Kesehatan Jiwa Dalam Pendidikan
BAB III
Kesehatan Jiwa Dalam Pendidikan
A.
Patuh Terhadap Norma-norma Hukum Agama
Norma Agama adalah suatu norma yang berdasarkan ajaran aqidah suatu agama.
Norma ini bersifat mutlak yang mengharuskan ketaatan para penganutnya. Apabila
seseorang tidak memiliki iman dan keyakinan yang kuat, orang tersebut cenderung
melanggar norma-norma agama.[1]
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.[2]
Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab,
sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, Patokan
atau aturan.[3] Norma
mula-mula diartikan denga siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi
ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki.[4]
Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan
bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti
suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma dipakai secara
bersamaan oleh para sarjana Indonesia. Dalam bukunya “perihal kaidah hukum”,
Soerjono Soekanto dan Punardi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah
patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak
dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau pun
sikap tindak. Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang,
karena norma mengatur tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap
lingkugannya, atau juga dengan kata lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan
hidup manusia.
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh
lembaga-lembaga yang berwanang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat,
agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang
dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[5]
Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam
masyarakat tersebut, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa
kadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum Negara yang
kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan pendapat masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota atau warga masyar- Warga
Negara akat memiliki kepentingan. Selain ditemukan adanya persamaan kepentingan.
Sikap Menaati, kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari terdapat perbedaan Norma-Norma
kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dan yang lainnya. Tidak yang
Berlaku menutup kemungkinan adanya perbedaan kepentingan tersebut dapat dalam
Kehidupan menimbulkan perselisihan, bahkan kekacauan. Bagaimanakah manusia Bermasyarakat,
sebagai makhluk sosial yang memiliki berbagai kepentingan itu mampu menjaga
keteraturan dan ketertiban di masyarakatnya? Bagaimanakah Berbangsa, norma dan
hukum yang diciptakan masyarakat berperan mengatur kehidupan Bernegara, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Hukum adalah termasuk dalam system norma yang dinamik
(nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan
menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau
pembentuknya.[6] Hukum
itu sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang
membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.
Dinamika norma hukum yang vertical adalah dinamika yang berjenjang dari
atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical ini suatu
norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum
diatasnya, norma hukum yang berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma hukum di atasnya, demikian seterusnya samapai pada suatu norma hukum
yang menjadi dasar dari semua norma hukum dibawahnya. Begitu pula dinamika
norma hukum dari atas ke bawah.
Dinamika yang vertical ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum
yang ada di Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila
sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya
norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian juga norma-norma hukum yang
berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya
norma-norma hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR),
dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini menjadi Sumber dan dasar
bagi pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah.
Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak
kesamping. Dikatakan kesamping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan
suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa.[7]
Contohnya, dalam kasus tentang “perkosaan”, seorang hakim telah mengadakan
suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang “perusakan Barang”
sehingga terhadapa suatu “perkosaan”, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga
diberikan pembayaran ganti rugi.
Di dalam suatu masyarakat atau
kelompok memang dibutuhkan suatu aturan atau
norma tertentu. Agar supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka
diciptakanlah norma di daam masyarakat itu. Islam sebagai agama samawi
yang terakhir mempunyai moral Islam, yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah (khaliq), mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam
sekitar serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Sesuai dengan firman Allah
dibawah ini:
1.
Dalam Surat Ad-Dzariyat: 56, (tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk
menyembah (menghamba) kepada-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) الذاريات: ٥٦(
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.(Qs. Ad-Dzariyat: 56)
2. Dalam surat Al-Baqarah : 29-30 ( sebagai khalifah / wakil
Allah di bumi).
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي
الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ) البقرة: ٢٩-٣٠(
Artinya : Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala
sesuatu.. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.(Qs. Al-Baqarah
: 29-30)
3. Dalam surat Al-Qashash: 77 (Hidup baik di dunia adalah
untuk mencapai bahagia di akhirat).
