A. Kelebihan dan Kekurangan Metode Mastery Learning
Pembelajaran tuntas (mastery learning) menawarkan kemungkinan
yang mengasyikkan bagi yang akan menggunakan atau mempelajarinya. Guru akan
mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, pembelajaran tuntas (mastery
learning) memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk
mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery
learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa.[1]
Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru
untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning
yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa,
tidak hanya pada beberapa siswa. Kedua, strategi pembelajaran tuntas (mastery
learning) relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode
pembelajaran yang ada, bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua
siswa sehingga dapat menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi
pengembangan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan Mastery
pengatur kurikulum (administrator) dapat melakukan perubahan besar di
sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala distribusi pencapaian cenderung
naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing siswa diberi kemampuan,
perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya untuk menyelesaikan
suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari suatu belajar. Mereka
juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan memperoleh pengalaman
kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat kepercayaan dirinya dan
membentenginya melawan rasa minder.[2]
Manfaat pendekatan Pembelajaran tuntas (mastery learning) yang
lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, adalah: Pertama, mastery
learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa
semua dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut,
mastery learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan
tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya
dapat dicapai oleh sedikit siswa. Kedua, ketika direncanakan dengan
baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien.[3]
Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu
untuk memberi bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan
demikian siswa yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk
mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan.
Dalam rangka mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar,
pendekatan mastery menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan
perbaikan pembelajaran (corrective instruction), untuk siswa yang
terlalu lama memahami tujuan pembelajaran[4].
Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu
atau pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan
ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa. Perbaikan pembelajaran
dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar jam
pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam
setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika,
siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan
90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan
pembelajaran.
Pada perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang
berbeda tetapi tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama
pula secara obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada
tes lain pada unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah
kriteria belum tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai
akhirnya mereka berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan
akan diijinkan untuk melangkah pada unit selanjutnya.
Tetapi walaupun manfaat pembelajaran tuntas (mastery learning),
seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut tidaklah
sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari
pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu
pembelajaran terlalu beragam. Jika guru memberikan perbaikan dalam jam kelas,
maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan siswa
kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru telah
menghabiskan waktu lebih lama dengan siswa yang lamban, Sehingga bagi siswa
yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk menunggu
siswa lain yang belum memahami pelajaran.[5]
Memberikan perbaikan pembelajaran di luar jam kelas juga mempunyai
kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam kerja guru secara substansi,
tidak realistik pada peluang guru untuk menambah jam lembur mereka pada
substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak dipersembahkan guru mungkin
tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban cukup waktu ekstra untuk
mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru sepertinya tidak membuang waktu
mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk kelas tersebut, dan siswa-siswa yang
“lamban”pun tetap terangkum dalam bimbingan.[6]
Pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan belajar tuntas (mastery
learning), siswa-siswa yang mengalami kesulitan mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan akan mendapatkan pelajaran tambahan (remedial) agar
mereka juga bisa sukses melewati kajian itu. Sedangkan bagi siswa yang berhasil
tuntas menguasai kajian tersebut dapat diberikan program pengayaan (enrichment).[7]
Satu hal penting yang harus diingat dalam penerapan pendekatan belajar ini
adalah: Penggunaan komunikasi yang tepat memegang peranan sangat penting. Ini
berkaitan dengan upaya agar siswa yang lamban tidak merasa rendah diri, dan
siswa yang cepat menguasai suatu kajian tidak menjadi tinggi hati. Juga,
kemungkinan efek bahwa mengulang-ulang suatu kajian dan kebutuhan waktu yang
banyak untuk menguasai suatu materi ajar bagi siswa yang lamban sebagai sesuatu
yang memalukan harus dihindarkan. Efek pendekatan belajar tuntas (Mastery
Learning) justru harus dan dapat diarahkan oleh guru agar menumbuhkan rasa
percaya diri dalam diri siswa.[8]
Guru harus dapat meyakinkan bahwa semua siswa bisa menguasai suatu materi ajar,
walaupun beberapa memerlukan alokasi waktu yang lebih banyak dan upaya yang
lebih keras. Kebutuhan alokasi waktu yang berbeda-beda, dan upaya keras atau
mudah yang diperlukan masing-masing siswa adalah suatu hal yang sangat alamiah
dan lumrah.[9]
[3]
Piet A.Sahertion, Konsep Dasar dan teknik Supervisi pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 1.
[7] Ibid., hal. 19.
[9] Ibid., hal. 55.
0 Comments
Post a Comment