Hakikat Keluarga dalam Islam
BAB
III
KEDUDUKAN
KELUARGA DALAM ISLAM
A. Hakikat Keluarga dalam Islam
Keluarga adalah satuan kerabat yang
mendasar terdiri dari suami, isteri dan anak-anak.[1]
Keluarga dalam pandangan Islam memiliki nilai yang tidak kecil. Bahkan Islam
menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga degan meletakkan
kaidah-kaidah yang arif guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidak
harmonisan dan kehancuran. Kenapa demikian besar perhatian Islam? Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk membangun istana
masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yang diharapkan dapat mencetak
generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Bila pondasi ini kuat lurus agama dan
akhlak anggota maka akan kuat pula masyarakat dan akan terwujud keamanan yang
didambakan. Sebalik bila tercerai berai ikatan keluarga dan kerusakan meracuni
anggota-anggota maka dampak terlihat pada masyarakat bagaimana kegoncangan
melanda dan rapuh kekuatan sehingga tidak diperoleh rasa aman.[2] Kemudian
setiap adanya keluarga ataupun sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri
atas dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan
seorang pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus
membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan
bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga,
karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan
seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan
seterusnya. Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan
adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus
mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang
sifatnya batiniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam Alqur’ān disebutkan bahwa suami atau
ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya karena laki-laki adalah
seorang pemimpin bagi perempuan.
Dalam pandangan manapun, keluarga
dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat.
Adapun lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga
yang paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia.
Perbedaan pandangan hidup dan adat istiadat setempatlah yang biasanya
membedakan definisi dan fungsi sebuah keluarga dalam sebuah masyarakat
Peradaban suatu bangsa bahkan dipercaya sangat tergantung oleh struktur dan
interaksi antar keluarga di dalam masyarakat tersebut.
Bouman menjelaskan tentang pengertian
tatanan keluarga sebagai berikut; Pada zaman dahulu famili itu adalah satu
golongan yang lebih besar dari keluarga. Kebanyakan famili terdiri dari
beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu-cucu yang belum kawin yang hidup
bersama-sama pada suatu tempat, dikepalai oleh seorang kepala famili yang
dinamakan patriach (garis ayah ). Ikatan famili itu akan mempunyai pelbagai
fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga pendidikan anak.[3]
Dalam pandangan feminis, keluarga
dilihat sebagai bentuk yang dicanggihkan dari perbudakan (famulus dalam bahasa
Latin berarti budak). Dari sudut pandang ini bisa dipahami usaha gigih kaum
feminis menentang lembaga perkawinan yang dianggapnya sebagai lembaga
pelestarian perbudakan laki-laki atas wanita.[4]
Unit sosial dasar masyarakat Islam
adalah keluarga. Jika Islam dapat digambarkan sebagai jiwa masyarakat Islam,
keluarga dapat dilihat secara kiasan sebagai raganya. Selama beribu-ribu tahun,
keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik orang.
Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan khususnya abad ke-20 sangat
membebani unit ini, namun keluarga, bersama iman Islam, tetap sentral tempatnya
dalam kehidupan orang dari segenap kelas sosial, dalam konteks desa dan kota,
dan di segenap negara Muslim.[5] Konsep
keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah ada
keluarga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang
amat singkat.
Dalam perspektif teologis hanya ada
dua orang yang lahir tidak dari sebuah sistem keluarga. Adam sebagai manusia
pertama yang berjenis kelamin lakilaki dan Hawa sebagai manusia kedua yang
berjenis kelamin perempuan. Dua orang inilah yang berusaha dari awal sekali
untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Tuhan. Adam dan Hawa
melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen (mitsaqan galiza) untuk
bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik dalam hal kebutuhan
biologis maupun kebutuhan emosional.
