Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kewajiban dan Larangan Bagi Keuchiek Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


Dalam melaksanakan tugasnya pada pasal 26 ayat (1), yaitu menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, Keuchiek mempunyai wewenang, hak, dan kewajiban, yang diatur pula dalam pasal 26, yaitu kewenangan diatur pada ayat (2); hak-hak yang timbul diatur pada ayat (3); dan kewajiban diatur pada ayat (4).

Tampaknya pembentuk UU Desa membedakan antara kewajiban Keuchiek dalam konteks khusus, yaitu menjalankan tugas yang diatur pasal 26 ayat (1) dan kewajiban dalam konteks melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajiban secara umum. Karena itu, Keuchiek selain memiliki kewajiban seperti yang diatur dalam pasal 26 ayat (4), juga memiliki kewajiban lain dan sanksinya yang diatur dalam pasal 27 dan pasal 28 berikut.


Pasal 27

Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Keuchiek wajib:
  1. Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota
  2. Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota.
  3. Memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
  4.  Memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran.
Penjelasan

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Keuchiek yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (4) dan pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.

Ayat (2)

Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Penjelasan

Cukup jelas

Sebagai kepala pemerintahan desa, Keuchiek juga dibebani sejumlah larangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 29 UU Desa berikut:

Pasal 29

Keuchiek dilarang:
  1. Merugikan kepentingan umum
  2. Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.
  3. Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya.
  4. Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
  5. Melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa;
  6. Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/ataujasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
  7. Menjadi pengurus partai politik;
  8. Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
  9. Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
  10. Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
  11. Melanggar sumpah/janji jabatan; dan
  12. Meninggalkan tugas selama 30 hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Penjelasan

Cukup jelas

Pembahasan di DPR

Dalam pembahasan pasal ini, terdapat beberapa poin saja yang menjadi perdebatan terkait kewajiban dan larangan yaitu:

a. Pertanggungjawaban Keuchiek (Pasal 27 UU Desa). Dalam RUU tidak disebutkan kepada siapa penyampaian laporan tahunan dan laporan akhir masa jabatan penyelenggaraan pemerintah desa disampaikan (pasal 24 ayat (3) huruf o). FPKB mengusulkan laporan disampaikan kepada masyarakat melalui BPD.

Penyampaian dilakukan melalui musyawarah desa dan media komunikasi. FPHanura mengusulkan disampaikan kepada rakyat dan BPD. Di dalam DIM, ada usulan penyampaian laporan penyelenggaraan pemerintahan desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat 1 kali dalam setahun.

Dalam Rapat Kerja Pansus tanggal 11 Desember 2013, Fraksi PPP melalui juru bicaranya AW. Thalib berpendapat, Keuchiek diberikan kewenangan yang sangat luas dalam memimpin Desa. Dengan kewenangan yang sangat luas ini, maka ada kewajiban Keuchiek untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan kepada bupati/walikota. Ini merupakan mekanisme yang akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

b. Larangan bagi Keuchiek (pasal 29). Semua Fraksi menyetujui semua larangan bagi Keuchiek yang ada di dalam rumusan RUU. Penolakan larangan bagi Keuchiek, terutama larangan terlibat dalam kampanye Pemilu dan Pilkada, serta larangan menjadi pengurus partai politik, justru datang dari Keuchiek. Hal ini dapat dilihat pada saat proses pembahasan RUU oleh Pansus ketika mereka melakukan audiensi RUU Desa tanggal 16 Mei 2012. Keuchiek Nyerat, Sahim SP mengkritisi larangan Keuchiek terlibat dalam kampanye Pemilu. Menurutnya, warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam Pemilu, yang mungkin dilarang adalah menjadi juru kampanye.
Pendapat ini kemudian dijawab oleh Totok Daryanto (Ketua Pansus RUU Pemda) di forum yang sama. Menurut Totok, dalam UU Pemilu yang baru disahkan, Keuchiek dilarang untuk terlibat dalam kampanye partai politik dan dilarang menjadi pengurus partai. Pertimbangan Pansus saat pembahasan RUU Pemda, bahwa Keuchiek memiliki kedudukan yang lebih strategis dalam membangun demokrasi di Indonesia, sehingga perlu dijamin netralitasnya.

Sebaliknya, PPP masih mempertanyakan rasio di balik larangan bagi Keuchiek untuk ikut kampanye pemilu. Anggota Fraksi PPP, A.W. Thalib menyatakan:
“Rancangan Undang-Undang ini telah lebih memerinci tugas, wewenang, hak, kewajiban, larangan, pemberhentian dan rehabilitasi Keuchiek. Namun F-PPP tidak bisa memahami klausul mengenai larangan bagi Keuchiek untuk ikut serta di dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan juga pemilihan kepala daerah. Juga untuk menjadi pengurus partai politik atau pengurus partai politik lokal. Kami berpendapat larangan ini telah melanggar hak-hak politik warga negara, karena ketentuan ini sangat diskriminatif, hanya diperuntukkan bagi Keuchiek, tetapi tidak berlaku bagi presiden, gubernur, bupati ataupun walikota”.
Tanggapan

Akuntabilitas Keuchiek

Pola pertanggungjawaban Keuchiek dalam UU Desa kembali ke rezim UU No. 22/1999, yaitu langsung kepada Bupati, tidak melalui Camat. Dalam UU No. 22/1999 pasal 102 disebutkan Keuchiek bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD (Badan Perwakilan Desa)[4] dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Undang-Undang Pemda ini telah memberikan keleluasaaan kepada desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri. Pola pertanggungjawaban Keuchiek bukan kepada Camat sebagai institusi yang berada di atasnya, dan hubungan kerja antara Camat dengan Keuchiek bukan bersifat subordinasi.

