Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hakikat Keluarga dalam Islam


BAB III

KEDUDUKAN KELUARGA DALAM ISLAM


A.    Hakikat Keluarga dalam Islam

Keluarga adalah satuan kerabat yang mendasar terdiri dari suami, isteri dan anak-anak.[1] Keluarga dalam pandangan Islam memiliki nilai yang tidak kecil. Bahkan Islam menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga degan meletakkan kaidah-kaidah yang arif guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidak harmonisan dan kehancuran. Kenapa demikian besar perhatian Islam? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk membangun istana masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yang diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Bila pondasi ini kuat lurus agama dan akhlak anggota maka akan kuat pula masyarakat dan akan terwujud keamanan yang didambakan. Sebalik bila tercerai berai ikatan keluarga dan kerusakan meracuni anggota-anggota maka dampak terlihat pada masyarakat bagaimana kegoncangan melanda dan rapuh kekuatan sehingga tidak diperoleh rasa aman.[2] Kemudian setiap adanya keluarga ataupun sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya. Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya batiniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam Alqur’ān disebutkan bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya karena laki-laki adalah seorang pemimpin bagi perempuan.
Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia. Perbedaan pandangan hidup dan adat istiadat setempatlah yang biasanya membedakan definisi dan fungsi sebuah keluarga dalam sebuah masyarakat Peradaban suatu bangsa bahkan dipercaya sangat tergantung oleh struktur dan interaksi antar keluarga di dalam masyarakat tersebut.
Bouman menjelaskan tentang pengertian tatanan keluarga sebagai berikut; Pada zaman dahulu famili itu adalah satu golongan yang lebih besar dari keluarga. Kebanyakan famili terdiri dari beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu-cucu yang belum kawin yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, dikepalai oleh seorang kepala famili yang dinamakan patriach (garis ayah ). Ikatan famili itu akan mempunyai pelbagai fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga pendidikan anak.[3]
Dalam pandangan feminis, keluarga dilihat sebagai bentuk yang dicanggihkan dari perbudakan (famulus dalam bahasa Latin berarti budak). Dari sudut pandang ini bisa dipahami usaha gigih kaum feminis menentang lembaga perkawinan yang dianggapnya sebagai lembaga pelestarian perbudakan laki-laki atas wanita.[4]
Unit sosial dasar masyarakat Islam adalah keluarga. Jika Islam dapat digambarkan sebagai jiwa masyarakat Islam, keluarga dapat dilihat secara kiasan sebagai raganya. Selama beribu-ribu tahun, keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik orang. Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan khususnya abad ke-20 sangat membebani unit ini, namun keluarga, bersama iman Islam, tetap sentral tempatnya dalam kehidupan orang dari segenap kelas sosial, dalam konteks desa dan kota, dan di segenap negara Muslim.[5] Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah ada keluarga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang amat singkat.
Dalam perspektif teologis hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah sistem keluarga. Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin lakilaki dan Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang inilah yang berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Tuhan. Adam dan Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen (mitsaqan galiza) untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik dalam hal kebutuhan biologis maupun kebutuhan emosional.
Keluarga bisa diibaratkan seperti sebuah unit sistem produksi yang paling sederhana. Dimana ada sebuah sistem yang mengatur agar sebuah kinerja saling berhubungan menghasilkan sebuah produk. Baik-buruknya produk itu sangat bergantung pada baik buruknya manajemen perusahaan dan serta komitmen pada karyawannya. Hanya bedanya perusahaan memiliki tiga unsur produksi yang terpisah yaitu; alat, bahan baku dan pelaku produksi atau karyawan. Sistem produksi keluarga memiliki tiga elemen tersebut, menyatu secara alamiah dalam diri pelaksana produksi (manusia) itu sendiri yang memiliki alat serta bahan baku produksi sekaligus. Jika dalam perusahaan, manusia menciptakan sebuah produk yang berbentuk benda mati, sedangkan dalam keluarga, manusia memproduksi manusia.
Sepertiga awal kehidupannya seorang manusia pada umumnya lebih terikat secara emosional dengan keluarga dimana dia dilahirkan, tumbuh dan berkembang, karena dalam fase ini seorang manusia masih dalam wilayah tanggungjawab orang tua sebagai pelaksana produksi untuk menjadikannya produk yang sebagus-bagusnya (objek peradaban). Kemudian pada fase berikutnya, yaitu duapertiga akhir kehidupannya.
Islam menolak pembentukan keluarga yang tidak didasari atas perkawinan yang sah. Islam memberikan perhatian besar pada penataan keluarga, terbukti bahwa seperempat bagian fikih yang dikenal dengan Rub al Munakahah adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari persiapan, pembentukan sampai pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur dalam keluarga kesemuanya dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai tujuannya seperti disebutkan dalam Alqur’ān.[6]
Alqur’ān menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan pembuatan bersama, bahkan kebangkitan dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma’ruf nahi munkar.[7] Tidak heran jika Alqur’ān mempunyai perhatian khusus terhadap konsep keluarga yang dari padanyalah gagasan di atas bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dalam upaya menjaga status keluarga yang istimewa dan menjaga kelestariannya serta memaksimalkan tujuan-tujuannya maka, dibutuhkan sejumlah syarat dan rukun. Dalam  Islam syarat dan hukum perkawinan pada hakekatnya bertujuan agar terjamin keutuhan ikatan lahir dan batin tersebut dan pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram damai dan penuh cinta dan kasih sayang sebagai tujuan perkawinan.[8] Adapun jalinan perekat bagi bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah terhadap Ayah; Ibu, suami dan istri serta anak-anak. Semua kewajiban itu tujuannya adalah untuk menciptakan suasana aman, bahagia dan sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.[9]
B.    Faktor-Faktor Pembentukan Keluarga dalam Islam   

Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga sejahtera dalam Islam sebagaimana berikut:
1.     Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya.[10] Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Alqur’ān seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ) التحريم: ٦(
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Qs. At-Tahrim: 6).

Rasulullah Saw juga bersabda sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنْ اسْتَطَاعَ الْبٰاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخاري)
Artinya:  Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda: Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian sudah mampu kawin, maka kawinlah. Sebab, perkawinan itu akan dapat lebih  memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan siapa saja yang belum mampu untuk kawin, maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat menekan hawa nafsu”. (HR. Bukhari).[11]

Hadist diatas memberikan motivasi kepada para pemuda dan pemudi untuk segera melaksanakan pernikahan jika sudah mampu secara lahir dan batinnya, dalam hadis diatas, menunujukan bahwa pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, bagi yang belum mampu dan belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pernikahan maka, tidak termasuk golongan orang yang dianjurkan untuk menikah .
2.     Membangun Mas’uliah (tanggung jawab) dalam diri seorang muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja.[12] Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani.
3.     Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim[13]. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.
4.     Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi.
Ada banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut para ahli. Keluarga harmonis atau sejahtera merupakan tujuan penting. Oleh karena itu untuk menciptakan perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:[14]
a.      Perhatian. Yaitu menaruh hati pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar utama hubungan yang baik antar anggota keluarga. Baik pada perkembangan keluarga dengan memperhatikan peristiwa dalam keluarga, dan mencari sebab akibat permasalahan, juga terdapat perubahan pada setiap anggotanya.
b.     Pengetahuan. Perlunya menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk memperluas wawasan sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga. Sangat perlu untuk mengetahui anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan dalam keluarga, dan perubahan dalam anggota keluarganya, agar kejadian yang kurang diinginkan kelak dapat diantisipasi.
c.      Pengenalan terhadap semua anggota keluarga. Hal ini berarti pengenalan terhadap diri sendiri dan pengenalan diri sendiri yang baik penting untuk memupuk pengertian-pengertian.
d.     Bila pengenalan diri sendiri telah tercapai maka akan lebih mudah menyoroti semua kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga. Masalah akan lebih mudah diatasi, karena banyaknya latar belakang lebihcepat terungkap dan teratasi, pengertian yang berkembang akibatpengetahuan tadi akan mengurangi kemelut dalam keluarga.
e.      Sikap menerima. Langkah lanjutan dari sikap pengertian adalah sikap menerima, yang berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan tempat dalam keluarga. Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan berkembangnya kehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat dari anggota keluarga.
f.      Peningkatan usaha. Setelah menerima keluarga apa adanya maka perlu meningkatkan usaha. Yaitu dengan mengembangkan setiap dari aspek keluarganya secara optimal, hal ini disesuaikan dengan setiap kemampuan masing-masing, tujuannya yaitu agar tercipta perubahan-perubahan dan menghilangkan keadaan bosan.
g.     Penyesuaian harus perlu mengikuti setiap perubahan baik dari fisik orangtua maupun anak.
