BAB IV
METODE PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT IBNU KHALDUN
A. Hakikat Metode Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Khaldun
Metode berasal dari dua kata yaitu meta yang artinya melalui
dan hodos yang artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai suatu tujuan.[1]
Dari pengertian di atas maka dalam mencapai tujuan
instruksional, guru perlu mengenal dan mengetahui jenis-jenis metode mengajar.
Di samping itu, guru juga perlu menetapkan metode mana yang dipandang tepat
untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
Beberapa metode mengajar dapat digunakan dalam interaksi
belajar mengajar. Namun perlu diingat di antara sekian banyak metode pengajaran
tidak ada satupun yang dapat disebut sebagai metode yang terbaik maupun sebagai
metode yang jelek. Hal ini disebabkan karena semua metode mempunyai kebaikan
dan kelemahan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan itu bergantung kepada :
1.
Jenis bahan yang diajarkan.
2.
Siswa yang dihadapi.
3.
Situasi dan kondisi pada waktu proses belajar mengajar
berlangsung.
4.
Tujuan yang akan dicapai.
5.
Alat Bantu pengajaran yang akan digunakan.[2]
Ibnu
Khaldun mengatakan metode adalah suatu cara yang ditempuh dalam suatu kegiatan
belajar mengajar untuk memudahkan anak didik dalam menyerap dan menerima
pelajaran yang disajikan. Metode merupakan suatu alat pencapai tujuan, makin
baik metode makin efektif pencapaian tujuan. Hal ini bagaimana yang dikemukakan
oleh Thayar Yusuf “Metode adalah suatu alat yang dijadikan untuk pencapaian
tujuan makin baik metode makin efektif pencapaian tujuan”.[3]
Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu
tujuan. Metode diartikan juga sebagai sarana untuk menemukan, menguji dan
menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin sesuatu.[4]
Metode pada hakikatnya adalah jalan atau cara untuk mencapai tujuan.[5]
Jadi hakikat metode pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah jalan untuk mencapai
tujuan yang bermakna untuk ditempatkan pada posisi sebagai cara dalam
menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan
ilmu atau pemikiran secara sistematika.[6]
B. Urgensi Metode Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Khaldun
Metode memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam, sehingga
mengandung arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang agar menjadi pribadi yang
Islami. Karena itu metode dalam pendidikan
Islam diartikan sebagai suatu cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan
ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam
al-Qur'an metode identik dengan Thariqah yang terdiri dari objek,
fungsi, sifat, akibat dan sebagainya.[7]
Penerapan
suatu metode dalam setiap situasi pengajaran haruslah mempertimbangkan dan
memperhatikan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempertinggi mutu dan
efektifitas suatu metode tertentu. Kalau tidak, maka bukan saja akan berakibat
proses pengajaran terhambat, akan tetapi akan berakibat lebih jauh, yaitu tidak
tercapai tujuan pengajaran sebagaimana yang telah ditetapkannya. Namun demikian
Ibnu Khaldun mengatakan dalam proses belajar mengajar tidak ditetapkan metode
khusus, tetapi metode-metode yang berlaku umum diterapkan dalam pengajaran.
Lebih jauh Ibnu Khaldun mengatakan, kegiatan belajar
mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu
proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha
mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi siswa. Dengan seperangkat teori
dan pengalamannya digunakan guru untuk mempersiapkan program pengajaran dengan
baik dan sistematis.
Salah satu usaha yang tidak pernah ditinggalkan guru adalah bagaimana memahami urgensitas
metode dalam penyelenggaraan pengajaran. Oleh karena itu, metode dalam mengajar
merupakan sarana terpenting, karena metode termasuk alat dalam melaksanakan
pendidikan. Adapun kepentingan menggunakan metode menurut Ibnu Khaldun dalam
setiap belajar mengajar dikarenakan metode berfungsi sebagai berikut:[8]
1. Metode
Sebagai Alat Motivasi Ekstrinsik
Sebagai salah
satu alat motivasi pengajaran, metode menempati peranan yang tidak kalah
pentingnya dengan alat lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada
satupun kegiatan belajar mengajar yang tidak menggunakan metode pengajaran. Ini
berarti guru memahami benar kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik
dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik menurut Sudirman AM.
adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya, karena adanya perangsang dari
luar. Karena itu, metode berfungsi sebagai alat perangsang dari luar yang dapat
membangkitkan belajar seseorang.[9]
Dalam
penggunaan metode terkadang guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana
kelas. Jumlah anak memperngaruhi penggunaan metode. Dalam perumusan tujuan,
guru perlu merumuskannya dengan jelas dan dapat diukur. Dengan begitu mudahlah
bagi guru menentukan metode yang bagaimana yang dipilih guna menunjang
pencapaian tujuan yang telah dirumuskan tersebut.