Keluarga bisa diibaratkan seperti
sebuah unit sistem produksi yang paling sederhana. Dimana ada sebuah sistem
yang mengatur agar sebuah kinerja saling berhubungan menghasilkan sebuah
produk. Baik-buruknya produk itu sangat bergantung pada baik buruknya manajemen
perusahaan dan serta komitmen pada karyawannya. Hanya bedanya perusahaan
memiliki tiga unsur produksi yang terpisah yaitu; alat, bahan baku dan pelaku
produksi atau karyawan. Sistem produksi keluarga memiliki tiga elemen tersebut,
menyatu secara alamiah dalam diri pelaksana produksi (manusia) itu sendiri yang
memiliki alat serta bahan baku produksi sekaligus. Jika dalam perusahaan,
manusia menciptakan sebuah produk yang berbentuk benda mati, sedangkan dalam
keluarga, manusia memproduksi manusia.
Sepertiga awal kehidupannya seorang
manusia pada umumnya lebih terikat secara emosional dengan keluarga dimana dia
dilahirkan, tumbuh dan berkembang, karena dalam fase ini seorang manusia masih
dalam wilayah tanggungjawab orang tua sebagai pelaksana produksi untuk
menjadikannya produk yang sebagus-bagusnya (objek peradaban). Kemudian pada
fase berikutnya, yaitu duapertiga akhir kehidupannya.
Islam menolak pembentukan keluarga
yang tidak didasari atas perkawinan yang sah. Islam memberikan perhatian besar
pada penataan keluarga, terbukti bahwa seperempat bagian fikih yang dikenal
dengan Rub al Munakahah adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari
persiapan, pembentukan sampai pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur
dalam keluarga kesemuanya dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai
tujuannya seperti disebutkan dalam Alqur’ān.[6]
Alqur’ān menekankan kebersamaan anggota
masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan pembuatan
bersama, bahkan kebangkitan dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar
ma’ruf nahi munkar.[7] Tidak heran jika Alqur’ān mempunyai
perhatian khusus terhadap konsep keluarga yang dari padanyalah gagasan di atas
bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dalam upaya menjaga status keluarga
yang istimewa dan menjaga kelestariannya serta memaksimalkan tujuan-tujuannya
maka, dibutuhkan sejumlah syarat dan rukun. Dalam Islam syarat dan hukum perkawinan pada
hakekatnya bertujuan agar terjamin keutuhan ikatan lahir dan batin tersebut dan
pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram damai dan penuh cinta dan
kasih sayang sebagai tujuan perkawinan.[8] Adapun
jalinan perekat bagi bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban yang
disyariatkan Allah terhadap Ayah; Ibu, suami dan istri serta anak-anak. Semua
kewajiban itu tujuannya adalah untuk menciptakan suasana aman, bahagia dan
sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.[9]
B.
Faktor-Faktor
Pembentukan Keluarga dalam Islam
Ada beberapa faktor yang mendasari
urgensinya pembentukan keluarga sejahtera dalam Islam sebagaimana berikut:
1. Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai
keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam
beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan
agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya.[10]
Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Alqur’ān seperti yang terdapat dalam beberapa
ayat berikut ini;
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ)
التحريم: ٦(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.(Qs. At-Tahrim: 6).
Rasulullah Saw juga bersabda sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنْ اسْتَطَاعَ الْبٰاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ (رواه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra.
bahwasanya Nabi Saw. bersabda: Wahai para pemuda, siapa
saja di antara kalian sudah mampu kawin, maka kawinlah. Sebab, perkawinan itu
akan dapat lebih memelihara pandangan
dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan siapa saja yang belum mampu untuk kawin,
maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat menekan hawa
nafsu”. (HR. Bukhari).[11]
Hadist diatas memberikan motivasi kepada para pemuda dan
pemudi untuk segera melaksanakan pernikahan jika sudah mampu secara lahir dan
batinnya, dalam hadis diatas, menunujukan bahwa pernikahan dikaitkan dengan
kemampuan, bagi yang belum mampu dan belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan
pernikahan maka, tidak termasuk golongan orang yang dianjurkan untuk menikah .
2. Membangun Mas’uliah
(tanggung jawab) dalam diri seorang muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh
aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah
(tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang
terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia
tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja.[12]
Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana
mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita
yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana
mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani.
3. Langkah Penting Membangun
Masyarakat Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau
institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan
membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk
berpartisipasi membangun masyarakat muslim[13].
Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat
dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.
4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum
menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila
ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya,
kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam
hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul,
yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi.