Keluarga harmonis atau keluarga bahagia adalah apabila dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor berikut:[15]
a.        Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran dan percekcokan di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, saling tolong-menolong antar sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing dan sebagainya yang merupakan indikator-indikator dari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.
b.       Faktor kesejahteraan fisik. Serinnya anggota keluarga yang sakit, banyak pengeluaran untuk ke dokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
c.         Faktor perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga.
Kemampuan keluarga dalam merencanakan hidupnya dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam keluarga. Kunci utama keharmonisan sebenarnya terletak pada kesepahaman hidup suami dan istri. Karena kecilnya kesepahaman dan usaha untuk saling memahami ini akan membuat keluarga menjadi rapuh. Makin banyakperbedaan antara kedua belah pihak maka makin besar tuntutan pengorbanan dari kedua belah pihak.Jika salah satunya tidak mau berkorban maka pihaksatunya harus mau berkorban. Jika pengorbanan tersebut telah melampaui batas atau kerelaannya maka keluarga tersebut terancam. Maka fahamilah keadaan pasangan, baik kelebihan maupun kekurangannya yang kecil hinga yangtebesar untuk mengerti sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Rencana kehidupan yang dilakukan kedua belah pihak merupakan faktor yang sangat berpengaruh karena dengan perencanaan ini keluarga bisa mengantisipasi hal yang akan datang dan terjadi saling membantu untuk misi keluarga[16].
Membina rumah tangga akan berhasil tergantung dari penyesuaian antara kedua belah fihak dan bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan, maka kedua belah pihak harus memperhatikan[17]:
a.      Menghadapi kenyataan. Suami istri perlu menghadapi kenyataan hidup darisemua yang terungkap dan tersingkap sebagai suatu tim, dan menanggulanginya dengan bijaksana untuk menyelesaikan masalah.
b.      Penyesuaian timbal balik perlu usaha terus menerus dengan salingmemperhatikan, saling mengungkapkan cinta kasih dengan tulus, menunjukkan pengertian, penghargaan, dan saling memberi dukungan semangat. Kesemuanya berperan penting dalam memupuk hubungan yangbaik, termasuk dalam hubungan yang paling intim dalam hubungan suami-istri adalah seks.
Pembentukan keluarga harmonis hendaknya diniatkan untuk menyelenggarakan kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat mawaddah-warahmah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan mendambakan keridhaanNya, limpahan hidayah dan taufiq-Nya. Kehidupan keluarga yang didasari oleh niat dan semangat beribadah kepada Allah, insya Allah keluarga yang demikian akan selalu mendapatkan perlindungan dalam mendapatkan tujuan-tujuannya yang penuh dengan keluhuran.[18]
Kasih sayang yang tertanam dalam hati dan menjadi kelembutan dalam sikap, tindakan dan ucapan akan memberikan hamba tersebut ketenangan kalbu. Karenanya pasangan yang tingkah lakunya lembut akan mendapatkan banyak kebahagiaan dalam kehidupannya. Cinta yang berakar pada tempramen yang lembut pada siapapun yang dicintai. Begitu pula dalam keluarga, jika suami mempunyai sikap lembut pada istrinya, terhadap keluarga, terhadap masyarakat, maka suasana akan dirasanyaman, keluarga menjadi harmonis, punya banyak teman, disukai dan dihormati oleh masyarakat.[19]
Firman Allah dalam Alqur’ān Surat Ali-Imran ayat 159 sebagai berikut:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ )آل عمران: ١٥٩(
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembu terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertawakkal kepada-Nya”.(Qs. Ali-Imran: 159).

