Islam Dan Pekerjaan
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Islam Dan Pekerjaan
1.
Pengertian Bekerja
Secara ekonomi
bekerja diartikan pengerahan dan daya usaha manusia secara sadar dan terkontrol
untuk memproduksi barang atau menghasilkan pelayanan guna memenuhi kebutuhan
hidup ini.[1]
Kerja dalam
bahasa arabnya “amila” dengan berbagai akarnya dalam al-qur’an disebut lebih
dari 700 kali. Khususnya kata pekerja yang bahasa arabnya “aamil” dalam
berbagai bentuk tercatat lebih dari 25 kali.[2] Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya bekerja menurut ajaran agama islam.
Sedangkan bekerja itu sendiri didefinisikan sebagai usaha-usaha serius
untuk memperoleh rizki halal dengan cara mengolah dan memproses “rahmat"
menjadi ‘nikmat” yang bermanfaat bagi manusia dalam rangka beribadah dan taat
kepada perintah Allah Swt.[3]
Tegasnya Islam menganjurkan seluruh manusia untuk bekerja dan
menempatkan bekerja atau berkarya sebagai Ibadan, bahkan mensejajarkan bekerja
itu dengan jihad fisabilillah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mulk
ayat 15:
هوالذي جعل لكم الأرض ذ لولا فامشوافي مناكبهاوكلوا من
رزقه. وإليه النشور.
Artinya: Dialah yang
telah menjadikan bumi yang dengan mudah kamu jalan (manfaatkan), maka
berjalanlah kamu kesegala penjurunya dan makanlah rizkinya dan kepada Allah lah
kamu akan kembali (Q.S. Al-Mulk: 15).
Ayat diatas memberikan keterangan bahwa bumi ini laksana hamparan,
termasuk manusia didalamnya diberikan keleluasaan menjalani kegiatan hidupnya
termasuk didalamnya mencari rizki sebagai jihad dijalan Allah.
2.
Hukum Bekerja Dalam Islam
Bekerja mempunyai nilai sosiologis dan berdimensi sosial yang positif
bagi pembangunan umat. Justru itu Islam menetapkan hukum bekerja adalah fardhu
`ain dan ada juga yang mengatakan fardhu kifayah. Namun hal tersebut tidak
perlu diperdebatkan, karena yang substansinya bekerja itu tetap fardhu (wajib).
Orang Islam tidak boleh malas-malasan dan orang yang masih kuat tidak
pula dibenarkan untuk hidup mengemis.
Menurut Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya mengatakan “berusaha
adalah nilai hakiki bagi perbuatan seseorang dan seseorang yang mampu menguasai
diri dan mengatasi kekurangannyalah yang mampu berusaha giat dalam bekerja”.[4]
Dalam catatan sejarah tercatat bahwa banyak para nabi yang bekerja dan
punya pekerjaan selain menyampaikan risalah Tuhan dalam hidupnya, Nabi Adam a.s
bekerja sebagai petani, Nabi Nuh a.s sebagai pemahat, Nabi Daud a.s sebagai
pandai besi, Nabi Idris a.s sebagai tukang tenun, Nabi Sulaiman a.s sebagai
tukang keramik, Nabi Zakaria a.s sebagai tukang kayu, Nabi Musa a.s sebagai
Pengembala, Nabi Muhammad Saw populer sebagai pengembala ketika kecil dan
remajanya dan juga populer sebagai pedagang barang-barang dagangan Siti
Khadijah.[5]
Para Nabi/Rasul yang dikemukakan diatas mempunyai keahlian
masing-masing. Hal ini memberikan motivasi kepada kita Semarang bahwa bekerja
dengan keahlian sangat dominan apalagi kegiatan dalam pembangunan bangsa yang
sangat diperlukan dan dibutuhkan dalam era pembangunan dewasa ini menuju
masyarakat yang maju dibawah lindungan Allah SWT.
3. Islam dan Anjuran untuk Bekerja
Agama Islam menilai bahwa setiap gerak dan kegiatan seseorang sesuai
dengan motivasi niatnya. Yang menjadi motivasi dasar yang harus diletakkan oleh
setiap muslim dalam melakukan sesuatu dalam menjalani kehidupan ini adalah
bernilai ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT. Demikian pula mengenai
“bekerja” atau beramal dalam Islam tidak saja merupakan ikhtiar untuk pemenuhan
keperluan hidup didunia, tetapi juga merupakan panggilan ibadah dan keharusan
agama. Yang kedudukannya sejajar dengan ibadah atau menjadi kegiatan ibadah.
Jadi, bekerja adalah tugas suci yang harus dilaksanakan dalam hidup ini oleh
setiap muslim untuk mencapai keridhaan Allah SWT seperti tujuan ibadah itu
sendiri.
Islam tidak mendorong penghayatan agama yang melarikan diri dari kehidupan
dunia. Bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan memakmurkan kehidupan dunia, namun
tidak hanyut dan tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Intensifikasi pengabdian
agama tidak saja melalui ibadah mahdhah, tetapi simultas dengan menangani
kegiatan-kegiatan kerja duniawi. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Qashas ayat 77:
وابتغ
فيما اتك الله الدارالأخرة ولاتنس نصيبك من الدنيا واحسن كما احسن الله إليك ولا
تبغ الفساد فى الأرض...
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah SWT kepadamu kebahagiaan kampung akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada
orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan dibumi…(Q.S.
Al-Qashas: 77).
Ayat al-Qur’an diatas memberikan motivasi kepada setiap orang untuk
kelangsungan hidupnya di dua terminal kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat yang sangat memerlukan kerja keras. Kebahagiaan dapat diraih
bila perhatiannya sungguh-sungguh berupaya mencarinya, bila tanpa kerja keras,
santai dan pasif, maka kebahagiaan dunia dan akhirat hanya fantasi belaka dan
tidak dapat dicapai.
