Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Fungsi Dayah dalam Pendidikan Aceh




A.    Fungsi Dayah dalam Pendidikan Aceh

Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai fungsi  yang hendak dicapai. Landasan tersebut merupakan tempat berpijak yang memberikan dorongan dalam usaha peningkatan mutu dayah tersebut, sehingga sesuatu yang dilakukan dalam mencapai fungsi  yang diinginkan, seperti yang dapat dilihat bahwa fungsi  yang hendak dicapai oleh sebuah lembaga pendidikan dayah adalah untuk menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan, dan di samping itu fungsi  pendidikan dayah juga untuk mencari keluhuran dalam mengembangkan wawasan Islam universal dalam masyarakat Islam di Indonesia.[1] Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al-Furqan ayat 63 sebagai berikut:
.... وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً (الفرقان: ٦۳)
Artinya: Dan apabila orang-orang jahil menyapa  mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)  keselamatan." (Q.S. al-Furqan: 63).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dasar dari pendidikan dayah adalah berdasarkan Al-Qur'an dan hadits, namun juga tidak terlepas dari UUD 1945 pasal 31 yang menjamin hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pengajaran, yang kemudian dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 Tahun 1954 No. 4 Tahun 1950 serta dalam UU No. 2 Tahun 1989 diluaskan lagi meliputi hak dan kebebasan menyelenggarakan atau memajukan pendidikan.[2]
Dengan demikian, nampaklah bahwa antara pendidikan formal dengan nonformal mempunyai satu ikatan yang sangat erat. Demikian juga halnya dengan dayah yang berfungsi  untuk mencetak kader-kader yang memahami ilmu pengetahuan agama yang professional dan juga menjadi ulama-ulama serta da’i-da’i  yang siap tampil dalam berbagai bidang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan dayah didirikan atas dasar ingin menciptakan umat manusia yang memahami ajaran Islam secara benar. Di sisi lain, dayah juga didirikan berfungsi  untuk meningkatkan ketakwaan manusia kepada Allah SWT dan membentuk pribadi muslim dan juga untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengembangkan syi’ar Islam, terutama dalam menciptakan kader-kader ulama. Dengan demikian, secara umum fungsi  pendidikan dayah merupakan manifestasi dari fungsi  pendidikan nasional. Dan dayah juga ikut bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan.[3]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa fungsi  pendidikan dayah dapat dikatakan agar mampu mencetak ahli-ahli agama dan ulama-ulama yang menguasai ilmu agama serta mengamalkan dengan tekun dan mampu menghidupkan sunnah Rasul dan menyebarkan ajaran agama yang berubudiyah kepada Allah SWT. Walaupun fungsi  pendidikan dayah tidak dijabarkan secara eksplisit, tetapi dapat dipahami bahwa fungsi -fungsi  pendidikan dayah sesungguhnya tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata yang berkembang dalam masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa fungsi  institusional dayah sebagai pencetak ulama dan ahli agama, musyawarah atau lokakarya intensifikasi pesantren pada bulan Mei 1978 di Jakarta dirumuskan fungsi  pesantren sebagai berikut:
1.     Fungsi  Umum
Fungsi  umum dari dayah adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan serta menjadikan sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara.[4]
2.     Fungsi  Khusus
Fungsi  khusus pada pendidikan Dayah dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.      Mendidik santri dan anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan lahir batin sebagai warga Negara yang berpancasila.
b.     Mendidik santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash, tabah, tangguh, wiraswasta dalam menjalankan ajaran Islam secara utuh dan dinamis.
c.      Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan Negara.
d.     Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat dan lingkungan).
e.      Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai bidang pembangunan khususnya dan pembangunan spiritual umumnya.[5]