Ada banyak ahli yang mengemukakan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga. Di bawah ini
akan dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga
menurut para ahli. Keluarga harmonis atau sejahtera merupakan tujuan penting. Oleh
karena itu untuk menciptakan perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:[14]
a. Perhatian. Yaitu menaruh hati
pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar utama hubungan yang baik antar
anggota keluarga. Baik pada perkembangan keluarga dengan memperhatikan
peristiwa dalam keluarga, dan mencari sebab akibat permasalahan, juga terdapat
perubahan pada setiap anggotanya.
b. Pengetahuan. Perlunya
menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk memperluas wawasan sangat
dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga. Sangat perlu untuk mengetahui
anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan dalam keluarga, dan perubahan dalam
anggota keluarganya, agar kejadian yang kurang diinginkan kelak dapat
diantisipasi.
c. Pengenalan terhadap semua
anggota keluarga. Hal ini berarti pengenalan terhadap diri sendiri dan
pengenalan diri sendiri yang baik penting untuk memupuk pengertian-pengertian.
d. Bila pengenalan diri sendiri
telah tercapai maka akan lebih mudah menyoroti semua kejadian atau peristiwa
yang terjadi dalam keluarga. Masalah akan lebih mudah diatasi, karena banyaknya
latar belakang lebihcepat terungkap dan teratasi, pengertian yang berkembang
akibatpengetahuan tadi akan mengurangi kemelut dalam keluarga.
e. Sikap menerima. Langkah
lanjutan dari sikap pengertian adalah sikap menerima, yang berarti dengan
segala kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan
tempat dalam keluarga. Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan
berkembangnya kehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat dari anggota
keluarga.
f. Peningkatan usaha. Setelah
menerima keluarga apa adanya maka perlu meningkatkan usaha. Yaitu dengan
mengembangkan setiap dari aspek keluarganya secara optimal, hal ini disesuaikan
dengan setiap kemampuan masing-masing, tujuannya yaitu agar tercipta
perubahan-perubahan dan menghilangkan keadaan bosan.
g. Penyesuaian harus perlu
mengikuti setiap perubahan baik dari fisik orangtua maupun anak.
Keluarga harmonis atau keluarga
bahagia adalah apabila dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor
berikut:[15]
a.
Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran dan percekcokan
di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, saling tolong-menolong antar
sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing dan
sebagainya yang merupakan indikator-indikator dari adanya jiwa yang bahagia,
sejahtera dan sehat.
b. Faktor kesejahteraan fisik.
Serinnya anggota keluarga yang sakit, banyak pengeluaran untuk ke dokter, untuk
obat-obatan, dan rumah sakit tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya
kesejahteraan keluarga.
c.
Faktor perimbangan antara
pengeluaran dan pendapatan keluarga.
Kemampuan keluarga dalam merencanakan hidupnya
dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam keluarga. Kunci utama
keharmonisan sebenarnya terletak pada kesepahaman hidup suami dan istri. Karena
kecilnya kesepahaman dan usaha untuk saling memahami ini akan membuat keluarga
menjadi rapuh. Makin banyakperbedaan antara kedua belah pihak maka makin besar
tuntutan pengorbanan dari kedua belah pihak.Jika salah satunya tidak mau
berkorban maka pihaksatunya harus mau berkorban. Jika pengorbanan tersebut
telah melampaui batas atau kerelaannya maka keluarga tersebut terancam. Maka
fahamilah keadaan pasangan, baik kelebihan maupun kekurangannya yang kecil
hinga yangtebesar untuk mengerti sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berkeluarga.
Rencana kehidupan yang dilakukan kedua belah pihak merupakan faktor yang sangat
berpengaruh karena dengan perencanaan ini keluarga bisa mengantisipasi hal yang
akan datang dan terjadi saling membantu untuk misi keluarga[16].
Membina rumah tangga akan berhasil tergantung dari
penyesuaian antara kedua belah fihak dan bagaimana mengatasi
kesulitan-kesulitan, maka kedua belah pihak harus memperhatikan[17]:
a. Menghadapi kenyataan. Suami
istri perlu menghadapi kenyataan hidup darisemua yang terungkap dan tersingkap
sebagai suatu tim, dan menanggulanginya dengan bijaksana untuk menyelesaikan
masalah.
b. Penyesuaian timbal balik
perlu usaha terus menerus dengan salingmemperhatikan, saling mengungkapkan
cinta kasih dengan tulus, menunjukkan pengertian, penghargaan, dan saling
memberi dukungan semangat. Kesemuanya berperan penting dalam memupuk hubungan
yangbaik, termasuk dalam hubungan yang paling intim dalam hubungan suami-istri
adalah seks.