Yang harus diperhatikan pula adalah sikap mental yang positif harus
dimiliki oleh orang yang melakukannya dan mengembangkan inovasi kerja untuk
pembangunan bangsa. Diantara sikap positif yang harus dimiliki adalah:
1. Orientasi ke masa depan. Orientasi artinya semua
kegiatan harus direncanakan dan diperhitungkan secara matang untuk menciptakan
masa depan yang lebih baik, maju dan lebih sejahtera.
2.
Rasa tanggung
jawab. Artinya semua masalah yang diperbuat harus dihadapi dengan penuh
tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap masyarakat dan Allah SWT, baik
keberhasilan maupun kegagalan. Jangan sekali-kali berwatak ataupun melemparkan kesalahan
kepada orang lain.
3. Hemat dan Sederhana. Artinya dalam memanfaatkan hasil
kerja itu harus Hemat dan sederhana, tidak boros, konsumtif dan
berlebih-lebihan. Islam mengajarkan hidup sederhana tetapi tidak kikir,
melarang berbuat boros dan berlebih-lebihan karena hidup boros dan
berlebih-lebihan itu adalah perbuatan syaitan yang selalu menggoda manusia
untuk berbuat kejahatan.
4. Bersaing secara Jujur dan sehat. Artinya bahwa orang
yang bekerja itu harus berusaha untuk berkembang dan maju. Namun kemajuan dan
perkembangan itu harus dikejar secara wajar, Jujur dan sehat tanpa merugikan
orang lain. Namun keterbukaan itu tetap dikembangkan dalam batas-batas yang
memungkinkan dengan maksud menghilangkan keraguan orang lain kepada kita dan
kepercayaan semua pihak kepada kita tetap terjamin dan terpelihara dengan baik.
5. Teliti dan menghargai waktu. Artinya orang-orang yang
bersifat santai dalam bekerja, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga,
melalai-lalaikan pekerjaan yang seharusnya pekerjaan itu segera selesai, namun
pekerjaan itu sering tertunda-tunda, justru tidak serius mereka lakukan.
Padahal waktu untuk bekerja itu adalah kesempatan buat mereka untuk bekerja
lebih banyak, maka banyak pula hasilnya yang mereka raih.
B. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi
Prestasi belajar berasal dari dua kata yang berbeda
makna. Prestasi menurut Bahasa Indonesia adalah jenjang yang diperoleh
seseorang.[6] Namun Abu
Ahmadi memberikan pengertian adalah “hasil yang didapati siswa (orang yang
belajar) selama belajar”.[7]
Menurut David Krech, dkk.,
mendapatkan hasil belajar dapat dilakukan melalui proses kognisi yang kompleks
dan menghasilkan sesuatu yang mungkin dicapai atau dicita-citakan. Karena itu,
prestasi berperan aktif sebagai stimulus yang diterima, tetapi diri orang
tersebut secara total, baik pengalaman,
sikap serta motivasinya terhadap stimulus
atau objek itu.”[8]
Prestasi adalah suatu hasil usaha
yang didapat siswa dan siswi selama mengikuti proses pembelajaran. Prestasi
dapat ditingkatkan dengan cara memberikan motivasi kepada siswa agar mereka
giat dalam belajar, sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai dengan baik.[9]
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
A.
Faktor Intern
Yang dimaksud
dengan faktor intern adalah semua faktor yang sumbernya berasal dari diri
individu yang belajar, baik yang berkenaan jasmani maupun dengan rohani, faktor
intern ini juga terbagi dua, yaitu faktor biologis (faktor yang bersifat
jasmaniah) dan faktor psikologis (faktor yang bersifat rohaniah).
a.
Faktor biologis
(jasmaniah)
Faktor biologis
yaitu "Faktor yang berasal dari individu itu sendiri yang erat hubungannya
dengan keadaan fisik dan panca indera"[10]. Faktor biologis ini
mempengaruhi kegiatan sekaligus hasil belajar seseorang. Proses belajar
seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu juga akan
cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk dan gangguan-gangguan
fungsi alat inderanya.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Sumadi Suryabrata bahwa: "Penyakit seperti pilek, batuk,
sakit gigi dan penyakit sejenisnya, itu biasanya diakibatkan karena dipandang
tidak cukup serius untuk mendapatkan perhatian dan pengobatan, akan tetapi
kenyataannya penyakit-penyakit itu sangat mengganggu aktifitas belajar."[11]
Di samping
kondisi fisik (kesehatan), kondisi panca indera yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar, karena panca indera itu merupakan pintu masuk yang
mempengaruhi dari luar ke dalam diri individu yang diolah oleh otak untuk
diterima atau ditolaknya.
b.
Faktor
psikologis (rohaniah)
Faktor psikologis adalah faktor yang
berhubungan dengan rohaniah yaitu "Segala bentuk kemampuan yang berpusat
pada otak dan akal, yang termasuk dalam faktor ini antara lain intelegensi,
minat, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif".[12] Berikut ini akan
penulis jelaskan satu persatu tentang masalah tersebut.
a)
Intelegensi
(kecerdasan)
Intelegensi
adalah "Kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang
berbuat dengan cara tertentu."[13]
Pada umumnya
perkembangan intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan yang sama
dengan tingkat perkembangan yang sebaya. Adakalanya perkembangan ini ditandai
dengan kemajuan-kemajuan yang berbeda antara anak yang satu dengan anak yang
lain, sehingga seorang anak pada masa tertentu sudah memiliki tingkat
kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Faktor
kecerdasan sangat penting dalam segala kegiatan yang kita lakukan lebih-lebih
dalam proses belajar di sekolah/perguruan tinggi. Siswa/mahasiswa yang cerdas
biasanya cepat menanggapi setiap penjelasan guru, sehingga dia selalu sukses
dan kemungkinan akan mencapai prestasi belajar yang tinggi. Demikian pula dalam
hubungan sosialnya, ia mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan situasi
yang timbul di sekelilingnya. Sebaliknya bagi siswa/mahasiswa yang kurang
cerdas atau bodoh sering mengalami kesulitan dalam belajar.
b)
Minat
Minat adalah "Keinginan atau
kemauan yang ada dalam diri seseorang untuk merasa tertarik pada hal-hal
tertentu atau keinginan untuk mempelajari sesuatu."[14]
Minat merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi prestasi dalam belajar, dengan adanya minat maka akan timbul
senang, penuh gairah tanpa rasa dipaksakan akan selalu timbul rasa ingin tahu
terhadap pelajaran yang sedang dipelajari.
