BAB III
KAJIAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A.
Hakikat
Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan islam
adalah “usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan
membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik
melalui ajaran islam kea rah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya”.[1]
Menurut al-Thoumi al-Syaibany Pendidikan Islam adalah “proses mengubah tingkah
laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi
dalam masyarakat”[2]. Menurut
Ahmad D. Marimba Pendidikan Islam adalah “bimbingan jasmani dan rohani menuju
kepada terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukukran-ukuran Islam”[3].
Hakikat pendidikan islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah
(kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran islam kea rah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya.
Zakiyah Daradjat
mengemukakan hakikat Pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan
Agama Islam tidak hanya memperhatikan satu segi saja seperti segi akidah
melainkan Mencakup seluruhnya bahkan
lebih luas dari pada semua itu. Pendidikan Islam juga menjangkau kehidupan
dunia dan akhirat secara seimbang baik jasmani maupun rohani. Sedangkan Zakiyah
Darajat mengartikan “Pendidikan Islam sebagai perubahan sikap dan tingkah laku
sesuai dengan petunjuk Agama Islam. Untuk itu perlu adanya usaha, kegiatan,
cara, alat dan lingkungan hidup yang keberhasilannya”.[4]
Menurut Zakiyah Darajat sebagaimana
yang dikutip oleh Abdul Majid &Dian Andatani dalam bukunya Pendidikan Agama
Islam Berbasis Kompetensi adalah usaha yang ditujukan kepada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud melalui amal perbuatan dan Pendidikan Agama Islam
tidak hanya bersifat teoritis juga termasuk praktis.[5]
Pemikiran Zakiyah Daradjat tersebut memperlihatkan pandangannya tentang
Pendidikan Islam secara Integralistik dan komprehensif yaitu mencakup seluruh dimensi, eksistensi,subtansi
dan relasi manusia. Hal ini dapat terwujud bila proses pendidikan berjalan
secara terus menerus (Long Life Education).
Zuhairini dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam mengemukakan bahwa “Pendidikan Islam adalah usaha
yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran Islam
atau sesuatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, merumuskan dan berbuat
berdasarkan nilai- nilai Islam, serta bertanggungjawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam”.[6]
Sedangkan menurut
Azzumardi Azra pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu
berdasarkan ajaran-ajaran Islam yangdiwahyukan Allah kepada Muhammad Saw.
Melalui proses yang manaindividu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang
tinggi sehingga ia mampu menunaikan
tugasnya sebagai kholifah di muka bumi yang dalam kerangka lebih lanjut
mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.[7]
Dari pandangan ini,
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukansekedar transfer knowledge tetapi
lebih mrupakan suatu sistem yang ditata diatas pondasi keimanan dan kesalehan,
yaitu suatu sistem yang terkait secaralangsung dengan Tuhan.
Sementara itu, menurut
Ahmad Janan Asifudin, tugas hakiki pendidikan Islam adalah menumbuhkembangkan
potensi didik peserta didik dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan dan
visi-misi pendidikan Islam. Dengan ungkapan lain, pendidikan Islam memiliki dua
orientasi, yakni menumbuhkembangkan potensi peserta didik dan mengarahkannya
sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dengan nilai-nilai yang dibawanya. Dua
orientasi ini sama-sama penting dan tidak ada dikotomi. Keduanya harus dapat
diintegrasikan. Realitas manusia pada dasarnya memiliki potensi baik dan
buruk/jahat. Potensi baik harus ditumbuhkembangkan, sedangkan potensi buruk
atau jahat harus dihilangkan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tugas hakiki
pendidikan Islam adalah menumbuhkembangkan potensi manusia sekaligus
mengarahkannya ke arah terbentuknya kepribadiaan sesuai dengan tujuan
pendidikan Islam.[8]
Apa yang dikemukakan
Ahmad Janan Asifudin kurang lebih compatible dengan pendapat Muhammad Tholhah
Hasan yang menuturkan bahwa hakikat pendidikan (Islam) adalah “mengembangkan
kualitas diri peserta didik dengan memperoleh keunggulan kualitas pikir dan
kerja, di samping kualitas moral dan pengabdian. Dalam bahasa al-Qur’an, mereka
memiliki basthatan fil ‘ilmi wal jism di samping memiliki qalbun salim”.[9]
Dari beberapa definisi
di atas, secara umum pendidikan Islam dapat didefinisikan sebagai suatu proses
atau usaha yang dilakukan secara sadara untuk membina, mengarahkan dan
mengembangkan secara optimal fitroh atau potensi manusia dalam segenap aspek,
baik jasmani maupun rohani berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dengan memerankan fungsinya
sebagai Abdullah dan khalifatullah.
