Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kesehatan Mental dalam Perspektif Alquran


BAB III

PERKEMBANGAN MENTAL MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

A.    Kesehatan Mental dalam Perspektif Alquran
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli mental tentang kesehatan mental, misalnya teori psikoanalisis, behavioris dan humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial. Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika). Sedangkan sebagai makhluk multi potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya yang dalam islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah agama. Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama ada kebuutuhan-kebutuhan mental manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dla memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative.
Menurut Achmad Mubarok, kesehatan mental dapat disimpulkan sebagai “akhlak yang mulia”. Oleh sebab itu, kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan mental yang menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak yang mulia”[1]. kesehatan mental menurut Islam yaitu, “identik dengan ibadah atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agama-Nya untuk mendapatkan Al-nafs Al-muthmainnah (mental yang tenang dan bahagia) dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya”[2].
Sedangkan Thohari Musnamar kesehatan menurut Islam menemukan dua pola dalam mendefenisikan kesehatan mental: “Pertama, Pola negatif (salaby), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari  neurosis (al-amhradh al-’ashabiyah) dan psikosis (al-amhradh al-dzihaniyah). Kedua, Pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosial”[3].
Islam sebagai suatu agama yang bertujuan untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sudah barang tentu dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan mental[4]. Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan mental dan akhlak. Di dalam Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan mental sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya:   Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (mental) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali-Imran: 164).

Dengan kejelasan ayat Alquran diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad Saw diangkat jadi rasul Allah Swt, karena asas, cirri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini Alquran berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan mental manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya sebagai mana yang ditegaskan dalam ayat Alquran berikut:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) آل عمران: ١٠٤(
Artinya:   Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali Imran: 104).

Ayat Alquran di atas menjelaskan bahwa Allah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang mengajak kepada kebaikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kapada yang mungkar. Keimanan,katqwaan,amal saleh,berbuat yang makruf, dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar faktor yang penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Al-Fath ayat 4 sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً مَّعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً) الفتح: ٤(
Artinya:   Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Fath: 4).

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mensifati diriNya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan mental ke dalam hati orang yang beriman. Dalam Alquran surat Al-Isra ayat 9 Allah Swt juga menjelaskan sebagai berikut:
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) الإسراء: ٩(
Artinya:   Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu´min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Qs. Al-Isra: 9).

Dan dalam Alquran surat Al-Isra ayat 82 Allah Swt. Juga berfirman sebagai berikut:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً) الإسراء: ٨٢(

Artinya:  Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Qs. Al-Isra: 82).

            Juga firman Allah yang terdapat dalam surat Yunus ayat 57 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ) يونس: ٥٧(
Artinya:   Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit- penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Qs. Yunus: 57).

Berdasarkan kejelasan keterangan ayat-ayat Alquran diatas, maka dapat dikatakan bahwa semua misi dan tujuan dari ajaran Alquran (Islam) yang berintikan kepada akidah, ibadah, syariat, akhlak dan muamalata adalah bertujuan dan berperan bagi pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berbahagia. Islam memiliki konsep tersendiri dan khas tentang kesehatan mental. Pandangan islam tentang kesehatan mental berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran falsafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Berdasarkan pemikiran diatas maka setidak-tidaknya ada enam prinsip keagamaan dan pemikiran filsafat yang mendasari konsep dan pemahaman Islam tentang kesehatan mental yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Prinsip dan filsafat tentang maksud dan tujuan manusia dan alam jagad dijadikan oleh Allah Swt. Diantara maksud dan tujuan manusia dijadikan Allah adalah untuk beribadah dan menjadi khalifah di bumi. Kedua, Prinsip dan filsafat tentang keadaan sifat Allah dan hubungannya dengan sifat manusia. Dalam keyakinan Islam Allah Swt memiliki sifat dan nama-nama yang agung, yakni asmaul husna yang jumlahnya ada 99 nama atau sifat. Ketiga, Prinsip dan filsafat tentang keadaan amanah dan fungsi manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di bumi. Manusia dijadikan Allah berfungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah Allah membekali manusia dengan dua kualitas (kemampuan), yakni ibadah dan siyadah atau imtak dan ipteks, agar manusia itu berhasil dalam mengelola bumi. Keempat, Prinsip dan filsafat tentang perjanjian (mistaq) antara manusia dan Allah sewaktu manusia masih berada dalam kandungan ibunya masing-masing. Allah menjadikan manusia dalam bentuk kejadian yang sebaik-baiknya, dan kemudian menyempurnakan kejadian dengan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya (basyar), sehingga membuat para malaikat menaruh hormat yang tinggi kepada manusia. Kelima, Prinsip dan filsafat tentang manusia dan pendidikannya. Manusia dalam pandangan islam adalah makhluk multidimensional dan multipotensial. Keenam, Prinsip dan filsafat tentang hakikat manusia Dalam pandangan islam hakikat dari manusia itu adalah mentalnya, karena mental itu berasal dari Tuhan dan menjadi sumber kehidupan[5].

