BAB III
PERKEMBANGAN MENTAL MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
A.
Kesehatan Mental
dalam Perspektif Alquran
Banyak teori yang
dikemukan oleh ahli mental tentang kesehatan mental, misalnya teori
psikoanalisis, behavioris dan humamisme. Sungguhpun demikian
teori tersebut memiliki batasan-batasan dan tidak menyentuh seluruh dimensi
(aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional
dan multipotensial. Manusia sebagai makhluk multidimensional
setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal,
dan seni (estetika). Sedangkan sebagai makhluk multi potensial manusia
memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya yang
dalam islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah agama. Agama
adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama ada
kebuutuhan-kebutuhan mental manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dla
memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan
kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative.
Menurut Achmad Mubarok,
kesehatan mental dapat disimpulkan sebagai “akhlak yang mulia”. Oleh sebab itu,
kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan mental yang menyebabkan merasa
rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak yang mulia”[1]. kesehatan
mental menurut Islam yaitu, “identik dengan ibadah atau pengembangan potensi
diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agama-Nya
untuk mendapatkan Al-nafs Al-muthmainnah (mental yang tenang dan bahagia)
dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya”[2].
Sedangkan Thohari Musnamar
kesehatan menurut Islam menemukan dua pola dalam mendefenisikan kesehatan
mental: “Pertama, Pola negatif (salaby), bahwa kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari neurosis (al-amhradh
al-’ashabiyah) dan psikosis (al-amhradh al-dzihaniyah). Kedua,
Pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu
dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosial”[3].
Islam sebagai suatu agama
yang bertujuan untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, sudah barang tentu dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan
mental[4]. Begitu
juga dengan kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah bertujuan untuk mendidik dan
memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan mental dan akhlak. Di dalam
Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang
berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan mental sebagai hal yang prinsipil
dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ
رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya: Sungguh Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka
seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (mental) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka
adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali-Imran: 164).
Dengan kejelasan ayat Alquran
diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam
arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad Saw diangkat jadi rasul
Allah Swt, karena asas, cirri, karakteristik dan sifat dari orang yang
bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal
ini Alquran berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran)
bagi kehidupan mental manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan
kualitasnya sebagai mana yang ditegaskan dalam ayat Alquran berikut:
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
آل عمران: ١٠٤(
Artinya: Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali
Imran: 104).
Ayat Alquran di atas
menjelaskan bahwa Allah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang mengajak
kepada kebaikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kapada yang mungkar.
Keimanan,katqwaan,amal saleh,berbuat yang makruf, dan menjauhi perbuatan keji
dan mungkar faktor yang penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Al-Fath ayat 4 sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي
أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً مَّعَ
إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيماً حَكِيماً) الفتح: ٤(
Artinya: Dia-lah yang telah
menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka
bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah
tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Qs. Al-Fath: 4).
Ayat di atas menerangkan
bahwa Allah mensifati diriNya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan
Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan mental ke dalam hati orang yang
beriman. Dalam Alquran surat Al-Isra ayat 9 Allah Swt juga menjelaskan sebagai
berikut:
إِنَّ هَـذَا
الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً)
الإسراء: ٩(
Artinya: Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mu´min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar. (Qs. Al-Isra: 9).
Dan dalam Alquran surat
Al-Isra ayat 82 Allah Swt. Juga berfirman sebagai berikut:
وَنُنَزِّلُ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً)
الإسراء: ٨٢(
Artinya: Dan Kami turunkan dari Al
Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan
Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
(Qs. Al-Isra: 82).
Juga firman Allah yang terdapat dalam surat Yunus ayat 57
sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ) يونس:
٥٧(
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya
telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit- penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman. (Qs. Yunus: 57).
Berdasarkan kejelasan
keterangan ayat-ayat Alquran diatas, maka dapat dikatakan bahwa semua misi dan
tujuan dari ajaran Alquran (Islam) yang berintikan kepada akidah, ibadah,
syariat, akhlak dan muamalata adalah bertujuan dan berperan bagi pembinaan dan
pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berbahagia. Islam
memiliki konsep tersendiri dan khas tentang kesehatan mental. Pandangan islam
tentang kesehatan mental berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran
falsafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Berdasarkan pemikiran
diatas maka setidak-tidaknya ada enam prinsip keagamaan dan pemikiran filsafat
yang mendasari konsep dan pemahaman Islam tentang kesehatan mental yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Prinsip dan filsafat
tentang maksud dan tujuan manusia dan alam jagad dijadikan oleh Allah Swt.