Hal ini berbeda dengan UU No. 32/2004, yang menggunakan statemen yang lebih halus yang menempatkan Camat dalam pola hubungan kerja dengan Keuchiek. Dalam penjelasan umumnya disebutkan “Keuchiek pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat. Kepada BPD, Keuchiek wajib menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertangungjawaban dimaksud”.

Klausul di atas menegaskan bahwa akuntabilitas Keuchiek yang diatur dalam UU No. 32/2004 bukan kepada rakyat, tetapi kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai atasan. Dalam Naskah Akademik (NA) RUU Desa, bentuk akuntabilitas Keuchiek yang ada dalam UU No. 32/2004 ini disebut sebagai pemindahan akuntabilitas “ke bawah” menjadi “ke atas” atau resentralisasi. Padahal dalam sebuah demokrasi, akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, karena Keuchiek dipilih langsung oleh masyarakatnya.

Undang-Undang Desa mengembalikan relasi Keuchiek dengan Camat tidak lagi bersifat subordinasi, dimana pertanggungjawaban Keuchiek langsung kepada Bupati/Walikota tidak melalui Camat. Dalam UU ini, akuntabilitas Keuchiek diatur khusus di dalam pasal 27 dan 28. Pasal ini ingin menegaskan pentingnya akuntabilitas Keuchiek sebagai penyelenggara pemerintahan, dan memberikan sanksi apabila Keuchiek tidak melakukannya. Sanksi yang diberikan pun cukup tegas, yakni memberikan teguran sampai pemberhentian jabatan.

Bentuk akuntabilitas dalam UU Desa ini mengatur kewajiban Keuchiek menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, BPD, dan masyarakat desa sebagai konstituennya. Terdapat 2 jenis laporan yang harus disampaikan oleh Keuchiek kepada Bupati, yaitu (1) laporan penyelenggaraan pemerintah desa setiap akhir tahun anggaran; dan (2) laporan penyelenggaraan pemerintahan desa pada akhir masa jabatan. Selain itu, terdapat laporan yang harus disampaikan kepada BPD berupa laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan yang harus disampaikan setiap tahun (pada akhir tahun anggaran). Sebagai bentuk pertanggungjawaban Keuchiek kepada rakyat yang telah memilihnya, Keuchiek juga menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan desa melalui media yang mudah diakses oleh warga. Adanya pertanggungjawaban Keuchiek kepada BPD (sebagai perwakilan rakyat) menunjukkan adanya hubungan check and balances antara Keuchiek dengan BPD. Undang-Undang Desa hanya mengatur akuntabilitas yang sifatnya administratif. Karena itu, perlu dibuat mekanisme penyampaian laporan yang bukan sekadar formalitas.

Akuntabilitas yang diwujudkan dalam bentuk laporan, menurut Sutoro Eko (2013) disebut sebagai pengertian akuntabilitas setelah tindakan, atau akuntabilitas ex post facto (J.M. Moncrieffe, 2011). Menurut Eko, akuntabilitas seperti ini sangat dominan digunakan di Indonesia dengan bentuk yang konkrit berupa LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban), dan LIPJ (Laporan Informasi Pertanggungjawaban) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada publik/rakyat. Akuntabilitas seperti ini (setelah tindakan) lemah dari dua sisi. Pertama, dari sisi mekanisme dan waktu. Akuntabilitas hanya dilakukan setelah tindakan (ex post), atau sekadar memberikan jawaban. Kedua, Kepala Daerah (dalam hal ini Keuchiek) dipilih oleh rakyat, tapi pertanggungjawabannya diberikan ke atas (Bupati).

P. Schimitter (2004) membagi akuntabilitas dalam tiga dimensi waktu: sebelum (before), selama (during), dan sesudah (after). Akuntabilitas “sebelum” dan “selama” itu mempunyai kaitan langsung dengan representasi. Idealnya, partisipasi warga dilakukan dalam tiga dimensi waktu ini. Warga melakukan partisipasi sebelum kebijakan, menaruh perhatian terhadap proses penyusunan kebijakan, dan berkewajiban menjalankan kebijakan. Selama ini, partisipasi warga di level desa baru sebatas keterlibatan mereka dalam Musrenbang Desa. Itupun kadang hanya formalitas. Undang-Undang Desa telah menjamin partisipasi warga yang diatur dalam pasal 68 (pembahasan lebih lanjut tentang hal ini dibahas dalam Bab III).

Larangan bagi Keuchiek

Larangan bagi Keuchiek tidak diatur dalam UU No. 22/1999. Sementara itu, UU No. 32/2004 mengatur tapi tidak menjabarkan secara detail mengenai aturan larangan bagi Keuchiek. Aturan mengenai hal ini dijabarkan dalam PP No. 72/2005. Sementara, UU Desa melarang Keuchiek meninggalkan tugas selama 30 hari berturut-turut tanpa ada alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Aturan tentang hal ini tidak diatur dalam peraturan sebelumnya. Aturan ini menegaskan bahwa integritas dan akuntabilitas Keuchiek menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah desa.

Keuchiek dipilih langsung oleh rakyat Desa tidak berbasiskan partai politik. Oleh karena itu, Keuchiek dilarang menjadi pengurus partai politik dan terlibat dalam kampanye Pemilu dan Pilkada. Undang-Undang Desa ini memosisikan Keuchiek sebagai aktor demokrasi yang sangat strategis di level Desa, karena itu Keuchiek perlu dijamin netralitasnya. Hal ini selaras dengan UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa dalam kampanye calon dilarang melibatkan Keuchiek atau sebutan lain/Lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan (pasal 70 ayat (1) huruf c).