Bila seseorang tidak berminat untuk
belajar, kemungkinan orang tersebut itu tidak dapat diharapkan akan berhasil
dengan baik belajarnya. Dalam proses belajar, seorang guru/dosen harus mampu
membangkitkan minat siswa/mahasiswa terhadap pelajaran, agar orang yang belajar
tidak merasa terpaksa mempelajarinya, apalagi menjadikan pelajaran itu sebagai
beban yang harus ia pelajari.
Tentang pengaruh minat ini, The Liang
Gie mengatakan: "Seorang pelajar yang tidak mempunyai minat untuk
mempelajari sesuatu pengetahuan, karena tidak mengetahui faedahnya, pentingnya
hal-hal yang mempersoalkan pada pengetahuan itu".[15]
Pada umumnya minat belajar terhadap
suatu pelajaran berbeda-beda, ada siswa/mahasiswa yang mempunyai minat tinggi,
sedang, dan ada pula yang tidak berminat sama sekali. Sering siswa/mahasiswa
yang tidak mempunyai tingkat intelektualitas tinggi kurang berhasil dalam
belajarnya tidak diiringi oleh minat yang tinggi pula, sebaliknya siswa/mahasiswa
yang mencapai prestasi gemilang terhadap pelajaran tertentu disebabkan oleh
tingginya minat mereka terhadap pelajaran tersebut. Hal ini ditegaskan oleh
Kostro Partowirastro sebagai berikut: "Minat yang kurang mengakibatkan
kurangnya intensitas kegiatan, kurangnya intensitas kegiatan menimbulkan hasil
yang kurang pula. Sebaliknya hasil yang kurang dapat pula mengakibatkan
berkurangnya minat terhadap pelajaran itu".[16]
Minat siswa/mahasiswa terhadap suatu
pelajaran merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap siswa/mahasiswa.
Guru/dosen adalah orang yang paling berperan dalam usaha membangkitkan minat
siswa/mahasiswa, oleh karenanya keberhasilan seorang guru/dosen dalam mengajar
dapat diukur dari berhasil tidaknya guru/dosen tersebut membangkitkan minat
para siswa/mahasiswa sehingga mereka akan belajar dengan penuh gairah dan
semangat, pada akhirnya para siswa/mahasiswa akan dapat mencapai prestasi yang
lebih tinggi.
c)
Bakat
Bakat adalah "Kecakapan
(potensi-potensi) yang merupakan bawaan sejak lahir yaitu semua sifat-sifat,
ciri-ciri dan kesanggupan-kesanggupan yang dibawa sejak lahir".[17]
Bakat ini memegang peranan penting dalam
proses belajar anak, apabila anak belajar sesuai dengan bakatnya, maka akan
mendapatkan prestasi belajar yang baik.
Dalam hal ini Utami Munandar
mengemukakan:
"Ketidakmampuan seorang anak yang berbakat untuk berpotensi disebabkan
oleh kondisi-kondisi tertentu, misalnya taraf sosial ekonomi yang rendah atau
tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak dapat menyediakan fasilitas
pendidikan dan kebudayaan sehingga mempengaruhi prestasi belajar anak".[18]
Seperti halnya
intelegensi, bakat juga mempunyai kualitas tertentu, ada yang tinggi dan ada
pula yang rendah. Pada manusia yang paling normal terdapat sejumlah jenis bakat
khusus yang berbeda-beda kualitasnya.
d)
Motivasi
Motivasi adalah "Suatu keadaan
individu yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu".[19]
Sardiman A.M. mengemukakan :
”Seseorang yang belajar tanpa adanya motivasi maka tujuan yang ingin
dicapai kemungkinan besar tidak akan memperoleh hasil yang baik. Motivasi dan
belajar adalah dua hal yang erat kaitannya, adanya motivasi yang baik dalam
belajar akan menunjukkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang akan
menentukan prestasi belajar yang baik".[20]
Dalam proses belajar mengajar motivasi
sangat penting, karena itu sangat diharapkan kepada para guru agar selalu
berusaha untuk dapat membangkitkan motivasi siswa-siswanya. Dengan adanya motivasi
yang kuat maka usaha belajar akan berhasil.
Bila ditinjau dari segi belajar,
motivasi dapat digolongkan kepada dua jenis, yaitu:
1)
Motivasi
intrinsik
Sardiman
mengemukakan bahwa: "Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif dan
fungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dari dalam sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang senang membaca, ia sudah
rajin mencari buku-buku untuk dibaca".[21]
Dari kutipan di
atas jelas bahwa motivasi adalah salah satu faktor pendorong yang datang dari
dalam diri siswa/mahasiswa yang dapat mempengaruhi belajarnya.
2)
Motivasi
ekstrinsik
Sardiman A.M
mengatakan "Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif karena
adanya perangsang yang kuat. Sebagai contoh seseorang yang belajar, karena tahu
besok paginya akan ujian dengan harapan untk mendapatkan nilai yang baik
sehingga akan mendapatkan pujian dari teman".[22]
Oleh karena itu
motivasi merupakan suatu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa/mahasiswa,
karena adanya dorongan baik dari dalam maupun dari luar. Tanpa ada motivasi
semangat belajar menjadi lebih kurang sehingga hasilnya kurang memuaskan.