Diantara maksud dan tujuan manusia dijadikan Allah adalah untuk beribadah dan
menjadi khalifah di bumi. Kedua, Prinsip dan filsafat tentang keadaan
sifat Allah dan hubungannya dengan sifat manusia. Dalam keyakinan Islam Allah Swt
memiliki sifat dan nama-nama yang agung, yakni asmaul husna yang
jumlahnya ada 99 nama atau sifat. Ketiga, Prinsip dan filsafat tentang
keadaan amanah dan fungsi manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di bumi.
Manusia dijadikan Allah berfungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai
khalifah Allah membekali manusia dengan dua kualitas (kemampuan), yakni ibadah
dan siyadah atau imtak dan ipteks, agar manusia itu berhasil dalam mengelola
bumi. Keempat, Prinsip dan filsafat tentang perjanjian (mistaq)
antara manusia dan Allah sewaktu manusia masih berada dalam kandungan ibunya
masing-masing. Allah menjadikan manusia dalam bentuk kejadian yang
sebaik-baiknya, dan kemudian menyempurnakan kejadian dengan meniupkan ruh ke
dalam tubuhnya (basyar), sehingga membuat para malaikat menaruh hormat
yang tinggi kepada manusia. Kelima, Prinsip dan filsafat tentang manusia
dan pendidikannya. Manusia dalam pandangan islam adalah makhluk multidimensional
dan multipotensial. Keenam, Prinsip dan filsafat tentang
hakikat manusia Dalam pandangan islam hakikat dari manusia itu adalah mentalnya,
karena mental itu berasal dari Tuhan dan menjadi sumber kehidupan[5].
Berdasarkan pandangan dan
pemikiran diatas, maka dapat dikemukakan pengertian kesehatan mental/mental
dalam Islam sebagai berikut. Kesehatan mental menurut Islam tidak lain adalah “ibadah
yang amat luas atau pengembangan dimensi dan potensi yang dimiliki manusia
dalam dirinya dalam rangka pengabdian kepada Allah yang diikuti dengan perasaan
amanah, tanggung jawab serta kepatuhan dan ketaatan kepada Allah dan ajaran
agama-Nya, sehingga dengan demikian terwujud nafsu muthmainnah atau mental
sakinah”[6].
B.
Hakikat
Kesehatan Mental dan Pendidikan
1.
Hakikat
Kesehatan Mental
Kesehatan mental sering disebut juga
dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara
historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog
yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat
sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena
psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan
oleh masyarakat luas.[7]
Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena
masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf
besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi
itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan
akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.
Latar belakang munculnya ilmu kesehatan
mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan
mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kementalan.[8]
Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu
kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan
penyakit mental saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang
yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Fenomena ini semakin mendorong para
ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih
luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas
dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup:
1) Sikap
kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan
baik,
2) Pertumbuhan dan
perkembangan serta perwujudan diri yang baik,
3) Keseimbangan
mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan,
4) Otonomi diri
yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan
bebas,
5) Persepsi mengenai
realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan
kepekaan sosial, dan
6) kemampuan
menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan.[9]
Sementara Goble, mengutip dari Hasan
Lamgulung, mendefinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas
kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri,
dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. “Sepintas lalu kedua
pengertian di atas terkesan sudah komprehensif dan utuh, namun setelah
diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan,
terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam”.[10]
Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni. “Psikologi
sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional. Psikologi,
sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan
mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional, dan
biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik,
obyektif, dan kuantitatif”.[11]
Zakiah Daradjat, dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Mental di IAIN
"Syarif Hidayatullah Jakarta" mengemukakan lima buah rumusan
kesehatan mental yang lazim dianut para ahli:[12]
Pertama, kesehatan mental adalah
terhindarnya orang dari gejala gangguan mental (neurose) dan dari
gejala-gejala penyakit mental (psichose). Definisi ini banyak
dianut di kalangan psikiatri (kedokteran mental) yang memandang manusia dari
sudut sehat atau sakitnya. Kedua, kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi
ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan
kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan
ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Ketiga, kesehatan mental
adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi mental, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan
pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi
mental seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus
saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang
dari sifat raguragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin. Keempat, kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada
kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit mental. Kelima, kesehatan mental
adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh antara fungsi-fungsi
kementalan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan
dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan
bahagia di akhirat.