Dalam
mengajar, guru jarang sekali menggunakan satu metode, karena mereka menyadari
bahwa semua metode ada kebaikan dan kelemahannya. Penggunaan satu metode lebih
cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang membosankan bagi siswa.
Jalan pengajaran pun tampak kaku. Siswa terlihat kurang bergairah dalam
belajar. Kejenuhan dan kemalasan menyelimuti kegiatan belajar mengajar siswa.
Kondisi seperti yang sangat tidak menguntungkan bagi guru dan siswa. Kondisi
guru mendapatkan kegagalan dalam penyampaian pesan-pesan keilmuan dan siswa
dirugikan. Ini berarti metode tidak difungsikan oleh guru sebagai alat motivasi
ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.
Akhirnya,
dapat difahami bahwa penggunaan metode yang tepat dan bervariasi akan dapat
dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar di
sekolah.
2. Metode
Sebagai Strategi Pengajaran
Dalam kegiatan
belajar mengajar tidak semua siswa mampu berkonsentrasi dalam waktu yang
relatif lama. Daya serap siswa terhadap bahan yang diberikan juga
bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang sedang, dan ada yang lambat. Faktor
intelegensi mempengaruhi daya serap siswa terhadap bahan pelajaran yang
diberikan oleh gurunya. Cepat lambatnya penerimaan siswa terhadap bahan
pelajaran yang diberikan menghendaki pemberian waktu yang bervariasi, sehingga
penguasaan penuh dapat tercapai.
Terhadap
perbedaan daya serap siswa sebagaimana telah disebutkan di atas, memerlukan
strategi pengajaran yang tepat. Metodelah salah satu jawabannya. Untuk
sekelompok siswa boleh jadi mereka mudah menyerap bahan pelajaran bila gurunya
menggunakan metode Tanya jawab, tetapi untuk sekelompok siswa yang lain mereka
lebih mudah menyerap bahan pelajaran bila guru menggunakan metode demonstrasi
atau metode eksperimen.
Karena itu,
dalam kegiatan belajar mengajar, menurut Roetiyah N. K. guru harus memiliki
strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada
tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu adalah
harus menguasai teknik-teknik penyajian atau biasanya disebut metode mengajar.[10]
Dengan demikian, metode mengajar adalah salah satu strategi pengajaran sebagai
alat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Metode
Sebagai Alat untuk Mencapai Tujuan.
Tujuan adalah
suatu cita-cita yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Tujuan
adalah pedoman yang akan memberi arah ke mana kegiatan belajar mengajar dibawa.
Guru tidak bisa membawa kegiatan belajar mengajar menurut sekehendak hatinya
dan mengabaikan tujuan yang telah dirumuskan. Itu sama artinya dengan perbuatan
yang sia-sia. Kegiatan belajar mengajar yang tidak mempunyai tujuan sama halnya
ke pasar tanpa tujuan, sehingga sukar untuk menyeleksi mana kegiatan yang harus
dilakukan dan mana yang harus diabaikan dalam upaya untuk mencapai keinginan
yang dicita-citakan.
Tujuan dari
kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai selama metode tidak
diperlukan. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan
memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mencapai tujuan pengajaran. Metode
adalah pelicin jalan pengajaran menuju tujuan. Ketika tujuan dirumuskan agar
siswa memiliki ketrampilan tertentu, metode harus menunjang pencapaian tujuan
pengajaran. Bila tidak, maka akan sia-sialah perumusan tujuan tersebut. Apalah
artinya, kegiatan belajar mengajar yang dilakukan tanpa mengindahkan tujuan.[11]
Jadi, guru
sebaiknya menggunakan metode yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang
efektif untuk mencapai tujuan pengajaran.