B.
Ta’lim
Kata ta’lim
berasal dari kata dasar “allama” yang berarti mengajar, mengetahui.[10]
Pengajaran (ta’lim) lebih mengarah pada aspek kognitif, ta’lim mencakup
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim
dengan: “Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu”.[11] Definisi
ta’lim menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana yang kutip Ridlwan Nasir dalam
bukunya Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, yaitu:
Sebagai proses
pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman
amanah, sehingga penyucian diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang
bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.[12]
Mengacu pada
definisi ini, ta’lim berarti adalah usaha terus menerus
manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi
“tahu” seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78 sebagai berikut:
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً
وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) النحل:٧٨(
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. (Qs. An Nahl: 78).
Dari
pengertian di atas, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku
yang baik, sebagai upaya untuk mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia
lebih maju dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan karena
seseorang dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia
dibekali dengan berbagai potensi untuk mengembangkan keterampilannya tersebut
agar dapat memahami ilmu serta memanfaatkannya dalam kehidupan.
Pengajaran
mencakup teoritis dan praktis sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan
menjauhi kemadaratan. Pengajaran itu juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah
(bijaksana), misalnya guru matematika akan berusaha mengajarkan al-hikmah
matematika, yaitu pengajaran nilai kepastian dan ketepatan dalam mengambil
sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi oleh pertimbangan yang
rasional dan perhitungan yang matang.
C.
Ta’dib
Kata ta’dib secara
etimologis adalah bentuk masdar yang berasal dari kata “addaba”, yang
artinya membuat makanan, melatih dengan akhlak yang baik, sopan santun, dan
tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik.[13] Menurut
al-Naqaid, al-Attas, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir ta’dib berarti
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan
Tuhan.[14]
Dalam pengertian ta’dib di
atas bahwasannya pendidikan dalam pespektif Islam adalah usaha agar orang
mengenali dan mengetahui sesuatu sistem pengajaran tertentu. Seperti halnya
dengan cara mengajar, dengan mengajar tersebut individu mampu untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, misalnya seorang pendidik
memberikan teladan atau contoh yang baik agar ditiru, memberikan pujian, dan
hadiah, mendidik dengan cara membiasakan, dengan adanya konsep ta’dib tersebut
maka terbentuklah seorang Individu yang muslim dan berakhlak. Pendidikan ini
dalam sistem pendidikan dinilai sangat penting fungsinya, karena bagaimanapun
sederhananya komunitas suatu masyarakat pasti membutuhkan atau memerlukan
pendidikan ini terutama dalam pendidikan akhlak. Dari usaha pembinaan dan
pengembangan ini diharapkan manusia mampu berperan sebagai pengabdi Allah
dengan ketaatan yang optimal dalam setiap aktivitas kehidupannya, sehingga
terbentuk akhlak yang mulia yang dimiliki serta mampu memberi manfaat bagi kehidupan
alam dan lingkungannya. Jadi terwujudlah sosok manusia yang beriman dan beramal
shaleh. Ta’dib sebagai upaya dalam pembentukan
adab (tata krama), terbagi atas empat macam:
Pertama, Ta’dib adalah al-haqq, pendidikan tata
krama spiritual dalam kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki
kebenaran dan dengannya segala sesuatu diciptakan. Kedua, Ta’dib adab
al-Khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Ketiga, Ta’dib
adab al-Syari’ah, pendidikan tata krama yang tata caranya telah digariskan oleh
Allah memalui wahyu. Keempat, Ta’dib adab al-shuhbah, pendidikan tata
krama dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan saling tolong menolong.[15]
Dalam konsep ta’dib
mengandung tiga unsur, yaitu: pengembangan iman, pengambangan ilmu,
pengembangan amal.[16] Hubungan
antara ketiga sangat penting karena untuk tujuan pendidikan juga. Iman
merupakan suatu pengakuan terhadap apa yang diciptakan Allah di dunia ini yang
direalisasikan dengan ilmu, dan konsekuensinya adalah amal. Ilmu
harus dilandasi dengan iman, dengan iman maka ilmu harus mampu membentuk amal
karena ilmu itu harus diamalkan kepada orang yang belum mengetahuinya, dengan
terealisasikannya unsur tersebut maka akan terwujudnya tujuan pendidikan.