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas yang menyebutkan tentang faktor-faktor keharmonisan keluarga, maka kita dapat menyimpulakan bahwa faktor keharmonisan keluarga adalah adanya saling menghargai diantara anggota keluarga, saling menyayangi, terjaganya kesehatan rohani dan jasmani serta perekonomian yang matang.
C.    Komponen Tujuan Keluarga dalam Islam         

Keluarga merupakan komponen penting dalam proses pembentukan masyarakat dan seterusnya negara. Tanpa institusi keluarga, kewujudan negara tidak akan sempurna. Islam memandang keluarga sebagai sebuah institusi pencorak masyarakat yang bakal dibina. Di dalam Islam tanggungjawab kepimpinan keluarga pada asasnya terletak pada kaum lelaki. Walau bagaimanapun dalam memastikan kejayaan institusi ini, kedua-dua belah pihak iaitu ibu dan bapa seharusnya memainkan peranan yang sama penting. Sebagai suami peranan asas ialah menyediakan keperluan seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian. Bukan itu sahaja, sebagai seorang ayah, beliau juga bertanggungjawab untuk memberi pendidikan akademik yang penting untuk perkembangan dan pendidikan agama untuk kesejahteraan rohani dan fizikal. Bagi ibu pula tanggungjawab utamanya ialah memastikan kelancaran dalam sistem rumah tangga yang disulami perasaan kasih sayang dan hormat menghormati.
Malangnya kehidupan manusia pada hari ini semakin jauh daripada nilai-nilai moral yang terkandung dalam Alqur’ān. Fenomena ini berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan para sahabat iaitu generasi pertama didikan Rasulullah. Nilai-nilai moral yang ada hari ini agak berubah dan menyimpang. Saban hari bilangan anak-anak Melayu yang terlibat dalam perkara-perkara yang tidak diingini semakin meningkat. Peratusan anak Melayu yang terlibat dalam gejala negatif amat membimbangkan kita. Ini kerana anak-anak hari ini merupakan bakal pemimpin masa depan.     
Ibrahim Amini menjelaskan ada 3 tujuan hidup berkeluarga sebagai berikut:
Pertama, pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian fikiran. Kedua, penyaluran gairah seksual secara benar dan sehat, dan ketiga, reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Tetapi tiga tujuan diatas bukan berposisi sebagai tujuan pokok dan tetap harus dibingkai dalam konteks spritual yaitu hidup berkeluarga merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan jelek dan menjauhkan diri dari dosa[20].

Dari ketiga dasar tujuan berkeluarga di atas, umumnya yang paling dominan dari setiap keberpasangan menikah menginginkan lahirnya anak yang unggul untuk melanjutkan kehidupan dan peradaban manusia. Cita-cita luhur itu akan terwujud manakala setiap anggota rumah tangga tekun dan bergairah melaksanakan ajaran Islam. Dan dari rumah tangga yang demikian itulah insya Allah akan lahir keluarga muslim yang baik/zurriyatan thaiyyibah/unggul, sebagaimana do’a Nabi Zakaria as pada  Q.S.3-Ali Imran: 38, yaitu komunitas yang tunduk patuh kepada ajaran Islam, “ Ya Tuhan ku, anugerahkanlah kepada ku dari sisi Engkau  keturunan/zurriyat yang baik”.
D.    Keluarga Sakinah dalam Islam  

