A.
Hubungan Tasawuf dengan Thariqat
Menurut Usman Said dkk., tharîqah
ialah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan syaikh kepada muridnya, karena ajaran pokok tharîqah
sama dengan tasawuf.[1]
Tujuan tasawuf, memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Allah.
Intisarinya ada komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah melalui
pengasingan diri dan kontemplasi.[2]
Sasaran tasawuf, upaya pendekatan diri kepada Allah. Karenanya, ditempuh
melalui penyucian rohani dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan harus di bawah
bimbingan seorang mursyid. Jadi, usaha pendekatan diri seseorang kepada Allah
sebagai tasawuf, maka cara dan jalan yang ditempuh seseorang merupakan tharîqah.
Hubungan tasawuf dengan tharîqah,
berawal dari tasawuf yang berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran, hingga
orang yang akan berkecimpung dalam tasawuf, lazimnya melalui suatu tharîqah
yang sudah ada. Peralihan tasawuf yang personal ke tharîqah yang
melembaga, tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan dan persebaran tasawuf. Makin luas
pengaruh tasawuf, mendorong orang ingin mempelajari tasawuf, dan menerima orang
yang memiliki ilmu dan pengalaman luas dalam pengamalan tasawuf, yang dapat
menuntunnya. Agar tidak tersesat, maka ada kewajiban belajar dari seorang guru
(mursyid) dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman
suatu praktek tertentu.[3]
Secara etimologi, pengertian tharîqah
berasal dari bahasa Arab, tharîqah, yang sepadan maknanya dengan sîrah,
perjalanan atau madzhab, cara (jalan). Bentuk jamak tharîqah, tharâ.
Berbeda dengan tharîq, yang bentuk jamaknya thuruq. Kata kedua,
mempunyai arti lintasan luas dan memanjang yang lebih luas dari jalan raya.[4]
Sepintas kedua kata mempunyai kesamaan makna, namun jika dicermati terdapat
perbedaan makna. Tharîqah lebih menekankan sebuah perjalanan yang sudah diatur
melalui cara tertentu, sedang yang kedua, tidak mempunyai pengertian yang demikian.
Sementara Nurcholish Madjid mengatakan,
tharîqah secara harfiyah berarti jalan, sama dengan arti syarî,
sabîl, shirâth dan manhaj. Maksudnya, sebagai jalan menuju Allah guna memperoleh
ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran-Nya.[5]
Dia mengutip Q. S. al-Jinn/72: 16 sebagai berikut:
وَأَلَّوِ
اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً) الجن: ١٦(
Artinya: Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak).(Qs. Al-Jinn:16)
Sedang
Harun Nasution, mengartikan tharîqah sebagai jalan yang harus ditempuh calon
sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tharîqah lantas mengandung
arti organisasi. Tiap tharîqah memiliki syaykh, upacara ritual dan bentuk
dzikir sendiri.[6]
Dari sudut pemakaian di Indonesia,
istilah tharîqah mengacu pada 2 (dua) pengertian. Pertama, acuan
sebuah cara yang merupakan paduan antara doktrin, metode dan ritual. Kedua,
acuan organisasi, baik secara formal maupun informal, yang menyatukan
pengikut-pengikut jalan tertentu. Di Timur Tengah, tharîqah dalam arti kedua
ini biasa dinamai dengan thâifah (keluarga atau persaudaraan), sehingga untuk
membedakannya sangatlah mudah.[7]
Tharîqah sebagai cara, mempunyai fungsi signifikan, bagi yang ingin jadi
sufi. Mereka akan dapat bimbingan guru, melalui serangkaian cara atau amalan
yang diyakininya benar. Caranya berupa latihan-latihan (riyâdlah), olah
batin, dan perjuangan yang sungguh-sungguh (mujâhadah) dalam kerohanian,
yang kemudian ditempuh dalam beberapa tingkatan kerohanian, yang berakhir pada
tingkatan paling tinggi, berupa peleburan kesadaran diri dalam samudera Ilahi (fanâ
fî al- Haqq).[8]
Pencapaian The Goal of Union with
Reality membawa dampak pengembangan aqidah sufi, yang kadang menjerumuskan
pada dunia ghaib, yang tak ada dasar theologisnya.[9]
Karenanya, pendakian dalam tharîqah, harus dibekali kematangan syari’at, tauhid
dan tasawufnya.[10]
Sedang sarana untuk mencapai tharîqah, adalah syari’at dan untuk mencapai
haqîqah ialah tharîqah.[11]
[1]
Usman Said dkk., Pengantar Ilmu Tasawuf, (Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, t. k., 1981/1982),
hal. 274.
[2]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 56.
[4]
Louis Ma’luf, al-Munjid fî
al-Lughah wa al-A’jam, (Bayrût, Dâr al-Masyriq, 1986), hal. 464.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 109.
[6]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 89.
[7]
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis,
Geografis dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 61.
[8] R.
A. Nicholson, The Mystic of Islam, (London and Boston: Roudledge and Kegel Paul, 1993), hal. 28.
[9]
Simuh, Perkembangan Aspek Aqidah Islam dalam Sufisme, Naskah Pidato
Pengukuhan
Guru Besar
Fakultas Ushuluddin, , (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 20 Juli 1996), hal. 17.
[10]
Fuad Said, Hakekat Naqsyabandiyah, (Jakarta, al-Husna Zikra, 1996), hal. 6.
[11]
Murtadha Muthahhari, Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hal. 27.
0 Comments
Post a Comment