Pembentukan keluarga harmonis
hendaknya diniatkan untuk menyelenggarakan kehidupan keluarga yang penuh dengan
semangat mawaddah-warahmah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah
dan mendambakan keridhaanNya, limpahan hidayah dan taufiq-Nya. Kehidupan keluarga
yang didasari oleh niat dan semangat beribadah kepada Allah, insya Allah keluarga
yang demikian akan selalu mendapatkan perlindungan dalam mendapatkan
tujuan-tujuannya yang penuh dengan keluhuran.[18]
Kasih sayang yang tertanam dalam hati
dan menjadi kelembutan dalam sikap, tindakan dan ucapan akan memberikan hamba
tersebut ketenangan kalbu. Karenanya pasangan yang tingkah lakunya lembut akan
mendapatkan banyak kebahagiaan dalam kehidupannya. Cinta yang berakar pada
tempramen yang lembut pada siapapun yang dicintai. Begitu pula dalam keluarga,
jika suami mempunyai sikap lembut pada istrinya, terhadap keluarga, terhadap
masyarakat, maka suasana akan dirasanyaman, keluarga menjadi harmonis, punya
banyak teman, disukai dan dihormati oleh masyarakat.[19]
Firman Allah dalam Alqur’ān Surat
Ali-Imran ayat 159 sebagai berikut:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ )آل عمران: ١٥٩(
Artinya: Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembu terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orangyang bertawakkal kepada-Nya”.(Qs. Ali-Imran: 159).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di
atas yang menyebutkan tentang faktor-faktor keharmonisan keluarga, maka kita
dapat menyimpulakan bahwa faktor keharmonisan keluarga adalah adanya saling menghargai
diantara anggota keluarga, saling menyayangi, terjaganya kesehatan rohani dan
jasmani serta perekonomian yang matang.
C.
Komponen
Tujuan Keluarga dalam Islam
Keluarga merupakan komponen penting
dalam proses pembentukan masyarakat dan seterusnya negara. Tanpa institusi
keluarga, kewujudan negara tidak akan sempurna. Islam memandang keluarga
sebagai sebuah institusi pencorak masyarakat yang bakal dibina. Di dalam Islam
tanggungjawab kepimpinan keluarga pada asasnya terletak pada kaum lelaki. Walau
bagaimanapun dalam memastikan kejayaan institusi ini, kedua-dua belah pihak
iaitu ibu dan bapa seharusnya memainkan peranan yang sama penting. Sebagai
suami peranan asas ialah menyediakan keperluan seperti makanan, tempat tinggal
dan pakaian. Bukan itu sahaja, sebagai seorang ayah, beliau juga
bertanggungjawab untuk memberi pendidikan akademik yang penting untuk
perkembangan dan pendidikan agama untuk kesejahteraan rohani dan fizikal. Bagi
ibu pula tanggungjawab utamanya ialah memastikan kelancaran dalam sistem rumah
tangga yang disulami perasaan kasih sayang dan hormat menghormati.
Malangnya kehidupan manusia pada hari
ini semakin jauh daripada nilai-nilai moral yang terkandung dalam Alqur’ān. Fenomena
ini berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan para sahabat iaitu generasi
pertama didikan Rasulullah. Nilai-nilai moral yang ada hari ini agak berubah
dan menyimpang. Saban hari bilangan anak-anak Melayu yang terlibat dalam perkara-perkara
yang tidak diingini semakin meningkat. Peratusan anak Melayu yang terlibat dalam
gejala negatif amat membimbangkan kita. Ini kerana anak-anak hari ini merupakan
bakal pemimpin masa depan.