Menggapai keharmonisan hidup berumah tangga dan kemesraan di dalamnya adalah impian setiap manusia, terutama kita, umat Islam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk itu. Ada sebagian orang yang memulainya dengan berpacaran terlebih dahulu sebelum menikah. Alasannya adalah untuk lebih mengenal lebih dalam calon pasangan masing-masing. Padahal, pacaran sebelum menikah akan mengubur objektivitas, karena setiap orang yang melakukan hanya ingin memperlihatkan hal-hal yang baik kepada pacarnya, dan hanya ingin melihat yang baik dari pacarnya.
Perbedaan dan perselisihan itu sendiri bukanlah suatu aib yang harus dibuang jauh-jauh dan dihindari. Ia bukanlah perbuatan maksiat dimana orang yang melakukannya dicatat sebagai orang berdosa dan tercela, tentu saja selama perbedaan tersebut bukan dalam masalah akidah dan yang berhasil mengatasi dengan baik segala permasalahan dan perbedaan yang muncul di antara mereka, dan mereka pun terus langgeng dalam ikatan perkawinannya. Namun, ada pula pasangan yang terhempas gagal ketika ada yang dapat dilakukan selain berpisah.’
Saling memahami, adalah kata kunci dari sekian banyak tips dan kiat untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tiada artinya memiliki berbagai macam keahlian dan ketrampilan tentang dunia keluarga apabila tidak ada kemauan untuk saling memahami pasangan masing-masing. Sering dengan itu, juga tidak begitu bermanfaat jika hanya satu pihak saja yang mau memahami pasangannya, sementara pihak lain tidak mau tahu. 
Adalah Rasulullah, sebelum menikah dengan Aisyah Radhiallahu Anha, beliau mempunyai kegemaran beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya, Dan, kegemaran ini tetap berlanjut setelah menikah dengan Aisyah. Banyak sekali waktu Aisyah yang tersisih oleh kegemaran Nabi ini. Akan tetapi, Aisyah berusaha memahami, bahwa suaminya memang sudah memiliki kegemaran tersebut semenajak sebelum menikah dengannya. Artinya, adalah suatu kewajaran apabila sepasang suami istri telah mempunyai suatu kebiasaan atau hobi tersendiri sebelum menikah. Jangan sampai, hanya menahan diri dari meneruskan suatu kegemaran demi pasangannya, justru hal tersebut akan menggagngu keharmonisan rumah tangga.Sebaliknya, jangan sampai menerlantarkan pasangan demi melanjutkan suatu kegemaran. Sebab hal ini lebih tidak baik lagi. Yang terpenting dalam hal ini adalah, saling memahami antara suami-istri.[21]
Kedudukan rumah tangga dalam penyusunan masyarakat dan negara, adalah sangat penting sekali. Rumah tangga bagi negara merupakan inti semisal bibit dari pohon. Bila bibit itu sehat dan terpelihara dengan baik, akan tumbuhlah pohoh kuat dan serta berbuah lezat dan lebat. Bila diibaratkan, rumah tangga adalah dua sisi dari keping yang sama. Ia bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapapun berharap bahwa rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfer surga, keindahan dan keagungan adalah rumah tangga seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.  