2.
Faktor Ekstern
Faktor ekstern ialah "Faktor yang
datang dari luar diri anak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat dan
sebagainya".[23]
a.
Keluarga
Ibu merupakan anggota keluarga yang
mula-mula paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, meskipun pada
akhirnya seluruh anggota keluarga ikut berintegrasi dengan anak.
Nasir Budiman menyebutkan:
"Di lingkungan rumah tangga anak
adalah anggota yang sangat sugestibel, pengaruh orang tua sangat dominan pada
dirinya, terutama pengaruh pada pihak ibunya. Pengaruh tingkah laku ibu sangat
dirasakan oleh anak karena sejak kelahiran sampai ia berpisah dari kedua orang
tuanya. Faktor ibu selalu mempengaruhi kepadanya".[24]
Pengaruh keluarga terhadap anak sudah
ada sejak anak berada dalam kandungan ibu, dalam hal ini ibu mempunyai peranan
utama dalam kehidupan anak. Hal ini sama dengan pendapat A. Muri Yusuf yang
mengatakan bahwa :
"Sejak ibu mengandung telah terjadi
hubungan dengan anaknya, proses pertumbuhan anak dalam kandungan sejak dini
telah ditentukan bagaimana pelayanan ibunya, setelah anak lahir ke dunia maka
yang utama dan pertama ia mengasuh, menyusukan, mengganti pakaian dan
melindungi anak dari penyakit. Keterlibatan ibu yang sangat banyak pada anak
sejak permulaan kehidupan anak menyebabkan ibu sering dikatakan sebagai
pendidik utama dan pertama".[25]
Di samping itu setiap anak dalam
keluarga yang harmonis sangat membutuhkan perhatian dari orang tuanya yakni
pemenuhan dalam kebutuhan hidup.
Mustafa Fahmi mengemukakan :
"Manusia adalah makhluk yang mempunyai beberapa kebutuhan hidup,
yaitu:
1.
Kebutuhan jasmani: seperti makan,
minum dan sebagainya
2.
Kebutuhan rohani sebagai
kebutuhan jiwa yang dimiliki oleh manusia, seperti kebutuhan akan kasih sayang,
kebutuhan akan pengenalan, kebutuhan akan kekeluargaan kebutuhan akan tanggung
jawab dan kebutuhan akan kependidikan".[26]
Menurut Ki Hajar Dewantara :
"Suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya
melakukan pendidikan individu maupun sosial. Keluarga merupakan pendidikan yang
sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan
pribadi yang utuh. Peranan orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, pengajar
dan sebagai pemberi contoh".[27]
Suatu keluarga juga dapat memberikan
suasana atau kondisi tertentu bagi keberhasilan anaknya, yaitu keutuhan
keluarga, yang dimaksud keutuhan di sini adalah adanya ayah dan ibu serta
interaksi yang wajar. Apabila tidak ada keharmonisan dalam keluarga maka
akan memberi pengaruh yang kurang baik bagi anak-anaknya.
b.
Sekolah/Perguruan
Tinggi
Lingkungan sekolah merupakan pusat
pendidikan yang kedua bagi anak untuk berlangsungnya pendidikan secara formal
yang merupakan kelanjutan dari lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah yang
baik akan mendorong anak belajar dengan baik, sedangkan lingkungan sekolah yang
tidak baik dapat menyebabkan anak kurang
gairah dalam belajar.
Adapun prestasi belajar yang diperoleh
dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan akan
mempengaruhi proses belajar di antaranya yaitu :
1)
Kompetensi
profesional guru/dosen
Dalam proses belajar mengajar, seorang
guru tidak hanya dituntut mempunyai sejumlah pengetahuan yang akan diajarkan
kepada anak didiknya. Tetapi juga sangat dituntut untuk dapat mendesain program
dan keterampilan mengkomunikasikan program tersebut merupakan modal dasar dalam
kegiatan mengelola interaksi belajar mengajar, kedua macam modal dasar itu akan
tercakup dalam sepuluh kompetensi profesional guru/dosen, yaitu :
-
Menguasai bahan bidang studi
-
Mengelola program belajar
mengajar
-
Mengelola kelas
-
Menggunakan media dan sumber
balajar
-
Menguasai landasan pendidikan
-
Mengelola interaksi belajar
mengajar
-
Menilai prestasi anak didik untuk
kepentingan pengajaran
-
Mengenal fungsi dan program
pelayanan bimbingan penyuluhan
-
Mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah/kampus
-
Memahami prinsip-prinsip dan
hasil penelitian pendidikan guru untuk kepentingan pengajaran[28]
2)
Kurikulum
sekolah/perguruan tinggi
Setiap kegiatan membutuhkan perencanaan
karena tanpa perencanaan yang baik dan sistematis akan menyebabkan suatu
kegiatan tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan dapat menimbulkan
gejala-gejala lain yang saling bertentangan dan tidak pada tempatnya. Salah
satu kegiatan yang memerlukan perencanaan adalah kegiatan belajar mengajar yang
dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Perencanaan dalam kegiatan belajar
mengajar adalah sering disebut kurikulum. Kurikulum adalah pedoman dasar bagi
pengajar (pendidik) untuk mengajar. Menurut S. Nasution: "Kurikulum adalah
suatu rencana yang disusun untuk kelancaran proses belajar mengajar di bawah
bimbingan dan tanggung jawab suatu badan sekolah atau instansi pendidikan
beserta staf pengajarannya".[29]
3)
Disiplin sekolah/perguruan
tinggi
Sekolah/perguruan tinggi merupakan suatu
lembaga pendidikan formal dan memiliki peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
oleh semua anggota seperti siswa/mahasiswa, guru dan karyawan lainnya, untuk
menanamkan disiplin yang baik di sekolah maka setiap guru dan karyawan harus
mampu menegakkan disiplin bagi dirinya sendiri, karena guru/dosen merupakan
contoh teladan bagi siswa-siswanya. Begitu juga dalam menyajikan materi
pelajaran yang diajarkannya, sehingga siswa tidak bosan.