Dalam
buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah:
Terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kementalan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi
masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian
fungsi-fungsi mental (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan
bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang adapadanya seoptimal mungkin.[13]
Menurut Jalaluddin, kesehatan mental (mental
hygiene) adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.
Orang yang sehat mentalnya ialah
orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip
H.C. Witherington menambahkan, “permasalahan
kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip
yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama”.[14]
Kesehatan
mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan
yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di
antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada
yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil
menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.
Dalam
Islam pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan pribadi
pada umumnya, dalam artian kondisi kementalan yang sehat merupakan hasil
sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan
sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan
pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan
ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. “Sikap
dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap
dan teguh. Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan
ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih
sayang”[15]. Kesan demikian pasti mentalnya pun sehat.
Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai.
Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar,
aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah Swt
dalam Alquran surat Ar-Ra’du ayat 11 sebagai berikut:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ
مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ
اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا
أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن
وَالٍ) الرعد: ١١(
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Qs.
Ar-Rad:11)
Ayat ini menunjukkan bahwa
Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk
menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan
untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan
diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan
tercurah padanya. Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah Swt itu
harus sesuai dan berdasarkan Alquran dan Alhadits. Selain itu dalam Islam kebebasan
bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya
harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
2.
Hakikat
Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung
arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan merupakan
terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie, yang berarti bimbingan
kepada anak didik. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan istilah education yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan
dengan kata Tarbiyah yang berarti pendidikan.[16]
Pendidikan
berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awal “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberikan latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pengertian pendidikan dalam kamus besar Bahasa
Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan menusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam
bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik)
artinya memberikan peningkatan, dan mengembangkan. Dalam pengertian yang
sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses
perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.[17] Jadi yang
dimaksud dengan Pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang
diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam usaha perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan dan
seterusnya ke arah terbentuknya kepribadian muslim.
Pendidikan dalam arti sempit, ialah bimbingan yang
diberikan kepada anak didik sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti
luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya, sampai
terbentuknya kepribadian muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak
dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya.
Sebenarnya kedua jenis pendidikan ini (arti sempit atau arti luas) satu adanya.[18]
Sedangkan menurut undang-undang sistem pendidikan
nasional, pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[19]
Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah “bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[20] Menurut
Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada
subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian
muslim”.[21]
Azyumardi Azra
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah “suatu proses
dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien”.[22]
Menurut Abuddin Nata:
Hakikat pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya.
Pendidikan Islam yang sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja,
seperti segi akidah, ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya,
bahkan lebih luas dari pada itu semua. Dengan kata lain pendidikan Islam
memiliki perhatian yang lebih luas dari ketiga aspek tersebut. Hal ini menjadi
titik tekan bagi Zakiah Daradjat, karena baik pendidikan Nasional maupun
pendidikan Islam pada umumnya hanya memfokuskan pada salah satu aspek saja[23].
Dalam hidup ini manusia tidak bisa
terlepas dari pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan Agama, karena
pendidikan itu sangat dibutuhkan dan menjadi perhatian orang dimana saja. Dalam
pengertian yang luas pendidikan dapat diartikan "sebagai sebuah proses
dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman,
dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan."[24]
Pendidikan dapat membawa pembaharuan
kondisi hidup manusia lebih baik dari pada sebelumnya. Dengan demikian kita
bisa mengangkat nama baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini sudah menjadi
tugas dan kewajiban masyarakat, bangsa dan Negara untuk melihat kelangsungan
pendidikan itu sendiri demi terwujudnya bangsa yang terhormat.[25]
Meskipun pendidikan merupakan fenomena
dan usaha manusiawi yang pasti terselenggara dimana pun manusia berada, namun
fenomena dan usaha pendidikan memegang peranan sentral dalam perkembangan
individu dan umat manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pendidikan perlu didasarkan
atas pemikiran yang matang, baik pikiran yang bersifat teoritis maupun yang
mengarah kepada pertimbangan praktis dalam rangka mencapai hasil perkembangan
dan pembudayaan manusia secara maksimal.
Pada dasarnya istilah pendidikan
tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga sampai saat ini belum
ada keseragaman pengertian atau definisi pendidikan yang diberikan para ahli.
