Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kesulitan Belajar


A.    Kesulitan Belajar
Kesulitan Belajar

Definisi belajar sampai saat ini belum ada kesepakatan para ahli pendidikan, karena masing-masing mereka meninjau dari sudut yang berbeda, sehingga definisi belajar pun berbeda pula. Walaupun belum ada batasan mengenai definisi belajar yang tepat, namun para ahli cenderung memiliki kesamaan dalam memformulasikan definisi tersebut, sebagaimana yang dipaparkan berikut ini.
Menurut Alisuf Sabri bahwa: “Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau latihan, perubahan tingkah laku akibat belajar itu dapat berupa memperoleh perilaku yang baru atau memperbaiki atau meningkatkan perilaku yang ada”.[1] Herman Hudoyo menyatakan bahwa: “Belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif lama dan tetap”.[2]
Slameto mengatakan bahwa: “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan secara terarah untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman sendiri dan interaksi dengan lingkungan.”[3] Selain itu, dalam kitab al-Quran juga disinggungkan tentang bagaimana cara belajar dan penghormatan yang diberikan oleh Allah swt. kepada orang-orang yang mau menuntut dan mempelajari ilmu-ilmu Allah yang ada di bumi ini, seperti yang tercantum dalam surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al-Maidah ayat 111, dan terdapat pula dalam beberapa hadits dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan pula perawi hadits.
Jika dicermati dari berbagai definisi dan dalil yang telah dikemukakan di atas, bahwa belajar mengandung suatu pengertian yang serupa yaitu perubahan tingkah laku atau perubahan perbuatan dari yang tidak bisa menjadi bisa. Jadi untuk mencapai perubahan tingkah laku dalam belajar, seseorang harus melakukan usaha. Bentuk-bentuk usaha tersebut adalah aktivitas yang mengarah pada tercapainya perubahan dalam diri seseorang seperti bertanya, berlatih, membaca, dan sebagainya. Hal yang senada ini juga bisa dilihat dalam surat al-'Alaq ayat 1-5, yang menegaskan tentang proses penerimaan wahyu pertama oleh Rasulullah saw.     Pada peristiwa tersebut Rasulullah mempraktekkan pola belajar dengan mengulang apa yang telah disampaikan oleh malaikat.
Bentuk lain dari proses belajar tersebut dapat juga dilihat pada anak kecil (bayi), dia bisa mengucapkan kata-kata setelah mencapai usaha tertentu. Proses ini dinamakan kematangan. Menurut Ratna Wilis: “Proses bentuk-bentuk perubahan yaitu disebabkan oleh proses fisiologi, mekanik dan kematangan dikeluarkan dari kategori perubahan-perubahan yang mencerminkan belajar”.[4]
Dengan demikian, perubahan yang ada dalam proses belajar tersebut bukan hanya berupa suatu aktivitas yang mengarah kepada proses kognitifnya saja, melainkan juga pada proses fisiologi, mekanik dan juga proses kematangan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, maka secara umum dapat melibatkan tiga aspek, yaitu tingkah laku (behavior), perubahan (change : modification) dan pengalaman atau latihan (experience or training).
Dalam aspek tingkah laku (behavior), biasanya diperoleh dari perkembangan fisik dan mentalnya yang dipengaruhi juga oleh perjalanan waktu. Contohnya, anak kecil yang mulai bisa berjalan, makin lama dia makin bisa berjalan dengan sempurna, begitu juga dengan pengucapan kata-kata tertentu, makin lama makin jelas kata-kata yang diucapkannya tersebut. Dalam proses pembelajaran yang mencakup aspek perubahan (change : modification) sering ditemui dalam proses pembelajaran secara aktif (formal), maksudnya jenis pembelajaran yang melibatkan secara langsung antara pendidik dan yang terdidik. Selain itu juga dapat berupa pembelajaran yang diperoleh dari hasil pemikiran yang dikembangkannya. Contohnya, orang yang sadar akan perbuatan salah yang kemudian insaf dan kembali ke jalan yang benar setelah diberi pengarahan dari seseorang.
Bila dilihat dari pengalaman atau latihan (experience or training) sering ditemui dalam suatu pengalaman hidup yang dapat dijadikan suatu sandaran pengalaman yang telah dilaluinya. Selain itu, percobaan yang sering dilakukan juga termasuk dalam hal tersebut. Misalnya, pemain bola yang sering latihan akan memperoleh pelajaran baru dari latihan yang sering dilakukannya selain juga dari pengalaman-pengalaman yang sering ditemuinya saat melakukan pertandingan-pertandingan.