Kedisiplinan sekolah/kampus tidak hanya
menyebabkan para siswa mahasiswa akan rajin belajar di lingkungan sekolah saja,
namun juga akan berpengaruh terhadap kedisiplinan siswa sewaktu belajar di luar
sekolah dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa.
Demikian pula sebaliknya, kedisiplinan
siswa belajar di rumah akan terbiasa pula untuk berdisiplin dalam melakukan
kegiatan belajar di lingkungan sekolah. Winarno Surachmad mengatakan bahwa
"Kehidupan di sekolah merupakan jembatan antara kehidupan masyarakat dan
juga merupakan perwujudan, karena itu tujuan pendidikan keluarga harus sejalan
dengan tujuan hidup yang diinginkan lingkungan keluarga".[30]
c.
Masyarakat
Adapun faktor lain yang tidak kalah
pentingnya yang sangat berpengaruh terhadap potensi belajar siswa adalah faktor
masyarakat-masyarakat dalam pengertian luas adalah lingkungan di luar sekolah
dan keluarga.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak
dapat melepaskan dirinya dari lingkungan, ia harus berhubungan dengan
masyarakat.
Agar siswa mendapat pengaru positif
dalam masyarakat terhadap prestasi belajarnya maka ia perlu melibatkan diri
dalam organisasi masyarakat, baik dalam pengajian ayaupun pengurus-pengurus
mesjid maupuyn organisasi-organisasi lainnya yang dapat membawa ke arah
perbaikan, karena kegiatan seperti itu baik untuk perkembangan kepribadiannya.
Jadi perubahan dalam masyarakat selalu
menyangkut usaha pendidikan karena disebabkan oleh faktor lingkungan sekolah,
keluarga atau masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Jika ketiga lingkungan
tersebut siswa mendapatkan pendidikan dengan baik maka ia akan mengalami
perubahan yang baik pula.
Dengan demikian fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan yang sangat
tergantung pada masyarakat beserta sumber belajar yang ada di dalamnya. Adanya
kerja sama yang baik maka pendidikan anak akan berjalan positif dan dapat
mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
3.
Indikator Prestasi Belajar
Pada
prinsipnya pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis
yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Namun
demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya
ranah rasa siswa/mahasiswa sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil
belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak
dapat diraba). Oleh karena iu yang dapat dilakukan guru/dosen dalam hal ini
adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting
dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar
siswa/mahasiswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi
karsa.
Kunci pokok
untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa/mahasiswa sebagaimana yang
terurai diatas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (petunjuk adanya
prestasi tertentu) diakitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau
diukur.
Selanjutnya
agar pemahaman guru/dosen lebih mendalam mengenai kunci pokok tersebut dan
untuk memudahkan dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang tepat, reliabel,
dan valid dapat dilihat pada tabel yang dirumuskan oleh Muhibbin Syah dibawah
ini[31]:
Ranah/ jenis Prestasi
|
Indikator
|
Cara evaluasi
|
|
A.
|
Ranah Cipta (kognitif)
1. pengamatan
2. Ingatan
3. Pemahaman
4. Aplikasi/Penerapan
5. Analisis (pemeriksaan dan pemilahan yang teliti)
6. Sintesis (membuat
paduan yang utuh)
|
1. dapat menunjukkan
2. dapat membandingkan
3. dapat menghubungkan
1. dapat menyebutkan
2. dapat menunjukkan
kembali
1. dapat menjelaskan
2. dapat mendefinisikan
dengan lisan sendiri
1. dapat memberikan
contoh
2. dapat menggunakan
secara tepat
1. dapat menguraikan
2. dapat mengklasifikasikan/memilah-milah
1. dapat menghubungkan
materi-materi hingga menjadi satu kesatuan baru
2. dapat menyimpulkan
3. dapat
menggeneralisasikan (membuat prinsip umum)
|
1.
tes lisan
2.
tes tertulis
3.
observasi
1.
tes lisan
2.
tes tertulis
3.
observasi
1.
tes lisan
2.
tes tertulis
1.
tes tertulis
2.
resitasi
3.
observasi
1.
tes tertulis
2.
resitasi
1.
tes tertulis
2.
resitasi
|
B.
|
Ranah Rasa (Afektif)
1.
Penerimaan
2.
Sambutan
3.
Apresiasi (sikap menghargai)
4.
Internalisasi (pendalaman)
5.
Karakterisasi (penghayatan)
|
1. menunjukkan sikap
menerima
2. menunjukkan sikap
menolak
1. kesediaan
berpartisipasi/terlibat
2. kesediaan
memanfaatkan
1. menganggap penting
dan bermanfaat
2. menganggap indah dan
harmonis
3. mengagumi
1. mengakui dan
meyakini
2. mengingkari
1. melembagakan atau
meniadakan
2. menjelmakan dalam pribadi dan perilaku sehari-hari
|
1. tes tertulis
2. tes skala sikap
3. observasi
1. tes skala sikap
2. resitasi
3. observasi
1. tes skala penilaian
sikap
2. resitasi
3. observasi
1. tes skala sikap
2. pemberian tugas
ekspresif (yang menyatakan sikap) dan tugas proyektif (yang menyatakan
perkiraan)
1. pemberian tugas
ekspresif dan proyektif
observasi
|
C.
|
Ranah Karsa
(Psikomotor)
1. keterampilan
bergerak dan bertindak
2.
kecakapan ekspresi verbal
dan non verbal
|
Kecakapan mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki dan anggota tubuh
lainnya
1. kefasihan
melafalkan/mengucapkan
2. kecakapan membuat
mimik dan gerakan jasmani
|
1. observasi
2. tes tindakan
1. tes lisan
2. observasi
3. tes tindakan
|
4.