Dalam sosok pribadi manusia
beriman dan beramal shaleh tersebut dapat digambarkan bahwa mereka memiliki
jati diri sebagai pengabdi Allah, serta ikut dalam berkreasi dan berinovasi
guna kepentingan kesejahteraan hidup bersama. Atas dasar keimanan, mampu memelihara
hubungan dengan Allah dan antara dirinya dengan sesama makhluk Allah, sedangkan
realisasi dan keimanan itu terlihat dari kemampuan untuk senantiasa berkreasi
dan berinovasi yang bernilai bagi kehidupan bersama.
D.
Tarbiyah
Dalam bahasa Arab, kata
al-tarbiyah memiliki tiga akar kebakaan, yaitu : Pertama, Rabba, yarbu:
yang memiliki makna tumbuh, bertambah, berkembang. Kedua, Rabbi, yarba,:
yang memiliki makna tumbuh dan menjadi besar atau dewasa. Ketiga, Rabba,
yarubbu,: yang memiliki makna memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik,
menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara.[17]
Menurut Musthafa Al-Ghalayani, “at-tarbiyah
adalah penanaman etika yang mulia pada anak yang sedang tumbuh dengan cara
memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia memiliki potensi dan kompetensi jiwa
yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik cinta akan kreasi,
dan berguna bagi tanah airnya”.[18]
Tarbiyah (pendidikan) merupakan
transformasi pengetahuan dari satu generasi kegenerasi, atau dari orang tua
kepada anaknya. Transformasi pengetahuan ini dilakukan dengan penuh keseriusan
agar peserta didik memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan
menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan
kepribadian yang luhur. Dengan terbentuknya individu seperti itu maka suatu
pendidikan dapat terealisasikan tujuannya. Karena demikian luasnya pengertian
Al-Tarbiyah ini, maka ada sebagian pakar pendidikan, seperti Naquib al-Attas
yang tidak sependapat dengan pakar pendidikan lainnya yang menggunakan kata Al-Tarbiyah
dengan arti pendidikan.
Menurutnya kata Al-Tarbiyah
terlalu luas arti dan jangkauannya. Kata tersebut tidak hanya menjangkau
manusia melainkan juga menjaga alam jagat raya sebagaimana tersebut.
Benda-benda alam selain manusia, menurutnya tidak dapat dididik, karena
benda-benda alam selain manusia itu tidak memliki persyaratan potensional
seperti akal, pancaindera, hati nurani, insting, dan fitrah yang meungkinkan
untuk dididik. Yang memiliki potensi-potendi akal, pancaindera, hati nurani
insting dan fitrah itu hanya manusia. Untuk itu Naquib al-Attas lebih memiliki
kata al-ta'dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk arti
penidikan., dan bukan kata Al-Tarbiyah.[19]
Dalam
pendidikan (tarbiyah) ini mencakup ranah kognitif, afektif, psikomotorik,
ketiga ranah tersebut harus dimiliki peserta didik, agar apa yang jadi visi
misi lembaga institusi tertentu bisa terwujud tujuan pendidikannya, untuk itu
maka pendidik dalam mendidik harus memiliki rasa keseriusan, keikhlasan dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Agar peserta didik menjadi sosok yang diharapkan
dan bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga masyarakat.
Musthafa
al-Maraghi dalam Ali Abdul
Halim Mahmud membagi
aktivitas al-tarbiyah menjadi dua macam: “Pertama, Tarbiyah khalaqiyyah, yaitu pendidikan yang terkait
dengan perumbuhan jasmani manusia, agar dapat dijadikan sebagai sarana dalam
pengembangan rohaninya. Kedua, Tarbiyah diniyah tahdzibiyyah, pendidikan yang terkait dengan
pembinaan dan pengembangan akhlak dan agama manusia”.[20]
Dalam pengertian tarbiyah
ini menunjukkan bahwa pendidikan islam tidak sekedar menitik beratkan pada
kebutuhan jasmani, tetapi diperlukan juga pengembangan kebutuhan psikis,
sosial, etika dan agama untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan Islam yang dilakukan harus mencakup proses
transformasi kebudayaan, nilai dan ilmu pengetahuan dan aktualisasi terhadap
seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik, agar mencetak peserta didik
ke arah insan kamil, yaitu insan sempurna yang tahu dan sadar akan diri dan
lingkungan.
0 Comments
Post a Comment