C. Macam-Macam Metode Pendidikan
Islam Menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimah menguraikan
gagasan-gagasan metode mengenai belajar. Sejumlah proposisi metode pengajaran
yang ditampilkannya dalam bentuk
teori-teori belajar yang dibangun berdasarkan konsep yang dikembangkan dapat
dirangkum dalam teori malakah dan teori tadrij.
Perlunya membahas teori malakah dan teori
tadrij disebabkan karena Ibnu Khaldun menganggap bahwa
kedua teori ini sebagai target yang harus dicapai oleh orang yang mempelajari
ilmu pengetahuan. Asumsi ini didasarkan
bahwa untuk melakukan sesuatu harus didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai.
Dan dalam pengajarannya Ibnu Khaldun menargetkan pada pencapaian malakah dan tadrij.
Malakah mengandung makna
menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai dan menjadi sifat yang mengakar
pada jiwa. Sifat yang berurat akar ini sebagai hasil belajar atau mengerjakan
sesuatu berulangkali sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh
tertanam dalam jiwa.[12]
Malakah dalam proses belajar
mengajar adalah suatu tingkat pencapaian yang diperoleh oleh siswa dari
penguasaan suatu materi keilmuan, ketrampilan dan sikap tertentu akibat dari
suatu proses belajar secara intensif, bersungguh-sungguh dan sistematis.
Dari
penjelasan tersebut Ibnu Khaldun juga telah memikirkan pencapaian yang harus
dicapai oleh seorang siswa itu harus mencakup segi kognitif (materi keilmuan),
ketrampilan (psikomotor) dan afektif (sikap tertentu). Malakah secara
eksklusif dimiliki oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh mendalami disiplin
ilmu tertentu.
Ibnu Khaldun
berasumsi bahwa pengajaran/belajar adalah suatu teknologi. Sebab teknologi dalam
suatu sains, pengetahuan tentang aspek-aspek yang beragama serta penguasaannya
merupakan akibat / hasil dari malakah yang memberi kemungkinan bagi
subjek didik untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidahnya. Sejauh malakah
tidak dicapai maka keahlian dalam suatu disiplin ilmu tidak mungkin diperoleh.[13]
Dan malakah yang harus diperoleh mencakup dalam ketiga domain tersebut
(kognitif-afektif-psikomotor).
Secara bahasa tadrij
diartikan naik/maju/meningkat secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit.[14]
Oleh Ibnu Khaldun kata tadrij ini tidak hanya maju secara kuantitas
tetapi disertai oleh kualitas. Menurut teori ini belajar yang efektif adalah
dilakukan secara berangsur-angsur, setahap demi setahap dan secara terus
menerus. Teori ini berlandaskan pada asumsi bahwa kemampuan manusia terbatas.
Kerja akal berjalan secara bertahap. Karena itu proses belajar berlangsung
sesuai dengan kebertahapan kerja akal manusia.
Pendapat lain
dari Ibnu Khaldun untuk memperkuat teori belajar ini adalah salah satu
karakteristik akal manusia adalah belajar sesuai dengan kaidah logika yang
teratur dan bertahap dari yang mudah dan sederhana kepada yang sulit dalam
menyingkap dan mendalami suatu hakikat.[15]
Dalam
melaksanakan pendidikan, Ibnu Khaldun mengemukakan beberapa macam metode
pembelajaran, yaitu:
a. Latihan
al-Muhawarah dan Munazarah
Metode yang
paling mudah untuk memperoleh malakah adalah melalui latihan.
Argumentasnya adalah dalam bentuk contoh konkrit tentang latihan dalam
debat/diskusi ilmiah, yaitu bagaimana mengungkapkan pikiran-pikiran yang jelas
dalam diskusi/debat untuk dipahami oleh lawan.[16]
Pada masa hidup Ibnu Khaldun debat/diskusi adalah metode belajar yang paling
efektif yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat Arab. Orang yang
terlibat langsung dalam diskusi/debat (berbicara) akan memperoleh hasil yang
optimal (malakah), sedangkan bagi siswa yang hanya mengikuti
debat/diskusi untuk mendengar dan menghafal apa yang mereka dengar tersebut
tidak akan memperoleh hasil yang maksimal disebabkan ketika mereka ini
dihadapkan pada situasi debat/diskusi yang sebenarnya mereka akan menghadapi
kesulitan disebabkan tidak adanya latihan.