Pengukuran Prestasi Belajar
Mengukur
prestasi belajar seseorang bukanlah perkara yang gampang. Namun membutuhkan
ketelitian dan harus mencakup keseluruhan aspek yang ada pada orang tersebut.
1.
Pengukuran prestasi belajar kognitif
Mengukur
keberhasilan siswa/mahasiswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat
dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis, tes lisan dan
perbuatan. Karena semakin banyaknya siswa/mahasiswa disebuah tempat belajar,
maka tes lisan dan tes perbuatan semakin jarang digunakan. Alasan lain tes
lisan kurang mendapat perhatian adalah pelaksanaannya yang face to face (tatap muka langsung). Cara tes lisan ini dianggap
mendorong penguji untuk bersikap kurang objektif terhadap siteruji/peserta
didik tertentu.
Dampak negatif
yang terkadang muncul dalam tes lisan itu ialah iskap dan perlakuan penguji
yang subjektif dan kurang adil, seingga soal yang diajukan pun tingkat
kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Disatu pihak siswa yang
diberi soal mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan dipihak yang lain
ada pula yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevan dengan
topik.
Untuk
mengatasi masalah subjektivitas itu semua jenis tes tertulis itu baik yang
berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif seyogyanya dipakai dengan
sebaik-baiknya oleh para pengajar. Namun demikian apabila dikehendaki informasi
yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa/mahasiswa pilihan berganda
juga sebaiknya tidak dipakai oleh pengajar. Untuk mengukur kemampuan kognitif
dapat digunakan tes pencocokan (matching test), tes isian, dan tes esai. Khusus
untuk mengukur kemampuan analisis dan sintesis seseorang lebih baik menggunakan
tes esai, karena tes ini adalah ragam instrumen evaluasi yang dipandang paling
tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal tadi.
2.
Pengukuran prestasi belajar afektif
Dalam
merencanakan penyusunan instrumen tes prestasi siswa yang berdimensi afektif
(ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seharusnya
mendapat perhatian khusus. Alasannya karena kedua jenis prestasi ranah rasa
inilah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa/mahasiswa.
Salah satu
bentuk tes ranah rasa yang popular adalah “Skala Likert” yang tujuannya untuk
mengidentifikasi kecenderungan sikap.[32] Bentuk skala ini
menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, setuju, ragu-ragu,
tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skor ini diberi skor 1 sampai 5
atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat
mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”
Hal lain yang
perlu diingat bagi guru/dosen yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa
dalam pengukuran ranah rasa yang dicari bukan benar dan salah, melainkan sikap
atau kecenderungan setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak
sama pengukuran ranah cipta yang secara prinsip bertujuan untuk mengungkapkan
kemampuan akal dengan batasan benar dan salah.
3.
pengukuran prestasi belajar
psikomotor
Cara yang
dipandang tepat untuk mengukur keberhasilan belajar yang berdimensi psikomotor
(ranah karsa) adalah observasi. Observasi dalam hal ini dapat diartikan sejenis
tes mengenai peristiwa, tingkah laku atau fenomena lain dengan pengamatan
langsung. Namun observasi harus dibedakan dari eksperimen karena eksperimen
pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi.[33]
Bagi orang
yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor hendaknya mempersiapkan
langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang telah disusun
sebelumnya.
C. DAMPAK BEKERJA TERHADAP PRESTASI BELAJAR
Salah satu dampak dari besarnya biaya hidup
dewasa ini membuat bertambahnya kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi karena
semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu
caranya adalah menambah penghasilan. Akhirnya kalau biasanya orang tua yang
bekerja sekarang anakpun ikut bekerja. Apalagi jika anak telah menjadi
mahasiswa yang tentunya juga semakin membutuhkan biaya besar untuk biaya
pendidikannya.
Mahasiswa yang ikut bekerja mempunyai banyak
pilihan. Ada mahasiswa yang bekerja dirumah dan ada juga mahasiswa yang memilih
bekerja diluar rumah. Jika mahasiswa memilih bekerja diluar rumah maka
mahasiswa harus pandai-pandai mengatur waktu. Karena pada hakikatnya tugas
utama mahasiswa adalah belajar.
Untuk itu maka mahasiswa yang bekerja diluar
rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga
ataupun sekedar membantu untuk meringankan beban orang tua memang sangat mulia,
tetapi harus diingat tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar menuntut
ilmu. Mahasiswa yang pergi bekerja pagi dan kuliah siang tetap harus meluangkan
waktunya untuk belajar dan memeriksa tugas-tugas dikampusnya, walaupun sangat
capek setelah bekerja dan kuliah seharian tetapi pengorbanan tersebut akan
menjadi suatu kebahagiaan jika mendapatkan prestasi yang tinggi minimal
prestasi stabil ataupun malah menanjak naik.
Sejumlah mahasiswa kuliah sambil bekerja. Sebagian karena mereka
memerlukan biaya untuk uang kuliah, sebagian lain untuk mengoptimalisasikan
potensi dirinya walaupun belum selesai kuliah. Kini sebagian besar mahasiswa
memilih belajar sekaligus bekerja apa saja asal halal, malah sebagian mahasiswa
tersebut bekerja bukan semata uang, tetapi hanya ingin menyalurkan hobinya.
Namun pekerjaan yang dilakukan oleh mahasiswa selama ini telah
mempengaruhi tugas utama mereka sebagai penuntut ilmu. Kebanyakan dari mereka karena mengutamakan bekerja membuat prestasi
belajar mereka merosot tajam. Dalam arti bahwa dikarenakan bekerja prestasi
belajar sebagian besar mahasiswa terus menurun dari yang ditargetkan. Sehingga
kadang-kadang mahasiswa sendiri tidak tahu, manakah yang mereka utamakan.
