Kajian Teoritis Tentang Metode Mastery Learning
A. Kajian Teoritis Tentang Metode Mastery Learning
Landasan
konsep dan teori tentang mastery learning adalah pandangan tentang kemampuan
siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya
yaitu “Models of School Learning”. Yang dikutip oleh Achmad Sugandi
dalam bukunya teori pembelajaran manfaat model yang telah ditemukan Carroll ini
secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual yang garis besarnya
terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar di
sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan[1]. Di
sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat
dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut
banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam
hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui
banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk
memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.
Bakat atau
pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan
oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Waktu yang
diperlukan telah ditunjukkan dengan banyaknya waktu dari siswa yang akan
diperlukan secara aktif akan dipengaruhi dalam belajar (yaitu: ketekunan) dan
total waktu belajar yang dia perlukan. Waktu belajar masing-masing siswa yang
diberikan ditentukan oleh kecerdasannya, kualitas pembelajarannya, dan
kemampuannya untuk memahami pembelajaran.
Pada
pembelajaran yang menggunakan pendekatan belajar tuntas (mastery learning),
siswa-siswa yang mengalami kesulitan mencapai tujuan pembelajaran diberikan
pelajaran tambahan (remedial) agar mereka juga dapat berhasil melewati kajian
itu. Sedangkan bagi siswa yang berhasil tuntas menguasai kajian tersebut lebih
cepat dari siswa lain dapat diberikan program pengayaan (enrichment).
Satu hal penting yang harus diingat dalam penerapan pendekatan belajar ini
adalah: Penggunaan komunikasi yang tepat sangatlah penting. Maksudnya supaya
siswa yang lamban tidak merasa rendah diri karena memerlukan waktu yang lebih
banyak dan upaya yang lebih keras, dan siswa yang cepat menguasai suatu kajian
tidak menjadi tinggi hati.
Efek
pendekatan belajar tuntas (mastery learning) justru harus diarahkan oleh
guru sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri
siswa. Guru harus dapat meyakinkan bahwa seluruh siswa pasti bisa menguasai
suatu materi ajar, walaupun beberapa memerlukan alokasi waktu yang lebih banyak
dan upaya yang lebih keras[2].
Kebutuhan alokasi waktu yang berbeda-beda, dan upaya yang berbeda-beda oleh
masing-masing siswa merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan lumrah. Rasa
percaya diri akan muncul seiring penguasaan siswa lamban terhadap materi ajar.
Bila guru dapat mempertahankan hal ini dalam setiap pembelajarannya, maka
motivasi belajar intrinsik akan muncul secara perlahan dan segera memberikan
efek yang luar biasa bagi siswa tersebut dan bahkan seluruh kelas.
Pada
pendekatan belajar tuntas (mastery learning) guru harus lebih sering
memberikan umpan balik (feed back) kepada seluruh anggota kelas. Guru
harus memberikan informasi kepada siswanya tentang sejauh mana kemajuan
penguasaan mereka terhadap suatu kajian yang sedang dipelajari, juga
titik-titik kelemahan yang harus mereka perbaiki. Kejelasan informasi sedang
berada di titik mana kemampuan siswa sangat membantu siswa agar belajar dengan
lebih efektif dan efisien[3].
Bloom telah
mentransformasikan model konsep Mastery Learning ini ke dalam model
kerja yang efektif. Jika kecerdasan diprediksi dari dasar, dengan tidak
memperhitungkan tingkatan, seorang siswa dapat diberikan tugas yang dapat
digunakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan belajar[4].
Diharapkan siswa di beberapa level ketuntasan dan secara sistematis
memanipulasi variable pembelajaran di model Carroll sehingga semua atau bahkan
hampir semua siswa akan mencapai ketuntasan ini. Jika siswa didistribusikan
secara normal dengan respek pada kemampuan untuk suatu subyek dan jika mereka
telah diberikan pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama, maka
pencapaian pada ketuntasan masing-masing subyek akan didistribusikan secara
normal. Selanjutnya hubungan antara kecerdasan dan kemampuan akan menjadi
tinggi.
Tetapi, jika
siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas
optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan
level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai
ketuntasan. Secara singkat dijelaskan di sini, Bloom melaksanakan konsep Mastery
Learning ke dalam kelas melalui proses pembelajaran yang pelaksanaannya
sebagai berikut: 1) Membagi satuan pelajaran yang disediakan waktu belajar yang
tetap dan pasti, 2) Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat
penguasaan tujuan pendidikan yang essensial.[5]
Dari model
Carroll dan Bloom seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, untuk
lebih menggalakkan konsep Mastery Learning James H. Block mencoba
memampatkan waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran
dalam waktu yang tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin
kualitas pembelajaran. Jadi dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa: 1) Waktu
yang sebenarnya digunakan diusahakan diperpanjang semaksimal mungkin, 2) Waktu
yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan
pelayanan yang optimal dan tepat.[6]
Belajar
tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu
belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi
yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara
maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan
akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan
bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk
memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi
satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua
tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses
belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah
para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan
dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah
memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh
peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa
para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga
seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara
maksimal (belajar tuntas).