Kemudian menurut Kyai Abdul Halim mengatakan bahwa fungsi  pendidikan pondok pesantren adalah membentuk kepribadian murid dan memberi kesempatan mereka untuk meraih suatu jabatan ketrampilan yang terlatih.[6] Di samping itu juga membentuk manusia-manusia yang dapat terjun dalam masyarakat nanti hingga dapat menyelesaikan sesuatu masalah dengan ajaran-ajaran Al-Qur'an.
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang berusaha keras untuk mengembangkan masa depannya yang lebih baik dengan melaksanakan transformasi dirinya menjadi suatu “masyarakat belajar”, yakni masyarakat yang memiliki nilai-nilai di mana belajar merupakan kewajiban. Keyakinan bahwa belajar masyarakat kewajiban yang harus dilaksanakan setiap ada kesempatan bagi warga Negara itu didasarkan pada kesadaran bahwa upaya penyempuranaan diri dan kemajuan bangsa hanya dapat dicapai bila seluruh bangsa terdidik dengan baik.
Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dari nilai-nilai luhur. Sebaliknya, kebudayaan tanpa pendukung-pendukungnya yang sadar dan terdidik akhirnya akan memudar sebagai sumber nilai dan menjadi tidak terhitungkan dalam perjalanan sejarah. Dayah merupakan lembaga pendidikan memiliki akar budaya yang kuat di dalam masyarakat.[7]
Karenanya patut dimungkinkan keberadaan pendidikan ala dayah dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, sebagai mitra pemerintah di samping sekolah umum dan madrasah, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang diselenggarakan dalam masyarakat.
Pendidikan nasional pada dasarnya merupakan suatu usaha pembinaan dan pembangunan insan yang pancasilais, di mana unsur ketaqwaan  kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu hal yang diutamakan di samping unsur-unsur lain. Unsur tersebut tidak mungkin terbina atau ditingkatkan tanpa memperhatikan pendidikan agama. Oleh karena itu, pendidikan dayah yang pada umumnya dikelola oleh kyai merupakan sektor yang paling dominan, dan selama berabad-abad telah memainkan peranannya yang menentukan dalam proses perkembangan social, kultur, keagamaan dan politik. Bahkan dalam periode sekarang ini pendidikan dayah semakin ditumbuhkan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya.
Pendidikan dayah atau pesantren dengan sistem asrama merupakan suatu sistem yang sangat baik dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar di Indonesia. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara telah menyebutkan bahwa “sistem pondok dan asrama itulah sistem nasional”.[8] Maka atas dasar tersebut pengaruh pendidikan dayah tidak dapat diabaikan dalam memberi corak pendidikan nasional, karena kemampuan dayah atau pondok pesantren tidak hanya dalam pembinaan pribadi muslim saja, melainkan juga mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pendidikan nasionalnya, Indonesia telah menyusun perundang-undangan yang mengatur tentang sistem Pendidikan Nasional serta perangkat-perangkatnya, yaitu undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional[9].
Dalam pasal 4 No. 2 Tahun 1989, tercantum tujuan pendidikan nasional mengungkapkan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[10]
Selain dari itu pendidikan dayah juga terdapat unsur-unsur lain seperti berbudi luhur, kreatif, berkepribadian, mandiri, terampil, professional serta bertanggung jawab. Kesemua unsur tersebut merupakan bagian-bagian yang diinginkan oleh pendidikan nasional dan juga diharapkan oleh pendidikan dayah. Oleh karena itu, antara pendidikan nasional dengan pendidikan dayah berhubungan erat terutama dari segi tujuan yang hendak dicapai.
Untuk meningkatkan fungsi serta peranan dayah dalam kancah pendidikan nasional, maka setiap dayah perlu berbenah diri terutama dalam mengembangkan unsur-unsur kegiatan pendidikannya. Adapun seluruh kegiatan tersebut mencakup dalam tri darma pondok pesantren atau dayah, yaitu:
1.     Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
2.     Pengembangan keilmuan yang bermanfaat.
3.     Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara[11].
Dari kesemua itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan dayah merupakan warisan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional, di mana telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan nasional. Sehingga fungsi dayah dalam kerangka pendidikan nasional sangat mendukung kemajuan pendidikan di tanah air Indonesia.
Sekolah atau madrasah merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau pemerintah dalam rangka mencerdaskan generasi penerus dalam bidang pendidikan. Teungku-teungku  dalam hal ini seperti Teungku Abdurrahaman Meunasah Meucat (1897-1949), Teungku H. Abdullah Ujong Rimba (1900-1959), Teungku Hasballah Indrapuri, (1888-1958), Teungku  Ali Hasymi, Teungku H. M. Daud Beureueh (1316-1987), telah berupaya menjalankan pendidikan dalam bentuk seperti ini, sebagai pengembangan dari sistem pendidikan yang selama ini telah ada dalam bentuk pendidikan dayah.