Berdasarkan pandangan dan pemikiran diatas, maka dapat dikemukakan pengertian kesehatan mental/mental dalam Islam sebagai berikut. Kesehatan mental menurut Islam tidak lain adalah “ibadah yang amat luas atau pengembangan dimensi dan potensi yang dimiliki manusia dalam dirinya dalam rangka pengabdian kepada Allah yang diikuti dengan perasaan amanah, tanggung jawab serta kepatuhan dan ketaatan kepada Allah dan ajaran agama-Nya, sehingga dengan demikian terwujud nafsu muthmainnah atau mental sakinah”[6].
B.    Hakikat Kesehatan Mental dan Pendidikan                             
1.     Hakikat Kesehatan Mental
Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh masyarakat luas.[7] Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.
Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kementalan.[8] Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit mental saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup:
1)     Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan baik,
2)     Pertumbuhan dan perkembangan serta perwujudan diri yang baik,
3)     Keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan,
4)     Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas,
5)     Persepsi mengenai realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial, dan
6)     kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan.[9]

Sementara Goble, mengutip dari Hasan Lamgulung, mendefinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. “Sepintas lalu kedua pengertian di atas terkesan sudah komprehensif dan utuh, namun setelah diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan, terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam”.[10] Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni. “Psikologi sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional. Psikologi, sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional, dan biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik, obyektif, dan kuantitatif”.[11]
Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Mental di IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" mengemukakan lima buah rumusan kesehatan mental yang lazim dianut para ahli:[12]
Pertama, kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan mental (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit mental (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran mental) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya. Kedua, kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Ketiga, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi mental, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi mental seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat raguragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin. Keempat, kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit mental.   Kelima, kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh antara fungsi-fungsi kementalan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah:
Terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kementalan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi mental (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang adapadanya seoptimal mungkin.[13]

Menurut Jalaluddin, kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C. Witherington menambahkan, “permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama”.[14]
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.
Dalam Islam pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kementalan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. “Sikap dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang”[15].  Kesan demikian pasti mentalnya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah Swt dalam Alquran surat Ar-Ra’du ayat 11 sebagai berikut:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ) الرعد: ١١(
Artinya:   Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Qs. Ar-Rad:11)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya. Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah Swt itu harus sesuai dan berdasarkan Alquran dan Alhadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
2.     Hakikat Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata “didikyang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie, yang berarti bimbingan kepada anak didik. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan kata Tarbiyah yang berarti pendidikan.[16]
            Pendidikan berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awal mesehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberikan latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.  Pengertian pendidikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan menusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
            Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberikan peningkatan, dan mengembangkan. Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.[17] Jadi yang dimaksud dengan Pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam usaha perkembangan  jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan dan seterusnya ke arah terbentuknya kepribadian muslim.
Pendidikan dalam arti sempit, ialah bimbingan yang diberikan kepada anak didik sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya, sampai terbentuknya kepribadian muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya. Sebenarnya kedua jenis pendidikan ini (arti sempit atau arti luas) satu adanya.[18]
Sedangkan menurut undang-undang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[19]

Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[20] Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim”.[21] Azyumardi Azra berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.[22] 
Menurut Abuddin Nata:
Hakikat pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja, seperti segi akidah, ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya, bahkan lebih luas dari pada itu semua. Dengan kata lain pendidikan Islam memiliki perhatian yang lebih luas dari ketiga aspek tersebut. Hal ini menjadi titik tekan bagi Zakiah Daradjat, karena baik pendidikan Nasional maupun pendidikan Islam pada umumnya hanya memfokuskan pada salah satu aspek saja[23].