Pada dasarnya, dari ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ketiganya seiring berjalan satu sama lain. Misalnya ketika manusia beranjak dewasa, dia sudah mempunya daya tangkap (nalar) yang lebih kuat bila dibandingkan dengan sebelumnya dan secara otomatis dia juga sudah menjalani banyak pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan.
Menurut Hamalik: belajar merupakan suatu proses dan bukan semata-mata hasil yang hendak dicapai. Proses ini sendiri berlangsung dalam bentuk mengalami atau berlangsung melalui serangkaian pengalaman, sehingga terjadi modifikasi pada tingkah laku seseorang atau terjadi perubahan atau tingkah laku yang telah dimiliki sebelumnya.[5]
Sedangkan Depdikbud berpendapat, “Belajar adalah perubahan tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman”.[6] Dengan demikian seseorang dikatakan belajar apabila ia telah mengalami suatu proses sehingga ia mengalami perubahan tingkah laku yang diinginkan seperti yang tertuang dalam kompetensi dasar maka orang tersebut berhasil dalam belajar, dengan kata lain orang tersebut tidak mengalami kesulitan dalam belajar.
Menurut Depdikbud : “Kesulitan adalah keadaan yang sulit, sesuatu yang  susah dikerjakan atau diselesaikan”.[7] Demikian halnya yang dikemukakan oleh Poerdawarminta bahwa; “Kesulitan adalah keadaan yang sulit atau sesuatu yang sulit”.[8] Dengan demikian, secara bahasa, kesulitan belajar dapat diartikan sebagai keadaan yang sulit dalam melakukan suatu proses perubahan tingkah laku. Menurut Abdurrahman bahwa: “Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris Learning Disability, Terjemahan tersebut sebenarnya kurang tepat karena Learning artinya belajar dan Disability artinya ketidakmampuan, sehingga terjemahan yang sebenarnya adalah ketidakmampuan belajar”.[9]
Berdasarkan pernyataan di atas, Abdurrahman menggunakan istilah belajar karena lebih optimistik, meskipun terjemahan yang sebenarnya adalah ketidakmampuan belajar. Selanjutnya masih dalam Abdurrahman, menyatakan bahwa: “Secara umum ada empat kriteria kesulitan belajar, di antaranya: 1) kemungkinan adanya disfungsi otak, 2) adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, 3) adanya kesenjangan antara prestasi dan potensi, 4) adanya pengeluaran sebab-sebab lain”.[10]
Kemungkinan adanya disfungsi neorologis artinya ada gangguan fungsi otak pada diri anak, sehingga anak tersebut mengalami kesulitan belajar dalam memahami suatu pelajaran. Selanjutnya, adanya kesulitan-kesulitan dalam tugas akademik artinya anak kurang memahami materi yang diajarkan, apabila diberikan tugas-tugas anak tersebut mengalami kesulitan menyelesaikan tugas-tugas akademik. Sedangkan yang dimaksud dengan adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi adalah anak yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik menyebabkan prestasi akademiknya menurun. Hal ini jauh dengan potensi yang ia miliki, di mana prestasinya selalu mencapai tahap baik. Selain itu adanya sebab-sebab pengeluaran lain, artinya sebab lain dalam problema belajar seperti tuna gharita, gangguan emosional, hambatan sensoris, tidak tepatnya pembelajaran karena kemiskinan budaya.
Menurut Abdurrahman: “Di Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan belajar. Para guru umumnya memandang semua siswa yang tidak memperoleh prestasi belajar disebut siswa berkesulitan belajar.”[11] Sedangkan menurut Makmun “seorang siswa diduga mengalami belajar kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi taraf belajar tertentu (berdasarkan ukuran kriteria yang dicantumkan dalam TIK atau ukuran kapasitas atau ukuran program dalam pelajaran dan tingkat perkembangannya).[12]
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki potensi yang bagus dalam materi lain, tetapi mempunyai prestasi rendah terhadap materi tertentu dikarenakan siswa tersebut mengalami kesulitan-kesulitan dalam proses belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu keadaan  yang sulit yang dialami oleh siswa dalam proses belajar sehingga menyebabkan prestasi siswa terhadap materi tertentu rendah.
Dalam belajar matematika mempunyai dasar kesulitan khusus, sehubungan dengan hal itu Soejono mengemukakan sebagai berikut:[13]
1.      Kesulitan dalam menggunakan konsep
a.      Siswa lupa singkatan atau nama teknik atau objek
b.      Ketidakmampuan mengingat satu atau  lebih syarat cukup dan sebagainya.
2.      Kesulitan belajar dalam menggunakan prinsip
a.      Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai  pengetahuan baru.
b.      Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut.
3.      Kesulitan memecahkan soal berbentuk verbal