Mungkin ini sebagai upaya selanjutkan dari apa yang pernah dihasilkan dalam Musyawarah Pendidikan, dimana tahun 1932 Teungku H. Hasan Krueng Kalee bersama sejumlah teungku-teungku yang lain mengadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk yang membahas bagaimana melakukan perubahan dan perbaikan dalam sistem pendidikan Islam. Hasilnya diputuskan beberapa point yaitu (1) Islam tidak melarang mempelajari ilmu dunia yang tak berlawanan dengan syari’at, bahkan hukumnya wajib; (2) memasukkan pelajaran umum ke sekolah agama; (3) tak terlarang oleh syara’ perempuan berguru kepada laki-laki[12].  Ini merupakan sesuatu yang memberikan peluang terhadap pembaharuan pola pendidikan, sehingga apa yang dihasilkan oleh musyawarah ulama, proses pendidikan yang dijalankan secara terpadu sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucat sebagai contoh disamping pernah membina dayah, ia juga melakukan perubahan sisten pendidikan ke dalam bentuk sekolah/madarsah, sebagai bentuk perbaharuan dari sistem pendidikan tradisional, sehingga lahirlah Syarikat Al-Muslim Peusangan[13].  Teungku H.M. Daud Beureueh menyambut baik perkembangan sistem pendidikan dalam bentuk sekolah, sehingga ia juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti Jamiah Diniyah, Jamiah Hasbiyah, Jamiah Madaniah, Jamiah Najdiyah, dan Jamiah Khairiyah.  Disamping itu Teungku H. Abdullah Ujong Rimba juga melakukan hal yang sama, sepulangnya dari tanah suci ia merubah pola pendidikan Islam yang semula berbentuk dayah ke dalam bentuk madrasah dan menambahkan kurikulum dengan muatan Bahasa Inggris dan Belanda, dan bersama Teungku H. M. Daud Bereueh mendirikan Taman Jam’'ah Diniyah dan Madarsah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Pidie[14].  
Di Aceh Besar Teungku Hasballah Indrapuri juga melakukan hal serupa,  dalam lingkungan dayah mendirikan Madrasah Hasbiyah dengan dua jenjang pendidikan, yakni Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Khusus untuk santri perempuan didirikan Madarasah lil Ummahat.  Teungku Ali Hasymi, tak ketinggalan juga menyahuti kondisi serupa dengan mengembangkan ide-ide cemerlang terhadap pengembangan pendidikan Islam dengan nama Konsepsi Pendidikan Darussalam. Setelah Ikrar Lam The tanggal 17 Agustus 1961 dan sebelumnya A. Hasymi diangkat menjadi Gubernur Aceh dan status Aceh berubah dari darus harb kepada darussalam digagaslah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan melahirkan Program Blang Padang.  Sebagai upaya pembangunan pendidikan dalam musyawarah tersebut adalah dengan dijalankannya Konsepsi Pendidikan Darussalam, yakni: mendirikan taman Pelajar di tiap-tiap kecamatan, perkampungan pelajar di tingkat Kabupaten dan menbangun kota pelajar di ibu kota propinsi yang dikenal dengan Darussalam Kota Pelajar.   Masa-masa selanjutnya banyak upaya-upaya yang dilakukan teungku baik yang berbasiskan pendidikan dayah atau sekolah/madrasah melakukan reformasi pendidikan Islam dengan menyandingkan dua pola pendidikan.
Di lingkungan dayah yang sudah sangat kuat tradisi dan pola belajarnya, didirikan institusi pendidikan tinggi. Sebagai contoh STAI al-Aziziyah di Samalanga dan STAI Teungku Dirundeng di Meulaboh, juga ada STAI di Aceh Singkil[15].


[1]Quraisy Syihab, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 31.

[2]H. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 246.

[3]Manfret Oepon dan Wolgang Kacher, Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988), hal. 8.

[4]Mustafa Syarif, Adminstrasi Pendidikan, (Jakarta: Peryu Barkan, t.t.), hal. 18.

[5] Ibid., hal. 18.

[6]Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: Lp3Es, 1974), hal. 72.

[7]Sa’id Aqiel Siradji, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 181.

[8]Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), hal. 24.

[9] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hal. 3.

[10]Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: 2000), hal. 66.
[11] Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), hal. 89.
[12] http://id.wikipedia.org, diunduh tanggal 18 April 2010.

[13] Hasyimy, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 29.

[14] Rusdi Sufi, dan Budi Wibowo, Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad 19, (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Aceh), hal. 55.
[15] Sulaiman Tripa, Meunasah. Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, http://www.acehinstitute. Org