Ataupun bagaimana pilihan sebenarnya yang sedang mereka buat “belajar sambil
bekerja atau bekerja sambil belajar”.
Dampak yang ditimbulkan karena bekerja
terhadap belajar itu kadangkala tidak langsung dirasakan oleh mahasiswa.
Sehingga kadang mereka baru sadar setelah melihat indeks prestasi(IP) nya
menurun dari prestasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Namun untuk menilai dampak terhadap prestasi
belajar mahasiswa, terlebih dahulu harus dinilai dampak kerja itu sendiri terhadap
kegiatan perkuliahan yang ikuti oleh mahasiswa tersebut dalam kehidupannya sehari-hari
sebagai mahasiswa sebelum prestasi belajar itu dinilai pada tiap akhir
semester. Ini disebabkan karena prestasi belajar mahasiswa dinilai pada akhir
semester setelah diadakan ujian akhir pada akhir semester tersebut.
Dampak-dampak mahasiswa bekerja terhadap
kegiatan kuliahnya sehari-hari adalah:
1. Belajar tidak lagi teratur.
Belajar dengan teratur merupakan pedoman
mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh seseorang yang menuntut ilmu disekolah
maupun diperguruan tinggi. Betapa tidak, karena banyaknya bahan pelajaran yang
harus dikuasai menuntut pembagian waktu yang sesuai dengan kedalaman dan
keluasan materi bahan pelajaran. Penguasaan atas semua bahan pelajaran dituntut
secara dini, tidak harus menunggunya sampai menjelang kuis, midterm ataupun
ujian final.
Belajar sambil bekerja merupakan sikap yang
kurang menguntungkan dalam belajar. Satu, dua atau tiga hari lagi akan ujian
baru belajar adalah suatu tindakan yang kurang menguntungkan. Sebab dalam waktu
yang relatif singkat itu tidak mungkin dapat menguasai bahan pelajaran untuk
semua mata kuliah. Orang yang sering tidak masuk ruang kuliah
dapat dipastikan akan kurang mengerti bahan-bahan pelajaran tertentu. Sejumlah buku terkadang ada uraian tertentu yang
tidak dijelaskan secara mendalam. Guru atau dosen akan menjelaskan bahan itu
secara mendalam dan jelas. Guru atau dosenlah yang menjembatani hal-hal yang
Belem dijelaskan di dalam buku.
Penjelasan yang diberikan oleh guru/dosen
berikan itupun bukan hnaya didengar saja, tetapi harus dicatat diatas kertas.
Dan dalam mencatatnya pun harus rapi dan teratur untuk memudahkan. Tetapi
bagaimana akan mencatat atau mendengar penjelasan dosen/guru sedangkan
mahasiswa itu sendiri tidak belajar dengan teratur disebabkan kesibukan dengan
pekerjaannya.
Cukup banyak orang yang tidak mampu meraih
prestasi belajar yang memuaskan disebabkan catatan bahan pelajaran/kuliah yang
tidak lengkap dan tidak teratur yang disebabkan oleh karena tidak sempat
mengikuti mata kuliah yang diambilnya.
2. Hilangnya disiplin belajar
dan tidak bersemangat.
Dampak belajar sambil belajar lainnya adalah
hilangnya disiplin belajar dan tidak bersemangat lagi mengikuti mata kuliah.
Dalam belajar disiplin sangat diperlukan. Disiplin dapat melahirkan semangat
menghargai waktu, bukan menyia-nyiakan waktu. budaya jam karet adalah musuh
besar bagi orang yang sedang belajar. Tetapi orang yang telah mengutamakan
pekerjaan akan menunda-nunda waktu untuk belajar/ mengikuti mata kuliah.
Orang yang tidak disiplin tidak akan pernah
berhasil dalam belajar maupun berkarya. Dimana semua jadwal kuliah yang telah
mereka susun akan mereka ingkari sendiri dengan melalaikannya. Sebaliknya bagi
orang yang berdisiplin diri, semua jadwal belajar yang telah disusun dan dibuat
akan ditaati dan dijalankan. Rela mengorbankan apa saja demi perjuangan
menegakkan disiplin pribadi dalam belajar.
Selain masalah disiplin, semangat juga sangat
penting dalam belajar. Orang yang tidak bersemangat dalam belajar akan lesu dan
tidak bergairah sehingga motivasi untuk belajar pun tidak ada sehingga
kegagalan dalam studipun tinggal menunggu waktu.
Semangat bagi mahasiswa perlu ditumbuhkan dan
dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan. Sebagai penggerak jira untuk melakukan
aktifitas belajar. Sehingga dengan adanya disiplin diri dan semangat untuk
belajar tidak akan menjadi sebuah penghalang bagi mahasiswa walaupun ia bekerja
diluar studinya.
3. Hilangnya konsentrasi.
Konsentrasi adalah pemusatan fungsi jiwa
terhadap suatu masalah atau objek. Dalam belajar diperlukan konsentrasi dalam
perwujudan perhatian terpusat. Pemusatan perhatian pada suatu objek tertentu
dengan mengabaikan masalah-masalah lain yang tidak diperlukan.
Namun bagi mahasiswa yang bekerja bagaimana
akan memusatkan konsentrasinya, mereka akan merasa capek setelah lelah bekerja.
Ataupun ketika sedang belajar akan teringat terhadap pekerjaan yang Belum
diselesaikan. Hal ini otomatis akan berakibat terhadap upaya belajar yang
sedang dilakukan. Dalam belajar, orang yang tidak mampu berkonsentrasi tidak
akan berhasil menyimpan atau menguasai bahan pelajaran. Oleh karena itu setiap
pelajar ataupun mahasiswa harus berusaha dengan keras agar mempunyai
konsentrasi yang tinggi dalam belajar.
