BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna (kamil)
dan komprehensif (syumul). Islam mengatur mulai dari perkara yang paling
kecil hingga masalah yang paling besar. Apabila di dalam istinja’ (bersuci dari
buang hajat) saja Islam telah mengatur-nya, terlebih lagi di dalam
perkara-perkara yang lebih besar darinya. Demikian pula dengan penyelenggaraan
akad nikah dan walimah (resepsi), Islam telah memberikan aturan-aturan yang
jelas agar acara pernikahan menjadi meriah dan berbarakah. Sesungguhnya di
dalam pernikahan terdapat rahasia Rabbani yang sangat besar sekali, dimana saat
terlaksananya akad nikah akan tercapailah kasih saying yang didapati oleh suami
isteri, dimana rasa kasih saying tersebut tidak bisa
didapati di antara dua orang sahabat kecuali
setelah melalui pergaulan yang sangat lama.[1]
Allah menciptakan
manusia, pria dan wanita, dengan sifat fitrah yang khas. Manusia memiliki naluri,
perasaan, dan akal. Adanya rasa cinta kasih antara pria dan wanita merupakan
fitrah manusia. Hubungan khusus antar jenis kelamin antara keduanya terjadi
secara alami karena adanya gharizatun nau’ (naluri
seksual/berketurunan). Sebagai sistem hidup yang paripurna, Islam pasti sesuai
dengan fitrah manusia. Karenanya Islam tidak melepaskan kendali naluri seksual
secara bebas yang dapat membahayakan diri manusia dan kehidupan masyarakat.
Islam telah
membatasi hubungan khusus pria dan wanita hanya dengan pernikahan. Dengan
begitu terciptalah kondisi masyarakat penuh kesucian, kemuliaan, sangat menjaga
kehormatan setiap anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan
kelestarian keturunan umat manusia. Pernikahan merupakan ikatan diantara dua
insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga,
pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam,
pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan
jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Aqad
nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab
dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua
makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat
ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa
menjadi amal shaleh.”[2]
Keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, merupakan suatu
keluarga dambaan bahkan merupakan tujuan dalam suatu perkawinan dan sakinah itu
didatangkan Allah SWT. ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman,
maka untuk mewujudkan keluarga sakinah harus melalui usaha maksimal baik
melalui usaha bathiniah (memohon kepada Allah SWT.), maupun berusaha secara
lahiriah (berusaha untuk memenuhi ketentuan baik yang datangnya dari Allah SWT.
dan Rasul-Nya, maupun peraturan yang dibuat oleh para pemimpin dalam hal ini
pemerintah berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku).[3]
Allah menjelaskan dalam firmannya dalam surat Ar-ruum ayat 21 :
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها
وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأتات لقوم يتفكرون ) الروم: ٢١(
Artinya: Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum;
21)
Aqad nikah bukan
hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara
makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah
dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan
Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”. Begitu sakralnya aqad nikah,
sehingga Allah menyebutnya “Mitsaqon gholizho” atau perjanjian Allah
yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga
Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat Allah juga
menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai “Mitsaqon ghalizha”.
Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata
cerai.
Allah SWT menegur
suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak istrinya
dengan firmannya dalam surat
An-nisa ayat 21 :
وكيف
تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأحذن منكم ميثقا غليظا )النساء:٢١(
Artinya: Bagaimana
kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama
lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian
perjanjian yang berat “Mitsaqan gholizha. (Qs. An-Nisaa’ : 21).
Perkawinan beda agama atau perkawinan antar
orang yang berlainan agama ialah perkawinan antara orang Islam baik pria maupun
wanita yang menikah dengan orang yang bukan Islam. Perkawinan ini dalam Islam
digolongkan menjadi tiga bagian,
Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wnita musyrik,Perkawinan
antara seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab,dan Perkawinan antara
wanita muslim dengan pria non muslim.