Masing-masing ahli pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh pola pikirnya
masing-masing dalam memberikan pengertian pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir
dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa
"pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam yang berisi
seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, dan ajaran tersebut didasarkan
pada Alquran dan hadits."[26]
Pendidikan merupakan kehidupan manusia
itu sendiri dan menjadi tuntunan hidupnya, apabila hasil yang diperoleh dalam
kehidupannya adalah produk pendidikan. Secara filosofis bahwa di dalam
pendidikan itu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya.
Bahkan dikatakan pendidikan itu mewariskan nilai-nilai kepada generasi. Di
sinilah pentingnya kelestarian, nilai dalam pendidikan sangat diutamakan.
Pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus tidak akan sampai kepada suatu
tujuan pendidikan bila tidak didasarkan kepada falsafah hidup dan sumber
pedoman kehidupan.
Berkenaan
dengan masalah tersebut di atas Wens Tainlain mengemukakan bahwa "Istilah paedagogigiek
(ilmu pendidikan) berasal dari kata yunani “pedagogues” dan dalam bahasa
latin pedagogues yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak
kesekolah serta menjaga anak itu agar ia bertingkah laku susila dan disiplin"[27].
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan
secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan
usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi
pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik)
dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai
pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan
terbentuknya kepribadian yang utama.
C.
Pengaruh
Kesehatan Mental Terhadap Pendidikan
Manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki
makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban
dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi
Allah untuk beribadah kepada-Nya. Manusia dengan berbagai potensi tersebut
membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat
terwujud.[28]
Pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim
baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya
untuk mencari keridhaan Allah Swt. Dengan demikian, hakikat cita-cita
pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu
pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.[29]
Pendidikan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses
panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi
kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut
diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi, situasi dan kondisi
lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri
manusia dengan segenap permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum.
Dalam hal pendidikan Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia
memiliki potensi luhur, yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi
umum (Barat).
Berdasarkan uraian diatas,
maka sudah selayaknya dalam pendidikan Islam memiliki landasan psikologis yang
berwawasan kepada Islam, dalam hal ini
dengan berpandu kepada Alquran dan hadits sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam
dapat terwujud dan menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat.
Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk menyebutkan psikologi yang berwawasan
kepada Islam. Diantara para psikolog ada yang menyebut dengan istilah psikologi
Islam, psikologi al-Qur’an, psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi.
Namun pada dasarnya semua istilah tersebut memiliki makna yang sama.
Dalam Alquran, ada beberapa kata kunci
yang berbicara mengenai psikologi yaitu al-nafs, al-qalb, al-aql, al-ruh,
dan fitrah. Dari analisa terhadap kosa kata tersebut, secara metode tafsir
maudhu’i atau tematik akan diformulasikan sejumlah konsep-konsep psikologi
dari Alquran, selanjutnya digunakan
sebagai dasar untuk menyusun paradigma teori psikologi Islami.[30]
Kesehatan mental dalam
Islam merupakan sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan
seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam sebagai
subjek dan objek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga
bentuk: Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan pemikiran serta Islam
sebagai praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan
berlaku pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki
kebenaran normatif, yaitu benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga
bebas ruang dan waktu. Islam sebagai pemahaman dan praktek, selalu berhubungan
dengan ruang dan waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan
itu semua adalah fondasi awal untuk melakukan gagasan aktulisasi psikologi
Islami.
Pendidikan merupakan
proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah
“Usaha secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan
si anak ke kedewasaan, yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab
moral dari segala perbuatannya” Orang dewasa itu adalah “orang tua si anak atau
orang yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk
mendidik, misalnya saja guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan
keagamaan kepala-kepala asrama dan sebagainya”.[31] “Pendidikan”
dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan
al-riyadah.” Setiap terminologi tersebut mempunyai makna yang berbeda satu
sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya”.[32]
Dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha maksimal untuk menentukan
kepribadian anak didik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan
dalam Alquran dan Sunnah. Usaha
tersebut senantiasa harus dilakukan melalui bimbingan, asuhan dan didikan, dan
sekaligus pengembangan potensi manusia untuk meningkatkan kualitas
intelektual dan moral yang berpedoman
pada syariat Islam.
Manusia merupakan makhluk
pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan
Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia
dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan,
potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan
fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi
dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang
menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1) Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah
keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri
manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua
makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan
udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya
tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan
nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya
sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti:
susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah,
tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua
sifat dasar. “Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan
kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh.
Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah
dan ruhaniah manusia”.[33]
2) Aspek Nafsiah
Aspek nafsiah adalah
keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran,
perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga
dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb. Dimensi
nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem
psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan
pengaruh dari dimensi lainnya, “seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah.
Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu: daya
yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan
mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk
mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah)”.[34]
Dimensi akal adalah
dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling
berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki
sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya
cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki
peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada
diri manusia.
Dimensi qalb
memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami,
mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang
menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan
daya karsa seperti berusaha.
3) Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah
adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi
luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini
merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah
bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan
potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang
berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan
manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari
dimensi fitrah.[35]
Dari penjabaran diatas,
dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi,
mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual,
transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung
kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha
mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan
proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan
potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam,
ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah
dibebankan Allah.
D.
Manfaat
Kesehatan Mental
Manusia dalam melakukan hubungan dan
interaksi dengan lingkungannya baik materiil maupun sosial, semua itu tidak
keluar dari tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang
tersebut tidak dapat atau tidak bias menyesuaikan diri dikatakan ksehatan mentalnya terganggu atau diragukan.[36]
Contoh penyesuaian diri yang wajar tersebut adalah seseorang yang menghindarkan
dirinya dari situasi yang membahayakan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri yang
tidak wajar misalnya seseorang yang takut terhadap binatang yang biasa seperti
kucing, kelinci dan sebangsanya. Dari dua contoh tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa orang yang bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar
dikatakan sehat mentalnya dan orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian diri
secara wajar, menunjukkan penyimpangan dari kesehatan mentalnya.
Kesehatan jasmani adalah keserasian
yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani disertai dengan kemampuan
untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam
lingkungan, disamping secara positif merasa gesit, kuat dan semangat. “Kesehatan
mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting karena
menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia”.[37]
Tanpa kesehatan yang baik orang tidak akan mungkin mendapatkan kebahagian dan
kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kenapa hal itu bisa terjadi. Jawabannya karena kesehatan mental tersebut
menyangkut segala aspek kehidupan yang menyelimuti manusia mulai dari kehidupan
pribadi, keluarga, sosial, politik, agama serta sampai pada bidang pekerjaaan
dan profesi hidup manusia. Kehidupan mewah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak akan menjamin kebahagian manusia. Hal itu karena yang bisa
menjamin kebahagian manusia tersebut adalah kementalan, kesehatan dan
keberagamaan yang dimiliki manusia. Tiga faktor tersebut sangat sejalan sekali
dalam mencapai kebahagian hidup manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian
yang harus dicapai itu tidak hanya kebahagian didunia melainkan juga kebahagian
diakhirat kelak.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli mental
tentang kesehatan mental, misalnya teori psikoanalisis, behavioris dan
humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan
tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai
makhluk multidimensional dan multipotensial. “Manusia sebagai makhluk
multidimensional setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama,
akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika)”.[38]
Sedangkan sebagai makhluk multi
potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt
kepadanya yang dalam islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah
agama. “Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama
ada kebuutuhan-kebutuhan mental manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dalam
memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan
kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative”.[39]
Di dalam Alquran sebagai dasar dan sumber ajaran islam banyak ditemui ayat-ayat yang
berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan mental sebagai hal yang prinsipil
dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ
إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ
مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (mental) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan
al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali Imran: 164)
Dengan kejelasan ayat Alquran dan hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan
mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari
risalah Nabi Muhammad Saw diangkat jadi Rasul Allah Swt, karena asas, cirri,
karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan
tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini Alquran berfungsi
sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan mental
manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya.
[1]Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia
Modern: Mental dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal.
13.
[3] Thohari Musnamar, et al, Dasar-dasar
Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UIIPress, 1992),
hal. XIII.
[4] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep &
Penerapan, (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang,
1999), hal. 24.
[5] Musthafa Fahmi, Kesehatan Mental dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat,
Jilid 1, alih Bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal.
20-21.
[7]
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.
[15] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), hal. 150.
[17]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), hal. 256.
[22]
Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos, 1998), hal. 3.
[23] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.
233.
[24]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Cet. VIII, (Jakarta: Rosda Karya,
2003), 10.
[26]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Cet.VI, (Bandung:
Rosda Karya, 2004), hal. 13.
[29]
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.
[31] H.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 3.
[38]
Hadziq , Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Pustaka Rasail, 2005), hal. 27.
0 Comments
Post a Comment