Bila rumah tangga yang teratur rapi dengan diliputi oleh suasana mawaddah (cinta dan kasih sayang) pasti akan dapat mempertinggi mutu nilai penghidupan dan kehidupan masyarakat, yang berarti pula dapat memperkokoh terbinanya suatu negara yang adil dan makmur dan bahagia dengan tercapainya kesejahteraan di tengah masyarakat manusia. Sebab dari rumah tangga orang mulai mengenal adat, peraturan, kesopanan, dan Undang-Undang.
Untuk keutuhan sebuah rumah tangga, tentu saja setiap pasangan suami istri itu mempuyai keinginan untuk memperoleh anak atau keturunan yang didambakannya. Apabila meraka memperoleh keturunan maka pasangan tersebut akan memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat digambarkan. Semua rasa cinta dan kasih sayang akan tercurah kepada anak-anak mereka, anak-anak yang lahir akan dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang Islami yang dihiasi dengan akhlak-akhlak yang mulia yang berdasarkan kepada Alqur’ān dan hadits.
Demikian pula pendidikan, agama dan kekuasaan. Dari rumah tangga pula timbul perasaan yang halus dan hidup sumber daripada perikemanusiaan. Biarpun di tengah-tengah masyarakat telah timbul beberapa ideologi beraneka ragam namun rumah tangga tetap merupakan faktor utama dan memgang peranan penting dalam kehidupan masyarakat manusia.2
Demikian pula rumah tangga yang sejahreta akan menjadi tempat beristirahat satu-satunya, dan tempat untuk menikmati kesenangan, hidup, meskipun tempat penginapan dan rumah makan telah tersedia dimana-mana. Jadi rumah tangga yang sejahtera memegang peranan yang penting sekali dalam penghidupan ummat manusia yang masih tetap memegang perikemanusiaan. Islam sebagai agama yang lengkap yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Rasul terakhir, mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak dan rumah tangga adalah pemegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Untuk kepentingan rumah tangga, Islam telah menentukan beberapa peraturan yang sangat lengkap dan rapi, sampai kepada soal-soal yang sekecil-kecilnya. Seluruh tanggungjawab di dalam rumah tangga dan ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diterangkan dan dijelaskan dari sejak masa lamaran hingga meniggal. Kesemuanya telah diatur serapi-rapinya oleh Islam.
Islam pun memandang rumah tangga bukanlah sekedar soal perseorangan, rumah tangga dipandang merupakan soal masyarakat dan negara.
Islam meletakkan dasar-dasar pembentukan rumah tangga sebagai berikut:
1.     Rumah tangga dibentuk atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan. Jadi dalam pembentukan rumah tangga antara suami dan istri di dasarkan pada saling suka sama suka. Islam tidak mengajarkan secara paksaan. Orang lain hanya dapat memberikan pandangan tentang bagaimana orang baik dan yang mana perlu ditinggalkan dalam menyusun rumah tangga itu. Tetapi keputusan ada pada yang berkepentingan yaitu pada calon suami dan calon istri.
2.     Demikian pula untuk langsung terus berumah tangga tidak ada paksaan. Suami boleh melakukan thalaq dengan diatur waktu dan tempatnya serta syaratnya, demikian pula istri boleh menuntut cerai atau fasakh yang dengan diatur waktu dan tempat serta syaratnya pula.
3.     Terhadap harta benda masing-masing, istri dan suami tetap memilikinya. Masing-masing mempunyai hak yang sama dalam hak asasi dan hak miliknya[22].