Dalam hidup ini manusia tidak bisa terlepas dari pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan Agama, karena pendidikan itu sangat dibutuhkan dan menjadi perhatian orang dimana saja. Dalam pengertian yang luas pendidikan dapat diartikan "sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan."[24]
Pendidikan dapat membawa pembaharuan kondisi hidup manusia lebih baik dari pada sebelumnya. Dengan demikian kita bisa mengangkat nama baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini sudah menjadi tugas dan kewajiban masyarakat, bangsa dan Negara untuk melihat kelangsungan pendidikan itu sendiri demi terwujudnya bangsa yang terhormat.[25]
Meskipun pendidikan merupakan fenomena dan usaha manusiawi yang pasti terselenggara dimana pun manusia berada, namun fenomena dan usaha pendidikan memegang peranan sentral dalam perkembangan individu dan umat manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pendidikan perlu didasarkan atas pemikiran yang matang, baik pikiran yang bersifat teoritis maupun yang mengarah kepada pertimbangan praktis dalam rangka mencapai hasil perkembangan dan pembudayaan manusia secara maksimal.
Pada dasarnya istilah pendidikan tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga sampai saat ini belum ada keseragaman pengertian atau definisi pendidikan yang diberikan para ahli. Masing-masing ahli pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh pola pikirnya masing-masing dalam memberikan pengertian pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa "pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, dan ajaran tersebut didasarkan pada Alquran dan hadits."[26]
Pendidikan merupakan kehidupan manusia itu sendiri dan menjadi tuntunan hidupnya, apabila hasil yang diperoleh dalam kehidupannya adalah produk pendidikan. Secara filosofis bahwa di dalam pendidikan itu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya. Bahkan dikatakan pendidikan itu mewariskan nilai-nilai kepada generasi. Di sinilah pentingnya kelestarian, nilai dalam pendidikan sangat diutamakan. Pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus tidak akan sampai kepada suatu tujuan pendidikan bila tidak didasarkan kepada falsafah hidup dan sumber pedoman  kehidupan.
            Berkenaan dengan masalah tersebut di atas Wens Tainlain mengemukakan bahwa "Istilah paedagogigiek (ilmu pendidikan) berasal dari kata yunani “pedagogues” dan dalam bahasa latin pedagogues yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak kesekolah serta menjaga anak itu agar ia bertingkah laku susila dan disiplin"[27].
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
C.    Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Pendidikan    
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah untuk beribadah kepada-Nya. Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud.[28] Pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah Swt. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.[29]
Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi, situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segenap permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum. Dalam hal pendidikan Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia memiliki potensi luhur, yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi umum (Barat).
Berdasarkan uraian diatas, maka sudah selayaknya dalam pendidikan Islam memiliki landasan psikologis yang berwawasan kepada Islam, dalam hal ini  dengan berpandu kepada Alquran dan hadits sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat. Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk menyebutkan psikologi yang berwawasan kepada Islam. Diantara para psikolog ada yang menyebut dengan istilah psikologi Islam, psikologi al-Qur’an, psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi. Namun pada dasarnya semua istilah tersebut memiliki makna yang sama.
Dalam Alquran, ada beberapa kata kunci yang berbicara mengenai psikologi yaitu al-nafs, al-qalb, al-aql, al-ruh, dan fitrah. Dari analisa terhadap kosa kata tersebut, secara metode tafsir maudhu’i atau tematik akan diformulasikan sejumlah konsep-konsep psikologi dari Alquran, selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menyusun paradigma teori psikologi Islami.[30]
Kesehatan mental dalam Islam merupakan sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subjek dan objek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga bentuk: Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan pemikiran serta Islam sebagai praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki kebenaran normatif, yaitu benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang dan waktu. Islam sebagai pemahaman dan praktek, selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua adalah fondasi awal untuk melakukan gagasan aktulisasi psikologi Islami.
Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah “Usaha secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan si anak ke kedewasaan, yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moral dari segala perbuatannya” Orang dewasa itu adalah “orang tua si anak atau orang yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik, misalnya saja guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan kepala-kepala asrama dan sebagainya”.[31] “Pendidikan” dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah  al-tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan al-riyadah.” Setiap terminologi tersebut mempunyai makna yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya”.[32]
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha maksimal untuk menentukan kepribadian anak didik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam Alquran dan Sunnah. Usaha tersebut senantiasa harus dilakukan melalui bimbingan, asuhan dan didikan, dan sekaligus pengembangan potensi manusia untuk meningkatkan kualitas intelektual  dan moral yang berpedoman pada syariat Islam.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1)     Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti: susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua sifat dasar. “Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia”.[33]
2)     Aspek Nafsiah
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb. Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, “seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu: daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah)”.[34]
Dimensi akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada diri manusia.
Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.
3)     Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.[35]
Dari penjabaran diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual, transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
D.    Manfaat Kesehatan Mental                                                       
Manusia dalam melakukan hubungan dan interaksi dengan lingkungannya baik materiil maupun sosial, semua itu tidak keluar dari tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang tersebut tidak dapat atau tidak bias menyesuaikan diri dikatakan  ksehatan mentalnya terganggu atau diragukan.[36] Contoh penyesuaian diri yang wajar tersebut adalah seseorang yang menghindarkan dirinya dari situasi yang membahayakan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri yang tidak wajar misalnya seseorang yang takut terhadap binatang yang biasa seperti kucing, kelinci dan sebangsanya. Dari dua contoh tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa orang yang bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar dikatakan sehat mentalnya dan orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar, menunjukkan penyimpangan dari kesehatan mentalnya.
Kesehatan jasmani adalah keserasian yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan, disamping secara positif merasa gesit, kuat dan semangat. “Kesehatan mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting karena menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia”.[37] Tanpa kesehatan yang baik orang tidak akan mungkin mendapatkan kebahagian dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.  Kenapa hal itu bisa terjadi.  Jawabannya karena kesehatan mental tersebut menyangkut segala aspek kehidupan yang menyelimuti manusia mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sosial, politik, agama serta sampai pada bidang pekerjaaan dan profesi hidup manusia. Kehidupan mewah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan menjamin kebahagian manusia. Hal itu karena yang bisa menjamin kebahagian manusia tersebut adalah kementalan, kesehatan dan keberagamaan yang dimiliki manusia. Tiga faktor tersebut sangat sejalan sekali dalam mencapai kebahagian hidup manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian yang harus dicapai itu tidak hanya kebahagian didunia melainkan juga kebahagian diakhirat kelak.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli mental tentang kesehatan mental, misalnya teori psikoanalisis, behavioris dan humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial. “Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika)”.[38]
Sedangkan sebagai makhluk multi potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya yang dalam islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah agama. “Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama ada kebuutuhan-kebutuhan mental manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dalam memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative”.[39]
Di dalam Alquran sebagai dasar dan sumber ajaran islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan mental sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya:   Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka                                 seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (mental) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali Imran: 164)