b. Kontinuitas
(ittisal)
Untuk
memperoleh hasil yang maksimal dalam pembelajaran Ibnu Khaldun mengutarakan
metode kontinuitas yaitu prinsip belajar yang berkesinambungan yang
dapat memperkuat malakah. Kesinambungan antara satu materi dengan materi
yang lain akan mengikat satu sama lain dan membantu terlaksananya proses
belajar dalam waktu yang relatif singkat.[17]
Ibnu Khaldun
menganjurkan supaya para pelajar tidak memutuskan waktu belajar dalam waktu
yang lama. Hal ini disebabkan karena pemutusan waktu belajar dalam waktu lama
akan membuat pelajar tidak akan mendapat ilmu yang utuh. Dan kebiasaannya ilmu
yang tidak dipelajari dalam waktu yang lama akan membuat pelajar terlupa akan
pelajaran tersebut.
Dan beliau
juga menganjurkan agar tidak terlalu lama mempelajari materi pada satu masalah
dan satu buku tertentu sehingga dapat mengganggu jadwal belajar yang
sebenarnya. Permasalah dalam satu masalah akan mudah membuat subjek didik
menjadi bosan. Hal ini akan mempersulit mendapatkan malakah dalam ilmu
yang dipelajarinya. Sebab apabila seluruh isi kurikulum (permasalahan) sejak
awal hingga akhir terserap dan tercamkan dalam pikiran maka berbagai keahlian
akan mudah dicapai dan lebih mantap karena diperolehnya melalui
pengulangan-pengulangan tindakan dan kajian lanjutan.[18]
c.
Metode Pengulangan (taqrar)
dan Kebiasaan (‘adah).
Sesuai dengan teori
tadrij, maka diperlukan pula penstrukturan logis setiap tahapan belajar.
Setiap tahap belajar memerlukan pengulangan untuk mencapai kebiasaan. Belajar
akan efektif dengan pengulangan dan pembiasaan. Dalam beberapa hal ulangan yang
dilakukan berkali-kali itu memang diperlukan, akan tetapi bergantung pada pokok
bahasan atau skill tingkat kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki oleh
siswa/subjek didik.[19]
Hal ini didasarkan ada ketrampilan dan penguasaan aspek-aspek yang beragam
dalam suatu disiplin ilmu atau skil tertentu merupakan akibat dari kebiasaan.
Ibnu Khaldun
mendasarkan metode tersebut pada pengamatannya terhadap beberapa fenomena
antara lain keterampilan teknik yang berkembang dalam masyarakat. Teknik
industri yang berakar dalam masyarakat tertentu disebabkan oleh kebiasaan yang
dipraktekkan berulang kali. Pengalaman seperti ini akan berurat akar dalam masa
yang lama melalui pengulangan dan pembiasaan.[20]
Lupa merupakan
hal tercela dalam proses belajar mengajar. Setiap orang dapat lupa karena sifat
umum manusia. Dalam proses waktu semakin lama sesuatu yang sudah dikuasai
terpendam dalam ingatan dan semakin banyak pula yang dilupakan meskipun tidak
akan lupa secara keseluruhan.
Bertolak dari
dasar itu untuk mengatasi kelupaan diperlukan metode belajar pengulangan, yaitu
mengulang-ulang suatu fakta atau ketrampilan motorik yang sudah dikuasai.
Dengan pengulangan kemampuan malakah akan semakin bertambah bahkan
ketika mengingat kembali akan lebih kokoh. Dan sebagai peringatan bahwa
kegiatan mengulang harus disertai konsentrasi pikiran dan bertujuan. Tanpa hal
ini mengulang akan sia-sia.
Pada masa Ibnu
Khaldun, metode belajar yang lazim dipakai adalah metode drill dan metode
penghafalan. Sehingga timbul gejala verbalistik dan membeo. Reaksi Ibnu
Khaldun terhadap fenomena ini adalah memunculkan gagasan pengajaran tiga tahap.