Orang yang telah bersuami-istri bertujuan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya. Demikian sunnah perkawinan yang telah berjalan sejak manusia ada, yaitu Adam dan istrinya Hawa.3
Bagi orang Muslim akan menghiasi rumah tangganya dengan kasih sayang dan cinta mencintai. Antara suami istri bergaul dengan saling menghormati. Anak sebagai keturunan yang diharap menjadi penerus perjuangan, dididik dengan baik, dikenalkan dan diresapkan ajaran agama. Dalam rumah tangga Muslim, biasa terdengar ayat suci Alqur’ān dibaca dengan hati yang tenang, atau anak-anak belajar dengan rajin. Demikian, dari suara Alqur’ān timbul ketenangan dan kebahagiaan. Saling cinta mencintai dan saling menyayangi antara suami dan istri adalah merupakan jembatan menuju kepada kesejahteraan keluarga.
               Firman Allah Swt dalam surat Ar Ruum ayat 21 sebagai berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ) الروم: ٢١(
Artinya : Dan diantara kekuasaan-Nya ialah; Dia menciptakan untukmu istri-istri   dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berfikir. (Qs. Ar - Ruum: 21).

Tingkat yang lebih tinggi adalah ketika seseorang tertarik kepada lawan jenisnya bukan semata-mata karena segi kejasmanian, melainkan karena hal-hal yang abstrak misalnya segi kepribadian atau nilai-nilai lainnya yang sejenis pada seseorang. Ini disebut dengan “mawaddah”. “Sebagai tingkat yang lebih tinggi dari mahabbah, mawaddah umumnya berpotensi untuk bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam. Pada tingkat ini kualitas kepribadian lebih utama dan penting dibandingkan dengan segi lahiri atau penampakan fisik seseorang.[23]                   
Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk”[24]. Bisa saja seseorang itu kejam kepada orang lain, tetapi kalau dia memiliki mawaddah kepada pasangannya, dia tidak ingin pasangannya itu tersentuh oleh sesuatu yang negatif. Ada penjahat kejam, tetapi dia punya mawaddah terhadap istrinya. Jadi mawaddah itu cinta plus, bukan sekedar cinta.
Sedangkan konsep rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul didalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga,masing-masing suami dan istri akan mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggunya. Maka rahmah itu keperihan hati ketika melihat penderitaan dan kekurangan pihak lain. Ketika melihat kekurangan itu, hati merasa perih dan hati terdorong untuk menanggulangi kekurangan itu. Kalau mawaddah tidak begitu. Mawaddah itu mencurahkan segala sesuatu, kasih sayang, walaupun tidak dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Karena itu jangan berkata “aku butuh dirimu, sehingga aku mencintaimu.” Tidak ada itu kebutuhan saya. Yang ada ialah “memberikan secara tulus dan saya tidak melihat pada diri  anda kekurangan untuk saya berikan.”[25] Maka bisa disebutkan dulu mawaddah baru rahmah. Biasanya mengapa ini dikatakan mawaddah ya rahmah, karena boleh jadi dalam perjalanan perkawinan, mawaddah sudah pudar, disitu dituntut rahmah.[26]                   


               [1] Abdul Ghani, Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya, (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 36.

               [2] Mantep Miharso, Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 40.
               [3] Bouman, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Pustaka Sardjana, 2000), hal. 14.

               [4] Debra H Yatim dalam artikel di ‘Media Indonesia ‘, Rabu 26 November 1997.

               [5] Elizabeth Warnock Fernea, “Keluarga”, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,  ed: John L. Esposito, (eds terjemahan), (Jakarta: Mizan, 2001), hal. 154.
               [6] Ahmadie Thaha, Keluarga, dalam Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2002),
hal. 73.

               [7] Zainal Abidin Alawy, Prinsip-prinsip Agama dalam Pembentukan Keluarga, (Mimbar Hukum  No. 53 Tahun XII, 2001), hal. 66.

               [8] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2005),
hal. 36.

               [9] Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an, cet.XXII, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 255.

               [10] Doe, Mimie,SQ Untuk Ibu: Cara-Cara Praktis dan Inspiratif UntukMewujudkan Ketentraman Ruhani, (Bandung: Penerbit Kaifa, 2002), hal. 65-66.

               [11] Abu Abdillah Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daral-Fikr, t.th), hal. 4677.
               [12] Husain Mazhari, Membangun Surga dalam Rumah Tangga, (Bogor: Cahaya, 2004), hal. 179.

               [13] Aziz Musthofa, Untaian Mutiara buat Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 12-14.

               [14] Gunarsa, Singgih D & Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi UntukKeluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 1986), hal. 42-44.
               [15] Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia, (Jakarta: Karya Aksara, 1982), hal. 2.
               [16] Ibid, hal. 79-82.

               [17] D. Gunarsa, Psikologi....., hal. 202-203.
               [18] HasanBasri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 27.

               [19] Dlori, Muhammad M.Dicintai Suami (Istri) Sampai Mati, (Jogjakarta: Katahati, 2005), hal. 30-32.
               [20] Ibrahim Amini, Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami-Istri, (Bandung: al-Bayan,
1996), hal. 17-19.

               [21] Makmun  Mubayidh, Saling Memahami Dalam Bahtera Rumah Tangga, Cet 1, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2005), hal. 1-3.
2 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga, Cet.1, (Jakarta:  PT. Rineka Cipta , 2004), hal 16-18.
               [22] Hasan Ayyub, Etika Islam Menuju Kehidupan yang Hakiki, (Bandung: Trigenda Karya, 1994.

               3 Al Jauhari Mahmud, Membangun Keluarga Qur’ani, ( Jakarta: Amzah,2005 ), hal 15.
               [23] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam  Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 71.

               [24] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. Ke. 13, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 340.
               [25] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,
cet. ke-XIII (Bandung: Mizan, 2003), hal. 208-210.
              
               [26] Ibid., hal. 208-210.