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ) القصص: ٧٧(
Artinya: Dan carilah pada apa
yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Qs. Al-Qashas : 77)
Kehidupan setiap manusia tidak
terlepas dari ketiga tujuan utama hidup di dunia ini. Dan ketiga fungsi hidup
itu akan terlaksana dengan baik kepadanya telah didirikan moral Islam yang
tumbuh dengan baik sejak lahir ke dunia ini kalau tidak, maka dia akan menjadi
orang yang merugi di dunia, lebih di akhirat nanti. Sumber moral Islam adalah
al-Qur’an (yang seluruhnya berisikan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah SAW
sebagai contoh pelaksana). Islam mengajarkan beberapa cara untuk meletakkan
dasar-dasar moral, yaitu sejak lahir sampai umur 7-10 tahun. Diantaranya : Mengaazdankan dan
mengamatkan; Mendoakan; Shalat berjamaah dan membaca al-qur’an di rumah;
Meng’aqiqahkan si bayi, menggunting(mencukur) rambutnya dan memberi nama.[8]
Dalam pergaulan hidup di
masyarakat terdapat 4 macam norma atau kaidah, yaitu: Pertama, Norma
agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan
dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan. Contoh: tidak boleh minum-minuman
keras, berbuat maksiat, mengkonsumsi madat, dan lain-lain. Kedua, Norma
kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati nurani manusia
atau datang melalui suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai
pedoman dalam bersikap dan berbuat. Contoh: seorang anak durhaka terhadap
orangtuanya. Ketiga, Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul
dari pergaulan segolongan manusia yang diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang
mengatur tingkah laku manusia terhadap lingkungan sekitarnya (misalnya: orang
muda harus menghormati yang lebih tua). Keempat, Norma hukum, yaitu
peraturan-peraturan yang timbul dari hukum yang dibuat oleh penguasa negara
yang isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan
segala paksaan oleh alat-alat negara. Contoh: melakukan pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan, dan lain-lain.
Setiap manusia dibekali
kecenderungan yang terpolarisasi pada kutub berlawanan, yaitu berbuat baik atau
berbuat jahat, berakhlaq mulia atau tercela, mau bersyukur atau kufur. Setiap
siwa pada Madrasah Tsanawiyah termasuk dalam kelompok remaja. Sebagai masa
peralihan dari anak menjadi dewasa. Mereka mudah terpengaruh dari luar, masa
yang mudah terombang-ambing karena belum mempunyai pegangan kuat, masih mencari
identitas seperti apa yang mereka inginkan.
B.
Menghargai Orang Lain
Dalam kehidupan sosial, tingkah laku yang baik sangat penting dimiliki oleh
setiap individu, karena tingkah laku merupakan sumber kepercayaan atas diri
seseorang, bahkan tingkah laku turut berperan dalam menentukan kehormatan suatu
bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Anwar Masy'ari, bahwa "Sesungguhnya bangsa tergantung
moralnya, bila rusak moral, maka rusaklah bangsa itu."[9]
Agama memandang tingkah laku sebagai hal yang utama dalam
kehidupan manusia, sehingga salah satu tugas Rasulullah SAW diutuskan Allah ke
dunia ini adalah untuk memperbaiki tingkah laku manusia.
Sebagai muslim yang baik, kita tidak boleh melakukan perbuatan apapun yang
sifatnya merendahkan, mengejek dan menghina orang lain baik dari segi
kepribadiannya, karyanya, postur tubuhnya maupun keadaan sosialnya. Karena
penghinaan, celaan, apalai merendahkan akan memunculkan perasaan sakit hati dan
dendam. Oleh karena itu, setiap individu muslim hendaknya berusah sekuat
kemampuan unnutk menahan dari dari sikap yang membuat orang lain merasa
direndahkan. Manusia yang baik adalah mereka yang selalu memperhatikan dan
memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu atau lemah
disekitarnya. Dalam Al Qur’an surat Al Fath ayat 29, Allah SWT. Menjelaskan
sebagai berikut:
مُّحَمَّدٌ
رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ
وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ
شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً) الفتح: ٢٩(
Artinya: Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat
mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat
mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka
ampunan dan pahala yang besar.(Qs. Fath:29)
Ayat diatas menjelaskan bahwa Nabi diutus kepada semua umat manusia dalam
rangka memberi peringatan dan kabar gembira, menerangi kehidupan manusia yang
dulunya berada dalam kebodohan agar mereka tidak lagi berbuat sewenang-wenang
terhadap orang lain. Sebagai contoh, pada zaman jahiliyah, khusunya pada kaum
quraisy yang dianggap penguasa, sedangkan orang miskin dan lemah dianggap
sebagai budak. Hukum ketika itu bersifat ekslusif dan melindungi orang-orang
tertentu saja sehingga orang-orang kuat menindas orang-orang lemah.