Ibrahim Amini menjelaskan ada 3 tujuan
hidup berkeluarga sebagai berikut:
Pertama, pembentukan sebuah keluarga yang
didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian fikiran. Kedua, penyaluran
gairah seksual secara benar dan sehat, dan ketiga, reproduksi atau sebagai
wadah untuk melangsungkan keturunan. Tetapi tiga tujuan diatas bukan berposisi
sebagai tujuan pokok dan tetap harus dibingkai dalam konteks spritual yaitu
hidup berkeluarga merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan
jelek dan menjauhkan diri dari dosa[20].
Dari ketiga dasar tujuan berkeluarga
di atas, umumnya yang paling dominan dari setiap keberpasangan menikah
menginginkan lahirnya anak yang unggul untuk melanjutkan kehidupan dan
peradaban manusia. Cita-cita luhur itu akan terwujud manakala setiap anggota
rumah tangga tekun dan bergairah melaksanakan ajaran Islam. Dan dari rumah
tangga yang demikian itulah insya Allah akan lahir keluarga muslim yang
baik/zurriyatan thaiyyibah/unggul, sebagaimana do’a Nabi Zakaria as pada Q.S.3-Ali Imran: 38, yaitu komunitas yang
tunduk patuh kepada ajaran Islam, “ Ya Tuhan ku, anugerahkanlah kepada ku dari
sisi Engkau keturunan/zurriyat yang
baik”.
D.
Keluarga
Sakinah dalam Islam
Menggapai keharmonisan hidup
berumah tangga dan kemesraan di dalamnya adalah impian setiap manusia, terutama
kita, umat Islam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk itu. Ada sebagian orang
yang memulainya dengan berpacaran terlebih dahulu sebelum menikah. Alasannya adalah untuk lebih mengenal lebih dalam calon pasangan masing-masing. Padahal,
pacaran sebelum menikah akan mengubur objektivitas, karena setiap orang yang
melakukan hanya ingin memperlihatkan hal-hal yang baik kepada pacarnya, dan
hanya ingin melihat yang baik dari pacarnya.
Perbedaan dan perselisihan itu
sendiri bukanlah suatu aib yang harus dibuang jauh-jauh dan dihindari. Ia
bukanlah perbuatan maksiat dimana orang yang melakukannya dicatat sebagai orang
berdosa dan tercela, tentu saja selama perbedaan tersebut bukan dalam masalah
akidah dan yang berhasil mengatasi dengan baik segala permasalahan dan
perbedaan yang muncul di antara mereka, dan mereka pun terus langgeng dalam
ikatan perkawinannya. Namun, ada pula pasangan yang terhempas gagal ketika ada
yang dapat dilakukan selain berpisah.’
Saling memahami, adalah kata
kunci dari sekian banyak tips dan kiat untuk membina keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah. Tiada artinya memiliki berbagai macam keahlian dan
ketrampilan tentang dunia keluarga apabila tidak ada kemauan untuk saling
memahami pasangan masing-masing. Sering dengan itu, juga tidak begitu
bermanfaat jika hanya satu pihak saja yang mau memahami pasangannya, sementara
pihak lain tidak mau tahu.
Adalah Rasulullah, sebelum
menikah dengan Aisyah Radhiallahu Anha, beliau mempunyai kegemaran
beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya, Dan, kegemaran ini tetap berlanjut
setelah menikah dengan Aisyah. Banyak sekali waktu Aisyah yang tersisih oleh
kegemaran Nabi ini. Akan tetapi, Aisyah berusaha memahami, bahwa suaminya memang
sudah memiliki kegemaran tersebut semenajak sebelum menikah dengannya. Artinya, adalah suatu kewajaran apabila sepasang
suami istri telah mempunyai suatu kebiasaan atau hobi tersendiri sebelum
menikah. Jangan sampai, hanya menahan diri dari meneruskan suatu kegemaran demi
pasangannya, justru hal tersebut akan menggagngu keharmonisan rumah tangga. “Sebaliknya, jangan sampai menerlantarkan pasangan demi melanjutkan suatu
kegemaran. Sebab hal ini lebih tidak baik lagi. Yang terpenting dalam hal ini adalah, saling
memahami antara suami-istri”.[21]
Kedudukan rumah tangga dalam
penyusunan masyarakat dan negara, adalah sangat penting sekali. Rumah tangga
bagi negara merupakan inti semisal bibit dari pohon. Bila bibit itu sehat dan
terpelihara dengan baik, akan tumbuhlah pohoh kuat dan serta berbuah lezat dan
lebat. Bila diibaratkan, rumah tangga adalah dua sisi
dari keping yang sama. Ia bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan,
sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berimpitan
satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya
datang kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu
saja, siapapun berharap bahwa rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta
kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfer
surga, keindahan dan keagungan adalah rumah tangga seorang nakhoda yang
pandai menyiasati perubahan.