Strategi
belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal
berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap
bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic
progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran
berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai
dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling
terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui
pengajaran remedial (pengajaran korektif)[7].
Strategi
belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1)
mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil
belajar; dan (3) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan
“bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi: (1) Corrective
technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan
pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur
dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu
kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas)[8].
Di samping
implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak
diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai
hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware
maupun software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk
mengefektifkan proses belajar[9]. Mastery
Learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menganut azas ketuntasan
belajar. Ukuran yang digunakan pada pencapaian hasil belajar dengan pendekatan
tersebut adalah tingkat kemampuan siswa orang per orang, bukan per kelas.
Dengan demikian, siswa yang memiliki tingkat kecerdasan atau penguasaan
pengetahuan dan keterampilan di atas rata-rata kelas, yang bersangkutan berhak
memperoleh pengayaan materi atau melanjutkan ke unit kompetensi berikutnya.
Sebaliknya, apabila yang bersangkutan belum mampu mencapai standar kompetensi
yang diharapkan, maka siswa tersebut harus mengikuti program perbaikan (Remedial)
materi.
Metode
pembelajaran yang diterapkan pada pendidikan yang mengaplikasikan pendekatan mastery
learning adalah ”Learning by Doing” atau belajar sambil bekerja. Dengan
kata lain, pola pendidikan dengan pendekatan mastery learning menitikberatkan
pada kemampuan penguasaan siswa terhadap suatu kompetensi keahlian tertentu.
Pembelajaran
tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi
dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta
didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi
dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan
bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan
untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang
diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat
penguasaan kompetensi.
Para
pengembang konseb belajar tuntas mendasarkan pengembangan pengajarannya pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
Pertama, sebagian besar siswa dalam situasi dan kondisi belajar yang normal dapat
menguasai sebagian terbesar bahan yang diajarkan. Menurut konsep di luar
belajar tuntas, penyebaran siswa dalam kelas mengikuti kurva normal, yaitu
sebagian kecil siswa (sekitar 17%) menguasai sebagian kecil bahan ajaran,
sebagian besar siswa (sekitar 66%) menguasai sebagian besar bahan, dan sebagian
kecil lagi siswa (sekitar 17%) menguasai hampir seluruh bahan, menjadi tugas
guru untuk merancang pengajarannya sedemikian rupa sehingga sebagian besar siswa
dapat menguasai hampir seluruh bahan ajaran
Kedua, Guru menyusun strategi pengajaran tuntas mulai dengan merumuskan tujuan
khusus yang hendak dikuasai oleh siswa. Guru juga menetapakan tingkat
penguasaan yang harus dicapai siswa.
Ketiga, Sejalan dengan tujuan-tujuan khusus tersebut guru merinci bahan ajar
menjadi satuan-satuan bahan ajaran yang kecil yang medukung pencapaian
sekelompok tujuan tersebut. Berdasarkan tingkat penguasaan siswa dalam satuan
pelajaran tersebut, maka dapat pindah dari satu satuan pelajaran ke satuan
berikutnya.
Keempat, selain disediakan bahan ajaran untuk kegiatan belajar utama, juga
disusun bahan ajaran untuk kegiatan perbaikan dan pengayaan. Konsep belajar
tuntas sangat menekankan pentingnya peranan umpan balik.
Kelima, Penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma, tetapi
menggunakan acuan patokan. Acuan norma menggunakan pegangan penguasaan
rata-rata kelas, jadi bersifat relatif, sedang acuan patokan berpegang pada
sesuatu yang telah ditetapkan, umpamanya menguasai 80% atau 85% dari tujuan
belajar.
Keenam, Konsep belajar tuntas juga memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan
individual. Prinsip ini direalisasikan dengan memberikan keleluasaan waktu,
yaitu siswa yang pandai atau cepat belajar bisa maju lebih dahulu pada satuan
pelajaran berikutnya, sedang siswa yang lambat dapat menggunakan waktu lebih
banyak atau lama sampai menguasai secara tuntas bahan yang diberikan[10].
Konsep
belajar tuntas adalah dapat dilaksanakan dengan beberapa model pengajaran,
tetapi yang paling tepat adalah dengan model-model sistem instruksional seperti
pengajaran berprogram, pengajaran modul, paket belajar, model satuan pelajaran,
pengajaran dengan bantuan komputer dan sejenisnya. Model-model pengajaran
tersebut cocok untuk menerapkan konsep belajar tuntas, karena memiliki
dasar-dasar pemikiran yang sesuai. Bertolak dari konsep behaviorisme, berpegang
pada model pengajaran sebagai sistem atau sistem instruksional. Yang paling
penting adalah dapat diselenggarakan secara individual, sehingga hampir seluruh
prinsip belajar tuntas yang disebutkan di atas dapat dilaksanakan.
Dalam
pembelajaran tuntas, metode pembelajaran yang sangat ditekankan adalah pembelajaran
individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction) ,
dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode)
pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran
tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan tutorial dengan sesion-sesion
kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku
kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer
[4] Ibid., hal. 35.
[7] Abu
Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal. 45.