Allah mengutus rasulullah SAW untuk mengembalikan hak-hak dan martabat
m,anusia yang rusak. Rasulullah memulai kembali dengan menata perilaku seluruh
umatnya yang selama ini terjebak dalam kejahiliyahan dan mengangkat derajat
mereka sebagai manusia yang mulia.[10]
Orang-orang yang kuat selalu diarahkan untuk berlemah lembut dan mengasihi
orang yang lemah, membantu dan melindungi mereka. Manusia dianggap sama
keberadaanya di hadapan Allah yang membedakannya hanyalah ketakwaanya. Dengan
demikian, kita sebagai generasi penerus muslim hendaknya turut mengasah
kepekaan terhadap orang yang lemah atau duafa dengan mengikuti sifat kasih
sayang dan lemah lembut yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW.
Sehubungan dengan itu, Rasulullah SAW
sendiri pernah mengungkapkan dalam haditsnya sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرة رَضى الله عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إنمابعثت لأ تمم
احسنالأخلاق (رواه ملك)[11]
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW, bahwasanya aku
diutus ke atas permukaan bumi ini untuk memperbaiki akhlak (manusia). (H.R. Malik).
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT
ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak manusia, merubah sikap dari kekufuran
menjadi tauhid. Usaha-usaha untuk mengadakan revolusi dunia. Orang menyebutnya
tokoh revolusi karena mampu membuat perubahan manusia bukan hanya aqidah saja,
tetapi sekaligus merubah sikap di bidang-bidang lain seperti politik, sosial,
adat istiadat, budaya, agama, ekonomi, dan lain-lain.
Keberhasilan Rasulullah SAW, mengadakan
revolusi akhlak dalam waktu singkat ini dilatarbelakangi oleh diri pribadinya
yang berbudi pekerti luhur. Sejak kecil dia sudah memiliki akhlak yang mulia bahkan
disenangi oleh kawan dan disegani oleh lawannya. Dengan keluhuran budi pekerti
tersebut menyebabkan beliau diangkat menjadi utusan-Nya, sehingga timbullah
pertentangan dari sebahagian masyarakat terutama ahli-ahli agama lama dan
tokoh-tokoh politik, semua ini terjadi
karena kekhawatiran mereka terhadap pangkat dan kedudukannya dalam
masyarakat nanti.
Namun demikian, sikap Rasulullah SAW
tidak berubah, tetap menegakkan agama Allah SWT kendatipun terpaksa melawan
arus yaitu tokoh-tokoh arab dan ahli politik. Sikap tegas demikian merupakan
kriteria pribadinya. Firdaus An menulis: “Muhammad Rasulullah SAW telah diberi
oleh Allah SWT karunia yang besar berupa sifat-sifat utama yang merupakan
tabi’at atau watak kepribadian yang agung senantiasa memancarkan dalam diri
pribadi beliau yang mulia dan suci”.[12]
Berdasarkan pernyataan hadits di atas,
maka tujuan utama diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini adalah untuk
menyempurnakan, membimbing dan mengarahkan manusia kepada akhlak yang mulia di
samping pembinaan tauhid dan hukum-hukum syari’at.
Maka
kedudukan tingkah laku dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting
sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bagusnya
sebuah banggsa tergantung kepada tingkah laku masyarakat, bila tingkah laku
suatu bangsa itu baik, maka baik pula bangsa tersebut, begitu pula sebaliknya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Rahmat Djatnika, mengemukakan bahwa.