a.      Tidak dimengerti apa yang dibaca, sehingga mengakibatkan kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah yang tidak diketahui.
b.      Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya.
Berdasarkan Soejono di atas, bahwa kesulitan belajar matematika mempunyai kesulitan khusus diantaranya kesulitan dalam menggunakan konsep. Kesulitan dalam menggunakan konsep artinya siswa lupa singkatan atau nama teknik suatu objek. Kesulitan-kesulitan lain dapat berupa pada kurang siswa dalam mengingat syarat-syarat yang diperlukan dalam menyelesaikan soal-soal pertidaksamaan. Kurang terarahnya siswa dalam menentukan langkah pertama yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan sebuah pertidaksamaan.
Di samping itu siswa terkendala bila materi-materi sebelumnya yang berhubungan dengan pertidaksamaan, misalnya materi persamaan yang tidak dikuasainya. Karena sebelum belajar tentang materi pertidaksamaan, siswa tentunya telah dibekali dengan materi persamaan yang merupakan syarat awal untuk mempelajari pertidaksamaan. Hal ini tentunya sangatlah berkaitan satu sama lainnya. Sedangkan untuk mencapai tujuan dari pengajaran diharapkan siswa mampu menguasai materi tersebut.
Kesulitan berikutnya dalam belajar matematika menurut Soejono adalah “kesulitan memecahkan soal  berbentuk verbal.”[14] Artinya siswa tidak mengerti apa yang dibaca dan siswa tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal berbentuk cerita masih rendah. Dengan kata lain siswa masih mengalami kesulitan menyelesaikan soal berbentuk cerita. Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah sehingga siswa kurang mengerti apa yang dibaca.
Menurut Lerner yang diungkapkan Abdurrahman bahwa: Ada beberapa karakteristik anak mengalami kesulitan belajar matematika, yaitu: 1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, 2) abnormalitas persepsi visual, 3) asosiasi visual-motor, 4) perseverasi, 5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, 6) gangguan penghayatan tubuh, 7) kesulitan adalah bahasa dan membaca, 8) performace IQ jauh lebih rendah dari pada sekor verbal IQ.[15]
Adanya gangguan dalam hubungan keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut mungkin anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau pada penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 dari pada angka 6.
Ciri lain anak berkesulitan belajar matematika adalah asosiasi visual-motto. Artinya siswa memberi kesan dalam belajar matematika dengan cara menghafal tanpa memahami makna. Selain itu adanya gangguan persevasi yaitu gangguan pada anak yang perhatiannya melekat pada satu objek saja dalam jangka waktu relatif lama.
Selanjutnya kurang mengenal dan memahami simbol matematika seperti, ׀,-, =, >, <, dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh gangguan memori tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan visual. Dalam kesulitan bahasa dan membaca, data kita perhatikan pada anak yang sulit dalam bahasa dan membaca maka akan mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Karena matematika itu sendiri pada hakikatnya adalah bahasa simbol. Selanjutnya karakteristik anak berkesulitan belajar matematika dalah performansi IQ jauh lebih rendah dari kemampuan verbal IQ (kinerja). Tes performansi dalam tes verbal siswa sulit dalam informasi, persamaan, aritmatika dan perbendaharaan kata. Menurut Abdurrahman: “Hasil tes intelegence dengan menggunakan WISC (Wechler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah dari pada VIQ (Verbal Intelligence Quotient).”[16]




[1]M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 60.

[2]Herman Hudoyo, Belajar Mengajar Matematika, (Malang: IKIP Malang, 1998), hal. 5.

[3]Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Bandung: Rineka Cipta, 1995), hal. 5.

[4]Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hal.14.

[5]Oemar Hamalik, Pengembangan Kurikulum (Dasar-Dasar dan Pengembangan), (Jakarta: Mandar Baru, 1990), hal. 83.

[6]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal. 56.

[7]Ibid, hal. 1100.

[8]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983, hal. 973.

[9]Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 6.

[10]Ibid, hal. 9

[11]Ibid, hal. 9

[12]Abin Syamsudin Makmun, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 308.

[13]Soejono, Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PPLPTK, 1994), hal. 254

[14]Ibid, hal 259

[15]Ibid, hal. 259.

[16]Mulyono Abdurrahman, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 262.