Bila rumah tangga yang teratur
rapi dengan diliputi oleh suasana mawaddah (cinta dan kasih sayang)
pasti akan dapat mempertinggi mutu nilai penghidupan dan kehidupan masyarakat,
yang berarti pula dapat memperkokoh terbinanya suatu negara yang adil dan
makmur dan bahagia dengan tercapainya kesejahteraan di tengah masyarakat
manusia. Sebab dari rumah tangga orang mulai mengenal adat, peraturan,
kesopanan, dan Undang-Undang.
Untuk keutuhan sebuah rumah
tangga, tentu saja setiap pasangan suami istri itu mempuyai keinginan untuk
memperoleh anak atau keturunan yang didambakannya. Apabila meraka memperoleh
keturunan maka pasangan tersebut akan memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat
digambarkan. Semua rasa cinta dan kasih sayang akan tercurah kepada anak-anak
mereka, anak-anak yang lahir akan dibesarkan dan dididik dalam lingkungan
keluarga yang Islami yang dihiasi dengan akhlak-akhlak yang mulia yang berdasarkan kepada Alqur’ān dan hadits.
Demikian pula pendidikan,
agama dan kekuasaan. “Dari rumah tangga pula timbul perasaan
yang halus dan hidup sumber daripada perikemanusiaan. Biarpun di tengah-tengah
masyarakat telah timbul beberapa ideologi beraneka ragam namun rumah tangga
tetap merupakan faktor utama dan memgang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat manusia”.2
Demikian pula rumah tangga
yang sejahreta akan menjadi tempat beristirahat satu-satunya, dan tempat untuk
menikmati kesenangan, hidup, meskipun tempat penginapan dan rumah makan telah
tersedia dimana-mana. Jadi rumah tangga yang sejahtera memegang peranan yang
penting sekali dalam penghidupan ummat manusia yang masih tetap memegang
perikemanusiaan. Islam sebagai agama yang lengkap yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Rasul terakhir, mengatur hidup dan kehidupan
manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat
kelak dan rumah tangga adalah pemegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat.
Untuk kepentingan rumah
tangga, Islam telah menentukan beberapa peraturan yang sangat lengkap dan rapi,
sampai kepada soal-soal yang sekecil-kecilnya. Seluruh tanggungjawab di dalam
rumah tangga dan ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diterangkan dan
dijelaskan dari sejak masa lamaran hingga meniggal. Kesemuanya telah diatur
serapi-rapinya oleh Islam.
Islam pun memandang rumah
tangga bukanlah sekedar soal perseorangan, rumah tangga dipandang merupakan
soal masyarakat dan negara.
Islam meletakkan dasar-dasar
pembentukan rumah tangga sebagai berikut:
1. Rumah tangga dibentuk
atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan. Jadi dalam pembentukan rumah
tangga antara suami dan istri di dasarkan pada saling suka sama suka. Islam
tidak mengajarkan secara paksaan. Orang lain hanya dapat memberikan pandangan tentang
bagaimana orang baik dan yang mana perlu ditinggalkan dalam menyusun rumah
tangga itu. Tetapi keputusan
ada pada yang berkepentingan yaitu pada calon suami dan calon istri.
2. Demikian pula untuk
langsung terus berumah tangga tidak ada paksaan. Suami boleh melakukan thalaq
dengan diatur waktu dan tempatnya serta syaratnya, demikian pula istri boleh
menuntut cerai atau fasakh yang dengan diatur waktu dan tempat serta syaratnya
pula.
3. Terhadap harta benda
masing-masing, istri dan suami tetap memilikinya. Masing-masing mempunyai hak
yang sama dalam hak asasi dan hak miliknya[22].
Orang yang telah
bersuami-istri bertujuan “mendapatkan ketenangan dalam hidupnya,
mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya.