Beliau beramsusi bahwa potensi intelek manusia bekerja secara bertahap dan
kemampuan daya serapnya juga berjalan sesuai dengan kebertahapan tersebut.
1. Penyajian
Global
Guru
menyajikan kepada subjek didik hal-hal pokok, masalah-masalah prinsipil dari
setiap pembahasan dalam bab-bab yang akan dipelajari. Keterangan-keterangan
tersebut diberikan secara global (umum) dengan memperhatikan pada potensi akal
dan kesiapan subjek didik untuk menangkap apa yang diajarkan kepadanya.
Apabila
penyajian secara global ini telah dikuasai oleh siswa maka dia telah memperoleh
suatu malakah dalam ilmu yang akan dipelajari tersebut meskipun baru
secara parsial (sebagian). Pengetahuan awal yang diterima ini akan menjadi
bekal untuk menyiapkan siswa untuk memahami pokok pembahasan secara keseluruhan
dengan segala seluk beluknya.
2. Pengembangan
Guru
menyajikan dan melatihkan kembali pengetahuan atau ketrampilan dalam pokok
bahasan itu kepada subjek didik dalam taraf/tingkat yang lebih tinggi. Kali ini
guru tidak puas hanya dengan penyajian secara global saja yang dikuasai oleh
siswa, tetapi dia harus menyertakan ulasan tentang berbagai aspek yang menjadi
kontradiksi didalamnya. Disertakan pula beragam teori yang terdapat pada materi
tersebut.
Tahap kedua
ini dilakukan untuk menyempurnyakan malakah yang telah diperoleh oleh
siswa pada penyajian global sehingga hasil yang diperoleh oleh siswa akan lebih
maksimal. Tahap ini disebut juga tahap pengembangan sebab pengajaran materi
pelajaran pada tahap ini disertai pula dengan pemberian berbagai contoh dan
perbandingan-perbandingan yang diperlukan.
3. Penyimpulan
Tahap terakhir
yang dianjurkan oleh Ibnu Khaldun dalam menyajikan pelajaran adalah dengan cara
menyajikan kembali pokok bahasan itu, namun kali terakhir diberikan secara lebih
mendalam dan rinci dalam konteks yang menyeluruh. Sambil memperdalam
aspek-aspeknya dan menajamkan pemahaman subjek didik. Semua masalah yang
dipandang penting dan sulit serta kabur harus dituntaskan. Pada tahap terakhir
ini memungkinkan pencapaian malakah subjek didik belajar akan lebih
sempurna.[21]
Untuk dapat
melaksanakan program belajar menurut Ibnu Khaldun dapat digunakan beberapa
pendekatan, antara lain:
a.
Pendekatan emosional, yaitu
pendekatan untuk menggugah emosi siswa dalam memahami dan meyakini apa yang
dipelajari serta memberi motivasi agar siswa ikhlas mengamalkan apa yang
dipelajarinya tersebut.
Emosi adalah
gejala kejiwaan yang ada dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah
perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik
perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada
perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan sosial, dan perasaan harga
diri. Dalam hal in Chadijah Hasan mengemukakan bahwa “merasa adalah aktualisasi
kerja dari hati sebagai materi dalam struktur tubuh manusia, dan merasa sebagai
aktifitas kejiwaan ini adalah suatu pernyataan jiwa yang bersifat subjektif.”[22]
Oleh karena itu, Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono menjelaskan bahwa “fungsi jiwa
untuk dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang dan tidak
senang, mempunyai sifat-sifat senang dan sedih, kuat dan lemah, lama dan
sebentar, relatif dan tidak berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa”.[23]
Emosi atau
perasaan adalah sesuatu yang peka. Emosi akan memberi tanggapan (respon)
bila ada rangsangan (stimulus) dari luar diri seseorang. Baik rangsangan
verbal maupun rangsangan nonverbal, mempengaruhi kadar emosi seseorang.
Rangsangan verbal ini misalnya ceramah, cerita, sindiran, pujian, ejekan, berita,
dialog, anjuran, perintah dan sebagainya. Sedangkan rangsangan non verbal dalam
bentuk perilaku berupa sikap dan perbuatan.
b.
Pendekatan rasional, yaitu usaha
memberikan peranan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran.