Ketiga bagian ini kemudian menjadi perdebatan para ulama
tentang status hukumnya. Ada
sebagian ulama membolehkan pernikahan ini dan adalagi ulama lain yang
melarangnya. Klimaks yang menjadi permasalahan dari perdebatan ini tiada lain
tertumpu pada perbedaan pemahaman tentang wanita musyrikah dan wanita ahlul
kitab dikaitkan dengan perkembangan zaman sekarang yang notabene kitab suci
mereka sudah tidak murni lagi.
Karena itu pula
timbulah keraguan dalam pikiran para ulama yang melarang perkawinan ini
terhadap wanita musyrikah dan ahlul kitab. Ayat al-qur'an yang mereka
perdebatkan terdapat pada surah al-Baqarah, ayat 221 sebagai berikut:
ولا
تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا
المشركين حتى يؤمنوا ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتك.....
) البقرة: ٢٢١(
Artinya: Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.( Qs.. Al-baqarah:
221)
Ayat diatas menurut hemat penulis
sebenarnya sudah jelas melarang pernikahan ini dan hukumnya pun haram. Pertimbangannya adalah ayat selanjutnya yang menjelaskan bahwa
terjadinya kontradiktif antara yang mengajak kepada jalan neraka, sementara
yang lain mengajak kesurga. Artinya bahwa wanita musyrikah mengajak keneraka
sementara Allah mengajak ke surga. Dan hal inipun selaras dengan pendapat para
ulama yang melarang terhadap pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian pendapat
sebagian ulama lain pun memiliki alasan tersendiri.
Perkawinan beda
agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada
ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini merupakan
dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita
ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman
mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang
sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi
perceraian. Pelarangan ini merupakan
tindakan preventif agar tidak terjadi pemurtadan dan perceraian.Walaupun
di akui dari pernihan ini bisa dijadikan strategi da'wah untuk mengajak
wanita musrikah menganut ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi
ini digunakan oleh kaum kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan aakhirnya
terjadilah pengkristenan muslim lewat pernikahan.
Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani
tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam
disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan
dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah
para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih
besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah
datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil
maslahat yang sedikit.
Larangan
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilator belakangi oleh
harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan
tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena
jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat
pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Nikah
merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam upaya
merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang
bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah,
mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan
jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi
mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut
sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya
kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Berdasarkan
dari latar belakang masalah diatas, maka penulis memilih judul dalam penulisan skripsi ini adalah: “tinjauan
pendidikan terhadap larangan kawin dengan wanita musyrik”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut
:
1. Apa hikmah yang
terkandung dari larangan kawin dengan wanita musyrik?
2. Bagaimana cara
mengatasi atau mencegah agar tidak terjadinya perkawinan dengan wanita musyrik
?.
3. Bagaimana pengaruh
negatif akibat dari perkawinan dengan wanita musyrik di tinjau menurut
pendidikan Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan
pembahasan dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Apa
hikmah yang terkandung dari larangan kawi dengan wanita musyrik!
2. Untuk mengetahui
Bagaimana cara mengatasi atau mencegah agar tidak terjadinya perkawinan dengan
wanita musyrik!
3. Bagaimana pengaruh
negatif akibat dari perkawinan dengan wanita musyrik di tinjau menurut
pendidikan Islam!
D. Manfaat Pembahasan
Adapun yang menjadi kegunaan pembahasan dalam penulisan skripsi ini
adalah :
Secara teoritis
pembahasan ini bermanfaat bagi para pelaku pendidikan, secara umum dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai tinjauan pendidikan terhadap larangan kawin dengan
wanita musyrik. Selain itu hasil pembahasan ini dapat di jadikan bahan
kajian bidang study pendidikan.
Sedangkan secara
praktis, hasil pembahasan ini dapat memberikan arti dan niliai tambah dalam
memperbaiki dan mengaplikasikan tinjauan pendidikan terhadap larangan kawin dengan wanita musyrik ini dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, pembahasan ini di
harapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam dunia pendidikan Islam.