Seseorang
yang bertingkah laku yang baik, selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
memberikan hal yang harus diberikan kepada yang berhak. Perbuatan ini dilakukan
dengan memenuhi kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhannya, sesama
manusia dan makhluk-makhluk lainnya selain manusia.[13]
Tingkah
laku Islam sangat mengutamakan akhlaqul qarimah, yaitu tingkah laku yang
sesuai dengan tuntunan Syari'at Islam. Dalam konsepsi Islam tingkah laku juga
dapat diartikan sebagai suatu istilah yang mencakup hubungan vertikal antara
manusia dengan Allah, dan hubungan horizontal, yaitu antara sesama manusia. Hal
ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Anwar Masy'ari, bahwa "hubungan
manusia dengan dirinya sendirinya, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya."[14]
Islam sangat menganjurkan umatnya agar saling menghargai satu sama lain.
Sikap menghargai terhadap orang lain tentu didasari oleh jiwa yang santun atau
al hilmu yang dapat menumbuhkan sikap menghargai orang di luar dirinya.
Kemampuan tersebut harus dilatih terlebih dahulu untuk mendidik jiwa manusia
sehingga mampu bersikap penyantun. Seperti contoh, ketika bersama-sama
menghadapi persoalan tertentu, seseorang harus berusaha saling memberi dan
menerima saran, pendapat atau nasehat dari orang lain yang pada awalnya pasti
akan terasa sulit. Sikap dan perilaku ini akan terwujud bila pribadi seseorang
telah mapu menekan ego pribadinya melalui pembiasaan dan pengasahan rasa empati
melaui pendidikan akhlak.
Allah SWT. Berfirman dalam surat Al Insyirah ayat 5-7 sebagai berikut:
وَأَذِنَتْ
لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ, يَا
أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحاً فَمُلَاقِيهِ, فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ) الإنشقاق: ٥ -٧(
Artinya: Berdasarkan
kutipan di atas dapat dipahami bahwa tingkah laku Islam mempunyai banyak
dimensi yang mengatur pola hubungan tidak hanya sesama manusia saja, akan
tetapi dengan sang khaliq dan alam sekitar.(Qs. Al Insyirah: 5-7)
C.
Berperilaku yang Agamis
Secara sederhana perilaku agamis dapat
dimaknai sebagai sebuahtindakan yang seharusnya dapat dicontoh tentang kebaikan
dan kebenarannya namun secara lebih terperinci, perilaku sendiri merupakan
ekspresi sikap seseorang[15].
Sikap itu
sudah terbentuk dalam diri karena berbagai tekanan atau hambatan dari luar atau dalam
dirinya. Artinya, potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam diri akan muncul
berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap.
Akan tetapi, menurut Bohar Soeharto,
perilaku adalah sebagai hasilproses belajar. Dalam proses belajar itu terjadi
interaksi antara individu dandunia sekitarnya. Sebagai hasil interaksi maka
jawaban yang terlihat dariseorang individu akan dipengaruhi oleh hal-hal atau
kejadian-kejadian yangpernah dialami oleh individu tersebut maupun oleh situasi
masa kini. Kemudian, teladan sendiri memiliki makna layak diikuti dan
ditiru.Hal ini tentunya sesuai dengan nilai- nilai moral-agamis. Dengan
demikian,pengertian perilaku agamis adalah sikap dan aktivitas manusia yang selarasdengan
nilai- nilai moral kebajikan dan jauh dari nilai-nilai kejahatan.
Pada dasarnya, prilaku teladan
memiliki makna yang senada denganmoral Islami, akhlak al-karimah dan Insan
kamil. Sehingga dengan demikian perilaku teladan memiliki pengertian
yang lebih luas. Hal ini sebagaimana pengertian perilaku agamis adalah selaras dengan pengertian moralitas Islami yaitu:
dorongan batin yang menuntut pembebasan jiwa dari beban batin karena dosa dan
tindakan keji yang bertentangan dengan perintah Illahi[16].