Abu Ahmadi mengemukakan sebab-sebab pelajar
atau mahasiswa tidak dapat berkonsentrasi, yaitu:
a. Kurang minat terhadap
pelajaran.
b. Banyak urusan-urusan lain yang mengganggu perhatian.
c. Adanya gangguan-gangguan
suara keras.
d. Adanya gangguan kesehatan
ataupun terlalu lelah.[34]
4. Susahnya melakukan
pengaturan waktu.
Seluruh kehidupan manusia pada hakikatnya
bergelut dalam dimensi waktu. manusia tidak hanya bergerak dalam lingkaran
waktu, tetapi juga bernafas dalam ruang lingkup waktu, karena manusia berada
dalam siklus waktu. Maka setiap aktifitasnya bermuda dan berkesudahan dalam
waktu.
Mahasiswa adalah manusia, maka mereka tidak
bisa menghindarkan diri dari masalah waktu. Mereka harus menggunakan rentangan
waktu yang dua puluh empat jam itu dengan sebaik-baiknya. Tanpa ada waktu yang
berlalu atau terbuang dengan sia-sia.
Masalah pengaturan waktu inilah yang menjadi
persoalan bagi pelajar maupun mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengeluh karena
tidak dapat membagi waktu dengan tepat dan baik. Akibatnya, waktu yang
seharusnya dimanfaatkan terbuang dengan percuma. Apalagi bagi mahasiswa yang
kuliah sambil bekerja, pengaturan waktu menjadi masalah terbesar bagi mereka.
Prestasi belajar yang diidam-idamkan untuk dicapai hanya tinggal harapan karena
tidak bisa mengatur pembagian waktu antara belajar dan bekerja. Sehingga pada
akhirnya akan membuahkan kekecewaan.
Persoalan bagi mahasiswa yang juga bekerja
tersebut dalam pembagian waktu adalah mana yang harus diprioritaskan, apakah
waktu untuk belajar ataukah waktu untuk bekerja. Jika mengutamakan pekerjaan
maka dampak terhadap studipun akan jelas buruk. Karena dalam dunia pendidikan
ada aturan bahwa semakin dewasa dan matang pikiran seorang pelajar atau
mahasiswa harus dapat belajar semakin lama. Dan juga untuk mempelajari mata
pelajaran yang semakin sulit otomatis pula semakin banyak waktu yang mereka
butuhkan untuk mempelajarinya. Tetapi bagaimana akan menghabiskan banyak waktu
untuk belajar, sedangkan waktu untuk bekerja juga harus disediakan. Apalagi
jika mahasiswa tersebut bekerja dibawah orang lain, maka ia harus mengikuti
jam/waktu yang telah ditentukan oleh majikannya.
Akhirnya orang yang pandai membagi dan
memanfaatkan waktu untuk kepentingan keberhasilan studi selama menuntut ilmu ,
dialah yang akan berhasil dan beruntung hari ini, esok dan mendatang.
[1]Safwan Nur, Ekonomi Pembangunan, (Surabaya: Gita
Remaja, 2001), hal. 4.
[2]N. A. Baiquni, dkk.,Indeks Al-Qur’an: Cara Mencari Ayat
Al-Qur’an, (Surabaya: Arbola, 1996), hal.51.
[3]Mohd. Yasin Abduh, Islam dan Etos Kerja, (Banda Aceh:
Proyek Bimbingan dan Dakwah Agama Islam, 1997), hal. 6.
[4]Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Libanon: Daar
Al-Fikr, t.t.), hal. 827.
[6]Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 654
[7]Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan,
hal. 88
[8]Yahya, dkk Mendidik Anak
yang Berprestasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 1.
[9]Widayatun, Mencari Siswa
yang Berprestasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999) hal. 110-111.
[10]Saiful Bahri, Perbandingan
Prestasi Belajar Siswa yang Berasal dari SMP dan MTsN dalam Bidang Studi
Matematika pada MAN Idi Rayeuk Aceh Timur, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry,
2003), hal. 20.
[11]Sumadi Suryabrata, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1972), hal. 252.
[12]Saiful Bahri, Perbandingan …, hal. 22.
[13]M. Ngalim Poerwanto, Psikologi
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1987), hal. 547.
[14]W.S. Winkel, Psikologi
Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 30.
[15]The Liang Gie, Cara Belajar
yang Efesien, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983), hal. 13.
[16]Kostro Partowirastro, Diagnosa
dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Jil. 2, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal.
34.
[17]M. Ngalim Poerwanto, Psikologi…,
hal. 547.
[18]Utami Munandar, Mengembangkan
Bakat dan Keaktifan Anak, (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 54.
[19]Sumadi Suryabrata, Pendidikan…, hal. 66.
[20]Sardiman A.M, Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru, (Jakarta:
Rajawali, 1985), hal. 85.
[23]Rosyitah N.K, dan Farida Poernomo, Teori-teori
Belajar, (Jakarta: Naslo, 1978), hal. 8.
[24]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Islam
Al-Qur'an, (Jakarta :
Madani Press, 2001), hal. 58.
[25]A. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
Choli Indonesia, 1982), hal. 26-27.
[26]Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga dan
Masyarakat, Jil. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 74.
[27]Umar Tirta Raharja, Pengantar
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 31.
[28]Sardiman A.M, Interaksi…,
(Jakarta: Rajawali, 1992), hal. 162.
[29]S. Nasution, Kurikulum dan
Pengajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 1989), hal. 5.
[30]Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung:
Tarsito, 1978), hal. 18.
[31]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 214
[32] Sarlito Sarwono Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Cet. III,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 85.
[34]Abu Ahmadi,
Teknik Belajar yang Efektif, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal.
25.