Demikian sunnah perkawinan yang telah berjalan sejak manusia ada, yaitu Adam
dan istrinya Hawa”.3
Bagi orang Muslim akan
menghiasi rumah tangganya dengan kasih sayang dan cinta mencintai. Antara suami
istri bergaul dengan saling menghormati. Anak sebagai keturunan yang diharap
menjadi penerus perjuangan, dididik dengan baik, dikenalkan dan diresapkan
ajaran agama. Dalam rumah tangga Muslim, biasa terdengar ayat suci Alqur’ān dibaca dengan hati yang tenang, atau anak-anak belajar dengan rajin.
Demikian, dari suara Alqur’ān timbul ketenangan dan kebahagiaan.
Saling cinta mencintai dan saling menyayangi antara suami dan istri adalah
merupakan jembatan menuju kepada kesejahteraan keluarga.
Firman Allah Swt dalam surat Ar
Ruum ayat 21 sebagai berikut:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ
أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ) الروم: ٢١(
Artinya : Dan
diantara kekuasaan-Nya ialah; Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang
yang berfikir. (Qs. Ar - Ruum: 21).
Tingkat yang lebih tinggi adalah
ketika seseorang tertarik kepada lawan jenisnya bukan semata-mata karena segi
kejasmanian, melainkan karena hal-hal yang abstrak misalnya segi kepribadian
atau nilai-nilai lainnya yang sejenis pada seseorang. Ini disebut dengan “mawaddah”.
“Sebagai tingkat yang lebih tinggi dari mahabbah, mawaddah umumnya
berpotensi untuk bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki unsur kesejatian
yang lebih mendalam. Pada tingkat ini kualitas
kepribadian lebih utama dan penting dibandingkan dengan segi lahiri atau penampakan
fisik seseorang”.[23]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa
dari kehendak buruk”[24]. Bisa saja seseorang itu kejam kepada orang lain, tetapi kalau dia
memiliki mawaddah kepada pasangannya, dia tidak ingin pasangannya itu tersentuh oleh
sesuatu yang negatif. Ada penjahat kejam, tetapi dia punya mawaddah terhadap
istrinya. Jadi mawaddah itu cinta plus, bukan sekedar cinta.
Sedangkan konsep rahmah adalah kondisi
psikologis yang muncul didalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaaan
sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga,masing-masing suami dan istri
akan mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang
mengganggunya. Maka rahmah itu keperihan hati ketika melihat penderitaan dan
kekurangan pihak lain. Ketika melihat kekurangan itu, hati merasa perih dan
hati terdorong untuk menanggulangi kekurangan itu. Kalau mawaddah tidak
begitu. Mawaddah itu mencurahkan segala sesuatu, kasih sayang, walaupun tidak
dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Karena itu jangan berkata “aku butuh dirimu,
sehingga aku mencintaimu.” Tidak ada itu kebutuhan saya. Yang ada ialah “memberikan
secara tulus dan saya tidak melihat pada diri anda kekurangan untuk saya berikan.”[25] Maka bisa disebutkan dulu mawaddah baru rahmah. Biasanya mengapa ini
dikatakan mawaddah ya rahmah, karena boleh jadi dalam perjalanan perkawinan,
mawaddah sudah pudar, disitu dituntut rahmah.[26]
[2] Mantep Miharso, Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2004), hal. 40.
[7] Zainal Abidin Alawy, Prinsip-prinsip Agama dalam Pembentukan
Keluarga, (Mimbar Hukum No. 53 Tahun XII, 2001), hal. 66.
[9] Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an, cet.XXII, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 255.
[10] Doe, Mimie,SQ Untuk Ibu: Cara-Cara Praktis dan Inspiratif UntukMewujudkan
Ketentraman Ruhani, (Bandung: Penerbit Kaifa, 2002), hal. 65-66.
[17] D. Gunarsa, Psikologi....., hal. 202-203.
[18] HasanBasri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 27.
1996), hal. 17-19.
2 Syaiful Bahri
Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga, Cet.1, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta , 2004), hal 16-18.
[23] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-Nilai
Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina,
2004), hal.
71.
cet.
ke-XIII (Bandung: Mizan, 2003), hal.
208-210.