasan baru, guru akan mengadakan tes awal yaitu dengan bertanya kepada
siswa tentang bahasan baru yang akan disajikan, apakah siswa sudah menguasai
atau mengetahui bahasan yang akan diajarkan sebelum mengadakan pembelajaran
atau sebelum berlangsungnya proses belajar mengajar. Dalam tes ini guru akan
menilai dan mengetahui sejauh mana kecakapan atau penguasaan siswa tentang
materi yang akan diajarkan tersebut.
b. Tes Formatif
Tes formatif yaitu
tes yang dilaksanakan guru dengan memberi dan menyajikan pelajaran kepada siswa
dalam satu unit mata pelajaran, kemudian guru kembali mengadakan suatu tes
(evaluasi) tentang materi yang disajikan, guna melihat sejauh mana siswa
mengerti dan memahami tentang materi pembelajaran yang dimaksud tersebut.
Sebagaimana yang terdapat dalam buku proses belajar mengajar bahwa: “Tes
formatif ialah penilaian pembelajaran tertentu dalam rangka menilai sejauh mana
ketercapaian indikator-indikator dalam satuan pelajaran yang bersangkutan”.[35]
Tes formatif dapat
dipandang sebagai tes diagnostik pada akhir pelajaran. Tes diagnostik diadakan
pada waktu siswa akan mengakhiri pelajaran. Dengan tes ini guru akan dapat
mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang ia berikan. Evaluasi
formatif atau tes formatif diberikan pada akhir setiap program. Tes ini
merupakan post-test atau tes akhir proses. Sama dengan tes lainnya, tes
ini ditujukan kepada seluruh daerah binaan yang kognitif, afektif dan
psikomotor. Tes ini juga disebut dengan tes harian (ulangan harian). Contoh tes
formatif adalah: saat guru mengakhiri pembelajaran dalam satu bab, guru
mengadakan suatu tes atau evaluasi dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada
siswa tentang bahasan yang telah diajarkan dalam satu unit pelajaran. Misalnya
dalam pembelajaran Al-Qur’an bab sifatul huruf, guru akan memberikan
pertanyaan-pertanyaan mengenai jumlah dan sifat-sifat huruf, sebelum guru
melanjukan kebab bahasan selanjutnya.
c. Tes Sumatif
Tes sumatif
merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah beberapa unit atau program
pengajaran berakhir. Dalam buku proses belajar mengajar ilmu pengetahuan sosial
menyebutkan bahwa: “Tes atau penilaian sumatif ialah penilaian yang
dilaksanakan untuk menentukan nilai atau angka, kemajuan atau hasil belajar
murid. Penilaian ini langsung diarahkan kepada keberhasilan murid dalam pekerja
suatu program pengajaran”.[36]
Tes sumatif
cakupannya lebih luas, tes ini mengukur penguasaan bahan pengajaran sejak awal
kurikulum yang bersangkutan sampai dengan bahan pengajaran yang terakhir yang
telah dipelajari. Tes sumatif dilaksanakan pada akhir program untuk menentukan
kenaikan kelas atau kelulusan. Dalam pengalaman sekolah tes formatif dapat
disamakan dengan ulangan harian, sedangkan tes sumatif ini dapat disamakan
dengan ulangan umum yang biasanya diadakan pada tiap akhir semester.
Tes sumatif dilakukan dengan cara guru mengumpulkan nilai tes awal, tes
formatif dan tes sumatif menjadi satu, sehingga guru dapat mengetahui
perkembangan prestasi siswa yang bersangkutan. Dalam pengajaran Al-Qur`an evaluasi ketiga tes tersebut
dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Secara lisan maksudnya siswa
membaca Al-Qur`an dalam hal ini yang dinilai antara lain: tajwid, makharijul
huruf dan kelancaran. Sedangkan secara tulisan yang dinilai adalah siswa mampu
menulis ayat dengan baik dan benar, mengartikan ataupun menerjemahkan dan
menjelaskan isi kandungan ayat Al-Qur`an
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
hasil evaluasi yang diperoleh siswa setelah dilakukan evaluasi proses, akan
menjadi alat ukur bagi guru untuk menentukan sejauh mana tingkat kemampuan yang
dimiliki siswa dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
[12] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1992), hal. 40.
[13] M.Hasbi Ash- Shiddieqy, Al-
Islam, jilid I, cet. III, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1997 ), hal. 528.
[14] Muhaimin, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta : Prenada Media,
2005), hal.86
[15] Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, (t.t.p: Dar Al-Kitab
Al-Ilmiah, t.t.), hal. 1025
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004), hal.57
[17] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,
2004), hal.20
[18] Said Agil Husin Al
Munawar, Aktualisasi Nilai- Nilai Qur’ani
Dalam Sistem Pendidikan Islam, ( Ciputat Press, 2005 ), hal. 3-4.
[19] Ibid ..., hal. 4
[20] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2005), hal.433
[25] Syaih Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2006), hal.149
[26] Thayar Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Bandung:
Madani Press, 1996), hal. 7.
[27] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar…..,
hal. 238
[28] HM. Buduyanto, Prinsip-Prinsip
Metodologi Buku Iqro’, cara cepat belajar membaca Al-Qur’an, (Jakarta: Team
Tadarus AMM, 1995), hal. 5-6.
[29] Muhammad Amin, Djalan Kepada A l-Qur’an, (D.I.
Aceh, Depertemen Agama RI, 1970), hal. 7.
[30] Muhammad Hatta Usman, Metode Hattaiyah, Jilid I, (Bangkinang
– Riau: CV. Riyani, 1990), hal. 1-2.
[31] As’ad Humam, Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama RI, 1991), hal. 4.
[32] Departemen Agama Republik Indonesia , Juz ‘Amma dan
Terjemahannya, (Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990), hal.
4.
[33] Departemen Pendidikan Nasional RI, Kurikulum
2004 Standar Kompetensi: Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA &
Madrasah Aliyah, (Jakarta :
Proyek Pelita, 2003), hal. 9.
[34] Nurdin Sumatmadja, Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial, (Bandung: Alumin, 1990), hal. 128.
[35] Rustana Ardiwinato dan Yumiyati Suharto, Proses Belajar
Mengajar, Jilid I, (Depag RI, 1997), hal. 7.
[36] Ibid…, hal. 14.