A.
Hikmah Perkawinan Dalam Islam diTinjau
Menurut Pendidikan Islam
Islam sebagai agama yang lengkap yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Rasul terakhir, mengatur hidup dan kehidupan
manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat
kelak dan rumah tangga adalah pemegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Untuk kepentingan rumah tangga, Islam telah menentukan
beberapa peraturan yang sangat lengkap dan rapi, sampai kepada soal-soal yang
sekecil-kecilnya. Seluruh tanggungjawab di dalam rumah tangga dan
ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diterangkan dan dijelaskan dari sejak
masa lamaran hingga meniggal. Kesemuanya telah diatur serapi-rapinya oleh
Islam.
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah
perkawinan yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan generasi muda sebagai
generasi penerus bangsa dan agama dimasa depan.
yang
terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Menyalurkan naluri seksual secara
sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia
dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan
manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui
perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran
seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu,
ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar
dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak
merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam
firman-Nya dalam surat
Ar-rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً....... )الروم: ٢١(
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciftakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang … (Qs .Ar- Ruum
:21).
2) Cara paling
baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Secara pendidikan, anak yang lahir
karena perkawinan yang sah akan damai dan tenteram bersama keluarganya dan
memperoleh keturunan yang jelas serta perlidungan dari orang tuanya.
3) Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara
bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan
merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4) Memupuk rasa tanggung jawab dalam
rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat
bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5) Membagi rasa tanggung jawab antara
suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6) Menyatukan keluarga masing-masing
pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru
yang lebih banyak.
7) Memperpanjang usia. Hasil penelitian
masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih
panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.[1]
Hikmah yang telah kita bahas diatas yang menyangkut dengan
pernikahan yang erat kaitannya dengan pendidikan memiliki tujuan yang mulia. Para ulama menjelaskan bahwa diantara tujuannya adalah:
1) Untuk
memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Di tulisan terdahulu (bagian kedua) penulis sebutkan bahwa perkawinan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat
kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang
dan diharamkan oleh Islam.
2) Untuk
Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam
di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan
keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَي عَنْهُ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْمَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.) رواه البخارى(
Artinya: Abdullah bin Mas’ud R.A. menceritakan bahwa Nabi SAW berkata: Wahai
para pemuda !Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa
(shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya. (HR. Bukhari ).[2]
3) Untuk
Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak
sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat
229 berikut :
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن
تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ
يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا
وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) البقرة: ٢٢٩(
Artinya:
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dhalim. (َQs. Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup
melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila
keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat
Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا
إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ
اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ) البقرة: ٢٣٠(
Artinya:
Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui(Qs. Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari
pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah
tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
wajib. Di samping itu, untuk mewujudkan kebahagiaan, suami istri harus selalu
berusaha menjalin kebersamaan, menyamakan visi dan misi, serta cita-cita untuk
mewujudkan pernikahan yang matang. Mampu menjadi partner dalam mencapai tujuan
bersama, dan saling membangkitkan perhatian atas tugas-tugas pasangan. Insya
Allah, hal itu akan semakin memperbesar rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan.
Pernikahan adalah sebuah sarana
untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih besar, serta lebih banyak dari
sebelumnya, yang didasari cinta sepasang insan, dengan latar belakang berbeda.
Jadi tak sekedar bermodal cinta perkawinan dibangun. Tanpa usaha dan perhatian
yang sungguh-sungguh, tak menjamin langgengnya pernikahan. Sebab cinta itu
sendiri butuh siraman dan bantuan untuk tetap tumbuh sehat dan kuat. Dan pada akhirnya cinta yang kokoh,
kearifan sikap serta kebersamaan pasangan dalam perkawinan akan menjadikan
kebahagiaan abadi. Terlebih lagi jika cinta itu dibangun karena Allah. Kian
sempurnalah kebahagiaan pernikahan. Maha Suci Allah, yang menjadikan pernikahan
sebagai syariat. Maha Besar Allah yang menjadikan hikmah atasnya. (ummu
ahmad fadhl).
[1]
Yusuf, Husein Muhammad, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Cet. IX, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), hal. 36.
[2] Ibid
, hal: 285.
0 Comments
Post a Comment