Manusia adalah
makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang sempurna
diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan oleh Tuhan.
Perbedaannya terletak pada akal. Manusia mempunyai akal, sedangkan makhluk lain
seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal. Jadi, hanya manusialah
yang dapat berfikir, sedangkan makhluk lain tidak mampu berfikir.[24]
Dengan
kemampuan akalnya manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran
atau perbuatan. Dengan akal pula manusia dapat membuktikan dan membenarkan
adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini.
Walaupun disadarai keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu
persoalan, tetapi diyakini pula dengan akal dapat dicapai ketinggian ilmu
pengetahuan dan penghasilan teknologi moderen. Oleh karena itulah manusia
dikatakan sebagai homo sapien, semacam makhluk yang kecenderungan
berfikir. Karena keampuhan akal (rasio) itulah akhirnya dijadikan pendekatan
yang disebut pendekatan rasional guna kepentingan pendidikan dan pengajaran.
c.
Pendekatan fungsional, yaitu usaha
untuk menyajikan pelajaran dengan menekankan pada segi kemanfaatannya bagi subjek
didik dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu
pengetahuan yang dipelajari oleh subjek didik bukanlah hanya sekedar mengisi
otak, tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial. Anak dapat memanfaatkan ilmunya untuk kehidupan
sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting
adalah ilmu pengetahuan dapat membentuk kepribadian anak. Anak dapat merasakan
manfaat dari ilmu yang didapatnya di sekolah. Anak mendayagunakan nilai guna
dari suatu ilmu untuk kepentingan hidupnya. Dengan begitu, maka nilai ilmu
sudah fungsional dalam diri anak.[25]
Pelajaran yang
diberikan bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisian kekosongan
intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal
yang demikian itulah yang pada akhirnya hendak dicapai oleh tujuan pengajaran dalam
berbagai jenis dan tingkatan.
d.
Pendekatan keteladanan, yaitu
menyuguhkan keteladan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan
yang akrab antara personal, perilaku pendidik, dan tenaga lain yang
mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan
ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Pendidikan
dengan menggunakan pendekatan keteladanan berarti pendidikan dengan memberi
contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Banyak
ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan menggunakan pendekatan
keteladanan merupakan metode yang paling berhasil guna. Hal itu karena, orang
dalam belajar, pada umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit ketimbang yang
abstrak. Dalam hal ini Abdullah Ulwan menggambarkan bahwa ”pendidikan barang
kali akan mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan
merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak
memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”.[26]
Dalam al-qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan kepentingan keteladanan
dalam pendidikan.
Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru boleh memilih salah satu
metode atau menggabungkan beberapa metode mengajar yang ada. Yang perlu
diperhatikan adalah, bahwa metode yang dipilih tersebut sesuai dengan tujuan
pelajaran, materi pelajaran, sarana yang ada, serta waktu yang tersedia.
D. Tinjauan Terhadap Pemikiran Ibnu
Khaldun
1. Kelebihan-Kelebihan
Beberapa
sarjana modern Barat cenderung melihat teori-teori Ibnu Khaldun sebagai karya
genius luar biasa.[27]
Baali dan Ali Wardi memandang bobot pemikiran Ibnu Khaldun sama dengan
pemikiran Machiavelli, Vico, Montesquieu, Adam Smith, Auguste Comte, Durkheim
dan bahkan Karl Marx.[28]
Ibnu
Khaldun menemukan pemikiran-pemikiran cemerlang seperti yang telah dikemukakan
pada pembahasan diatas melalui pengalaman-pengalaman pribadinya yang mendalami
berbagai disiplin ilmu. Ini menjadi salah satu kelebihan yang dimiliki oleh
Ibnu Khaldun dibandingkan ilmuwan-ilmuwan lainnnya yang Cuma mengembangkan
konsep yang telah ada.
Berbagai
ide cemerlangnya tersebut mampu diaplikasikannya dalam praktek kegiatan yang
dilakukannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Umat Islam patut berbangga
dengan Ibnu Khaldun sebagai salah satu pemeluknya. Ibnu Khaldun diakui oleh
tokoh-tokoh sebagai ahli dalam berbagai bidang yang digelutinya seperti ahli
sosiologi, ahli pendidikan, ahli agama, dan bidang lainnya. Dan tidak banyak manusia
yang mempunyai kemampuan seperti beliau yang mampu terjun dan terlibat langsung
secara praktek.