Atas dorongan batin inilah, manusia dengan fitrahnya merasa wajib untuk berbuat kebajikan, baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk
sesamanya. Begitupun juga,
menurut Saparinah Sadli, prilaku agamis ini adalah manusia yang dalam hidupnya
senantiasa beramal shaleh (berbuat baik),yang didasari dengan iman kepada Allah
yang mewujud dalam sikap takwa[17].
Menurut
Sondang Siagian prilaku adalah cara seseorang berintegrasi dengan orang lain,
dalam kehidupan organisasional.[18]
Menurut Rivai, Vaithzal bahwa prilaku adalah hasil saling berhubungan antara
karakteristik pribadi dengan lingkungan.[19] Prilaku seseorang lebih merupakan
hasil peran yang kita mainkan pada saat tertentu dan bukan bagian dalam “diri”
yang terkait. Kita menyesuaikan perilaku tidak hanya peran, tetapi juga pada
masing-masing individu, dengan mengatur kata-kata dan tindakan kita untuk
membuat kesan tertentu bagi siapa saja yang kita ajak bicara.
Dalam teori psikodinamika menjelaskan
tingkah laku manusia sebagai hasil tenaga yang beroprasi di dalam pikiran,
kerap kali tanpa disadari individu, jika pada mulanya pandangan seseorang
tentang perilaku orang lain didasarkan pada intuisi dan bukan fakta, berkat
studi keprilakuan kini dimungkinkan memahami prilaku seseorang sedemikian rupa
sehingga prilaku tertentu dapat dijelaskan dan dapat diduga sebelumnya.
Perilaku seseorang sesungguhnya tidak
timbul secara acak artinya seseorang berperilaku tertentu sebagai akibat adanya
keyakinan dalam diri orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui apa yang
dipandang penting atau tidak penting oleh seseorang, prilaku orang ini akan
lebih mudah diduga atau diperkirakan. Perilaku merupakan hasil saling
berhubungan antara karakteristik pribadi dengan lingkungan. Perilaku manusia
itu banyak dilalui dengan kondisi ketidaksadarannya dari pada kesadarannya. Berperilaku sangat ditentukan oleh
dorongan / hasrat / motivasi untuk mencapai keunggulan.
Agama didefinisikan sebagai seperangkat
atauran dan peraturan yang mengatur hubungan mengatur hubungan manusia dengan
dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama
mempunyai penganut-penganut yang percaya pada kebenaran-kebenaran yang dibawa
oleh agama. Kehidupan manusia akan diatur sesuai dengan apa yang diperintahkan
dan dilarang oleh agama.[20]
Dalam hal ini agama sangat mempengaruhi manusia untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Agama menjadi sebuah ikon bagi masyarakat untuk
diikuti dan dituruti segala yang diperintahkan. Sehingga sering terjadi
fenomena khususnya di Indonesia, bahwa segala bentuk tindakan, organisasi, dll
yang dilatarbelakangi agama akan mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat
khususnya masyarakat agama baik dibidang sosial, budaya, ekonomi, maupun
politik.
[1] Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah
Mawaddah Warahmah, (Surabaya: Terbit Terang, 2002) ,hal. 95-99.
[3] Ibid., hal. 74.
[4] Ibid.,
[7]http://www.edukasi.net/index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20Pokok/view&id=148&uniq=all. Diakses tanggal 18 Agustus 2010.
[9]Anwar Masy'ari, Butir-butir Problematika
Dakwah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 87.
[10]http://hbis.wordpress.com/2007/11/27/tata-krama-dan-mengharagai-orang-lain/.
Diakses pada tanggal 25 Jul 2011.
[12] Firdaus An, Detik-detik Terakhir Rasulullah SAW, (Jakarta: Yayasan
Al-Amin, 1984), Cet. VI, hal. 17.
[13]Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1996), hal. 11.
[15]
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2195059-pengertian-perilaku-teladan/
Diakses pada tanggal 30 Agustus 2011.
[16]
Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),
hal.94.
[17]
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hal. 35.
[19]
Rivai, Vaithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 25.
[20]
http://perspektifmalik.blogspot.com/2009/10/agama-dan-perilaku-politik.html. Diakses
pada tanggal 10 Januari 2009.