E. Penjelasan Istilah
Adapun istilah yang perlu
penulis jelaskan adalah sebagai sebagai berikut :
1. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik yang artinya ”Memelihara,
memberi latihan, dan pimpinan, kemudian kata didik itu mendapat awalan pe-
akhiran- an sehingga menjadi pendidikan yang artinya perbuatan mendidik.”[4]
Oemar Muhammad Al-Syaibani dalam buku ”Filsafat
Pendidikan” mengemukakan bahwa ”Pendidikan”
adalah usaha-usaha untuk membina pribadi muslim yang terdapat pada
pengembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial.”[5]
Dari pengertian di atas maka yang penulis maksudkan
dengan Pendidikan adalah
suatu rancangan yang dibuat dalam usaha membimbing dan membina manusia baik
jasmani ataupun rohani menuju terbentuknya akhlak yang mulia seperti yang
diajarkan didalam Islam.
2. Kawin
Daryanto,SS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mengartikan
kata "nikah/kawin" sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi).”[6]
Perkawinan. Al-Quran
menggunakan kata ini untuk
makna tersebut, di
samping secara majazi diartikannya
dengan "hubungan seks". Kata ini
dalam berbagai bentuknya ditemukan
sebanyak 23 kali. Secara
bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun”.
3. Wanita Musyrik
M.
Qurasy Shihab menjelaskan yang dimaksud dengan wanita musyrik adalah penyembah
berhala, api, dan sejenisnya.[7].
Adapun
penurut penulis yang dimaksud dengan wanita musyrik ialah wanita yang bukan
beragama Islam.
F. Metode Pembahasan
Pembahasan ini memusatkan perhatian pada
kepustakaan ( Library Research ) yaitu membaca, menganalisa bahan – bahan yang
ada di perpustakaan, baik ari Al – qur’an, kitab – kitab, hadist, kitab
tarbiyah, kitab akhlak maupun buku – buku ilmiah lainnya yang ada hubungannya
dengan masalah yang sedang penulis bahas.
Dalam
penulisan skripsi ini penulis secara umum menggunakan ”Metode Deskriptif
Eksploratif” yaitu dengan memberi gambaran tentang tinjauan pendidikan
terhadap larangan kawin dengan wanita musyrik berdasarkan data-data yang
penulis peroleh dari hasil telaah pustaka dengan menambah khazanah intelektual
yang terdapat di dalam Al-qur’an dan buku-buku yang penulis kaji yang berhubungan
dengan objek pembahasan penulis.
G. Sistematika Penulisan
Adapun
sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Pada
bab satu terdapat pendahuluan pembahasannya meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan pembahasan, manfaat pembahasan, penjelasan istilah, metode pembahasan
dan sistematika penulisan.
Pada
bab dua terdapat larangan kawin dengan wanita musyrik meliputi: tujuan perkawinan, hikmah perkawinan dalam
Islam, larangan kawin dengan wanita musyrik dan hikmah larangan kawin dengan
wanita musyrik.
Pada bab tiga terdapat metode
ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Islam pembahasannya meliputi:
pengertian pendidikan, hikmah perkawinan dalam Islam ditinjauan pendidikan,
pengaruh kemusyrikan dalam perkawinan ditinjauan dari segi pendidikan, pengaruh
perkawinan dengan wanita musyrik dalam tinjauan pendidikan.
Pada
bab empat terdapat penutup pembahasannya meliputi :
kesimpulan dan saran-saran.
[1] Ibrahim bin Shalih
al-Mahmud, Kiat Hidup Bahagia dengan Suami Anda, (Jakarta: Firdaus, 2005),hal.38
[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah,Bingkisan Istimewa
Menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka At-Taqwa,2002),hal 19
[4]Hobby, Kamus Populer,
Cet.XV, (Jakarta: Central, 1997 ), hal
28.
[5]Oemar Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat
Pendidikan Islam ,terj. Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979 ), hal.44.
0 Comments
Post a Comment