2. Kelemahan-Kelemahan
Tingginya
penghargaan para pakar terhadap pemikiran Ibnu Khaldun bukan berarti
teori-teorinya tidak mempunyai sisi kelemahan. Dalam wacana ilmiah dapat
ditelusuri antara lain dari segi bangunan filosofinya, konstruksi teoritiknya,
aplikasi dimensi metodologisnya.
Dari
segi bangunan filosofi, pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai landasan yang
tegas sebagai pijakannya. Padahal sebagian dari pemikiran pedagogik adalah
dibangun berlandaskan kerangka filosofi tertentu. Ketidaktegasan ini memberi
indikasi bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tidak memiliki akar pijak yang kokoh.
Pemikiran demikian cenderung bersifat spekulatif murni.
Dari
segi konstruksi teoritik, teori-teori Ibnu Khaldun dalam masalah belajar tidak
didasarkan kepada penyelidikan eksperimental / tidak berdasarkan eksperimen
tertentu. Padahal bidang pendidikan jelas memerlukan penelitian yang mendalam
lewat eksperimen.
Dari
segi bangunan teoritik, Ibnu Khaldun tidak menampilkn teori-teori pedagogik
secara menyeluruh dalam segala aspeknya. Ia hanya mengutarakan beberapa faktor
dominan yang dipandang sebagai kerangka umum yang dapat digunakan untuk
menjelaskan faktor-faktor lainnya. Ibnu Khaldun tidak mempunyai pemikiran
eksplisit tentang pendidik, subjek didik, serta ia tidak merumuskan pula
evaluasi belajar mengajar sebagaimana yang dikembangkan para pendidik modern.
Dalam
bidang metodologi, pemikiran Ibnu Khaldun sederhana sekali, dia hanya
menawarkan metode tiga tahap dalam penstrukturan pengajaran. Dia tidak
mengelaborasikan secara luas dan beragam strategi belajar dan metode
pembelajaran sebagaimana yang dijumpai dalam pemikiran modern. Ibnu Khaldun
secara sepintas membicarakan maslah alat peraga, namun ia tidak merumuskan
secara detil strategi penggunaan alat peraga dan media pendidikan lainnya. Ia
hanya menyarankan penggunaannya sesuai dengan materi yang diajarkan.
[1]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), hal. 99.
[2]Subari, Supervisi ..., hal. 61.
[3] Thayar Yusuf, Metodologi Pengajaran
Agama dan Bahasa Arab, (Bandung: Madani Press, 1996), hal. 7.
[4]Imam
Bernadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta:
Yayasan Penerbitan IKIP Yogyakarta, 1990), hal.
85.
[5] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran
tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-ma'arif, 1991), hal. 183.
[6]Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif Pendidikan
Modern, (Nanggroe Aceh Darussalam: Nadiya Foundation, 2003), hal. 123.
[7]Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Alih bahasa Ahmadie
Thaha), Cet. IV (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2003), hal. 521.
[9]Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 90.
[10]Roestiyah N. K., Masalah-Masalah Ilmu
Keguruan, Cet. III, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal. 1.
[11]Sudirman N., Ilmu Pendidikan, Cet.
V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 27.
[12]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu
Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Alih bahasa Mansuruddin dan Ahmadie
Thaha), (Jakarta: Firdaus, 1989), hal. 93.
[14]Luis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut : Dar al-Masyriq,
t.t.), hal. 210.
[15]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu
Khaldun dan …, hal. 440.
[16]Ibnu Khaldun, Muqaddimah …, hal. 538.
[22]Chadijah Hasan, Dimensi-Dimensi
Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Surabaya: Al-Ikhlash, 1994), hal. 39.
[23]Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi
Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 63.
[24]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 35.
[26]Abdullah Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi
al-Islam, (Berikut: Dar al-Salam, 1978), hal. 663.
[27]Baali dan Wardi, Ibnu Khaldun
dan Pola Pemikiran Islam, (Alih bahasa Mansuruddin dan Ahmadie Thaha),
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 118.
0 Comments
Post a Comment