Dengan kejelasan ayat Alquran dan hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad Saw diangkat jadi Rasul Allah Swt, karena asas, cirri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini Alquran berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan mental manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya.





[1]Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Mental dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 13.
[2] Ibid., hal. 14.

[3] Thohari Musnamar, et al, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UIIPress, 1992), hal. XIII.

[4] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan, (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 1999), hal. 24.
[5] Musthafa Fahmi, Kesehatan Mental dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1, alih Bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 20-21.

[6] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 154.

[7] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.

[8] Ibid, hal. 5.

[9] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1986), hal. 9.

[10] Ibid, hal. 20.

[11] Ibid, hal. 10.

[12] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 11-12.
[13] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 9.

[14] Jalaluddin, Psikologi Agama,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 154.

[15] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), hal. 150.
[16]Ramayulis, Ilmu ..., hal. 1.

[17] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), hal. 256.

[18] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma.rif 2000), hal. 31-32.

[19]UU Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Focus Media, 2003), hal. 3.

[20] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1989) hal.
19.

[21] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media, 1992), hal. 14.

[22] Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hal. 3.

[23] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 233.

[24]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. VIII, (Jakarta: Rosda Karya, 2003), 10.

[25] Ibid., hal. 12.

[26]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif  Islam, Cet.VI, (Bandung: Rosda Karya, 2004), hal. 13.
[27]Wens Tainlain, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta:  Obor 1992), hal. 5.

[28] Erich Fromm, Psikoanalisis dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1988), hal. 6.

[29] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.
[30] Daradjat, Kesehatan..., hal. 21.
[31] H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 3.

[32] Ibid, hal. 4.
[33] Musthafa Fahmi, al-Insân wa Shihhah al-Nafsiyyah (Kairo: Maktabat Misr, 1965), hal. 14.
[34] Ibid, hal. 16.
[35] Ibid, hal. 17.

[36] Al-Razi, Pengobatan Ruhani, Terj. MS. Nasrullah dan Hilman, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 20.

[37] Ibid, hal. 22.

[38] Hadziq , Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Pustaka Rasail, 2005), hal. 27.

[39] Ibid, hal. 29.